• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Total Padatan Tersuspensi Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi,

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2.6. Pengukuran Total Padatan Tersuspensi Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi,

monitoring dan pengelolaan wilayah pesisir melalui kemampuannya memberikan gambaran sinopsis dari wilayah tersebut (Ambarwulan et al., 2003). Citra satelit merupakan salah satu hasil dari teknologi penginderaan jauh yang dapat

menggambarkan secara detail kenampakan di bumi. Salah satu aplikasinya adalah dapat mempelajari kualitas air di suatu perairan terbuka. Kualitas perairan

memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu yang dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982). Kualitas suatu perairan yang dapat dipelajari menggunakan citra satelit diantaranya adalah konsentrasi padatan tersuspensi. Seluruh tubuh perairan secara alami mengandung bahan

tersuspensi yang terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Menurut Clark (2002) in Sutherland (2006) padatan tersuspensi organik sendiri terdiri dari partikel planktonik (zooplankton dan fitoplankton), algae, bakteri dan detritus (dekomposisi dari zooplankton, fitoplankton, dan tumbuhan makro). Padatan tersuspensi dapat dipantau dengan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan model statistik.

Sifat optik laut dapat dilihat berdasarkan pembentuk warna perairan.

Berdasarkan materi pembentuk warna perairan, maka perairan dibagi menjadi dua, yakni (Robinson, 1985): kasus I merupakan daerah perairan lepas pantai

(oseanik) yang jernih dengan komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a); dan kasus II merupakan perairan turbid di daerah pesisir, dimana sifat optik air laut kemungkinan besar didominasi oleh material sedimen (suspended material), material organik (yellow substances) dan material lainnya.

Pada perairan kasus II, material tersebut membuat banyaknya perbedaan daya serap dan pantul dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terhadap perairan dan waktu yang berbeda. Penentuan koefisien absorpsi dan fungsi hamburan (scattering) pada perairan kasus II sangat sulit (Fischer dan Doerffer, 1987). Salah satu penyebabnya adalah berbedanya koefisien nilai absorpsi material-material yang terdapat pada perairan kasus II (Gambar 1) serta kurang rincinya resolusi spasial untuk daerah pesisir dan muara sungai (Meaden dan Kapetsky, 1991).

Gambar 1. Koefisien absorpsi normal untuk klorofil ( ), yellow substance (…) dan padatan tersuspensi (---) berdasarkan panjang gelombang (Fischer dan Doerffer, 1987).

Warna air laut dan partikel tersuspensi di suatu perairan dapat dideteksi oleh berbagai spektrum gelombang elektromagnetik. Salah satunya adalah spektrum gelombang cahaya tampak yang berkisar pada panjang gelombang 390-740 nm (Bukata et al.,1995 in Sutherland, 2006), namun hal tersebut bergantung pada intensitas cahaya. Intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan bertambahnya lapisan air. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami

pembiasan yang mengakibatkan kolom perairan yang jernih akan terlihat berwarna biru.

Metode pengukuran total padatan tersuspensi dengan citra satelit bersifat lokal. Artinya bahwa algoritma suatu perairan belum tentu dapat digunakan di perairan lain. Setidaknya terdapat beberapa algoritma yang digunakan dengan citra satelit yang berbeda yaitu algoritma empiris yang didasarkan hubungan antara nilai digital citra dan nilai radian atau nilai reflektansi (Sulma et al., 2005). Model algoritma empiris pendugaan parameter kualitas air dibuat dengan terlebih

dahulu mengetahui kanal yang sensitif dan kanal yang tidak sensitif terhadap parameter yang akan diamati. Pemilihan kanal yang sesuai untuk

mengembangkan model atau algoritma dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal yang potensial menduga kualitas air tersebut. Pada data MODIS, kanal yang sesuai untuk digunakan untuk memantau parameter kualitas air antara lain kanal 1 dan 2 (untuk resolusi spasial 250 m), dua kanal (kanal 3 dan 4) (459-565 nm) pada resolusi spasial 500 m, dan 9 kanal (kanal 8-19) (visibel-inframerah dekat) pada resolusi spasial 1000 m (O’Reilly et al., 1998 in Prasasti et al., 2005).

2.7. Pengukuran Klorofil-a Dengan Citra Satelit

Penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi klorofil dan pola sebarannya dalam suatu perairan. Sebagaimana dengan pengukuran sedimen tersuspensi, penginderaan klorofil dalam air didasarkan pada pengembangan hubungan antara reflektansi kanal atau rasio kanal dengan klorofil.

Satelit penginderaan jauh telah berhasil mendeteksi marak alga pada perairan skala besar dengan menggunakan citra satelit MODIS dengan resolusi spasial 1 km. Untuk perairan pesisir digunakan citra satelit MODIS dengan resolusi medium (250 dan 500 km) (Kahru et al., 2005). Data reflektansi terkoreksi dari MODIS kanal 1 (620-670 nm), 2 (841-876 nm), 3 (459-479 nm) dan 4 (545-565 nm) digunakan untuk membuat sebaran marak alga (Kahru et al., 2005).

Hubungan linier antara klorofil-a dan energi hamburan alga muncul terutama pada panjang gelombang 700-705 nm dan klorofil-a memiliki nilai absorpsi pada panjang gelombang 390-680 nm (Ritchie dan Cooper, 2000).

Gambar 2. Grafik nilai absorbsi klorofil-a dan klorofil-b pada panjang gelombang tampak (Ritchie dan Cooper, 2000).

Warna laut didefinisikan sebagai radians atau energi gelombang

elektromagnetik yang keluar dari permukaan air laut pada panjang gelombang tampak (400- 700 nm). Energi tersebut dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air seperti total pigmen (perjumlahan antara konsentrasi klorofil-adan faeofitin-a), bahan organik dan anorganik yang tersuspensi (seston) dan lain-lain (Barale, 1986; Holigan et al., 1989; Wouthuyzen, 1991 in Tarigan, 2008). Komponen utama yang mempengaruhi sifat optik-biooptik air laut di daerah lepas pantai adalah pigmen–pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a). Klorofil-a

merupakan parameter kualitas air yang sifat optisnya paling kuat dan memiliki peranan yang penting dalam penentuan tingkat kesuburan suatu perairan.

Menurut Curran (1985) in Prasasti et al (2005), pigmen seperti klorofil-a memiliki sifat absorbansi yang tinggi pada kanal biru dan merah dengan puncaknya masing-masing pada kisaran 430 nm dan 665 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a tidak menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada saluran ini. Puncak absorbsi klorofil terhadap cahaya (Gambar 2) terjadi pada kisaran panjang gelombang 425-450 nm dan

665-680 nm (Yentsch, 1980; Grahme, 1987 in Prasasti et al., 2005 ). Pemilihan kanal yang sesuai untuk mengembangkan model algoritma klorofil-a dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal. Salah satu model algoritma untuk menduga konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta (Wouthuyzen dkk, 2006 in

Tarigan, 2008) adalah :

y = 250.09x3 - 106.92x2 + 11.781x + 0.0776 dimana: y adalah sebaran klorofil-a

x adalah kromatisiti merah = (ND band merah)/(ND band merah + ND band hijau + ND band biru)

15 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 yang terdiri dari tiga tahap yaitu pengambilan data insitu, pengolahan data dan penyusunan

laporan. Pengambilan data in situ dilakukan pada 20 – 26 Maret 2010 (Lampiran 3) dengan lokasi di Perairan Teluk Jakarta yang terletak pada koordinat 5° 43’ 3.6” LS – 6° 13’ 59.99” LS dan 106° 24’ 0” BT – 107° 21’ 49.3” BT (Gambar 3).

Gambar 3. Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data dan penyusunan laporan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pengolahan data geografis, HEGTool, Idrisi Andes dan MS Office. Bahan penelitian berupa data citra MODIS level 1B yang telah terkalibrasi nilai radiansnya diperoleh dari

NASA. Citra MODIS yang digunakan memiliki resolusi spasial 500 meter dan memiliki resolusi temporal dengan basis harian (2 hari). Pada penelitian ini hanya digunakan 3 kanal pada panjang gelombang tampak, yaitu kanal merah (MODIS band 1: 0,620-0,670 µm), biru (MODIS band 3: 0,459-0,479 µm) dan hijau (MODIS band 4: 0,545-0,645 µm). Akuisisi dan perolehan citra MODIS terlihat pada Tabel 2. Perekaman citra dilakukan pada tanggal yang sama dengan pengambilan data in situ.

Tabel 2. Perolehan Data Konsentrasi TSS Perairan dan Klorofil-a No. Tanggal Akuisisi Citra MODIS

Perolehan Citra

Data in situ Keterangan P2O

LIPI Hasil Unduh*

1 4 Februari 2010 - - Aqua 2 22 Maret 2010 - Terra 3 24 Maret 2010 - Terra 4 7 April 2010 - - Terra 5 9 April 2010 - - Aqua 6 12 April 2010 - - Terra 7 19 April 2010 - - Aqua 8 21 April 2010 - - Aqua 9 12 September 2010 - - Terra 10 14 September 2010 - - Terra 11 18 September 2010 - - Terra

*) Diperoleh dari website: http://rafidfire.sci.gsfc.nasa.gov/realtime/

Pengambilan data in situ dilakukan sekitar ± 2 - 3 jam dari waktu lintasan citra diatas Teluk Jakarta , yaitu sekitar pukul 07.30-12.00. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data in situ yaitu kapal, kertas saring whatman

GF/C, cool box, es batu, botol sampel plastik, vacuum pump, timbangan, oven dan sampel air laut perairan Teluk Jakarta (Lampiran 4).

3.3 Proses Pengolahan Data Citra

Pengolahan citra satelit MODIS hingga menghasilkan output yang akan dikaji secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Kanal-kanal yang akan digunakan untuk memperoleh nilai radiansi pada padatan tersuspensi kaitannnya dengan marak algaadalah kanal 1 (merah), kanal 4 (hijau) dan kanal 3 (biru).

Gambar 4. Diagram alir proses pengolahan data citra Data insitu

padatan tersuspensi

Peta sebaran padatan tersuspensi di Teluk Jakarta Pengembangan model Uji model Seleksi model Citra sebaran Padatan tersuspensi Penerapan model algoritma padatan tersuspensi Klasifikasi Citra MODIS kanal 1, 3, 4 Ekstraksi citra Padatan tersuspensi Klorofil-a Citra sebaran Klorofil-a Klasifikasi Peta sebaran klorofil-a di Teluk Jakarta

3.3.1 Ekstraksi Citra

Pengolahan citra diawali dengan dilakukannya koreksi geometrik,

radiometrik dan atmosferik untuk mengurangi noise pada data. Citra MODIS yang sudah terkoreksi kemudian di ekstraksi nilai digitalnya menjadi nilai radiansi. Ekstraksi citra dibagi menjadi dua yaitu ektraksi untuk estimasi

konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) yang akan digunakan untuk pengembangan model dan ekstraksi klorofil-a. Proses ekstraksi nilai digital menjadi nilai radiansi menggunakan persamaan berikut:

Radiansi = DN*Scale + Offset………. (pers.1) Nilai koefisien skala dan offset untuk mengubah digital number (DN) ke dalam radiansi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai koefisien untuk mengubah DN ke radiansi (W m-2 µm-1 sr-1) di panjang gelombang sinar tampak dari satelit Terra dan Aqua MODIS Satelit Kanal -1 (merah) Kanal - 4 (hijau) Kanal - 3 (biru)

Scale offset Scale offset Scale offset

Terra 0.0262678 0 0.0189215 0 0.0216817 0

Aqua 0.0286548 0 0.0188667 0 0.0219852 0

Sumber: NASA Goddart Space Flight Center

Nilai ekstrak radiansi citra MODIS untuk TSS digunakan bersama dengan data in situ TSS untuk membuat model algoritma yang sesuai untuk estimasi TSS. Model percobaan kemudian di uji dengan uji-uji statistik dan diseleksi untuk mencari model algoritma yang paling baik digunakan.

Sebaran klorofil-a dipetakan dengan menggunakan algoritma yang sudah ada yaitu algoritma Wouthuyzen dkk (2006):

y = 250.09x3 - 106.92x2 + 11.781x + 0.0776……… (pers.2) dimana: y adalah sebaran klorofil-a

x adalah kromatisiti merah = (ND band merah)/(ND band merah + ND band hijau + ND band biru)

3.3.2 Pengembangan Model

Pengembangan model empiris pendugaan total padatan tersuspensi dilakukan dengan cara mengkorelasikan nilai ekstrak radiansi citra MODIS pada koordinat yang sama dengan menggunakan berbagai bentuk persamaan regresi (Tabel 4). Pengembangan model algoritma untuk estimasi konsentrasi padatan tersuspensi perairan dilakukan dengan komposit nilai radiansi pada kanal 1, kanal 3, dan kanal 4 yang dapat menggambarkan distribusi blooming alga (Kahru et al. 2005). Perbandingan radiansi yang digunakan untuk menduga parameter padatan

tersuspensi dapat berupa radiansi pada kanal tunggal, rasio antar kanal, ataupun transformasi kromatisiti antar kanal dari citra MODIS. Berdasarkan Wouthuyzen

et al. (2008) in Lestari (2009),transformasi radiansi pada kanal 1 (merah), kanal 4 (hijau) dan kanal 3 (biru) pada citra MODIS adalah sebagai berikut:

1. Rasio kanal merah / biru =

3 1

kanal kanal

2. Rasio kanal merah / hijau =

4 1

kanal kanal

3. Rasio kanal biru / hijau =

4 3 kanal kanal 4. Kromatisiti merah = ) 4 3 1 ( 1 kanal kanal kanal kanal + +

5. Kromatisiti biru = ) 4 3 1 ( 3 kanal kanal kanal kanal + + 6. Kromatisiti hijau = ) 4 3 1 ( 4 kanal kanal kanal kanal + +

Persamaan yang akan dicoba untuk membuat model algoritma yaitu bentuk persamaan regresi pada Tabel 4. Variabel x adalah nilai radiansi citra setiap kanal, sedangkan y adalah nilai konsentrasi padatan tersuspensi pada koordinat dan tanggal yang sama.

Tabel 4. Bentuk Persamaan Regresi

No. Model Persamaan Bentuk Model

1 Linear y = ax + b 2 Eksponensial y = a * exp(bx) 3 Polinomial (orde 2) y = ax2 + bx + c 4 Polinomial (orde 3) y = ax3 + bx2 + cx + d 5 Logaritmik y = a*ln(x) + b 6 Power y = a * xb

Model algoritma yang akan dikembangkan menggunakan persamaan regresi antara konsentrasi TSS in situ dengan nilai radiansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan transformasi kromatisiti kanal merah, hijau atau biru. Algoritma yang telah dihasilkan selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam estimasi padatan tersuspensi dan divalidasi dengan nilai in situ. Dari beberapa model algoritma pendugaan nilai TSS yang dihasilkan kemudian dipilih yang terbaik dengan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan RMS error (Root mean square error) terkecil, untuk melihat keeratan hubungan antara nilai data in situ

dan hasil dugaan. Bila R2 mendekati +1 hubungan antara kedua peubah tersebut kuat, maka terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Sebaliknya jika R2

Sedangkan nilai RMS error yang mendekati nilai nol (0) akan menunjukkan model algoritma semakin baik.

RMS error = 2 ) ( 2 − − n dugaan nilai insitu nilai ……… (pers.3) Keterangan: Nilai insitu adalah konsentrasi TSS hasil pengukuran

Nilai dugaan adalah konsentrasi TSS hasil pengembangan model

n adalah jumlah data

3.3.3 Pengujian Model

Pengujian model bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara nilai dugaan konsentrasi TSS dari pengembangan model dengan data in situ konsentrasi TSS. Pengujian model ini dilakukan setelah mendapatkan nilai R2 dan RMS error yang paling baik. Untuk pengujian model digunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t), uji residual analisis dan uji dua variabel (uji-F).

Uji-t adalah uji hipotesis yang menolak hipotesis nol jika statistik sampel secara signifikan lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai parameter yang diasumsikan. Hipotesis tersebut diharapkan nilai tengah konsentrasi TSS in situ

dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan tidak berbeda nyata (µ1 = µ2) atau terima H0 sehingga model yang digunakan tervalidasi dengan baik untuk menduga konsentrasi TSS. Hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatifnya (H1) adalah

(Harinaldi, 2005):

H0 : µ1 = µ2

Keterangan: H0 adalah bila nilai tengah konsentrasi TSS in situ sama dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan.

H1 adalah bila nilai tengah konsentrasi TSS in situ tidak sama

dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan.

µ1adalah nilai tengah konsentrasi TSS in situ.

µ2adalah nilai tengah konsentrasi TSS dugaan.

Uji residual analisis merupakan uji perbedaan antara parameter dugaan yang berasal dari hasil pemodelan dengan parameter insitu sebagai validasinya. Residual memberikan tampilan porsi validasi data yang tidak dapat dijelaskan oleh model (Mathworks, 2010). Uji residual analisis ini bertujuan untuk mengetahui selisih antara nilai TSS hasil dugaan dengan nilai data TSS insitu. Dari hasil uji tersebut dapat diketahui besar ketepatan antara TSS dugaan dengan TSS insitu yang dibatasi antara kedua parameter tersebut. Hasil yang akan diperoleh dari uji ini adalah:

Ketepatan hubungan (%) ± kesalahan duga (bias)

Uji-F digunakan untuk pengujian dua sampel atau lebih yang berbeda. Dalam uji-F parameter dan hipotesisnya berbeda dibandingkan dengan uji-t. Parameter yang diujikan dalam uji-F adalah antara konsentrasi TSS hasil

pendugaan dengan klorofil dari model hubungan yang terbentuk. Uji-F dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara

konsentrasi TSS dengan klorofil. Hipotesis yang digunakan dalam uji-F adalah (Walpole, 1995):

H0: = 0

dimana: H0 adalah bila ada hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a.

H1 adalah bila tidak ada hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a. adalah nilai pendugaan TSS dan klorofil-a.

3.4 Proses Pengolahan Data in situ

Data total padatan tersuspensi in situ dihitung dengan metode gravimetri. Prinsip dari metode ini adalah melewatkan sampel melalui media saring berpori, semua zat padat yang tersuspensi akan tertahan pada permukaan media saring. Padatan tersuspensi dapat dihitung dengan menimbang bobot kering. Kertas saring yang akan digunakan sebelumnya dikeringkan di oven dengan suhu 80oC selama 30 menit, kemudian ditimbang berat kering filter. Pengambilan sampel air dilakukan di perairan Teluk Jakarta sesuai dengan stasiun yang telah ditentukan sebelumnya. Air sampel dimasukkan kedalam botol polietilen dan disimpan didalam coolbox berisi es batu. Proses penyaringan menggunakan kertas saring GF/C dan vacuum pump. Bagian yang tersaring dikeringkan dengan suhu 80°C selama ± 18 jam untuk mendapatkan berat keringnya. Nilai padatan tersuspensi dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :

TSS (mg/l) = ) ( ) ( l disaring yang air volume Wo Wt

Keterangan: Wt = Berat kering sampel dan filter (mg)

Wo = Berat kering filter (mg)

Data lapang dibutuhkan untuk pengujian akurasi data total padatan tersuspensi hasil olahan citra.

24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengembangan Model Estimasi TSS

Hasil pengembangan model estimasi TSS di Teluk Jakarta menggunakan beberapa persamaan regresi, yaitu eksponensial, linear, logaritmik, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power untuk nilai radiansi rasio antar kanal merah dan biru (K1/K3), rasio kanal merah dan hijau (K1/K4), serta rasio kanal biru dan hijau (K3/K4) disajikan dalam Tabel 5, sedangkan transformasi radiansi

kromatisiti kanal biru (K3/K1+K3+K4), radiansi kromatisiti kanal hijau (K4/ K1+K3+K4) dan radiansi kromatisiti kanal merah (K1/ K1+K3+K4) disajikan pada Tabel 6.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa persamaan logaritmik rasio antara kanal merah terhadap hijau (K1/K4) , yaitu :

TSS (mg/l) = 6.332ln(K1/K4) + 92.55 ... (Pers. 4)

adalah merupakan model pendugaan TSS yang terbaik dari kelompok

transformasi rasio dengan nilai R2 tertinggi (0.547) dan RMS error yang rendah (0.021). Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa persamaan regresi linier radiansi kromatisiti kanal merah (K1/ K3+K4+K1) dengan persamaan, yakni:

TSS (mg/l) = 44.06 (K1/( K1+K3+K4)) + 80.26 …………..……….. (Pers. 5)

merupakan model pendugaan TSS yang terbaik dari kelompok transformasi kromatisiti dengan nilai R2 termasuk yang tertinggi (0.594) dan RMS error yang rendah (0.019), selain itu model tersebut memiliki nilai bias cukup rendah yang dapat dibuktikan dengan uji residual analisis (Gambar 8).

Tabel 5. Model algoritma pendugaan TSS menggunakan transformasi rasio antar kanal dari berbagai persamaan regresi (Model yang dicetak tebal adalah yang terbaik dari seluruh model)

Rasio

Persamaan Model Hubungan RMS

error Kanal K1/K3 Eksponensial y = 84.60e0.143x 0.503 0.3546 Linear y = 13.51x + 84.17 0.505 0.0143 Logaritmik y = 9.541ln(x) + 97.44 0.519 0.0018 Polynomial orde 2 y = -6.351x2 + 23.09x + 80.83 0.512 0.0317 Polynomial orde 3 y = 74.56x3 - 182.4x2 + 153.3x + 50.95 0.545 0.0189 Power y = 97.42x0.101 0.52 0.0911 K1/K4 Eksponensial y = 87.64e0.049x 0.525 0.5723 Linear y = 4.679x + 87.49 0.526 0.0169 Logaritmik y = 6.332ln(x) + 92.55 0.547 0.0206 Polynomial orde 2 y = -1.675x2 + 9.767x + 84.28 0.545 0.0182 Polynomial orde 3 y = -0.875x3 + 2.309x2 + 4.316x + 86.47 0.547 0.0289 Power y = 92.48x0.067 0.548 0.2097 K3/K4 Eksponensial y = 88.78e0.029x 0.179 0.6568 Linear y = 2.765x + 88.72 0.178 0.0360 Logaritmik y = 5.673ln(x) + 90.60 0.181 0.0158 Polynomial orde 2 y = -0.831x2 + 6.441x + 85.05 0.187 0.0317 Polynomial orde 3 y = -2.857x3 + 18.53x2 - 34.37x + 111.8 0.213 0.2045 Power y = 90.58x0.060 0.181 0.3826

Keterangan : y = konsentrasi TSS dugaan

Tabel 6. Model algoritma pendugaan TSS menggunakan transformasi kromatisiti dari berbagai persamaan regresi (Model yang dicetak tebal adalah yang terbaik dari seluruh model)

Rasio

Persamaan Model Hubungan RMS

error Kanal K3 Eksponensial y = 107.5e-0.31x 0.108 0.3556 Linear y = -29.14x + 106.7 0.108 0.0371 Logaritmik y = -12.9ln(x) + 83.17 0.113 0.2500 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 y = 324.1x2 - 313.7x + 168.5 0.129 0.1406 Polynomial orde 3 y = -8091x3 + 10905x2 - 4897x + 826.3 0.155 0.7400 Power y = 83.70x-0.13 0.112 2.8766 K4 Eksponensial y = 104.4e-0.42x 0.391 0.3546 Linear y = -40.05x + 103.9 0.391 0.0143 Logaritmik y = -9.51ln(x) + 80.48 0.387 0.0018 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 y = 43.62x2 - 61.90x + 106.5 0.392 0.0317 Polynomial orde 3 y = 2193x3 - 1557x2 + 3119x + 78.7 0.402 0.0189 Power y = 81.33x-0.10 0.387 0.0911 K1 Eksponensial y = 81.14e0.468x 0.594 0.2761 Linear y = 44.06x + 80.26 0.594 0.0193 Logaritmik y = 12.86ln(x) + 109.3 0.587 0.0908 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 y = 14.30x2 + 35.29x + 81.53 0.595 0.1781 Polynomial orde 3 y = 2917x3 - 2692x2 + 844.4x + 4.028 0.630 0.2956 Power y = 110.5x0.137 0.589 0.3893

Keterangan : y = konsentrasi TSS dugaan

x = kromatisiti radiansi kanal

Dari kedua Tabel (Tabel 5 dan 6) dan Persamaan tersebut (Pers. 4 dan 5), maka Persamaan 5 yang terdapat pada Tabel 6 dipilih sebagai model atau algoritma akhir pendugaan TSS untuk perairan Teluk Jakarta menggunakan sensor MODIS dengan x merupakan transformasi kromatisiti kanal merah.

Nilai R2 yang tidak terlalu tinggi dikarenakan tidak banyaknya nilai konsentrasi TSS insitu yang digunakan. Hal tersebut akibat banyaknya daerah pengambilan data yang tertutp awan sehingga nilai radiansi yang dihasilkan tidak relevan. Uji analisis lanjutan estimasi konsentrasi TSS akan divalidasi dengan uji-uji statistik.

Plot hubungan antara nilai transformasi kromatisiti radiansi kanal merah dengan TSS ditunjukkan pada Gambar 5. Penggunaan transformasi kromatisiti radiansi kanal merah karena nilai transformasi kromatisiti radiansi kanal merah terhadap data TSS in situ menunjukkan korelasi yang paling tinggi berdasarkan pada Tabel 6 dengan model algoritma yang bercetak tebal. Pada Gambar 5 terdapat hanya 15 data insitu yang digunakan untuk membuat model yang digunakan. Sedikitnya data yang digunakan karena cukup banyak stasiun

pengambilan data insitu lainnya tertutup awan, sehingga data tidak terpakai (harus dibuang).

Gambar 5. Plot hubungan antara kromatisiti radiansi kanal merah dengan TSS.

Dari Gambar 5 diatas dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai radiansi kromatisiti kanal merah, maka semakin tinggi pula nilai TSS-nya. Hal tersebut ditandai dengan nilai positif slope dari model persamaan regresi linear yang dihasilkan. Energi pada panjang gelombang 0.60 m - 0.70 m (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m di perairan jernih. Teluk Jakarta

termasuk dalam perairan kasus II, yaitu perairan yang didominasi oleh TSS baik y = 44.06x + 80.26 R² = 0.594 n = 15 86 88 90 92 94 96 98 100 102 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 T S S ( m g/ l) K1/(K1+K3+K4)

material organik (yellow substance), maupun material anorganik (sedimen), dimana meningkatnya nilai reflektansi atau radians akan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985).

4.2. Analisis TSS Perairan Teluk jakarta

Hubungan antara konsentrasi TSS in situ perairan dengan konsentrasi TSS hasil pendugaan terlihat pada Gambar 6. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa data konsentrasi TSS dugaan relatif lebih rendah dibandingkan konsentrasi TSS insitu, kecuali pada data ke 11, 12 dan 14 yang lebih tinggi dibandingakan TSS insitu. Secara umum, data konsentrasi TSS in situ dengan konsentrasi TSS dugaan memiliki kecenderungan yang hampir sama.

Gambar 6. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS Dugaan

Perbedaan konsentrasi TSS in situ dengan TSS hasil pendugaan disebabkan oleh kondisi citra yang banyak mendapat pengaruh dari tutupan awan maupun kabut tipis (haze) yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik.

82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 T S S ( m g/ l) Data ke-Konsentrasi TSS insitu (mg/l) Konsentrasi TSS dugaan (mg/l)

4.3. Pengujian dan Validasi Data TSS

Terdapat dua pengujian data yang akan dilakukan, yaitu uji-t dan uji residual analisis. Uji-t dan uji residual analisis dilakukan pada variabel yang tidak memiliki keterikatan saling mempengaruhi.

4.3.1. Uji-t

Uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai tengah (µ) antara konsentrasi TSS dugaan dari nilai radiansi transformasi kromatisiti kanal merah dengan konsentrasi TSS insitu (Lampiran 1). Hasil yang diharapkan adalah antara nilai tengah TSS in situ dengan nilai tengah TSS dugaan tidak berbeda nyata (µ1 = µ2) atau terima H0 sehingga model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik dan dapat digunakan. Hasil uji-t antara kedua variabel ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji-t

Variabel t-hitung t-tabel Keterangan TSS insitu dengan TSS hasil pendugaan 0.0035 2.0484 Terima H0

Hasil dari uji-t dari variabel TSS insitu dan TSS dugaan menunjukkan t-hitung berada pada selang ± t-tabel (Gambar 7), sehingga dapat dikatakan terima H0. Terima H0 memiliki arti tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS insitu dan TSS dugaan . Jadi model algoritma dari transformasi kromatisiti kanal merah dapat digunakan untuk mengestimasi konsentrasi TSS.

-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 0 5 10 15 20 R e si d u ( m g/ l) Data

ke-4.3.2. Uji Residual Analisis

Uji residual analisis dilakukan dengan variabel yang berbeda dari uji-F tetapi sama dengan uji-t, yaitu antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan. Hasil yang diharapkan dari uji residual analisis adalah besarnya persentase ketepatan hubungan antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan dengan suatu nilai selisih yang ditentukan (dalam kajian ini nilai yang ditentukan adalah ± 3 mg/l). Pada plot residual analisis, semakin banyak nilai residu yang mendekati nilai nol (0) maka semakin tinggi nilai ketepatannya (Gambar 8) dan semakin menjauhi nilai nol (0) semakin rendah nilai ketepatan duga antara konsentrasi TSS insitu

dengan TSS dugaan. Hasil uji residual analisis menunjukkan bahwa nilai ketepatan duganya yaitu 80% ± 3 mg/l, hasil tersebut diperoleh dari Gambar 8.

Gambar 8. Plot residual analisis

Hasil residual analisis menunjukkan bahwa untuk selang kisaran ± 3 mg/l

Dokumen terkait