• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

7. Foto-foto lokasi penelitian

Foto a. Gerbang utama Tahura Foto b. Papan petunjuk fungsi Pancoran Mas Pancoran Mas

Foto c. Lokasi Tahura dekat dengan Foto d. Kondisi di dalam Tahura pemukiman warga

Foto e. Kondisi Tahura dari luar Foto f. Kondisi pemukiman warga di sekitar Tahura

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 276/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 kawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok diubah fungsinya menjadi kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Pancoran Mas Depok dan dikelola oleh pemerintah pusat, pada waktu itu adalah Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Pemda Provinsi Jawa Barat dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kota Depok (sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999). Badan Lingkungan Hidup Kota Depok merupakan institusi di bawah Pemerintah Daerah Kota Depok yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam pengelolaan kawasan Tahura Pancoran Mas Depok. Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 107/Menhut- II/2003 bahwa kawasan konservasi yang berfungsi sebagai Tahura pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi untuk lintas kabupaten, dan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk kawasan Tahura yang berada dalam wilayah satu kabupaten/kota. Tahura Pancoran Mas Depok memiliki luas sebesar + 6 Ha. Setelah dilakukan pengukuran dan penataan batas pada bulan Desember 2009 bahwa luas kawasan Tahura Pancoran Mas Depok adalah 71.559 m2. Saat ini potensi yang ada di dalamnya belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Prospek potensi utama yang dapat dikembangkan di kawasan ini adalah sesuai dengan fungsinya yaitu untuk kegitan wisata, pendidikan, penelitian, dan koleksi tumbuhan baik asli maupun introduksi. Masyarakat memiliki persepsi terhadap kehadiran Tahura saat ini adalah dengan mengetahui manfaat Tahura sebagai sumber air dan sebagai penyejuk kota (Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2010).

Tahura Pancoran Mas Depok sebelumnya merupakan Cagar Alam Pancoran Mas Depok, yang dulunya merupakan bagian dari tanah milik seorang tuan tanah peranakan Belanda–Perancis eks VOC bernama Cornells Chastelein. Dia dikenal sebagai saudagar warga negara Belanda yang membuka lahan perkebunan di Depok. Hal ini terjadi pada akhir abad ke 17, Chastelein membelinya dengan

harga 700 ringgit dan status tanah ini adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Setelah Chastelein meninggal pada tanggal 28 Juni 1714 tanah tersebut dihibahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, selanjutnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 7 tanggal 13 Mei 1926 (Staat Blad No. 245). Kawasan ini merupakan kawasan cagar alam pertama yang ditetapkan dan kemudian menjadi cikal bakal ditunjuknya kawasan cagar alam yang lain. Pada tanggal 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia memberikan ganti rugi sebesar Rp 229.261,26 sehingga seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak milik pemerintah Indonesia kecuali hak-hak eigendom dan beberapa bangunan seperti Gereja, Sekolah, Pastoran, Balai Pertemuan, dan Pemakaman seluas 0,8621 Ha. Sejak itu pula kawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Awalnya pengawasan Cagar Alam Pancoran Mas Depok berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bogor. Adanya perubahan ketentuan membuat pengelolaan Cagar Alam Pancoran Mas Depok berpindah dan dilimpahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. Beberapa tahun kemudian pengelolaan diserahkan kepada Pemda Tingkat I Jawa Barat dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Bogor yang kemudian diserahkan lagi kepada Pemda DKI Jakarta (Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2010).

Cagar Alam memiliki luas sebesar + 6 Ha. Salah satu hal yang nampaknya kawasan ini seolah-olah tidak terkelola adalah status awalnya yang merupakan fungsi cagar alam. Cagar alam adalah kawasan konservasi yang mempunyai tingkat yang paling tinggi untuk tidak dijamah, sehingga kesan tersebut masih tersirat hingga kini. Padahal saat ini fungsinya telah diubah menjadi Tahura, dimana kawasan ini bisa digunakan untuk kepentingan wisata sesuai pembagian blok pengelolaannya (Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk memahami adanya persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan cagar alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok di Kelurahan Pancoran Mas, Depok. Persepsi masyarakat terbentuk

berawal dari sejarah cagar alam yang berubah status menjadi Tahura Pancoran Mas Depok. Pemahaman dan pengetahuan yang baik pada masyarakat tentang sejarah Tahura akan membuat persepsi di masyarakat menjadi positif dengan kehadiran Tahura Pancoran Mas. Saat ini, Tahura Pancoran Mas Depok memiliki potensi yang belum digali lebih dalam, seperti: kondisi Tahura Pancoran Mas yang kurang baik dan masyarakat yang belum peduli dengan adanya Tahura Pancoran Mas. Oleh karena itu diperlukan analisis yang benar untuk mengungkap adanya persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan cagar alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok.

Adapun hal yang harus dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan adanya perubahan persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan cagar alam menjadi Tahura Pancoran Mas Depok agar berdampak positif terhadap kehadiran dan kelestarian Tahura. Faktor internal dan faktor sosio-psikologis digunakan untuk menganalisis lebih jauh adanya perubahan persepsi tersebut. Masyarakat dalam hal ini digolongkan menjadi 2, yaitu: laki-laki dan perempuan yang nantinya akan di wawancara secara mendalam untuk memberikan tanggapan-tanggapan dari pertanyaan yang diajukan pada kuisioner.

Faktor-faktor internal dapat dianalisis dari karakteristik masyarakat, seperti: umur, pendidikan, pekerjaan, jarak tempat tinggal ke lokasi Tahura, jumlah tanggungan keluarga, dan pendapatan. Hubungan karakteristik masyarakat dengan persepsi dapat diketahui dengan analisis Rank Spearman. Responden yang mengetahui sedikitnya sejarah tentang terbentuknya Tahura Pancoran Mas sangat membantu dalam meneliti persepsi masyarakat. Sebaliknya, responden yang tidak mengetahui sama sekali sejarah tentang terbentuknya Tahura Pancoran Mas akan membuat penelitian ini menjadi beragam dengan tanggapan tersebut. Beragamnya tanggapan responden dinilai sebagai hal yang wajar dan perlu analisis yang lebih dalam lagi untuk mengetahui alasan-alasannya.

Faktor-faktor sosio-psikologis dapat dianalisis dari pengalaman masyarakat, seperti: motivasi, pengetahuan, partisipasi, dan sikap. Hubungan sosio-psikologis dengan persepsi dapat diketahui dengan analisis deskriptif. Responden akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan motivasi, pengetahuan,

partisipasi dan sikap. Hasil dari jawaban responden akan menunjukkan hal yang berkaitan dengan persepsi menjadi negatif atau positif dengan keberadaan Tahura Pancoran Mas ini. Persepsi positif yang akan dicapai dari penelitian ini akan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat dalam ikut menjaga dan mengelola tahura. Hal ini perlu, agar Tahura terpelihara dengan baik dan dimanfaatkan secara maksimal fungsinya.

Dengan demikian, penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang lengkap dalam hal persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan cagar alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok. Pihak-pihak yang terkait terhadap pengelolaan tahura, yaitu: Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok dapat segera mengambil tindakan yang akurat dan intensif dalam mengelola Tahura Pancoran Mas Depok kedepannya.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memahami persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan Cagar Alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan Cagar Alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok.

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi yang lengkap tentang persepsi masyarakat terhadap perubahan status kawasan Cagar Alam menjadi kawasan Tahura Pancoran Mas Depok dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi pihak-pihak yang terkait. Selain itu, dapat memberikan pengetahuan baru bagi kalangan akademis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Hutan Raya

Tahura sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1990 adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Tahura (Grand Forest Park) merupakan bentuk pelestarian alam terkombinasi, antara pelestarian eks-situ dan in-situ. Sehingga sebuah Tahura dapat ditetapkan baik dari hutan alam maupun hutan buatan. Namun demikian, fungsi yang jelas sebuah hutan raya adalah sebagai ‘etalase’ keanekaragaman hayati, tempat penelitian, tempat penangkaran jenis, serta juga sebagai tempat wisata. Fungsi Tahura sebagai ‘etalase’ keanekaragaman hayati dan tempat penyelamatan jenis tumbuhan tertentu, yang mulai langka, terancam hampir mirip dengan Kebun Raya. Namun berbeda dengan Kebun Raya yang bisa mengkoleksi tumbuhan besar (sekitar 80%) haruslah tanaman lokal (bioregion) dimana Tahura tersebut berada dan sisanya boleh diisi dengan tanaman dari

bioregion lain (Alamendah 2011).

Indonesia memiliki sedikitnya 22 kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan Tahura. Adapun beberapa kawasan Tahura (Alamendah 2011), antara lain:

1. Tahura Ir. Djuanda; Jawa Barat. Berlokasi di Bandung dengan luas 590 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1995, 14 Januari 1995.

2. Tahura Bukit Barisan; Sumatera Utara. Terdapat di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat dengan luas 51.600 ha. Ditetapkan berdasarkan kepres RI Nomor 48 Tahun 1988, 29 November 1988.

3. Tahura Pancoran Mas Depok, Jawa Barat. Berada di Depok dengan luas 6 ha. Ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 276/Kpts-II/1999, 7 Mei 1999.

4. Tahura R. Suryo; Jawa Timur. Kawasannya meliputi Gunung Arjuno dan Cagar Alam Lalijiwo di Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu dengan luas 27.868,30 ha. Ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 80/Kpts-II/2001, 19 Mei 2001.

5. Tahura Ngurah Rai; Bali. Lokasinya di kabupaten Badung dengan luas 1.392 ha. Ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 067/Kpts- II/1988, 15 Februari 1988.

6. Tahura Dr. Moh. Hatta; Sumatera Barat. Berlokasi di Padang dengan area seluas 12.100 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 193/Kpts-II/1993, 27 Maret 1993.

Setiap Tahura memiliki sejarah yang berbeda-beda, antara lain:

1. Tahura Ir. H. Djuanda, Bandung awalnya berstatus sebagai hutan lindung (Komplek Hutan Gunung Pulosari) yang batas-batasnya ditentukan pada tahun 1922. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 secara otomatis status kawasan hutan negara dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Djawatan Kehutanan.

Kawasan hutan ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Bapak Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah yang pada waktu itu menjabat sebagai Administratur Bandung Utara merangkap Direktur Akademi Ilmu Kehutanan, dan mendapat dukungan dari Bapak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Bapak Soejarwo (Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian). Pada tahun 1963 sebagian kawasan hutan lindung tersebut mulai dipersiapkan sebagai Hutan Wisata dan Kebun Raya. Tahun 1963 pada waktu meninggalnya Ir. H. Djuanda, maka Hutan Lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda untuk mengenang jasa- jasanya dan waktu itu pula jalan Dago dinamakan jalan Ir.H.Djuanda. Untuk tujuan tersebut, kawasan tersebut mulai ditanami dengan tanaman koleksi pohon-pohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Botanical Garden Bogor

(Kebun Raya Bogor) , dengan menanam koleksi tanaman dari Bogor (Kawasan Pelestarian Alam Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda 2010).

2. Tahura Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 29 November 1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas seluruhnya 51.600 Ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini terdiri dari CA/TW. Sibolangit, SM. Langkat Selatan TW. Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit (Dephut 2012).

3. Kawasan Hutan Arjuno Lalijiwo ditetapkan sebagai Tahura R. Soeryo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan 80/Kpts-II/2001 tanggal 19 Mei 2001 dengan luas 25.000 Ha. Sedangkan pembangunannya ditetapkan berdasarkan keputusan Presiden No. 29 Tahun 1992 tanggal 20 Juni 1992. Peresmian Tahura R. Soeryo dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan Pekan Penghijauan Nasional di Propinsi Sulawesi Utara pada tanggal 19 Desember 1992. Tahura R. Soeryo secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Tulungrejo, Kecamatan Batu, Kabupaten Derah Tingkat II Malang, Propinsi Jawa Timur, sedangkan secara geografis Tahura R. Soeryo terletak pada 1120 32’ 00" Bujur Timur dan 700 44' 30" Lintang Selatan. Pengelolaan kawasan berada pada Resort KSDA Lalijiwo Barat, Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jatim I, Balai KSDA IV, Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur (Dephut 2012).

4. Taman Wisata Alam Prapat Benoa ditetapkan sebagai Tahura Ngurah Rai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutan 067/Kpts-II/1988 tanggal 15 Februari 1988 dengan luas 1.373,50 Ha. Tahura Ngurah Rai secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dan Kecamatan Denpasar Kotamadya Denpasar Propinsi Bali, sedangkan secara geografis

Tahura Ngurah Rai terletak pada 1150 9’ 11” Bujur Timur dan 510 48’ 49” Lintang Selatan. Pengelolaan kawasan berada pada Sub Seksi KSDA Badung, Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali, Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Bali (Dephut 2012).

5. Tahura Dr. Moh. Hatta, Sumatera Barat ditetapkan berdasarkan Keppres 193/Kpts-II/1993 tanggal 27 Maret 1993 dengan luas sebesar 240 Ha dan berlokasi di Desa Ladang Padi dikiri kanan jalan Padang-Solok, Kodya Padang. Potensi flora di dalamnya, antara lain: (1) Pemandangannya yang indah, bentangan alam yang merupakan kesatuan lembah, bukit dan dataran daerah perkotaan, pantai dan lautnya yang biru dengan pulau-pulau didalamnya, (2) Arboretumnya sebagai koleksi jenis-jenis flora dari berbagai altitude berkisar antara 300-1000 m diatas permukaan laut, dan (3) Jenis tumbuhan langka Rafflesia gaduttensis dan anggrek alam. Adapun potensi satwa, antara lain: tapir, jenis-jenis kera, siamang, harimau, rusa dan berbagai jenis burung (Dephut 2012).

2.2 Persepsi

Pada Suranto (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi atau menafsirkan informasi yang tertangkap oleh alat indera. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari seseorang (partner komunikasi), yang berupa pesan verbal maupun nonverbal. Persepsi memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan komunikasi, artinya kecermatan dalam mempersepsi stimuli inderawi mengantarkan kepada keberhasilan komunikasi. Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila kita katakan, bahwa persepsi adalah inti komunikasi.

Rakhmat (2004) lebih menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.

Persepsi, seperi juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi persepsi yakni perhatian. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain. Faktor perhatian terbagi menjadi dua, yaitu: Faktor Eksternal Penarik Perhatian dan Faktor Internal Penaruh Perhatian (Rahmat 2004).

1. Faktor Eksternal Penarik Perhatian

Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan.

2. Faktor Internal Penaruh Perhatian

Ada kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat, kita mendengar apa yang ingin kita dengar, Perbedaan pendapat ini timbul dari faktor-faktor internal dalam diri kita, antara lain: faktor-faktor biologis, faktor-faktor sosiopsikologis, motif sosiogenetis, sikap, kebiasaan, dan kemauan dapat mempengaruhi apa yang kita perhatikan.

Adapun menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi sosial (social perception) adalah suatu proses (tepatnya, proses-proses) yang kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain. Karena orang lain memiliki peran penting dalam usaha untuk mencoba mengerti perilaku orang lain, apa yang mereka sukai sebagai individu, mengapa mereka bertingkah laku (atau tidak bertingkah laku) tertentu dalam suatu situasi dan bagaimana perilaku mereka nanti dalam situasi berbeda.

Perbedaan persepsi diri laki-laki dan perempuan, yaitu: laki-laki dan perempuan sering kali menunjukkan tingkah laku yang berbeda atau sikap yang berbeda, perhatian terutama ditunjukkan pada penampilan wanita daripada pria. Dalam banyak contoh, penjelasannya dapat secara biologis, budaya, atau kombinasi dari keduanya (Baron dan Byrne 2004).

Beberapa penelitian menjelaskan tentang persepsi, antara lain: menurut Abdussamad (1993) persepsi adalah tanggapan atau gambaran yang ada dalam pikiran seseorang mengenai suatu obyek atau informasi yang diterimanya.

Persepsi merupakan proses penggunaan pikiran secara aktif. Persepsi masing- masing orang terhadap suatu obyek yang sama tidak selalu sama. Ada yang dapat memiliki persepsi yang tepat dan ada yang keliru. Kekeliruan persepsi dapat diperbaiki dengan memberikan pengertian yang benar terhadap obyek persepsi. Menurut Syuryawati (1993) persepsi adalah proses penginderaan, penyusunan, dan penafsiran rangsangan suatu obyek atau peristiwa yang diinformasikan kepadanya, sehingga seseorang dapat mengenali, memahami, dan menilai makna rangsangan yang diterimanya sesuai keadaan dirinya dan lingkungan dimana ia berada, sehingga ia dapat menentukan tindakannya. Persepsi merupakan proses aktif penggunaan pikiran sehingga menimbulkan tanggapan, bahkan dapat membentuk sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu.

Persepsi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Zulfarina (2003) persepsi bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik pengalaman masa silam, tetapi karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status kependudukan berhubungan dengan persepsi responden, karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognisi orang tersebut.

Di dalam penjelasannya Zaden (1984) dalam Harahap (2004) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pengumpulan dan penafsiran informasi. Persepsi merujuk kepada beberapa proses dimana kita menjadi tahu dan berfikir beberapa hal, berupa karakteristik, kualitas dan pernyataan diri. Kita membentuk pandangan kita mengenai beberapa hal tersebut untuk menetapkan dan membuat perkiraan serta mengatur pandangan kita mengenai masyarakat berdasarkan informasi.

Pentingnya persepsi terhadap lingkungan menurut hasil penelitian Erwina (2005) bahwa alasan perlunya penelitian persepsi terhadap lingkungan adalah untuk mencapai secara optimal kualitas lingkungan yang baik, yakni kualitas lingkungan yang sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Hal ini sesuai dengan definisi persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi dan keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu. Kualitas lingkungan selayaknya dipahami secara subyektif, yakni dikaitkan dengan aspek- aspek psikologis dan sosio kultural masyarakat. Dengan demikian kualitas lingkungan ini harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang

memenuhi prefensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan ini menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengartikan kualitas lingkungan hanya dari aspek fisik, biologis dan kimia saja.

2.3 Motivasi

Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu (Adi 1994 dalam Uno 2007).

Beberapa hasil penelitian yang menjelaskan tentang motivasi, antara lain: menurut Ngadimin (1998) individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi dan bukan suatu benda mati yang bergerak hanya bila ada daya dari luar yang mendorongnya, melainkan makhluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak. Daya yang terdapat pada manusia untuk melakukan sesuatu tindakan dikenal dengan motivasi. Adapun menurut Manubowo (2003) motivasi sebagai suatu kondisi dalam diri individu tidak dapat diamati secara langsung, yang dapat diamati adalah tingkah laku yang didorong oleh motif-motif tertentu serta mewujudkan adanya motif itu.

Motif dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) Motif biogenetis, yaitu motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnya lapar, haus, kebutuhan akan kegiatan dan istirahat, mengambil nafas, seksualitas, dan sebagainya; (2) Motif sosiogenetis, yaitu motif- motif yang berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif ini tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan setempat. Misalnya, keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan cokelat dan lain-lain; (3) Motif teologis, dalam motif ini manusia adalah sebagai makhluk yang berketuhanan, sehingga ada interaksi antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan

Yang Maha Esa, untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya (Gerungan 1996 dalam Uno 2007).

Pada penjelasannya Zainun (1989) menyatakan bahwa motivasi dapat ditafsirkan dan diartikan berbeda oleh setiap orang sesuai tempat dan keadaan daripada masing-masing orang itu. Salah satu di antara penggunaan istilah dan konsep motivasi ini adalah untuk menggambarkan hubungan antara harapan dengan tujuan. Setiap orang dan organisasi ingin dapat mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dalam kegiatan-kegiatannya. Satu tujuan biasanya ditampilkan oleh berbagai tanggapan yang ditentukan lebih lanjut oleh banyak faktor. Tidaklah mudah untuk memperoleh jawaban pertanyaan: “Apa sebenarnya yang merupakan tujuan seseorang”. Keanggotaannya pada sesuatu organisasi banyak menentukan motivasi dan tingkah laku perncarian atas pencapaian tujuan.

Di dalam bukunya Hersey dan Blanchard (1982) menyatakan bahwa orang- orang tidak hanya berbeda dalam kemampuan mereka melakukan sesuatu tetapi

Dokumen terkait