Hemolisa adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah menuju ke cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini disebabkan karena pecahnya membran sel darah merah. Membran sel darah merah mudah dilalui atau ditembuh oleh ion-ion H+, OH-NH4+, HCO3-, Cl-, dan juga oleh substansi-substansi yang lain seperti glukosa, asam amino, urea, dan asma urat. Sebaliknya membran sel darah merah tidak dapat ditembus oleh Na+, K+ , Ca2+, Mg2+, fosfat organic dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan protein plasma.(49)
Membran sel darah merah termasuk membran permeable selektif, yaitu membran yang dapat ditembus oleh molekul air dan substansi-substansi tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain. (49)
Ketahanan membran eritrosit terhadap terjadinya hemolisis dapat diketahui dengan mencampurkan eritrosit ke dalam larutan hipotonis (NaCl) dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Larutan hipotonis dengan konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan pecahnya eritrosit. Keadaan ini disebut dengan fragilitas eritrosit. (49) 2.1.7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit
Hemolisa Osmotik
Faktor primer yang mempengaruhi uji fragilitas osmotik adalah bentuk dari sel darah merah itu sendiri serta kondisi fungsional membrane sel eritrosit. Bentuk sel darah merah yang normal adalah bikonkaf, dengan bentuk seperti ini sel darah merah mampu menahan tekanan dari larutan hipotonis dengan meningkatkan volume sel
sebanyak ±70% sebelum akhirnya sel darah merah itu lisis. Keadaan tersebut menunjukkan adanya peningkatan resistensi atau penurunan fragilitas osmotik. Bentuk sel eritrosit normal dengan menggunakan mikroskop elektron ditunjukkan pada gambar 2.5, sebagai berikut.(33,34,35)
Gambar 2.5 Mikogram Elektron Sel Eritrosit Normal (Bikonkaf)
Sumber : http://biologimediacentre.com/foto-foto-mikroskop-elektron-2-sel-dan-jaringan-makhluk-hidup/.
https://vdocuments.site/maqueta-de-enciclopedia-fondef-idea-ca12i10263-simulador-de-fisiologia.html
Sebaliknya penurunan resistensi atau peningkatan fragilitas osmotik eritrosit terjadi karena bentuk sel spherosit yang memiliki area permukaan yang lebih sempit sehingga sedikit menyerap air sebelum mengalami lisis. Sel sferosit adalah sel yang lebih sferoidal (bulat) dibandingkan dengan sel darah merah normal namun tetap mempertahankan membran sel bagian luarnya. Diameter sel sferosit lebih kecil dan
ketebalannya lebih besar dari ukuran sel normal. Ukuran eritrosit dapat berpengaruh terhadap jumlah eritrosit yang berkaitan dengan jumlah hematokrit. Hal tersebut disebabkan jumlah eritrosit yang berhubungan dengan ukuran eritrosit dan akibat rendahnya kandungan oksigen di dalam darah. Seperti yang ditampilkan pada gambar 2.6 dimana terjadi tanda-tanda hemolisis,ditandai dengan perubahan bentuk eritrosit dari kondisi normal (bikonkaf) hingga menjadi sel sferosit.(33,34,35)
Gambar 2.6 Memindai mikrograf elektron dari eritrosit dengan tanda-tanda hemolisis. Mikrograf (a) menunjukkan RBCs dengan bentuk bikonkaf normal tanpa tanda kerusakan atau lesi pada hari ke-0 pada perbesaran rendah 2500x. Namun, sel-sel di mikrograf (b dan c) menunjukkan tanda hemolisis, terdapat lubang (kecil) di
membran sel darah merah. Mikrograf (d dan e) merupakan sferositosis dan echinocytes (burr cell). Mikrograf dari (c) ke (e) berada pada hari ke 28 dan pada
pembesaran yang lebih tinggi.
Sumber : https://www.researchgate.net/figure/Scanning-electron-micrographs-of-erythrocytes-with
signs-of-hemolysis-Micrograph-(a) (c) (e)
a_fig1_291339545?_sg=tmtcJqEql8wmXV5v0ifY0FqvcvLIQx4gk5jQuXO0YB59IeAZBVT1i5KrMti h-oeAa77SgGVqyAfm2mNXlyBM7Q
Membran eritrosit normal, tersusun atas lapisan yang terdiri dari dua jenis lapisan yang berbeda dan tidak melekat satu dengan yang lainnya. Komposisi dan fungsi fisiologis dari setiap lapisannya pun berbeda. Lapisan luar tersusun atas dua lembar fosfolipid asimetris. Melekat dalam lipid bilayer yang memiliki protein transmembrane dan rakitan domain lipid yang berbeda dimana terdapat protein GPI-anchored yaitu glikolipid yang melekat pada C-terminus protein dan berperan penting dalam proses biologis. Lipid bilayer ini berperan sebagai penghalang bagi retensi kation dan anion di dalam sel darah merah sehingga memungkinkan molekul air melewatinya dengan bebas. Sel darah merah memiliki kandungan vitamin K+ intraseluler yang tinggi dan kandungan Na+ intraseluler yang rendah apabila dibandingkan dengan konsentrasi ion yang terdapat di dalam plasma.(36)
Perubahan struktur eritrosit selama proses penyimpanan disajikan pada gambar 2.7 sebagai berikut.(34,37)
Gambar 2.7 Pemindaian mikrograf elektron dari eritrosit yang disimpan dalam kantong darah, dengan pembesaran 10000x, mewakili perubahan morfologi RBC
dalam hari ke-0hingga hari ke-42.
Sumber : https://www.researchgate.net/figure/Scan-electron-micrograph-of-erythrocytes-stored-in-
blood-bags-with-SAGM- 10000x_fig2_291339545?_sg=SXv1iXuhY8jICWMHvQcawGncKE6AeAPB0gaT-WBdTmPC-qDBZ2AAOcPt14lYO5Np18UxG8y_oMqRiZfnaq6ZzA
Selama penyimpanan tersebut, eritrosit akan mengalami serangkaian perubahan biokimiawi dan metabolik. Perubahan ini disebut dengan jejas penyimpanan (storage lesion). Storage lesion (jejas penyimpanan) dapat dibuktikan dengan adanya penurunan
adenosine triphosphate (ATP) dan 2,3 diphospogliserate (DPG) dalam eritrosit, peningkatan potassium dan laktat dehydrogenase (LDH) plasma, serta peningkatan kadar hemoglobin (Hb) bebas pada unit PRC. Adenosine Triphosphat (ATP) diperlukan untuk mempertahankan daya hidup eritrosit, fosforilasi glukosa dan mempertahankan pompa Na-K. Pendinginan selama penyimpanan pun akan menyebabkan kadar ATP menurun dan merangsang pompa Na-K eritrosit untuk menyeimbangkan kadar intrasel dan ekstrasel secara bertahap dengan melepas kalium keluar dari sel dan natrium masuk ke dalam sel eritrosit
Perubahan yang terjadi di antaranya disebabkan dengan adanya konsumsi gula dan proses glikolisis dalam proses metabolisme eritrosit sebagai berikut.
A. Jalur Embden-Meyerhof
Eritrosit ialah suatu sel yang tidak memiliki mitokondria atau organel lainnya juga metabolismee di dalam sitoplasmanya pun sangat rendah. Agar eritrosit tepat dapat berfungsi sebagaimana fungsinya, eritrosit memerlukan penambahan glukosa yang dipecahkan melalui glikolisis yaitu glukosa yang dimetabolisme menjadi laktat.
Untuk setiap molekul glukosa yang digunakan akan dihasilkan dua molekul ATP dan dihasilkan ikatan fosfat energi tinggi. ATP ini berguna dalam mempertahankan volume, bentuk, dan kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran akan menyebabkan pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi secara terus-menerus. Diperlukan pompa natrium ATPase membran, dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP untuk
mengeluarkan tiga ion natrium dari sel dan memasukan dua ion kalium ke dalam sel.
BPG (2,3-Bifosfogliserat) juga berasal dari pemecahan glukosa.(39)
Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH (Nikotinamida Adenosin Dinukleotida Hidrogen) yang diperlukan oleh enzim methemoglobin eduktase untuk mereduksi methemoglobin (hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri menjadi hemoglobin tereduksi yang aktif. 2,3-DPG yang dihasilkan pada pintas Luebering-Rapoport membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin.(39)
B. Jalan Heksosa Monofosfat (Pentosa Fosfat)
Sekitar 5% glikolisis terjadi dengan cara oksidatif, di mana glukosa 6 fosfat dikonversi menjadi 6-fosfoflukonat dan terus menjadi ribulosa 5-fosfat. NADPH (Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat) dihasilkan dan berikatan dengan glutation (GSH) yang menjaga keutuhan gugus sulfidril (-SH) dalam sel termasuk yang di dalam hemoglobin dan membrane sel darah merah. NADPH yang digunakan oleh methemoglobin reduktase lainnya memelihara besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+
yang fungsional aktif. Selain itu dengan adanya O2 selalu terbentuk peroksida yang sangat reaktif, yang juga harus dimusnahkan. Hal ini terjadi secara enzimatik dengan bantuan glutation (GSH). Tripeptida (ɤ-Glu-Cys-Gly) yang atipikal ini membawa satu gugus tiol pada sistein. Pada reduksi methemoglobin dan peroksida, gugus tiol tersebut akan dioksidasi menjadi disulfida yang sesuai (GSSG). Regenerasi GSH dikatalisis
oleh glutation reduktase yang pada proses ini memerlukan NADPH sebagai koenzim.(39)
Gambar 2.8 Proses Glikolisis (Anaerob)
Sumber : http://valvehome.us/glycolysis-pathway-diagram/glycolysis-pathway-diagram-gallery-for-simple-glycolysis-pathway/
Apabila proses glikolisis terganggu dalam sel karena konsumsi gula yang terbatas,maka akan menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi ATP, akumulasi asam laktat (intraseluler) yang merupakan hasil dari proses konversi asam piruvat, kemudian menyebabkan terjadinya penurunan pH darah, akumulasi potassium/kalium di luar sel (ekstraseluler), kurva disosiasi oksigen bergeser ke kiri sebagai penurunan konsentrasi 2,3 DPG (2,3-difosfogliserat) atau daya ikat Hb terhadap oksigen yang menyebabkan berkurangnya oksigen yang dikeluarkan ke jaringan, sehingga oksigen dalam jaringan menurun.(39)
Penurunan kadar ATP menyebabkan terjadi perubahan viabilitas sel didalam darah. Kemudian berpengaruh terhadap perubahaan struktur protein membrane eritrosit serta hilangnya fosfolipid dan kolesterol membrane eritrosit sehingga sel kurang elastis dan akan berubah bentuk manjadi sferis/sferosit. Maka dengan bentuk sel yang sferosit menyebabkan eritrosit mudah lisis atau lebih rentan terhadap lisis osmotik karena kerapuhan membran sel erittrosit terhadap hemolisis meningkat.
Sehingga terjadi peningkatan nilai fragilitas osmotik eritrosit.(39)
Hemolisa Kimiawi
Hemolisa kimiawi adalah suatu kondisi dimana SDM dirusak oleh macam-macam substansi kimia. Dinding SDM terutama dari lipid dan protein, membentuk suatu lapisan lipoprotein. Jadi, setiap substansi kimia yang dapat melarutkan lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membran SDM. Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak, yaitu kloroform, aseton, alcohol benzen, dan eter.
Susbtansi lain yang dapat merusak SDM diantaranya adalah bisa ular, bisa kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzen, pirogalol, asalm karbon, resin, dan senyawa arsen. (49)
SDM yang ditempatkan pada larutan garam yang isotonis tidak akan mengalami kerusakan dan tetap utuh. Tetapi bila SDM ditempatkan dalam air destilata SDM akan mengalami hemolisa karena tekanan osmotik di dalam SDM jauh lebih besar daripada di luar sel sehingga mengakibatkan banyak air masuk ke dalam SDM.
Selanjutnya air yang banyak masuk ke dalam SDM itu akan menekan membran SDM sehingga membran pecah. (49)
pH Darah
Fragilitas eritrosit juga dipengaruhi oleh pH darah dalam larutan hipotonis.
Perubahan pH sebesar 0,1 setara dengan perubahan konsentrasi NaCl sebesar 0,1%.
Pada umumnya, fragilitas eritrosit akan menurun apabila terjadi peningkatan pH. (49)
Sinar Ultraviolet
Sinar ultraviolet yang terdapat dalam sinar matahari dapat meningkatkan lisis membran eritrosit dengan cara membentuk radikal bebas. Paparan sinar matahari juga berpengaruh terhadap eritrosit. Paparan sinar ultraviolet dari matahari dapat menyebabkan terbentuknya molekul oksigen singlet (O2), radikal superoksida (O2), hydrogen peroksida (H2O2), radikal peroksida (ROOo), dan radikal hidroksil (OHo).
Radikal hidroksil (OHo) ini merupakan oksidan yang paling toksik karena dapat bereaksi dengan bermacam-macam senyawa elemen dalam sel seperti protein, asam
nukleat, lipid, dan lain-lain, sehingga dapat dengan mudah dan cepat merusak struktur sel atau jaringan. Reaksi radikal hidroksil (OHo) dengan protein dapat mempercepat terjadinya proteolisis. Membran eritrosit merupakan salah satu membran yang rentan terhadap serangan radikal hidroksil (OHo). Jika radikal hidroksil (OHo) menyerang membran sel, maka dapat terjadi lisis bahkan kematian eritrosit. Hal ini menyebabkan terlepasnya hemoglobin dan dapat berlanjut menjadi anemia. (49)
2.1.7.2 Manfaat Tes Fragilitas Osmotik Eritrosit
Tes fragilitas osmotik menilai kejadian lisis eritrosit akibat adanya osmotic stress.
Tingkat fragilitas osmotik eritrosit dipengaruhi oleh perbandingan luas permukaan sel terhadap volume sel. Peningkatan fragilitas osmotik dapat ditemukan pada sferositosis.
Pada keadaan ini sel mengalami penurunan perbandingan luas permukaan terhadap volume sel. Hal ini menyebabkan sel sferosit tidak dapat mengembang seefektif eritrosit diskoid normal dan menjadi lebih rentan terhadap tekanan osmotik.
Peningkatan fragilitas osmotik juga dapat ditemukan pada anemia hemolitik autoimun (Paleari & Mosca, 2008), pasca transfusi (inkompatibilitas ABO 2 dan Rhesus), toksisitas obat atau zat kimia, leukemia limfositik kronis, dan luka bakar. Pada keadaan talasemia (mayor dan minor), anemia (defisiensi besi, asam folat, B6), polisitemia vera, post splenektomi, nekrosis hati akut dan subakut, dan ikterik obstruktif, fragilitas eritrosit menurun. Tes skrining yang paling sering digunakan untuk penilaian penurunan fragilitas eritrosit, seperti pada talasemia, adalah tes fragilitas (Wiwanitkit, 2009), contohnya One Tube Osmotic Fragility Test (OTOFT).(28)