i
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
ii
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGENTAL GLISERIN DAN SURFAKTANCOCOAMIDOPROPYL BETAINETERHADAP VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA PADA SEDIAAN SABUN CAIR
TRANSPARAN : APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ketika kerjamu ... tidak dihargai maka saat itu kau sedang
belajar tentang.. Κ E Τ U L U S A N
Ketika usahamu dinilai ... tidak penting
maka saat itu kau sedang belajar tentang...
Κ E I Κ Н L A S A N
Ketika kau harus lelah dan kecewa maka saat itu kau sedang
belajar tentang...
Κ E S U N G G U Н A N
Tetap semangat.. Tetap sabar.. Tetap tersenyum.. Terus belajar.. Terus menjalaninya.. Karena kau sedang menimba ilmu di universitas...
KEHIDUPAN
Engkau berada di tempatmu yang sekarang bukan karena...
KEBETULAN Orang yang hebat tidak díhasilkan melalui...
KEMUDAHAN, KESENANGAN, KETENANGAN
Mereka díbentuk melalui...
KESUKARAN...TANTANGAN..AIRMATA DAN CINTA KASIH...
Ketika engkau mengalami sesuatu yg sangat berat dan merasa dítinggalkan sendiri dlm hidup ini ...
"Angkatlah tangan dan kepalamu ke atas... Tataplah masa depanmu.." Ketahuilah... Yakinlah... Engkau sdg dipersiapkan untuk menjαϑî ....
Orang yg Luar Biasa...
Karya ini kupersembahkan untuk
Tuhan Yesus yang selalu menyertaiku
Mamah dan Kakak-kakakku tercinta
Sahabat-sahabatku yang selalu ada untukku
vii PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Pengaruh Penambahan Bahan Pengental Gliserin Dan Surfaktan
Cocoamidopropyl Betaine Terhadap Viskositas Dan Ketahanan Busa Pada
Sediaan Sabun Cair Transparan : Aplikasi Desain Faktorial” sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pada masa penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah mendapat
banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan, semangat, bimbingan,
nasehat, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
2. Ibu Rini Dwiastuti, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, masukan, semangat, kritik, dan sarannya.
3. Ibu Dewi Setyaningsih, M. Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi atas
kesediaannya meluangkan waktu.
4. Ibu Prof. Dr. Sri Nugrohati selaku dosen penguji skripsi atas kesediaannya
meluangkan waktu.
5. Mama Theresia tercinta atas doa, cinta, perhatian, semangat dan dukungan
viii
6. Kakak-kakakku: Andy Setiawan, Yudi Hartono dan Ineke atas kebersamaan,
keributan, pertengkaran dan dukungan yang selalu diberikan.
7. Sahabat-sahabatku: Tika, Rere, Afni, Venny, Ferdian, Helen, Lina, Efin, Santi,
Tiwi, Dudut, Riris, Flo, dan Oppa atas bantuan, dukungan dan
kebersamaannya selama ini.
8. Teman-teman FST ’07, teman-teman kelas C 2007, dan teman-teman Farmasi
atas segala kebersamaannya.
9. Pak Musrifin dan segenap laboran lain atas segala bantuan dan kerjasama
selama penulis melakukan penelitian.
10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
laporan akhir ini mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.
Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL...ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ...xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI... xvi
ABSTRACT... xvii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Keaslian Karya... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6
xi
1. Pengertian sabun cair ... 6
2. Mekanisme pembersihan sabun cair ... 6
3. Formulasi sabun cair ... 7
B. Surfaktan ... 9
C. Gliserin... 10
D. Cocoamidopropyl betaine... 11
E. Sifat Fisis ... 11
1. Busa... 12
2. Viskositas ... 13
F. Desain Faktorial ... 15
G. Landasan Teori ... 18
H. Hipotesis ... 19
BAB III METODE PENELITIAN... 20
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 20
1. Variabel Penelitian ... 20
2. Definisi Operasional ... 21
C. Alat... 22
D. Bahan ... 22
E. Tata Cara Penelitian... 23
1. Desain Formula ... 23
2. Pembuatan Sabun Cair ... 24
3. Pengujian Viskositas dan Ketahanan Busa... 25
a. Uji viskositas... 25
xii
F. Analisis Hasil ... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 27
A. Formulasi Sabun Cair ... 27
B. Sifat Fisis dan Stabilitas Sabun Cair... 31
1. Sifat Fisis Sabun Cair... 31
2. Kestabilan Sabun Cair... 33
a. Profil kestabilan viskositas ... 34
b. Profil kestabilan ketahanan busa... 35
C. Efek Faktor dan Grafik Interaksi Faktor... 36
1. Efek Faktor Pada Respon... 38
a. Uji viskositas... 39
b. Pergeseran viskositas ... 41
c. Uji ketahanan busa ... 43
d. Pergeseran ketahanan busa... 44
BAB V PENUTUP ... 47
A. Kesimpulan ... 47
B. Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA... 48
LAMPIRAN ... 51
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dua level ... 17
Tabel II. Desain penelitian ... 23
Tabel III. Formula sabun cair transparan ... 24
Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisis dan stabilitas sabun cair transparan... 32
Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 21, dan 30... 34
Tabel VI. Nilai p dari ketahanan busa sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 21, dan 30... 36
Tabel VII. Tabel signifikansi model persamaan secara ANOVA ... 37
Tabel VIII. Tabel efek untuk respon viskositas ... 39
Tabel IX. Tabel efek untuk pergeseran viskositas ... 41
Tabel X. Tabel efek untuk respon ketahanan busa... 43
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur gliserin ... 10
Gambar 2. StrukturCocoamidopropyl betaine... 11
Gambar 3. Kurva sifat alir Newtonian ... 14
Gambar 4. Kurva sifat alir pseudoplastis ... 15
Gambar 5. Profil kestabilan viskositas ... 34
Gambar 6. Profil kestabilan ketahanan busa ... 35
Gambar 7. Grafik hubungan betaine terhadap respon viskositas (7a); grafik hubungan gliserin terhadap respon viskositas (7b) ... 41
Gambar 8. Grafik hubungan betaine terhadap pergeseran viskositas (8a); grafik hubungan gliserin terhadap pergeseran viskositas (8b) ... 42
Gambar 9. Grafik hubungan betaine terhadap respon ketahanan busa (9a); grafik hubungan gliserin terhadap respon ketahanan busa (9b) ... 44
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan uji sifat fisis sabun cair transparan ... 51
Lampiran 2. Notasi dan rancangan desain faktorial ... 55
Lampiran 3. Perhitungan kestabilan sabun cair transparan ... 56
Lampiran 4. Perhitungan desain faktorial ... 58
xvi INTISARI
Penelitian tentang pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan sabun cair transparan bertujuan untuk mengevaluasi respon dari faktor yang dipilih yaitu gliserin dancocoamidopropyl betainepada level yang diteliti.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode desain faktorial dua faktor, yaitu gliserin-cocoamidopropyl betaine dan dua level, yaitu level rendah-tinggi. Evaluasi dilakukan terhadap parameter sifat fisis, yaitu viskositas dan ketahanan busa sabun cair transparan. Kestabilan sediaan juga diteliti dan diamati dalam waktu selama satu bulan. Analisis data dilakukan dengan ANOVA pada program Desain Expert 7.0 dengan ukuran signifikan jika p < 0,05.
Hasil dari penelitian ini adalah hanya faktor cocoamidopropyl betaine
berpengaruh signifikan terhadap parameter viskositas sabun cair transparan. Sedangkan pada parameter ketahanan busa yang diamati pada level yang diteliti, tidak ditemukan faktor yang signifikan, baik pada gliserin maupun
cocoamidopropyl betaine.
xvii ABSTRACT
Research on the effect of adding glycerine as thickening agent and cocoamidopropyl betaine as surfactant to the viscosity and foam stability transparent liquid soap preparations was to evaluate the response of the selected factors that has been chosen in this case is glycerin and cocoamidopropyl betaine at the observed level.
This study was experimental research with two factor glycerin-cocoamidopropyl betaine and two levels low level-high level factorial design methods. Evaluation in physical properties such as viscosity and foam stability of liquid soap transparent had been done. The stability of liquid soap transparent in one month time. Data analysis was performed with ANOVA on Design Expert 7.0 program to measure significant if p <0.05.
The results of this study is only cocoamidopropyl betaine that significant factors had been found on the viscosity parameter of transparent liquid soap. While the foam stability parameters were observed at the level studied, no significant factor had been found, neither glycerine nor cocoamidopropyl betaine.
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutup seluruh tubuh dan
melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Selain untuk melindungi
tubuh, kulit juga berfungsi sebagai tempat ekskresi. Hasil ekskresi yang
bercampur dengan kotoran, debu, dan bakteri sering kali dapat menyebabkan
infeksi pada kulit maupun bau tidak sedap. Sehingga untuk menjaga agar kulit
tetap bersih dan sehat adalah dengan membersihkan seluruh anggota badan
(mandi) secara teratur. Selain aroma pada sabun dapat membuat tubuh dan pikiran
terasa lebih segar, juga mampu membuat penampilan lebih mantap dan percaya
diri (Anonim, 2002).
Kenyataan sehari-hari memperlihatkan bahwa kebutuhan mandi memakai
sabun mandi adalah ciri manusia modern. Dengan pemakaian sabun maka produk
metabolisme kulit (seperti sebum), lapisan kulit yang mati, residu keringat,
kotoran, debu, dan mikroorganisme dapat dihilangkan (Izhar, 2009). Berbagai
macam jenis sabun telah beredar di masyarakat, salah satunya adalah sabun cair.
Sabun cair merupakan produk yang lebih banyak disukai dibandingkan sabun
padat oleh masyarakat sekarang ini, karena sabun cair lebih higienis dalam
penyimpanannya dan lebih praktis dibawa kemana-mana (Perdana, dan Hakim,
2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam memilih sabun mandi
adalah kemampuan membersihkan kotoran. Konsumen beranggapan sabun
dengan busa yang melimpah, mempunyai kemampuan membersihkan kotoran
dengan baik (Izhar, 2009). Menurut Schramm (2005), busa (foam) adalah suatu
dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan.
Busa yang melimpah dapat diperoleh dari penggunaan foaming agent, yaitu
surfaktan. Surfaktan yang sering digunakan dalam pembuatan sabun, salah
satunya adalah cocoamidopropyl betaine, yang pada keterangan selanjutnya
disebutbetaine.Daya busabetainerelatif stabil serta kompatibel dengan surfaktan
anionik, kationik, maupun nonionik. Selain itu, uji keamanan pada hewan
menunjukkan bahwa betaine mempunyai potensial iritasi mata dan kulit yang
sangat rendah (Rieger and Rhein, 1997). Namun busa sebenarnya tergolong sulit
untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan
pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi viskositas sabun cair adalah
gliserin. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu sediaan sabun cair untuk
digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah dari
tangan. Selain itu, viskositas juga berpengaruh terhadap efisiensi pengisian
produk dan pengemasan (Leidetrier, 1995). Dengan demikian, diketahui bahwa
bahan pengental (thickening agent) atau viscosity modifier memainkan peran
penting dalam formulasi sediaan kosmetik (Karsheva, 2007). Pada penelitian ini
digunakan gliserin sebagai bahan pengental karena selain dapat berfungsi sebagai
humectant, gliserin juga dapat berfungsi sebagai thickening agent pada sediaan
kosmetik. Humektan merupakan bahan kosmetik yang dapat meningkatkan
atau mempertahankan air yang ada dalam kandungan kulit, sehingga diperoleh
sensasi lembab di kulit (Rieger, 2000). Gliserin juga dapat mudah larut dalam
alkohol maupun air. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan etanol, tapi
karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan didalamnya kecuali
kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan (Anonim, 2010).
Karena diperkirakan bahwa kemungkinan penambahan gliserin dan
betainemempunyai pengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sabun cair,
maka perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan rancangan percobaan
dengan metode desain faktorial dua level. Desain faktorial dipilih sebagai
rancangan percobaan karena mampu melihat secara simultan respon dari
faktor-faktor sabun cair pada level faktor-faktor yang di teliti, sehingga akan diperoleh
informasi signifikansi faktor terhadap respon pada level yang diteliti tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan desain faktorial dua level yaitu adanya dua
faktor (betainedan gliserin) yang masing-masing faktor diuji pada dua level yang
berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Dari perhitungan statistik design
expert, maka dapat diketahui manakah faktor betaine atau gliserin yang
berpengaruh secara signifikan terhadap respon viskositas dan ketahanan busa
sabun cair.
Dengan adanya latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai komposisi gliserin dan betaine dalam suatu formula sabun cair,
sehingga sabun cair yang dihasilkan diharapkan memenuhi parameter kualitas
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti
yaitu: Adakah pengaruh yang signifikan pada variasi penambahan gliserin dan
cocoamidopropyl betaine pada level yang diteliti terhadap viskositas dan
ketahanan busa sabun cair transparan?
C. Keaslian Karya
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai pengaruh penambahan
bahan pengental gliserin dan surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap
viskositas dan ketahanan busa pada sediaan sabun cair transparan : aplikasi desain
faktorial, belum pernah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi dunia ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi desain
faktorial dalam evaluasi respon dalam sediaan sabun cair.
2. Manfaat metodologis
Diharapkan adanya pengembangan dan aplikasi metode desain
faktorial untuk melihat pengaruh penambahan bahan pengental gliserin dan
surfaktan cocoamidopropyl betaine terhadap viskositas dan ketahanan busa
3. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan
sabun cair transparan terutama menyangkut jumlah bahan pengental gliserin
dan surfaktancocoamidopropyl betaine yang digunakan.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
signifikan dalam memberikan respon terhadap sifat fisis sediaan sabun cair
transparan sehingga didapatkan faktor-faktor yang berperan dalam sifat sediaan
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Sabun Cair 1. Pengertian sabun cair
Sabun cair merupakan sediaan yang mengandung surfaktan-surfaktan yang
dengan mudah dapat ditempatkan pada botol plastik squeeze atau wadah pompa
sederhana. Formulasinya mengandung berbagai macam campuran surfaktan
seperti misalnya alpha olefin sulphonates, lauryl sulphates, atau lauryl ether
sulphates. Foam boosters seperti cocoamides juga ditambahkan pada
formulasinya. Moisturizing agent sepertiglycerinejuga perlu ditambahkan. Pada
banyak kasus juga ditambahkan fragrantuntuk menimbulkan bau menyenangkan
dari sabun cair (Tadros, 2005).
2. Mekanisme pembersihan sabun cair
Surfaktan pada sabun cair akan menurunkan tegangan antarmuka antara
kotoran dengan permukaan kulit. Bagian polar dari surfaktan akan berinteraksi
dengan air, sedangkan bagian non polar akan berinteraksi dengan kotoran yang
biasanya berupa lemak. Surfaktan-surfaktan tersebut akan menyusun diri
membentuk micel dengan kotoran terjebak di bagian dalamnya. Bagian luar micel
yang merupakan gugus polar mudah berinteraki dengan air, sehingga saat
pembilasan micel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga akan ikut
3. Formulasi sabun cair
Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula sabun cair meliputi:
a. Surfaktan primer yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan
anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat
pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan
kationik sebenarnya juga bisa digunakan, namun sifatnya iritatif khususnya
untuk mata, sehingga perlu dikombinasi dengan surfaktan nonionik atau
amfoter (Rieger, 2000).
b. Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant yang bekerja memperbaiki
detergensi dan pembusaan. Surfaktan amfoter banyak digunakan karena dapat
melembutkan kulit. Beberapa jenis nonionik juga dapat digunakan karena
dapat memperbanyak dan menstabilkan busa (Rieger, 2000).
c. Bahan aditif berfungsi untuk menunjang formula dan memberikan
karakteristik tertentu. Bahan aditif yang biasa digunakan, antara lain :
1) Pengatur viskositas: untuk meningkatkan viskositas dapat digunakan
elektrolit (1-4%b/b ammonium klorida atau sodium klorida) gum (karaya,
tragakan), alginat, derivat selulosa (hidroksietil, hidrosipropil,
karboksimetil), dan polimer karboksivinil (carbopol) (Rieger, 2000).
Selain itu, gliserin juga dapat digunakan sebagai thickening agent dalam
sediaan topikal dengan rentang konsentrasi 0,2-65,7% (Smolinske, 1992).
2) Kondisioner kulit: saat ini konsumen tidak hanya menginginkan sabun
yang dapat membersihkan kulit, tetapi juga menimbulkan kesan lembut
maka perlu ditambahkan senyawa yang dapat meningkatkan kelembutan
(mildness) di kulit setelah pemakaian sabun. Gliserin dan asam lemak
bebas merupakan bahan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. (Barelet al, 2001).
3) Agen pengkelat: berfungsi untuk mencegah pembentukan dan deposisi
sabun Ca dan Mg pada saat pencucian dengan air sadah. Asam sitrat dapat
digunakan sebagai agen pengkelat (Hambali et al., 2005).
4) Agen penjernih (clarifying agent): pada pembuatan sabun cair, gliserin
berfungsi dalam pembuatan struktur transparan (Ghaim and Elizabeth,
1995).
5) Pengawet: bahan-bahan dalam sabun cair modern umumnya retan terhadap
jamur, sehingga perlu ditambahkan pengawet seperti natrium klorida
(NaCl). NaCl pada formulasi sabun cair transparan berfungsi pengawet
(Hambali et al., 2005).
6) Fragrance: merupakan bahan aditif yang paling penting pada produk
cleansing, agar dapat diterima oleh konsumen. Dalam penggunaannya
harus diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (tidak berpengaruh
pada viskositas dan stabilitas sediaan). Fragrance yang digunakan tidak
boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan pada produk
akhir (Barelet al, 2001).
7) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH sabun cair,
biasanya 4,5 – 7. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam
B. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada
konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsopsi pada permukaan (surface)
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka
menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur,
sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah
satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut
juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk
membuat sistem tetap dalam dua fase yang ridak bercampur, sehingga terbentuk
batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan
muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan
antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).
Pemberian flavon pada tikus yang menunjukkan induksi konjugasi enzim
seperti glutathione-S-transferase dalam mendetoksifikasi karsinogenik
intermediet (Trela dan Carlson, 1987). Flavonoid berefek secara luas pada proses
biologis yang fundamental seperti gap junctional intercellular communication
(GJIC) (Chaumontet et al., 1994). Kemampuannya dalam meningkatkan GJIC
dapat bertanggung-jawab sebagai agen promosi antitumor (antitumor-promoting
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agent dalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
D. Cocoamidopropyl betaine
Gambar 2. StrukturCocoamidopropyl betaine
Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel et
al, 2001). Daya busanya relatif stabil baik pada soft water dan hard water, serta
kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik (Rieger and
Rhein, 1997).
Dari penelitian Teglia and Secchi (1994) dikatakan bahwa betaine
memiliki efek antiiritan yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke
larutan sodium lauril sulfat (SLS). Baik wheat protein maupun betaine dapat
melindungi kulit dari iritasi (Barelet al, 2001).
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang pada
konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface)
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka (Rosen, 2004).
E. Sifat Fisis
Sifat fisis sabun perlu dievaluasi untuk menjamin sabun cair transparan
yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Beberapa sifat fisis yang
1. Busa
Busa (foam) adalah suatu dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam
fase kontinyu yang berupa cairan (Schramm, 2005). Karena adanya perbedaan
densitas yang signifikan antara gelembung gas dan medium, maka sistem akan
memisah menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung gas akan naik ke
atas. Ketika gelembung gas dimasukkan di bawah permukaan cairan, maka
gelembung itu akan langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya
gravitasi atau gaya tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan
berbusa kecuali diberi surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan
mengurangi ketegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi
gas dalam cairan (Exerowa, 1998).
Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke
dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka
gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau
disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas
lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan
yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak
bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan.
Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling mendekat,
sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling bergabung
Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan
parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu. Parameter
tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa.
“waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk
menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).
Pada penelitian, evaluasi ketahanan busa dilakukan dengan metode yang
diadaptasi dari prosedur pengukuran busa oleh Evren (2007) yang telah
dimodifikasi. Pengukuran tinggi busa Evren (2007) dilakukan dengan cara
sebanyak 0,5 g sampel sabun cair diencerkan dengan 50 ml (40oC) aquadest dan
diaduk denganmagnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojog selama
20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit ke-0
dan ke-5. Pada saat penggojokan 20 kali dimodifikasi dengan menggunakan
vortexdengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Modifikasi ini bertujuan untuk
menyamakan perlakuan dari penggojogan tabung pada tiap pengujian. Sehingga
diharapkan kecepatan konstan untuk penggojogan tabung yang menggunakan
vortexlebih baik dibandingan secara manual.
2. Viskositas
Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas (),
digambarkan dengan persamaan matematika :
Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress)
akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk
senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati.
Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer
umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian meliputi
plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).
Gambar 3. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)
Pada tipe pseudoplastis, viskositas akan menurun dengan meningkatnya
kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir
pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air
seperti tragakan, alginat, metil selulosa, dan polivinilpirolidon. Dalam suatu
larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan
saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak
bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun
diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan
memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan
Gambar 4. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)
Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena
thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang
kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga
menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser
dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun
proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari
tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).
F. Desain Faktorial
Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan
mengevaluasi secara obyektif respon dari besaran yang berpengaruh terhadap
kualitas produk (Bolton, 1997). Penelitian desain faktorial yang paling sederhana
adalah penelitian dengan 2 faktor dan 2 level (Armstrong, 1996). Desain faktorial
dua level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang masing masing faktor diuji
Faktor adalah variabel eksperimental yang dapat ditetapkan secara
independen atau bebas, sedangkan respon adalah nilai yang terukur sebagai hasil
dari percobaan. Percobaan skrinning dilakukan untuk mendeterminasi variabel
percobaam dan interaksinya yang memiliki efek yang signifikan pada hasil yang
terukur, yaitu respon-respon yang diamati (Lundstedtet al, 1998).
Desain faktorial digunakan sebagai langkah untuk menginvestigasi dalam
melihat efek atau interaksi dari faktor-faktor yang ada. Besarnya efek yang
disebabkan oleh salah satu faktor yang ditetapkan atau diganti akan berpengaruh
juga terhadap faktor yang lain. Langkah dari desain faktorial dimulai dengan
usaha untuk menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana
yang tidak, yaitu dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara
stimultan, lalu menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor
tersebut (Amstrong, 1996).
Notasi yang digunakan pada desain faktorial biasa digunakan pada level
tinggi dan digambarkan dengan nilai “a” untuk faktor A dan B sama-sama pada
level tinggi akan digambarkan dengan “ab”. Percobaan di mana semua faktor
berada pada level rendah dinotasikan dengan nilai (1), dan selanjutnya akan
dilihat interaksi diantara faktor-faktor tersebut (Amstrong, 1996).
Dengan desain faktorial dapat didesain suatu percobaan untuk mengetahui
faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon (Bolton, 1997).
Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level yang akan
Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dua level
Jumlah gliserin - = level rendah
+ = level tinggi
Jumlahbetaine - = level rendah
+ = level tinggi
Formula 1 = faktor A pada level rendah, faktor B pada level rendah
Formula a = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level rendah
Formula b = faktor A pada level rendah, faktor B pada level tinggi
Formula ab = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level tinggi
Rumus yang digunakan dalam desain faktorial :
Y = b0+ b1(XA) + b2(XB) + b12(XA)(XB)...(1)
Dengan :
Y = respon hasil atau sifat yang diamati, yaitu viskositas dan
ketahanan busa sabun cair
XA, XB = level faktor A, level faktor B
b0,b1,b2,b12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan
Dari persamaan (1) dan data yang diperoleh dapat dibuat contour plot
suatu respon tertentu yang sangat berguna dalam memilih komposisi campuran
faktor, maupun efek interaksinya dapat diperoleh dengan menghitung selisih
antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level rendah.
Konsep perhitungan efek menurut Bolton (1997) sebagai berikut:
Efek faktor A =
Efek faktor B =
Efek interaksi =
Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek
interaksi antar faktor (Muth, 1999).
G. Landasan Teori
Untuk memperoleh sediaan sabun cair yang baik, maka salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal
tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan kulit juga menentukan
persepsi dan penerimaan konsumen.
Umumnya untuk memperoleh busa yang melimpah, digunakan kombinasi
surfaktan. Dengan adanya surfaktan, maka tegangan antarmuka gas/cairan akan
berkurang sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan. Surfaktan yang
biasa digunakan pada sabun cair adalahbetaine. Daya busanya relatif stabil, serta
kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik.
Namun terkadang campuran surfaktan saja tidak cukup memberikan busa
yang stabil, karena busa sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan
koalesen dan penipisan (thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan
(drainage) serta pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri. Salah
satu cara untuk mencegahthinningpada busa adalah meningkatkan viskositas dari
sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga tidak terjadi film
rupture. Karena itu digunakan gliserin yang merupakan thickening agent yang
yang sudah biasa digunakan untuk meningkatkan viskositas (Tandros, 2005).
Desain faktorial dipilih sebagai rancangan percobaan karena mampu
menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana yang tidak, yaitu
dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara simultan, lalu
menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor tersebut. Desain
faktorial dengan dua faktor dan dua level yaitubetainedan gliserin diuji pada dua
level yang berbeda (tinggi dan rendah) agar dapat diperoleh faktor yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap viskositas dan ketahanan busa sabun
cair, apakah berasal dari salah satu faktor atau berasal dari interaksinya.
H. Hipotesis
Ada pengaruh yang signifikan pada variasi betain dan gliserin terhadap
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan desain faktorial
dua faktor dan dua level.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebasdalam penelitian ini adalah komposisigliserin danbetaine, dengan level rendah sebesar 30 gram dan level tinggi sebesar 38 gram.
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisis sabun cair yang meliputi viskositas dan ketahanan busa.
c. Variabel pengacau terkendalidalam penelitian ini adalah alat percobaan, komposisi bahan sabun cair yang digunakan selain gliserin dan betaine,
kecepatan putar stirrer, dan lama waktu pencampuran.
d. Variabel pengacau tak terkendalidalam penelitian ini adalah perubahan suhu ruangan dan kelembaban udara tempat menyimpan yang
mempengaruhi kestabilan sifat fisik sabun cair dan jumlah gas (udara)
2. Definisi Operasional
a. Sabun cair adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas surfaktan,
pengental, air, serta bahan aditif lain dan dibuat sesuai prosedur
pembuatan sabun cair pada penelitian ini.
b. Gliserin merupakanthickening agent yang dapat meningkatkan viskositas
dan biasanya digunakan untuk stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi.
Gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur transparan dalam
sabun cair.
c. Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik.
Daya busanya relatif stabil, serta kompatibel dengan surfaktan anionik,
kationik, maupun nonionik
d. Viskositas adalah tahanan sabun cair untuk mengalir yang diukur dengan
menggunakanviscotesterdan dinyatakan dalam satuan d.Pas.
e. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang
selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa
pada menit ke-0 setelah di vortex dengan tinggi busa pada menit ke-5
setelah divortex dan dinyatakan dalam satuan cm.
f. Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan
mengevaluasi secara obyektif efek dari faktor yang berpengaruh terhadap
kualitas produk.
g. Faktor adalah rancangan variabel yang dapat ditetapkan secara
h. Level adalah tingkatan komposisi dari rancangan desain faktorial yang
terdiri atas level tinggi dan level rendah. Notasi (+) untuk mewakili level
tinggi dan notasi (–) untuk mewakili level rendah.
i. Respon adalah nilai yang terukur yang didapat dari hasil percobaan
menggunakan metode desain faktorial.
j. Efek merupakan perubahan respon yang disebabkan variasi level dan
faktor. Dalam penelitian ini efek yang berpengaruh secara signifikan
adalah efek yang ingin dicapai.
C. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
glassware PYREX-Germany, cawan porselen, neraca Mettler-Toledo GB3002,
neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate Cenco, stirrer magnetic,
thermometer, pH meter Merck, vortex Laboratorium Farmasi USD, viscotester
seri VT 04 RHION-Japan, tabung reaksi berskala dan bertutup FORTUNA
W.- Germany.
D. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gliserin kualitas
farmasetis (Brataco), sodium lauryl sulfate kualitas farmasetis (Brataco), sodium
chloride kualitas farmasetis (Brataco), cocoamidopropyl betaine kualitas
farmasetis (Brataco), asam sitrat (Laboratorium Farmasi USD), minyak mawar
E. Tata Cara Penelitian 1. Desain Formula
A Sodium lauryl sulfate 40,0 gram
B Sodium chloride 12,0 gram
C Cocoamidopropyl betaine 33,0 gram
Gliserin 33,0 gram
Asam sitrat 25%b/v q.s pH 5,0 – 6,0
Fragrance 3 mL
Aqua demineralisata ad 400,00
Penambahan bahan dilakukan pada gliserin dan betaine. Masing-masing
untuk level rendah sebesar 30 gram dan level tingginya sebesar 38 gram. Jumlah
gliserin dan betaineyang digunakan baik untuk level rendah maupun level tinggi
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II. Desain penelitian
Formula Betaine(g) Gliserin (g)
1 30 30
a 38 30
b 30 38
Tabel III. Formula sabun cair transparant
Komposisi (gram)
Formula (gram)
1 a b ab
Aqua demineralisata 290 290 290 290
Sodium laureth sulfate 40 40 40 40
Sodium Chloride 12 12 12 12
Cocamidopropyl Betaine 30 38 30 38
Gliserin 30 30 38 38
fragrance 3 mL 3 mL 3 mL 3 mL
Asam sitrat q.s q.s q.s q.s
Desain formula sabun cair ini dibuat dalam bobot 400 gram untuk
menyesuaikan kondisi pada pengukuran viskositas. Pada pengukuran viskositas
diperlukan 250 gram sediaan, sehingga peneliti membuat formulasi sediaan
sebanyak 400 gram untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan sediaan selama
pengukuran parameter sifat fisis sabun cair.
2. Pembuatan Sabun Cair
Bagian A: Setengah bagian aqua demineralisata dimasukkan ke dalam
beaker glassdan dipanaskan hingga suhu 50oC. Kemudian ditambahkan dengan
sodium lauryl sulfate sebanyak 40 gram sambil diaduk menggunakan stirrer
magneticdengan kecepatan 500 rpm hingga larut.
Bagian B: 12 gram sodium chloride dilarutkan ke dalam sebagian aqua
demineralisata. Kemudian larutan sodium chloride dimasukkan ke dalam bagian
Bagian C: Secara berurutan, betaine dan gliserin ditambahkan ke dalam
campuran bagian A dan B. Kemudian diaduk sampai homogen dan ditambahkan
asam sitrat 25%b/v secukupnya sampai sediaan sabun cair mendekati pH 5,0-6,0.
Lalu tambahkanfragrancesebanyak 3 mL dan diaduk lagi sampai homogen.
3. Pengujian Viskositas dan Ketahanan Busa a. Uji Viskositas
Sabun cair dimasukkan perlahan-lahan ke dalam beaker portable
viscotester hingga batas fluid mark pada rotor yang digunakan (untuk sabun
cair pada formula ini digunakan rotor no.2). Lalu didiamkan terlebih dahulu
selama 5 menit untuk memastikan kondisi sabun cair yang stabil. Kemudian
viscotester dinyalakan dan viskositas sabun cair dilihat dengan mengamati
gerakan jarum penunjuk viskositas (Instruction Manual Viscotester
VT-03E/VT-04E). Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14 hari, 21 hari, 30
hari setelah pembuatan sabun cair.
b. Uji Ketahanan Busa
Uji ketahanan busa dilakukan dengan cara sabun cair ditimbang
sebesar 0,5 gram dan dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Sebanyak 10 ml
larutan campuran dimasukkan perlahan-lahan lewat dinding ke dalam tabung
reaksi berskala ukuran 25 ml. Kemudian bagian atas tabung reaksi ditutup dan
di vortex dengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Tinggi busa yang
didapat pada menit ke-0 dan menit ke-5 dicatat. Selisih tinggi busa dihitung
sebagai nilai ketahanan busa. Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14
F. Analisis Hasil
Data kuantitatif yang diperoleh adalah data uji viskositas dan ketahanan
busa pada sediaan sabun cair. Dengan metode desain faktorial dapat dihitung
besarnya efek gliserin, betaine, dan interaksinya sehingga dapat diketahui faktor
yang signifikan terhadap sabun cair yang dibuat. Viskositas dan ketahanan busa
akan dianalisis menggunakan progam Design Expert 7.0, sehingga diperoleh
imaging factorial design yang menginteprestasikan interaksi dari kedua faktor
pada dua level untuk masing-masing respon.
Untuk nilai respon viskositas dan ketahanan busa didapat dari hasil
pengamatan. Nilai respon pada masing-masing formula pada waktu pengamatan
48 jam dan respon dari pergeseran viskositas dan ketahanan busa akan dianalisis
dengan menggunakan Design Expert 7.0 Analisis statistik yang digunakan pada
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Formulasi Sabun Cair
Formula sabun cair transparan yang digunakan merupakan hasil
modifikasi dari formula standar sabun cair yang didapatkan dari formulasi produk
sabun cair Pilot Chemical Company. Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam
formula sabun cair ini meliputi surfaktan primer, surfaktan sekunder, dan bahan
aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan utama karena bertanggung jawab atas
sifat detergensi dan pembersihan kulit. Larutan surfaktan akan membasahi kotoran
lewat penurunan tegangan muka. Kemudian kotoran pada kulit akan terdispersi
pada larutan surfaktan tersebut dan menjadi mudah dibilas oleh air (Rieger, 2000).
Pada pembuatan sabun cair ini digunakan sodium lauryl sulfat (SLS),
betaine, NaCl, asam sitrat, gliserin, aqua demineralisata, dan perfume. SLS dipilih
sebagai surfaktan primer danbetainesebagai surfaktan sekunder. SLS merupakan
surfaktan anionik yang memiliki karakteristik sebagai pembentuk busa yang baik,
memiliki daya pembersih yang tinggi, dan stabil pada air sadah. Sifatnya sebagai
pembentuk busa dan pembersih yang baik dapat terlihat dari nilai HLB SLS yang
tinggi, yaitu 40. Surfaktan memiliki sifat sebagai pembersih yang baik bila
memiliki nilai HLB di atas 12, yang berarti surfaktan tersebut cenderung bersifat
hidrofil, sehingga saat penggunaannya akan mudah terbilas oleh air. (Liebermann,
1996). Dalam proses pembuatan sabun cair digunakan air hangat untuk
melarutkan SLS, karena SLS bersifat sukar larut dalam air dingin, namun
kelarutannya meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Rieger, 2000). SLS
sebagai surfaktan anionik mempunyai kemampuan membentuk busa yang baik,
sedangkanbetaine mempunyai kemampuan membentuk busa, menstabilkan busa
yang terbentuk, dan mengurangi sifat iritasi dari surfaktan anionik yang ada
(Rieger, 1997).
Apabila SLS sudah larut, dilanjutkan dengan penambahan natrium klorida
(NaCl). Fungsi NaCl pada formulasi ini adalah untuk menurunkan kekentalan
sabun cair. Karena menurut hasil penelitian yang didapat, pada konsentrasi NaCl
0,5-1%b/v sabun cair yang dihasilkan mempunyai viskositas yang sangat tinggi
dan sukar dituang. Sedangkan pada konsentrasi 3%b/v viskositas sabun cair
menurun. Karena dibutuhkan sediaan sabun cair yang mudah dituang, maka
digunakan konsentrasi NaCl yang tinggi untuk menurunkan viskositasnya. NaCl
yang merupakan garam akan terdisosiasi sempurna saat berada dalam air menjadi
Na+ dan Cl-. Karena kekuatan disosiasi NaCl lebih besar daripada RCOONa,
maka reaksi akan bergeser sehingga terbentuk molekul RCOONa lagi. Karena
ion-ion Na+ menutupi sebagian gugus RCOO- pada surfaktan, maka muatan
menjadi netral, gaya tolak-menolak berkurang, dan viskositas menurun. Selain
fungsi NaCl sebagai viscosity modifier yang sifatnya menurunkan kekentalan,
NaCl pada formulasi sabun cair juga dapat berfungsi pengawet (Hambali et al.,
2005).
Setelah campuran SLS, NaCl danbetainhomogen, kemudian ditambahkan
gliserin yang berfungsi sebagai bahan pengental, pengawet dan penjernih.
Gliserin merupakan thickening agent yang biasanya digunakan untuk stabilisasi
larutan, emulsi dan suspensi (Ansel, 1989). Gliserin juga berfungsi sebagai
pembentuk struktur transparan dalam sabun cair (Ghaim and Elizabeth, 1995).
Selain itu, gliserin juga dapat berfungsi sebagai humektan, sehingga dapat
melembabkan kulit. Kelembaban kulit perlu dijaga, karena dengan penggunaan
sabun, mekanisme alami (lapisan hidrolipid) yang membantu menjaga
kelembaban kulit akan hilang, sehingga dapat menyebabkan dryness, roughness,
danflakines (Anonim, 2009).Sehingga diperlukan gliserin yang dapat membantu
mengembalikan kelembaban kulit.
Kemudian asam sitrat ditambahkan sebagai pH adjuster. pH sabun cair
sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu sekitar 4,2-6,2. pH sabun cair yang
terlalu asam dapat mengiritasi kulit. Sedangkan pH sabun cair yang lebih dari 9.2
dapat meningkatkan pH permukaan kulit dan akan membuat kulit relatif lebih
alkalin, yang mengundang pertumbuhanPropionibacterium. Oleh karena itu lebih
baik untuk menggunakan sabun cair dengan pH yang lebih rendah, khususnya
untuk orang rentan terhadap jerawat (Almazini, 2009). Pembersih asam kurang
mengiritasi daripada pembersih yang bersifat netral dan alkalin, dan orang yang
rentan terhadap kulit kering direkomendasikan untuk menggunakan pembersih
bersifat asam (Almazini,2009). Sehingga pada pembuatannya, asam sitrat
diberikan per tetes sampai pH larutan sabun cair mendekati pH 5,0-6,0 supaya
sabun cair yang dihasilkan tidak merubah kelemabapan kulit alami. Diharapkan
sabun cair dengan pH 5,0-6,0 tidak bersifat terlalu asam karena dapat mengiritasi
dapat membuat kulit kering dan berjerawat. Selain itu asam sitrat juga digunakan
sebagai agen pengkelat yang berfungsi untuk mencegah pembentukan dan
deposisi sabun Ca dan Mg pada saat pencucian dengan air sadah (Hambali et al.,
2005). Agen pengkelat bekerja dengan cara menciptakan kondisi keasaman yang
tepat sehingga proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik (dapat
mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas) serta mengikat
mineral-mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan-bahan lain yang berfungsi
untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada
fungsi utamanya (Priyono, 2009).
Untuk pembuatan sabun cair ini digunakan air demineralisata. Tujuannya
adalah untuk menghindari keberadaan mineral-mineral seperti Ca dan Mg yang
mungkin terdapat dalam air. Karena ion-ion tersebut dapat berinteraksi dengan
surfaktan dengan cara menutup muatan negatif pada surfaktan, sehingga
viskositas menjadi lebih sulit dikendalikan. Selain itu pada proses pencampuran
sebaiknya dilakukan pengadukan perlahan. Hal ini supaya tidak banyak udara
yang masuk dan terjebak sehingga mengakibatkan munculnya banyak gelembung
pada sediaan sabun cair.
Pada formula inifragranceditambahkan pada saat kondisi suhu sabun cair
setelah pencampuran telah menurun, sehingga dapat mencegah menguapnya
fragrancesebelum proses pembuatan selesai. Fragrance disini berfungsi sebagai
bahan pendukung yang memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen
B. Sifat Fisis dan Stabilitas Sabun Cair
Sifat fisis dan stabilitas merupakan unsur penting yang berperan dalam
menentukan kualitas produk dan penerimaan produk oleh konsumen. Parameter
sifat fisis dan kestabilan sabun cair transparan yang dievaluasi adalah viskositas
dan ketahanan membentuk busa yang diamati selama 1 bulan.
1. Sifat Fisis Sabun Cair
Parameter ketahanan busa penting untuk diketahui, karena pada umumnya
konsumen beranggapan sabun dengan busa yang melimpah, mempunyai
kemampuan membersihkan kotoran dengan baik (Izhar, 2009). Ketahanan busa
sebenarnya tergolong sulit untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran
cairan (drainage) dan pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri.
Viskositas sediaan juga merupakan salah satu parameter yang dapat
mempengaruhi sifat fisis sabun cair. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu
sediaan sabun cair untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak
mudah mengalir tumpah dari tangan. Viskositas yang baik akan menjamin
penerimaan konsumen, dimana konsumen akan merasa nyaman saat menuangkan
sediaan karena mudah dituang, Selain itu, viskositas juga berpengaruh terhadap
efisiensi pengisian produk dan pengemasan (Leidetrier, 1995). Dengan demikian,
diketahui bahwa bahan pengental (thickening agent) atau pengatur viskositas
(viscosity modifier) memainkan peran penting dalam formulasi sediaan kosmetik
Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisis dan stabilitas sabun cair
Formula
Viskositas
(d.Pas)
Ketahanan busa
(cm)
1 50,831,72 0,400,13
A 24,171,72 0,330,10
B 49,831,47 0,330,10
AB 22,501,05 0,330,10
Pada tabel IV, terlihat bahwa viskositas sabun cair yang paling tinggi
adalah pada formula 1 dan terdapat juga pada formula B karena nilainya tidak
berbeda jauh. Sedangkan ketahanan busa paling baik terdapat pada formula A, B
dan AB, kemudian di ikuti dengan formula 1 yang mempunyai ketahanan busa
lebih rendah.
Jika dilihat dari hasil pengamatan, penggunaan betaine pada level tinggi
dapat menyebabkan penurunan viskositas sabun cair. Hal ini dapat ditunjukan dari
nilai viskositas yang didapatkan pada formula A dan AB, dimana kedua formula
tersebut menggunakanbetainepada level tinggi. Sedangkan pada formula 1 dan B
terjadi peningkatan viskositas, ini disebabkan karena penambahan gliserin pada
level tinggi dapat menambah kekentalan sabun cair.
Seiring dengan meningkatnya jumlah betaine dan menurunnya jumlah
gliserin yang ditambahkan, maka viskositas sabun cair tersebut mengalami
penurunan. Sebaliknya, jika penambahan gliserin semakin meningkat dan
menurunnya jumlah betaine yang ditambahkan, viskositas sabun cair akan
sehingga viskositas sabun cair akan meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah gliserin yang ditambahkan.
Pada uji ketahanan busa, formula 1 menunjukkan nilai ketahanan busa
yang sedikit lebih rendah daripada ketiga formula lainnya. Ini disebabkan karena
formula 1 menggunakan betaine dan gliserin pada level rendah, sehingga
ketahanan busa yang dihasilkan lebih rendah daripada formula lain yang
menggunakan betaine atau gliserin dan maupun keduanya dalam jumlah yang
lebih besar. Dengan semakin banyaknya jumlahbetaine yang ditambahkan, maka
semakin banyak busa yang dapat dihasilkan oleh sabun cair. Dan dengan adanya
gliserin, maka gelembung busa yang dihasilkan akan terhambat untuk saling
bergabung dan mencegah pecahnya lapisan film secara cepat karena fungsi
polimer pada gliserin akan mengelilingi busa dan menciptakan halangan sterik
antar gelembung busa. Gliserin merupakan poliol yang terdiri dari molekul
dengan tiga gugus hidroksil disebut triol. Poliol juga termasuk polimer. Sehingga
pada gliserin level tinggi, ketahanan busa sabun cair dapat meningkat.
2. Kestabilan Sabun Cair
Kestabilan sabun cair dapat dilihat dari parameter sifat fisis yang diamati
dengan cara melihat perubahannya selama penyimpanan dalam waktu 30 hari
setelah pembuatan sabun cair. Dalam waktu selama 30 hari, dipilih 5 titik waktu
a. Profil kestabilan viskositas
Gambar 5. Profil kestabilan viskositas
Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya
mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.
Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari
tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam
penyimpanan selama satu bulan.
Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30
Formula p
Gambar 5. Profil kestabilan viskositas
Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya
mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.
Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari
tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam
penyimpanan selama satu bulan.
Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30
Formula p
Gambar 5. Profil kestabilan viskositas
Jika dilihat pada gambar 5, dapat dilihat bahwa keempat formula hanya
mengalami sedikit penurunan vikositas selama waktu penyimpanan satu bulan.
Perubahan viskositas yang terjadi masih dapat diterima dan diabaikan, karena dari
tabel V terlihat bahwa keempat formula menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan dengan nilai p > 0,05. Hal ini berarti semua formula tetap stabil dalam
penyimpanan selama satu bulan.
Tabel V. Nilai p dari viskositas sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30
b. Profil kestabilan ketahanan busa
Gambar 6. Profil kestabilan ketahanan busa
Jika dilihat pada gambar 6, di awal pembuatan, keempat formula
mempunyai ketahanan busa yang baik, tetapi seiringnya lama penyimpanan,
terjadi fluktuasi ketahanan busa dan rata-rata ketahanan busanya menurun.
Terjadinya fluktuasi dapat disebabkan karena ukuran busa yang dihasilkan pada
penelitian sangat bervariasi, sehingga kecepatan hilangnya busa juga bervariasi.
Misal, jika dengan lebih banyak terbentuk busa dengan ukuran besar, maka busa
tersebut akan lebih cepat hilang dan ini berarti ketahanan busa menurun.
Oleh sebab itu, hasil dari tabel VI yang menunjukkan adanya perubahan
signifikan pada formula ab dapat disebabkan karena terjadinya fluktuasi
ketahanan busa tersebut, sehingga nilai ketahanan busa yang didapat saat
pengujian menjadi bervariasi. Sedangkan pada formula 1, a, dan b tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan karena mempunyai nilai p > 0,05.
Tabel VI. Nilai p dari ketahanan busa sediaan sabun cair transparan pada hari ke 2, 7, 14, 21, dan 30
Formula p
C. Efek Faktor dan Grafik Interaksi Faktor
Rancangan percobaan yang digunakan dalam Design Expert 7.0, yang
merupakan desain faktorial dengan dua faktor pada dua level yaitu level rendah
dan level tinggi. Desain formula yang dibuat pada percobaan ini memiliki bobot
total volume yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan agar jumlah
aquademineralisatayang digunakan tetap, sehingga yang terlihat adalah efek dari
betainedan gliserin saja, karena hanya betainedan gliserin yang diatur jumlahnya
sesuai dengan levelnya. Level rendah betaine dan gliserin adalah 30, dan level
tingginya adalah 38. Batas yang digunakan dibuat lebar dengan tujuan agar dapat
terlihat apakah penambahan betaine dan gliserin memiliki efek yang signifikan.
Pada rancangan percobaan dengan desain faktorial yang menggunakan
program Design Expert 7.0, akan didapat efek untuk masing-masing respon dan
model grafik interaksi antara betaine dan gliserin untuk masing-masing respon.
Uji statistik yang digunakan untuk mendeteksi apakah faktor yang digunakan
Pada tabel VII, dapat dilihat nilai probabilitas untuk masing-masing
model, dan dengan mengacu nilai signifikan jika p < 0,05, maka hanya ditemukan
hasil yang signifikan pada uji viskositasnya. Sedangkan untuk ketahanan busa,
pergeseran ketahanan busa dan pergeseran viskositas menunjukan hasil yang tidak
signifikan.
Tabel VII. Tabel signifikansi model persamaan secara ANOVA
No Uji
Nilai
probabilitas
Signifikan jika
p < 0,05
1 Viskositas 0,0001 Signifikan
2 Ketahanan busa 0,6504 Tidak signifikan
3 Pergeseran viskositas 0,1254 Tidak signifikan
4 Pergeseran ketahanan busa 0,5771 Tidak signifikan
Persamaan yang didapat untuk masing-masing respon, yaitu :
a. Viskositas
Y = 145,20833 – 3,02083 A + 0,18750 B – 0,010417 AB
b. Ketahanan busa
Y = 1,83750 - 0,039583 A – 0,039583 B + 0 AB
c. Pergeseran viskositas
Y = - 15,95719 + 0,58161 A + 0,27120 B + 0 AB
d. Pergeseran ketahanan busa
Berdasarkan hasil pada tabel VII, maka model persamaan ini belum dapat
digunakan untuk langkah optimasi, karena sebagian besar hasil yang didapat tidak
signifikan. Ini berarti bahwa model persamaan yang dihasilkan tidak valid
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar optimasi.
Efek adalah perubahan respon saat faktor berubah dari level rendah ke
level tinggi, sedangkan nilai dari persen kontribusi digunakan pada tiap respon.
Grafik interaksi merupakan gambaran dari interaksi dua faktor yang digunakan.
Grafik interaksi juga menunjukkan gambaran dari efek faktor pada tiap respon.
1. Efek Faktor Pada Respon
Efek faktor pada masing-masing respon dapat diketahui nilainya melalui
nilai efek, sum of squares dan persen kontribusinya dalam memberikan efek
terhadap respon yang diteliti. Dalam hal ini, faktor yang dimaksud adalah variabel
bebas yang ditentukan. Faktor A untukbetaine dan faktor B untuk gliserin. Nilai
efek bernilai positif dan negatif, dimana nilai pofitif berarti meningkatkan respon
dan nilai negatif berarti menurunkan respon yang diamati. Persen kontribusi
didapatkan dari sum of squares dibagi dengan total of squares dan dikalikan
seratus persen. Nilai dari persen kontribusi dapat menjadi tinggi karena tidak
memperhitungkan degress of freedom pada percobaan. Oleh sebab itu, biasanya
digunakan nilai mean of square yang didapat dari sum of squares dibagi dengan
degrees of freedom faktor. Nilai degrees of freedom pada tiap faktor pada
penelitian ini bernilai 1, sehingga nilaimean of squaressama dengan nilai persen
kontribusi. Oleh karena itu, persen kontribusi dapat digunakan dalam menentukan