• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas ketahanan busa pada sediaan sabun cair transparan : aplikasi desain faktorial - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas ketahanan busa pada sediaan sabun cair transparan : aplikasi desain faktorial - USD Repository"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

(2)

ii

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR

TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ketika kerjamu ... tidak dihargai maka saat itu kau sedang

belajar tentang.. Κ E Τ U L U S A N

Ketika usahamu dinilai ... tidak penting

maka saat itu kau sedang belajar tentang...

Κ E I Κ Н L A S A N

Ketika kau harus lelah dan kecewa maka saat itu kau sedang

belajar tentang...

Κ E S U N G G U Н A N

Tetap semangat.. Tetap sabar.. Tetap tersenyum.. Terus belajar.. Terus menjalaninya.. Karena kau sedang menimba ilmu di universitas...

KEHIDUPAN

Engkau berada di tempatmu yang sekarang bukan karena...

KEBETULAN Orang yang hebat tidak díhasilkan melalui...

KEMUDAHAN, KESENANGAN, KETENANGAN

Mereka díbentuk melalui...

KESUKARAN...TANTANGAN..AIRMATA DAN CINTA KASIH...

Ketika engkau mengalami sesuatu yg sangat berat dan merasa dítinggalkan sendiri dlm hidup ini ...

"Angkatlah tangan dan kepalamu ke atas... Tataplah masa depanmu.." Ketahuilah... Yakinlah... Engkau sdg dipersiapkan untuk menjαϑî ....

Orang yg Luar Biasa...

Karya ini kupersembahkan untuk

Tuhan Yesus yang selalu menyertaiku

Mamah dan Kakak-kakakku tercinta

Sahabat-sahabatku yang selalu ada untukku

(6)
(7)

vii PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Pengaruh Penambahan Bahan Pengental Gliserin Dan Surfaktan

Cocoamidopropyl Betaine Terhadap Viskositas Dan Ketahanan Busa Pada

Sediaan Sabun Cair Transparan : Aplikasi Desain Faktorial” sebagai salah satu

syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada masa penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah mendapat

banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan, semangat, bimbingan,

nasehat, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

2. Ibu Rini Dwiastuti, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi

atas segala bimbingan, masukan, semangat, kritik, dan sarannya.

3. Ibu Dewi Setyaningsih, M. Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi atas

kesediaannya meluangkan waktu.

4. Ibu Prof. Dr. Sri Nugrohati selaku dosen penguji skripsi atas kesediaannya

meluangkan waktu.

5. Mama Theresia tercinta atas doa, cinta, perhatian, semangat dan dukungan

(8)

viii

6. Kakak-kakakku: Andy Setiawan, Yudi Hartono dan Ineke atas kebersamaan,

keributan, pertengkaran dan dukungan yang selalu diberikan.

7. Sahabat-sahabatku: Tika, Rere, Afni, Venny, Ferdian, Helen, Lina, Efin, Santi,

Tiwi, Dudut, Riris, Flo, dan Oppa atas bantuan, dukungan dan

kebersamaannya selama ini.

8. Teman-teman FST ’07, teman-teman kelas C 2007, dan teman-teman Farmasi

atas segala kebersamaannya.

9. Pak Musrifin dan segenap laboran lain atas segala bantuan dan kerjasama

selama penulis melakukan penelitian.

10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan

satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

laporan akhir ini mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.

Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

semua pihak. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI... xvi

ABSTRACT... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Keaslian Karya... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

(11)

xi

1. Pengertian sabun cair ... 6

2. Mekanisme pembersihan sabun cair ... 6

3. Formulasi sabun cair ... 7

B. Surfaktan ... 9

C. Gliserin... 10

D. Cocoamidopropyl betaine... 11

E. Sifat Fisis ... 11

1. Busa... 12

2. Viskositas ... 13

F. Desain Faktorial ... 15

G. Landasan Teori ... 18

H. Hipotesis ... 19

BAB III METODE PENELITIAN... 20

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 20

1. Variabel Penelitian ... 20

2. Definisi Operasional ... 21

C. Alat... 22

D. Bahan ... 22

E. Tata Cara Penelitian... 23

1. Desain Formula ... 23

2. Pembuatan Sabun Cair ... 24

3. Pengujian Viskositas dan Ketahanan Busa... 25

a. Uji viskositas... 25

(12)

xii

F. Analisis Hasil ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

A. Formulasi Sabun Cair ... 27

B. Sifat Fisis dan Stabilitas Sabun Cair... 31

1. Sifat Fisis Sabun Cair... 31

2. Kestabilan Sabun Cair... 33

a. Profil kestabilan viskositas ... 34

b. Profil kestabilan ketahanan busa... 35

C. Efek Faktor dan Grafik Interaksi Faktor... 36

1. Efek Faktor Pada Respon... 38

a. Uji viskositas... 39

b. Pergeseran viskositas ... 41

c. Uji ketahanan busa ... 43

d. Pergeseran ketahanan busa... 44

BAB V PENUTUP ... 47

A. Kesimpulan ... 47

B. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA... 48

LAMPIRAN ... 51

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dua level ... 17

Tabel II. Desain penelitian ... 23

Tabel III. Formula sabun cair transparan ... 24

Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisis dan stabilitas sabun cair transparan... 32

Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 21, dan 30... 34

Tabel VI. Nilai p dari ketahanan busa sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 21, dan 30... 36

Tabel VII. Tabel signifikansi model persamaan secara ANOVA ... 37

Tabel VIII. Tabel efek untuk respon viskositas ... 39

Tabel IX. Tabel efek untuk pergeseran viskositas ... 41

Tabel X. Tabel efek untuk respon ketahanan busa... 43

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur gliserin ... 10

Gambar 2. StrukturCocoamidopropyl betaine... 11

Gambar 3. Kurva sifat alir Newtonian ... 14

Gambar 4. Kurva sifat alir pseudoplastis ... 15

Gambar 5. Profil kestabilan viskositas ... 34

Gambar 6. Profil kestabilan ketahanan busa ... 35

Gambar 7. Grafik hubungan betaine terhadap respon viskositas (7a); grafik hubungan gliserin terhadap respon viskositas (7b) ... 41

Gambar 8. Grafik hubungan betaine terhadap pergeseran viskositas (8a); grafik hubungan gliserin terhadap pergeseran viskositas (8b) ... 42

Gambar 9. Grafik hubungan betaine terhadap respon ketahanan busa (9a); grafik hubungan gliserin terhadap respon ketahanan busa (9b) ... 44

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan uji sifat fisis sabun cair transparan ... 51

Lampiran 2. Notasi dan rancangan desain faktorial ... 55

Lampiran 3. Perhitungan kestabilan sabun cair transparan ... 56

Lampiran 4. Perhitungan desain faktorial ... 58

(16)

xvi INTISARI

Penelitian tentang pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan sabun cair transparan bertujuan untuk mengevaluasi respon dari faktor yang dipilih yaitu gliserin dancocoamidopropyl betainepada level yang diteliti.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode desain faktorial dua faktor, yaitu gliserin-cocoamidopropyl betaine dan dua level, yaitu level rendah-tinggi. Evaluasi dilakukan terhadap parameter sifat fisis, yaitu viskositas dan ketahanan busa sabun cair transparan. Kestabilan sediaan juga diteliti dan diamati dalam waktu selama satu bulan. Analisis data dilakukan dengan ANOVA pada program Desain Expert 7.0 dengan ukuran signifikan jika p < 0,05.

Hasil dari penelitian ini adalah hanya faktor cocoamidopropyl betaine

berpengaruh signifikan terhadap parameter viskositas sabun cair transparan. Sedangkan pada parameter ketahanan busa yang diamati pada level yang diteliti, tidak ditemukan faktor yang signifikan, baik pada gliserin maupun

cocoamidopropyl betaine.

(17)

xvii ABSTRACT

Research on the effect of adding glycerine as thickening agent and cocoamidopropyl betaine as surfactant to the viscosity and foam stability transparent liquid soap preparations was to evaluate the response of the selected factors that has been chosen in this case is glycerin and cocoamidopropyl betaine at the observed level.

This study was experimental research with two factor glycerin-cocoamidopropyl betaine and two levels low level-high level factorial design methods. Evaluation in physical properties such as viscosity and foam stability of liquid soap transparent had been done. The stability of liquid soap transparent in one month time. Data analysis was performed with ANOVA on Design Expert 7.0 program to measure significant if p <0.05.

The results of this study is only cocoamidopropyl betaine that significant factors had been found on the viscosity parameter of transparent liquid soap. While the foam stability parameters were observed at the level studied, no significant factor had been found, neither glycerine nor cocoamidopropyl betaine.

(18)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutup seluruh tubuh dan

melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Selain untuk melindungi

tubuh, kulit juga berfungsi sebagai tempat ekskresi. Hasil ekskresi yang

bercampur dengan kotoran, debu, dan bakteri sering kali dapat menyebabkan

infeksi pada kulit maupun bau tidak sedap. Sehingga untuk menjaga agar kulit

tetap bersih dan sehat adalah dengan membersihkan seluruh anggota badan

(mandi) secara teratur. Selain aroma pada sabun dapat membuat tubuh dan pikiran

terasa lebih segar, juga mampu membuat penampilan lebih mantap dan percaya

diri (Anonim, 2002).

Kenyataan sehari-hari memperlihatkan bahwa kebutuhan mandi memakai

sabun mandi adalah ciri manusia modern. Dengan pemakaian sabun maka produk

metabolisme kulit (seperti sebum), lapisan kulit yang mati, residu keringat,

kotoran, debu, dan mikroorganisme dapat dihilangkan (Izhar, 2009). Berbagai

macam jenis sabun telah beredar di masyarakat, salah satunya adalah sabun cair.

Sabun cair merupakan produk yang lebih banyak disukai dibandingkan sabun

padat oleh masyarakat sekarang ini, karena sabun cair lebih higienis dalam

penyimpanannya dan lebih praktis dibawa kemana-mana (Perdana, dan Hakim,

2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam memilih sabun mandi

adalah kemampuan membersihkan kotoran. Konsumen beranggapan sabun

(19)

dengan busa yang melimpah, mempunyai kemampuan membersihkan kotoran

dengan baik (Izhar, 2009). Menurut Schramm (2005), busa (foam) adalah suatu

dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan.

Busa yang melimpah dapat diperoleh dari penggunaan foaming agent, yaitu

surfaktan. Surfaktan yang sering digunakan dalam pembuatan sabun, salah

satunya adalah cocoamidopropyl betaine, yang pada keterangan selanjutnya

disebutbetaine.Daya busabetainerelatif stabil serta kompatibel dengan surfaktan

anionik, kationik, maupun nonionik. Selain itu, uji keamanan pada hewan

menunjukkan bahwa betaine mempunyai potensial iritasi mata dan kulit yang

sangat rendah (Rieger and Rhein, 1997). Namun busa sebenarnya tergolong sulit

untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan

pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi viskositas sabun cair adalah

gliserin. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu sediaan sabun cair untuk

digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah dari

tangan. Selain itu, viskositas juga berpengaruh terhadap efisiensi pengisian

produk dan pengemasan (Leidetrier, 1995). Dengan demikian, diketahui bahwa

bahan pengental (thickening agent) atau viscosity modifier memainkan peran

penting dalam formulasi sediaan kosmetik (Karsheva, 2007). Pada penelitian ini

digunakan gliserin sebagai bahan pengental karena selain dapat berfungsi sebagai

humectant, gliserin juga dapat berfungsi sebagai thickening agent pada sediaan

kosmetik. Humektan merupakan bahan kosmetik yang dapat meningkatkan

(20)

atau mempertahankan air yang ada dalam kandungan kulit, sehingga diperoleh

sensasi lembab di kulit (Rieger, 2000). Gliserin juga dapat mudah larut dalam

alkohol maupun air. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan etanol, tapi

karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan didalamnya kecuali

kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan (Anonim, 2010).

Karena diperkirakan bahwa kemungkinan penambahan gliserin dan

betainemempunyai pengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sabun cair,

maka perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan rancangan percobaan

dengan metode desain faktorial dua level. Desain faktorial dipilih sebagai

rancangan percobaan karena mampu melihat secara simultan respon dari

faktor-faktor sabun cair pada level faktor-faktor yang di teliti, sehingga akan diperoleh

informasi signifikansi faktor terhadap respon pada level yang diteliti tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan desain faktorial dua level yaitu adanya dua

faktor (betainedan gliserin) yang masing-masing faktor diuji pada dua level yang

berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Dari perhitungan statistik design

expert, maka dapat diketahui manakah faktor betaine atau gliserin yang

berpengaruh secara signifikan terhadap respon viskositas dan ketahanan busa

sabun cair.

Dengan adanya latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian

mengenai komposisi gliserin dan betaine dalam suatu formula sabun cair,

sehingga sabun cair yang dihasilkan diharapkan memenuhi parameter kualitas

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti

yaitu: Adakah pengaruh yang signifikan pada variasi penambahan gliserin dan

cocoamidopropyl betaine pada level yang diteliti terhadap viskositas dan

ketahanan busa sabun cair transparan?

C. Keaslian Karya

Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai pengaruh penambahan

bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap

viskositas dan ketahanan busa pada sediaan sabun cair transparan : aplikasi desain

faktorial, belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi dunia ilmu

pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi desain

faktorial dalam evaluasi respon dalam sediaan sabun cair.

2. Manfaat metodologis

Diharapkan adanya pengembangan dan aplikasi metode desain

faktorial untuk melihat pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan

surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas dan ketahanan busa

(22)

3. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan

sabun cair transparan terutama menyangkut jumlah bahan pengental gliserin

dan surfaktancocoamidopropyl betaine yang digunakan.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

signifikan dalam memberikan respon terhadap sifat fisis sediaan sabun cair

transparan sehingga didapatkan faktor-faktor yang berperan dalam sifat sediaan

(23)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sabun Cair 1. Pengertian sabun cair

Sabun cair merupakan sediaan yang mengandung surfaktan-surfaktan yang

dengan mudah dapat ditempatkan pada botol plastik squeeze atau wadah pompa

sederhana. Formulasinya mengandung berbagai macam campuran surfaktan

seperti misalnya alpha olefin sulphonates, lauryl sulphates, atau lauryl ether

sulphates. Foam boosters seperti cocoamides juga ditambahkan pada

formulasinya. Moisturizing agent sepertiglycerinejuga perlu ditambahkan. Pada

banyak kasus juga ditambahkan fragrantuntuk menimbulkan bau menyenangkan

dari sabun cair (Tadros, 2005).

2. Mekanisme pembersihan sabun cair

Surfaktan pada sabun cair akan menurunkan tegangan antarmuka antara

kotoran dengan permukaan kulit. Bagian polar dari surfaktan akan berinteraksi

dengan air, sedangkan bagian non polar akan berinteraksi dengan kotoran yang

biasanya berupa lemak. Surfaktan-surfaktan tersebut akan menyusun diri

membentuk micel dengan kotoran terjebak di bagian dalamnya. Bagian luar micel

yang merupakan gugus polar mudah berinteraki dengan air, sehingga saat

pembilasan micel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga akan ikut

(24)

3. Formulasi sabun cair

Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula sabun cair meliputi:

a. Surfaktan primer yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan

anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat

pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan

kationik sebenarnya juga bisa digunakan, namun sifatnya iritatif khususnya

untuk mata, sehingga perlu dikombinasi dengan surfaktan nonionik atau

amfoter (Rieger, 2000).

b. Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant yang bekerja memperbaiki

detergensi dan pembusaan. Surfaktan amfoter banyak digunakan karena dapat

melembutkan kulit. Beberapa jenis nonionik juga dapat digunakan karena

dapat memperbanyak dan menstabilkan busa (Rieger, 2000).

c. Bahan aditif berfungsi untuk menunjang formula dan memberikan

karakteristik tertentu. Bahan aditif yang biasa digunakan, antara lain :

1) Pengatur viskositas: untuk meningkatkan viskositas dapat digunakan

elektrolit (1-4%b/b ammonium klorida atau sodium klorida) gum (karaya,

tragakan), alginat, derivat selulosa (hidroksietil, hidrosipropil,

karboksimetil), dan polimer karboksivinil (carbopol) (Rieger, 2000).

Selain itu, gliserin juga dapat digunakan sebagai thickening agent dalam

sediaan topikal dengan rentang konsentrasi 0,2-65,7% (Smolinske, 1992).

2) Kondisioner kulit: saat ini konsumen tidak hanya menginginkan sabun

yang dapat membersihkan kulit, tetapi juga menimbulkan kesan lembut

(25)

maka perlu ditambahkan senyawa yang dapat meningkatkan kelembutan

(mildness) di kulit setelah pemakaian sabun. Gliserin dan asam lemak

bebas merupakan bahan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. (Barelet al, 2001).

3) Agen pengkelat: berfungsi untuk mencegah pembentukan dan deposisi

sabun Ca dan Mg pada saat pencucian dengan air sadah. Asam sitrat dapat

digunakan sebagai agen pengkelat (Hambali et al., 2005).

4) Agen penjernih (clarifying agent): pada pembuatan sabun cair, gliserin

berfungsi dalam pembuatan struktur transparan (Ghaim and Elizabeth,

1995).

5) Pengawet: bahan-bahan dalam sabun cair modern umumnya retan terhadap

jamur, sehingga perlu ditambahkan pengawet seperti natrium klorida

(NaCl). NaCl pada formulasi sabun cair transparan berfungsi pengawet

(Hambali et al., 2005).

6) Fragrance: merupakan bahan aditif yang paling penting pada produk

cleansing, agar dapat diterima oleh konsumen. Dalam penggunaannya

harus diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (tidak berpengaruh

pada viskositas dan stabilitas sediaan). Fragrance yang digunakan tidak

boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan pada produk

akhir (Barelet al, 2001).

7) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH sabun cair,

biasanya 4,5 – 7. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam

(26)

B. Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada

konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsopsi pada permukaan (surface)

ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi

bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka

menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur,

sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah

satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut

juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk

membuat sistem tetap dalam dua fase yang ridak bercampur, sehingga terbentuk

batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan

muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan

antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).

Pemberian flavon pada tikus yang menunjukkan induksi konjugasi enzim

seperti glutathione-S-transferase dalam mendetoksifikasi karsinogenik

intermediet (Trela dan Carlson, 1987). Flavonoid berefek secara luas pada proses

biologis yang fundamental seperti gap junctional intercellular communication

(GJIC) (Chaumontet et al., 1994). Kemampuannya dalam meningkatkan GJIC

dapat bertanggung-jawab sebagai agen promosi antitumor (antitumor-promoting

(27)

C. Gliserin

Gambar 1. Struktur gliserin

Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat

bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan

etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan

didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin

bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam

hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai

emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi

0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek

iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).

Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan

pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke

campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk

stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent

yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga

dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,

2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur

transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).

C. Gliserin

Gambar 1. Struktur gliserin

Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat

bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan

etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan

didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin

bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam

hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai

emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi

0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek

iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).

Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan

pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke

campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk

stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent

yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga

dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,

2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur

transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).

C. Gliserin

Gambar 1. Struktur gliserin

Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat

bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan

etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan

didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin

bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam

hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai

emollientdan thickening agent dalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi

0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek

iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).

Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan

pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke

campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk

stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent

yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga

dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,

2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur

(28)

D. Cocoamidopropyl betaine

Gambar 2. StrukturCocoamidopropyl betaine

Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan

pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel et

al, 2001). Daya busanya relatif stabil baik pada soft water dan hard water, serta

kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik (Rieger and

Rhein, 1997).

Dari penelitian Teglia and Secchi (1994) dikatakan bahwa betaine

memiliki efek antiiritan yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke

larutan sodium lauril sulfat (SLS). Baik wheat protein maupun betaine dapat

melindungi kulit dari iritasi (Barelet al, 2001).

Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang pada

konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface)

ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi

bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka (Rosen, 2004).

E. Sifat Fisis

Sifat fisis sabun perlu dievaluasi untuk menjamin sabun cair transparan

yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Beberapa sifat fisis yang

(29)

1. Busa

Busa (foam) adalah suatu dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam

fase kontinyu yang berupa cairan (Schramm, 2005). Karena adanya perbedaan

densitas yang signifikan antara gelembung gas dan medium, maka sistem akan

memisah menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung gas akan naik ke

atas. Ketika gelembung gas dimasukkan di bawah permukaan cairan, maka

gelembung itu akan langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya

gravitasi atau gaya tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan

berbusa kecuali diberi surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan

mengurangi ketegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi

gas dalam cairan (Exerowa, 1998).

Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke

dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka

gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau

disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas

lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan

yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak

bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan.

Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling mendekat,

sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling bergabung

(30)

Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan

parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu. Parameter

tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa.

“waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk

menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).

Pada penelitian, evaluasi ketahanan busa dilakukan dengan metode yang

diadaptasi dari prosedur pengukuran busa oleh Evren (2007) yang telah

dimodifikasi. Pengukuran tinggi busa Evren (2007) dilakukan dengan cara

sebanyak 0,5 g sampel sabun cair diencerkan dengan 50 ml (40oC) aquadest dan

diaduk denganmagnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojog selama

20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit ke-0

dan ke-5. Pada saat penggojokan 20 kali dimodifikasi dengan menggunakan

vortexdengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Modifikasi ini bertujuan untuk

menyamakan perlakuan dari penggojogan tabung pada tiap pengujian. Sehingga

diharapkan kecepatan konstan untuk penggojogan tabung yang menggunakan

vortexlebih baik dibandingan secara manual.

2. Viskositas

Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas (),

digambarkan dengan persamaan matematika :

(31)

Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress)

akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk

senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati.

Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer

umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian meliputi

plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).

Gambar 3. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)

Pada tipe pseudoplastis, viskositas akan menurun dengan meningkatnya

kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir

pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air

seperti tragakan, alginat, metil selulosa, dan polivinilpirolidon. Dalam suatu

larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan

saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak

bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun

diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan

memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan

(32)

Gambar 4. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)

Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena

thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang

kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga

menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser

dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun

proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari

tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).

F. Desain Faktorial

Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan

mengevaluasi secara obyektif respon dari besaran yang berpengaruh terhadap

kualitas produk (Bolton, 1997). Penelitian desain faktorial yang paling sederhana

adalah penelitian dengan 2 faktor dan 2 level (Armstrong, 1996). Desain faktorial

dua level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang masing masing faktor diuji

(33)

Faktor adalah variabel eksperimental yang dapat ditetapkan secara

independen atau bebas, sedangkan respon adalah nilai yang terukur sebagai hasil

dari percobaan. Percobaan skrinning dilakukan untuk mendeterminasi variabel

percobaam dan interaksinya yang memiliki efek yang signifikan pada hasil yang

terukur, yaitu respon-respon yang diamati (Lundstedtet al, 1998).

Desain faktorial digunakan sebagai langkah untuk menginvestigasi dalam

melihat efek atau interaksi dari faktor-faktor yang ada. Besarnya efek yang

disebabkan oleh salah satu faktor yang ditetapkan atau diganti akan berpengaruh

juga terhadap faktor yang lain. Langkah dari desain faktorial dimulai dengan

usaha untuk menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana

yang tidak, yaitu dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara

stimultan, lalu menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor

tersebut (Amstrong, 1996).

Notasi yang digunakan pada desain faktorial biasa digunakan pada level

tinggi dan digambarkan dengan nilai “a” untuk faktor A dan B sama-sama pada

level tinggi akan digambarkan dengan “ab”. Percobaan di mana semua faktor

berada pada level rendah dinotasikan dengan nilai (1), dan selanjutnya akan

dilihat interaksi diantara faktor-faktor tersebut (Amstrong, 1996).

Dengan desain faktorial dapat didesain suatu percobaan untuk mengetahui

faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon (Bolton, 1997).

Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level yang akan

(34)

Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dua level

Jumlah gliserin - = level rendah

+ = level tinggi

Jumlahbetaine - = level rendah

+ = level tinggi

Formula 1 = faktor A pada level rendah, faktor B pada level rendah

Formula a = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level rendah

Formula b = faktor A pada level rendah, faktor B pada level tinggi

Formula ab = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level tinggi

Rumus yang digunakan dalam desain faktorial :

Y = b0+ b1(XA) + b2(XB) + b12(XA)(XB)...(1)

Dengan :

Y = respon hasil atau sifat yang diamati, yaitu viskositas dan

ketahanan busa sabun cair

XA, XB = level faktor A, level faktor B

b0,b1,b2,b12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan

Dari persamaan (1) dan data yang diperoleh dapat dibuat contour plot

suatu respon tertentu yang sangat berguna dalam memilih komposisi campuran

(35)

faktor, maupun efek interaksinya dapat diperoleh dengan menghitung selisih

antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level rendah.

Konsep perhitungan efek menurut Bolton (1997) sebagai berikut:

Efek faktor A =

Efek faktor B =

Efek interaksi =

Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini

memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek

interaksi antar faktor (Muth, 1999).

G. Landasan Teori

Untuk memperoleh sediaan sabun cair yang baik, maka salah satu hal yang

perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal

tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan kulit juga menentukan

persepsi dan penerimaan konsumen.

Umumnya untuk memperoleh busa yang melimpah, digunakan kombinasi

surfaktan. Dengan adanya surfaktan, maka tegangan antarmuka gas/cairan akan

berkurang sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan. Surfaktan yang

biasa digunakan pada sabun cair adalahbetaine. Daya busanya relatif stabil, serta

kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik.

Namun terkadang campuran surfaktan saja tidak cukup memberikan busa

yang stabil, karena busa sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan

(36)

koalesen dan penipisan (thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan

(drainage) serta pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri. Salah

satu cara untuk mencegahthinningpada busa adalah meningkatkan viskositas dari

sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga tidak terjadi film

rupture. Karena itu digunakan gliserin yang merupakan thickening agent yang

yang sudah biasa digunakan untuk meningkatkan viskositas (Tandros, 2005).

Desain faktorial dipilih sebagai rancangan percobaan karena mampu

menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana yang tidak, yaitu

dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara simultan, lalu

menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor tersebut. Desain

faktorial dengan dua faktor dan dua level yaitubetainedan gliserin diuji pada dua

level yang berbeda (tinggi dan rendah) agar dapat diperoleh faktor yang

memberikan pengaruh signifikan terhadap viskositas dan ketahanan busa sabun

cair, apakah berasal dari salah satu faktor atau berasal dari interaksinya.

H. Hipotesis

Ada pengaruh yang signifikan pada variasi betain dan gliserin terhadap

(37)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan desain faktorial

dua faktor dan dua level.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebasdalam penelitian ini adalah komposisigliserin danbetaine, dengan level rendah sebesar 30 gram dan level tinggi sebesar 38 gram.

b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisis sabun cair yang meliputi viskositas dan ketahanan busa.

c. Variabel pengacau terkendalidalam penelitian ini adalah alat percobaan, komposisi bahan sabun cair yang digunakan selain gliserin dan betaine,

kecepatan putar stirrer, dan lama waktu pencampuran.

d. Variabel pengacau tak terkendalidalam penelitian ini adalah perubahan suhu ruangan dan kelembaban udara tempat menyimpan yang

mempengaruhi kestabilan sifat fisik sabun cair dan jumlah gas (udara)

(38)

2. Definisi Operasional

a. Sabun cair adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas surfaktan,

pengental, air, serta bahan aditif lain dan dibuat sesuai prosedur

pembuatan sabun cair pada penelitian ini.

b. Gliserin merupakanthickening agent yang dapat meningkatkan viskositas

dan biasanya digunakan untuk stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi.

Gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur transparan dalam

sabun cair.

c. Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan

pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik.

Daya busanya relatif stabil, serta kompatibel dengan surfaktan anionik,

kationik, maupun nonionik

d. Viskositas adalah tahanan sabun cair untuk mengalir yang diukur dengan

menggunakanviscotesterdan dinyatakan dalam satuan d.Pas.

e. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang

selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa

pada menit ke-0 setelah di vortex dengan tinggi busa pada menit ke-5

setelah divortex dan dinyatakan dalam satuan cm.

f. Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan

mengevaluasi secara obyektif efek dari faktor yang berpengaruh terhadap

kualitas produk.

g. Faktor adalah rancangan variabel yang dapat ditetapkan secara

(39)

h. Level adalah tingkatan komposisi dari rancangan desain faktorial yang

terdiri atas level tinggi dan level rendah. Notasi (+) untuk mewakili level

tinggi dan notasi (–) untuk mewakili level rendah.

i. Respon adalah nilai yang terukur yang didapat dari hasil percobaan

menggunakan metode desain faktorial.

j. Efek merupakan perubahan respon yang disebabkan variasi level dan

faktor. Dalam penelitian ini efek yang berpengaruh secara signifikan

adalah efek yang ingin dicapai.

C. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat

glassware PYREX-Germany, cawan porselen, neraca Mettler-Toledo GB3002,

neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate Cenco, stirrer magnetic,

thermometer, pH meter Merck, vortex Laboratorium Farmasi USD, viscotester

seri VT 04 RHION-Japan, tabung reaksi berskala dan bertutup FORTUNA

W.- Germany.

D. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gliserin kualitas

farmasetis (Brataco), sodium lauryl sulfate kualitas farmasetis (Brataco), sodium

chloride kualitas farmasetis (Brataco), cocoamidopropyl betaine kualitas

farmasetis (Brataco), asam sitrat (Laboratorium Farmasi USD), minyak mawar

(40)

E. Tata Cara Penelitian 1. Desain Formula

A Sodium lauryl sulfate 40,0 gram

B Sodium chloride 12,0 gram

C Cocoamidopropyl betaine 33,0 gram

Gliserin 33,0 gram

Asam sitrat 25%b/v q.s pH 5,0 – 6,0

Fragrance 3 mL

Aqua demineralisata ad 400,00

Penambahan bahan dilakukan pada gliserin dan betaine. Masing-masing

untuk level rendah sebesar 30 gram dan level tingginya sebesar 38 gram. Jumlah

gliserin dan betaineyang digunakan baik untuk level rendah maupun level tinggi

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel II. Desain penelitian

Formula Betaine(g) Gliserin (g)

1 30 30

a 38 30

b 30 38

(41)

Tabel III. Formula sabun cair transparant

Komposisi (gram)

Formula (gram)

1 a b ab

Aqua demineralisata 290 290 290 290

Sodium laureth sulfate 40 40 40 40

Sodium Chloride 12 12 12 12

Cocamidopropyl Betaine 30 38 30 38

Gliserin 30 30 38 38

fragrance 3 mL 3 mL 3 mL 3 mL

Asam sitrat q.s q.s q.s q.s

Desain formula sabun cair ini dibuat dalam bobot 400 gram untuk

menyesuaikan kondisi pada pengukuran viskositas. Pada pengukuran viskositas

diperlukan 250 gram sediaan, sehingga peneliti membuat formulasi sediaan

sebanyak 400 gram untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan sediaan selama

pengukuran parameter sifat fisis sabun cair.

2. Pembuatan Sabun Cair

Bagian A: Setengah bagian aqua demineralisata dimasukkan ke dalam

beaker glassdan dipanaskan hingga suhu 50oC. Kemudian ditambahkan dengan

sodium lauryl sulfate sebanyak 40 gram sambil diaduk menggunakan stirrer

magneticdengan kecepatan 500 rpm hingga larut.

Bagian B: 12 gram sodium chloride dilarutkan ke dalam sebagian aqua

demineralisata. Kemudian larutan sodium chloride dimasukkan ke dalam bagian

(42)

Bagian C: Secara berurutan, betaine dan gliserin ditambahkan ke dalam

campuran bagian A dan B. Kemudian diaduk sampai homogen dan ditambahkan

asam sitrat 25%b/v secukupnya sampai sediaan sabun cair mendekati pH 5,0-6,0.

Lalu tambahkanfragrancesebanyak 3 mL dan diaduk lagi sampai homogen.

3. Pengujian Viskositas dan Ketahanan Busa a. Uji Viskositas

Sabun cair dimasukkan perlahan-lahan ke dalam beaker portable

viscotester hingga batas fluid mark pada rotor yang digunakan (untuk sabun

cair pada formula ini digunakan rotor no.2). Lalu didiamkan terlebih dahulu

selama 5 menit untuk memastikan kondisi sabun cair yang stabil. Kemudian

viscotester dinyalakan dan viskositas sabun cair dilihat dengan mengamati

gerakan jarum penunjuk viskositas (Instruction Manual Viscotester

VT-03E/VT-04E). Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14 hari, 21 hari, 30

hari setelah pembuatan sabun cair.

b. Uji Ketahanan Busa

Uji ketahanan busa dilakukan dengan cara sabun cair ditimbang

sebesar 0,5 gram dan dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Sebanyak 10 ml

larutan campuran dimasukkan perlahan-lahan lewat dinding ke dalam tabung

reaksi berskala ukuran 25 ml. Kemudian bagian atas tabung reaksi ditutup dan

di vortex dengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Tinggi busa yang

didapat pada menit ke-0 dan menit ke-5 dicatat. Selisih tinggi busa dihitung

sebagai nilai ketahanan busa. Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14

(43)

F. Analisis Hasil

Data kuantitatif yang diperoleh adalah data uji viskositas dan ketahanan

busa pada sediaan sabun cair. Dengan metode desain faktorial dapat dihitung

besarnya efek gliserin, betaine, dan interaksinya sehingga dapat diketahui faktor

yang signifikan terhadap sabun cair yang dibuat. Viskositas dan ketahanan busa

akan dianalisis menggunakan progam Design Expert 7.0, sehingga diperoleh

imaging factorial design yang menginteprestasikan interaksi dari kedua faktor

pada dua level untuk masing-masing respon.

Untuk nilai respon viskositas dan ketahanan busa didapat dari hasil

pengamatan. Nilai respon pada masing-masing formula pada waktu pengamatan

48 jam dan respon dari pergeseran viskositas dan ketahanan busa akan dianalisis

dengan menggunakan Design Expert 7.0 Analisis statistik yang digunakan pada

(44)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Formulasi Sabun Cair

Formula sabun cair transparan yang digunakan merupakan hasil

modifikasi dari formula standar sabun cair yang didapatkan dari formulasi produk

sabun cair Pilot Chemical Company. Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam

formula sabun cair ini meliputi surfaktan primer, surfaktan sekunder, dan bahan

aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan utama karena bertanggung jawab atas

sifat detergensi dan pembersihan kulit. Larutan surfaktan akan membasahi kotoran

lewat penurunan tegangan muka. Kemudian kotoran pada kulit akan terdispersi

pada larutan surfaktan tersebut dan menjadi mudah dibilas oleh air (Rieger, 2000).

Pada pembuatan sabun cair ini digunakan sodium lauryl sulfat (SLS),

betaine, NaCl, asam sitrat, gliserin, aqua demineralisata, dan perfume. SLS dipilih

sebagai surfaktan primer danbetainesebagai surfaktan sekunder. SLS merupakan

surfaktan anionik yang memiliki karakteristik sebagai pembentuk busa yang baik,

memiliki daya pembersih yang tinggi, dan stabil pada air sadah. Sifatnya sebagai

pembentuk busa dan pembersih yang baik dapat terlihat dari nilai HLB SLS yang

tinggi, yaitu 40. Surfaktan memiliki sifat sebagai pembersih yang baik bila

memiliki nilai HLB di atas 12, yang berarti surfaktan tersebut cenderung bersifat

hidrofil, sehingga saat penggunaannya akan mudah terbilas oleh air. (Liebermann,

1996). Dalam proses pembuatan sabun cair digunakan air hangat untuk

melarutkan SLS, karena SLS bersifat sukar larut dalam air dingin, namun

(45)

kelarutannya meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Rieger, 2000). SLS

sebagai surfaktan anionik mempunyai kemampuan membentuk busa yang baik,

sedangkanbetaine mempunyai kemampuan membentuk busa, menstabilkan busa

yang terbentuk, dan mengurangi sifat iritasi dari surfaktan anionik yang ada

(Rieger, 1997).

Apabila SLS sudah larut, dilanjutkan dengan penambahan natrium klorida

(NaCl). Fungsi NaCl pada formulasi ini adalah untuk menurunkan kekentalan

sabun cair. Karena menurut hasil penelitian yang didapat, pada konsentrasi NaCl

0,5-1%b/v sabun cair yang dihasilkan mempunyai viskositas yang sangat tinggi

dan sukar dituang. Sedangkan pada konsentrasi 3%b/v viskositas sabun cair

menurun. Karena dibutuhkan sediaan sabun cair yang mudah dituang, maka

digunakan konsentrasi NaCl yang tinggi untuk menurunkan viskositasnya. NaCl

yang merupakan garam akan terdisosiasi sempurna saat berada dalam air menjadi

Na+ dan Cl-. Karena kekuatan disosiasi NaCl lebih besar daripada RCOONa,

maka reaksi akan bergeser sehingga terbentuk molekul RCOONa lagi. Karena

ion-ion Na+ menutupi sebagian gugus RCOO- pada surfaktan, maka muatan

menjadi netral, gaya tolak-menolak berkurang, dan viskositas menurun. Selain

fungsi NaCl sebagai viscosity modifier yang sifatnya menurunkan kekentalan,

NaCl pada formulasi sabun cair juga dapat berfungsi pengawet (Hambali et al.,

2005).

Setelah campuran SLS, NaCl danbetainhomogen, kemudian ditambahkan

gliserin yang berfungsi sebagai bahan pengental, pengawet dan penjernih.

(46)

Gliserin merupakan thickening agent yang biasanya digunakan untuk stabilisasi

larutan, emulsi dan suspensi (Ansel, 1989). Gliserin juga berfungsi sebagai

pembentuk struktur transparan dalam sabun cair (Ghaim and Elizabeth, 1995).

Selain itu, gliserin juga dapat berfungsi sebagai humektan, sehingga dapat

melembabkan kulit. Kelembaban kulit perlu dijaga, karena dengan penggunaan

sabun, mekanisme alami (lapisan hidrolipid) yang membantu menjaga

kelembaban kulit akan hilang, sehingga dapat menyebabkan dryness, roughness,

danflakines (Anonim, 2009).Sehingga diperlukan gliserin yang dapat membantu

mengembalikan kelembaban kulit.

Kemudian asam sitrat ditambahkan sebagai pH adjuster. pH sabun cair

sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu sekitar 4,2-6,2. pH sabun cair yang

terlalu asam dapat mengiritasi kulit. Sedangkan pH sabun cair yang lebih dari 9.2

dapat meningkatkan pH permukaan kulit dan akan membuat kulit relatif lebih

alkalin, yang mengundang pertumbuhanPropionibacterium. Oleh karena itu lebih

baik untuk menggunakan sabun cair dengan pH yang lebih rendah, khususnya

untuk orang rentan terhadap jerawat (Almazini, 2009). Pembersih asam kurang

mengiritasi daripada pembersih yang bersifat netral dan alkalin, dan orang yang

rentan terhadap kulit kering direkomendasikan untuk menggunakan pembersih

bersifat asam (Almazini,2009). Sehingga pada pembuatannya, asam sitrat

diberikan per tetes sampai pH larutan sabun cair mendekati pH 5,0-6,0 supaya

sabun cair yang dihasilkan tidak merubah kelemabapan kulit alami. Diharapkan

sabun cair dengan pH 5,0-6,0 tidak bersifat terlalu asam karena dapat mengiritasi

(47)

dapat membuat kulit kering dan berjerawat. Selain itu asam sitrat juga digunakan

sebagai agen pengkelat yang berfungsi untuk mencegah pembentukan dan

deposisi sabun Ca dan Mg pada saat pencucian dengan air sadah (Hambali et al.,

2005). Agen pengkelat bekerja dengan cara menciptakan kondisi keasaman yang

tepat sehingga proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik (dapat

mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas) serta mengikat

mineral-mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan-bahan lain yang berfungsi

untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada

fungsi utamanya (Priyono, 2009).

Untuk pembuatan sabun cair ini digunakan air demineralisata. Tujuannya

adalah untuk menghindari keberadaan mineral-mineral seperti Ca dan Mg yang

mungkin terdapat dalam air. Karena ion-ion tersebut dapat berinteraksi dengan

surfaktan dengan cara menutup muatan negatif pada surfaktan, sehingga

viskositas menjadi lebih sulit dikendalikan. Selain itu pada proses pencampuran

sebaiknya dilakukan pengadukan perlahan. Hal ini supaya tidak banyak udara

yang masuk dan terjebak sehingga mengakibatkan munculnya banyak gelembung

pada sediaan sabun cair.

Pada formula inifragranceditambahkan pada saat kondisi suhu sabun cair

setelah pencampuran telah menurun, sehingga dapat mencegah menguapnya

fragrancesebelum proses pembuatan selesai. Fragrance disini berfungsi sebagai

bahan pendukung yang memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen

(48)

B. Sifat Fisis dan Stabilitas Sabun Cair

Sifat fisis dan stabilitas merupakan unsur penting yang berperan dalam

menentukan kualitas produk dan penerimaan produk oleh konsumen. Parameter

sifat fisis dan kestabilan sabun cair transparan yang dievaluasi adalah viskositas

dan ketahanan membentuk busa yang diamati selama 1 bulan.

1. Sifat Fisis Sabun Cair

Parameter ketahanan busa penting untuk diketahui, karena pada umumnya

konsumen beranggapan sabun dengan busa yang melimpah, mempunyai

kemampuan membersihkan kotoran dengan baik (Izhar, 2009). Ketahanan busa

sebenarnya tergolong sulit untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran

cairan (drainage) dan pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri.

Viskositas sediaan juga merupakan salah satu parameter yang dapat

mempengaruhi sifat fisis sabun cair. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu

sediaan sabun cair untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak

mudah mengalir tumpah dari tangan. Viskositas yang baik akan menjamin

penerimaan konsumen, dimana konsumen akan merasa nyaman saat menuangkan

sediaan karena mudah dituang, Selain itu, viskositas juga berpengaruh terhadap

efisiensi pengisian produk dan pengemasan (Leidetrier, 1995). Dengan demikian,

diketahui bahwa bahan pengental (thickening agent) atau pengatur viskositas

(viscosity modifier) memainkan peran penting dalam formulasi sediaan kosmetik

(49)

Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisis dan stabilitas sabun cair

Formula

Viskositas

(d.Pas)

Ketahanan busa

(cm)

1 50,831,72 0,400,13

A 24,171,72 0,330,10

B 49,831,47 0,330,10

AB 22,501,05 0,330,10

Pada tabel IV, terlihat bahwa viskositas sabun cair yang paling tinggi

adalah pada formula 1 dan terdapat juga pada formula B karena nilainya tidak

berbeda jauh. Sedangkan ketahanan busa paling baik terdapat pada formula A, B

dan AB, kemudian di ikuti dengan formula 1 yang mempunyai ketahanan busa

lebih rendah.

Jika dilihat dari hasil pengamatan, penggunaan betaine pada level tinggi

dapat menyebabkan penurunan viskositas sabun cair. Hal ini dapat ditunjukan dari

nilai viskositas yang didapatkan pada formula A dan AB, dimana kedua formula

tersebut menggunakanbetainepada level tinggi. Sedangkan pada formula 1 dan B

terjadi peningkatan viskositas, ini disebabkan karena penambahan gliserin pada

level tinggi dapat menambah kekentalan sabun cair.

Seiring dengan meningkatnya jumlah betaine dan menurunnya jumlah

gliserin yang ditambahkan, maka viskositas sabun cair tersebut mengalami

penurunan. Sebaliknya, jika penambahan gliserin semakin meningkat dan

menurunnya jumlah betaine yang ditambahkan, viskositas sabun cair akan

(50)

sehingga viskositas sabun cair akan meningkat seiring dengan bertambahnya

jumlah gliserin yang ditambahkan.

Pada uji ketahanan busa, formula 1 menunjukkan nilai ketahanan busa

yang sedikit lebih rendah daripada ketiga formula lainnya. Ini disebabkan karena

formula 1 menggunakan betaine dan gliserin pada level rendah, sehingga

ketahanan busa yang dihasilkan lebih rendah daripada formula lain yang

menggunakan betaine atau gliserin dan maupun keduanya dalam jumlah yang

lebih besar. Dengan semakin banyaknya jumlahbetaine yang ditambahkan, maka

semakin banyak busa yang dapat dihasilkan oleh sabun cair. Dan dengan adanya

gliserin, maka gelembung busa yang dihasilkan akan terhambat untuk saling

bergabung dan mencegah pecahnya lapisan film secara cepat karena fungsi

polimer pada gliserin akan mengelilingi busa dan menciptakan halangan sterik

antar gelembung busa. Gliserin merupakan poliol yang terdiri dari molekul

dengan tiga gugus hidroksil disebut triol. Poliol juga termasuk polimer. Sehingga

pada gliserin level tinggi, ketahanan busa sabun cair dapat meningkat.

2. Kestabilan Sabun Cair

Kestabilan sabun cair dapat dilihat dari parameter sifat fisis yang diamati

dengan cara melihat perubahannya selama penyimpanan dalam waktu 30 hari

setelah pembuatan sabun cair. Dalam waktu selama 30 hari, dipilih 5 titik waktu

(51)

a. Profil kestabilan viskositas

Gambar 5. Profil kestabilan viskositas

Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya

mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.

Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari

tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam

penyimpanan selama satu bulan.

Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30

Formula p

Gambar 5. Profil kestabilan viskositas

Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya

mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.

Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari

tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam

penyimpanan selama satu bulan.

Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30

Formula p

Gambar 5. Profil kestabilan viskositas

Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya

mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.

Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari

tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam

penyimpanan selama satu bulan.

Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30

(52)

b. Profil kestabilan ketahanan busa

Gambar 6. Profil kestabilan ketahanan busa

Jika dilihat pada gambar 6, di awal pembuatan, keempat formula

mempunyai ketahanan busa yang baik, tetapi seiringnya lama penyimpanan,

terjadi fluktuasi ketahanan busa dan rata-rata ketahanan busanya menurun.

Terjadinya fluktuasi dapat disebabkan karena ukuran busa yang dihasilkan pada

penelitian sangat bervariasi, sehingga kecepatan hilangnya busa juga bervariasi.

Misal, jika dengan lebih banyak terbentuk busa dengan ukuran besar, maka busa

tersebut akan lebih cepat hilang dan ini berarti ketahanan busa menurun.

Oleh sebab itu, hasil dari tabel VI yang menunjukkan adanya perubahan

signifikan pada formula ab dapat disebabkan karena terjadinya fluktuasi

ketahanan busa tersebut, sehingga nilai ketahanan busa yang didapat saat

pengujian menjadi bervariasi. Sedangkan pada formula 1, a, dan b tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan karena mempunyai nilai p > 0,05.

(53)

Tabel VI. Nilai p dari ketahanan busa sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30

Formula p

C. Efek Faktor dan Grafik Interaksi Faktor

Rancangan percobaan yang digunakan dalam Design Expert 7.0, yang

merupakan desain faktorial dengan dua faktor pada dua level yaitu level rendah

dan level tinggi. Desain formula yang dibuat pada percobaan ini memiliki bobot

total volume yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan agar jumlah

aquademineralisatayang digunakan tetap, sehingga yang terlihat adalah efek dari

betainedan gliserin saja, karena hanya betainedan gliserin yang diatur jumlahnya

sesuai dengan levelnya. Level rendah betaine dan gliserin adalah 30, dan level

tingginya adalah 38. Batas yang digunakan dibuat lebar dengan tujuan agar dapat

terlihat apakah penambahan betaine dan gliserin memiliki efek yang signifikan.

Pada rancangan percobaan dengan desain faktorial yang menggunakan

program Design Expert 7.0, akan didapat efek untuk masing-masing respon dan

model grafik interaksi antara betaine dan gliserin untuk masing-masing respon.

Uji statistik yang digunakan untuk mendeteksi apakah faktor yang digunakan

(54)

Pada tabel VII, dapat dilihat nilai probabilitas untuk masing-masing

model, dan dengan mengacu nilai signifikan jika p < 0,05, maka hanya ditemukan

hasil yang signifikan pada uji viskositasnya. Sedangkan untuk ketahanan busa,

pergeseran ketahanan busa dan pergeseran viskositas menunjukan hasil yang tidak

signifikan.

Tabel VII. Tabel signifikansi model persamaan secara ANOVA

No Uji

Nilai

probabilitas

Signifikan jika

p < 0,05

1 Viskositas 0,0001 Signifikan

2 Ketahanan busa 0,6504 Tidak signifikan

3 Pergeseran viskositas 0,1254 Tidak signifikan

4 Pergeseran ketahanan busa 0,5771 Tidak signifikan

Persamaan yang didapat untuk masing-masing respon, yaitu :

a. Viskositas

Y = 145,20833 – 3,02083 A + 0,18750 B – 0,010417 AB

b. Ketahanan busa

Y = 1,83750 - 0,039583 A – 0,039583 B + 0 AB

c. Pergeseran viskositas

Y = - 15,95719 + 0,58161 A + 0,27120 B + 0 AB

d. Pergeseran ketahanan busa

(55)

Berdasarkan hasil pada tabel VII, maka model persamaan ini belum dapat

digunakan untuk langkah optimasi, karena sebagian besar hasil yang didapat tidak

signifikan. Ini berarti bahwa model persamaan yang dihasilkan tidak valid

sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar optimasi.

Efek adalah perubahan respon saat faktor berubah dari level rendah ke

level tinggi, sedangkan nilai dari persen kontribusi digunakan pada tiap respon.

Grafik interaksi merupakan gambaran dari interaksi dua faktor yang digunakan.

Grafik interaksi juga menunjukkan gambaran dari efek faktor pada tiap respon.

1. Efek Faktor Pada Respon

Efek faktor pada masing-masing respon dapat diketahui nilainya melalui

nilai efek, sum of squares dan persen kontribusinya dalam memberikan efek

terhadap respon yang diteliti. Dalam hal ini, faktor yang dimaksud adalah variabel

bebas yang ditentukan. Faktor A untukbetaine dan faktor B untuk gliserin. Nilai

efek bernilai positif dan negatif, dimana nilai pofitif berarti meningkatkan respon

dan nilai negatif berarti menurunkan respon yang diamati. Persen kontribusi

didapatkan dari sum of squares dibagi dengan total of squares dan dikalikan

seratus persen. Nilai dari persen kontribusi dapat menjadi tinggi karena tidak

memperhitungkan degress of freedom pada percobaan. Oleh sebab itu, biasanya

digunakan nilai mean of square yang didapat dari sum of squares dibagi dengan

degrees of freedom faktor. Nilai degrees of freedom pada tiap faktor pada

penelitian ini bernilai 1, sehingga nilaimean of squaressama dengan nilai persen

kontribusi. Oleh karena itu, persen kontribusi dapat digunakan dalam menentukan

Referensi

Dokumen terkait

Kesabaran pasukan Belanda untuk dapat menguasai benteng pertahanan Tuanku Imam bonjol habis sudah.. Serangan besar-besaran menggempur benteng Bonjol terjadi pada

Sehingga tidak diperlukan adanya suatu terminal baru yang dapat bekerja pada sistem ini, karena teknologi ini bisa digunakan untuk pemakai terminal lama yang ingin

Instrument Penelitian diantaranya adalah pedoman wawancara, alat perekam sebagai alat bantu dalam melakukan pengumpulan data, Lembar observasi untuk mencatat hasil pengukuran

Selain itu Penelitian tentang algoritma tersebut sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Lilis Setyowati dengan menggunakan algoritma decision tree C4.5,ada penelitian

Menyatakan bahwa Penulis Tesis dengan judul: Pembuatan Aplikasi Multimedia untuk Pembelajaran Praktikum Secara Virtual pada Konsep Struktur Atom, dengan pembimbing Dr..

Menurut Sosrodarsono (2003), pada umumnya untuk menentukan metode curah hujan daerah yang sesuai adalah dengan menggunakan standar luas daerah, sebagai berikut: (1)

Tugas Akhir ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan. dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa izin

Hasil penelitian ini didapati jawaban bahwa Hak waris anak menurut hukum adat sasak di desa penujak Kecematan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah Provinsi