• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Fraksinasi Osborne

Fraksinasi Osborne merupakan fraksinasi yang umum dikenal dan

digunakan untuk mengelompokkan protein, yaitu berdasarkan sifat kelarutannya dalam berbagai pelarut. Fraksinasi ini membedakan protein menjadi empat kelompok protein, yaitu albumin, globulin, prolamin, dan glutelin. Bender (2006) mendeskripsikan keempat fraksi protein berdasarkan kelarutan tersebut sebagai berikut:

1. Albumin merupakan kelompok protein yang larut air dan dapat dengan mudah terkoagulasi oleh panas.

2. Globulin merupakan kelompok protein yang terkoagulasi oleh panas dan dapat larut dalam larutan garam encer.

3. Prolamin dapat larut dalam etanol (alkohol) 70% tetapi tidak dapat larut dalam air dan alkohol absolut. Umumnya kaya akan asam amino prolin dan glutamin, tetapi rendah lisin.

4. Glutelin merupakan protein yang tidak larut dalam air dan larutan garam netral tetapi larut dalam larutan asam dan basa encer.

Kelarutan protein ditentukan oleh struktur primernya. Protein yang memiliki permukaan polar karena adanya asam-asam amino polar maka akan mudah larut pada pelarut polar. Protein dengan kandungan asam amino hidrofobik yang besar

21

maka sedikit permukaannya yang bermuatan sehingga kelarutannya dalam air menjadi terbatas (Culbertson 2006).

Garam pada konsentrasi rendah (< 0,2 M) dapat meningkatkan kapasitas pengikatan air oleh protein. Hal ini terjadi karena ion garam terhidrasi mengikat lemah gugus protein yang bermuatan. Konsentrasi tersebut tidak mempengaruhi lapisan hidrasi pada gugus protein yang bermuatan. Peningkatan kemampuan pengikatan air ini terjadi karena air berasosiasi dengan ion yang terikat

(Damodaran 1996). Wolf (1972) menyatakan bahwa pada pH 7,0 dengan adanya penambahan 0,2 M NaCl pada larutan protein kedelai akan menurunkan kelarutan dari 58% menjadi 28% (Walker 1978). Konsentrasi garam yang tinggi

menyebabkan banyak air terikat pada ion-ion garam sehingga menyebabkan dehidrasi pada protein (Damodaran 1996). Peran garam terhadap protein seperti pada Gambar 8.

Pelarut organik efektif menyebabkan denaturasi pada protein kedelai (Wolf 1972). Alkohol akan membuat molekul protein terbuka (unfold) sehingga

mereduksi kelarutannya (Walker 1978).

Alkali mendenaturasi protein kedelai dengan cara mengganggu struktur internal molekul 11S dan terdisosiasi menjadi 7S dan akhirnya menjadi subunit 2 dan 3S (Wolf 1972 diacu dalam Walker 1978).

Protein globular umumnya membentuk struktur dengan sisi non polar dan kelompok peptida berada di dalam folded protein dan terkemas dengan kuat. Hal ini menyebabkan tingkat kelarutan protein menjadi terbatas. Skematis folded protein seperti pada Gambar 9. Banyak gugus yang berada pada kondisi awal (native) dan terpendam di dalam folded protein akan dapat bereaksi dengan solven setelah protein tersebut unfolded (Pace et al. 2004).

Protein yang mengalami pemanasan akan terbuka strukturnya (unfold) sehingga kelarutannya cenderung menurun. Kelarutan dapat digunakan sebagai indeks denaturasi protein akibat panas, proses pengolahan dan penyimpanan. Kelarutan dipengaruhi oleh pH, polaritas solven, suhu, dan konsentrasi garam terlarut.

te ta se m. io f) 22 Sumber: Song J. 20099.

Gambar 8 Usulan model peran garam erhadap prootein well-ffolded (a-c) dan protein ak terlarut (d-f). (a) Molekul prootein well-ffolded dalam air bebas garam denggan kondisi pH mendekati pI. Bola hijau

melambanngkan mollekul proteein. Batangg abu-abu melambanngkan rantai sissi hidrofobbik. Batangg ungu dann biru mellambangkann sisi hidrofilik bermuatan positif dan negatif. Lingkaran daan arsiran merah melambanngkan kessetimbangann muatan. Bola keecil biru muda

melambanngkan moleekul air. (b)) Protein weell-folded daalam lingkuungan dengan edikit garam Bola meerah melammbangkan on garam deengan beberapa molekul air yang mengelilinnginya. (c) Kurva antara

konsentraasi garam teerhadap kellarutan prottein. (d) Prootein tak teerlarut dalam airr bebas garaam. Elips hijjau melambbangkan moolekul proteiin tak terlarut dengan sebaagian besar sisi hidrofoobik terpapaar di permuukaan. (e) Moleekul proteinn tak terlarrut dalam lingkungann dengan seedikit garam. (f Kurva anttara konsenntrasi garam terhadap kelarutan prrotein untuk prootein tak terllarut.

.

Sumber: Tannford (1962) ddiacu dalam PPace et al. (20004)

23

2.5.1 Pengaruh pH terhadap Kelarutan Protein

Protein bahan pangan umumnya berupa protein asam karena mengandung residu Asp dan Glu dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah residu Lys, Arg, dan His. Hal ini menyebabkan kelarutan minimal pada pH 4-5 dan kelarutan maksimum pada pH alkali (Damodaran 1996). Hidrofobisitas dan gaya tolak menolak akan meningkat dengan semakin meningkatnya interaksi hidrofobik antar protein sehingga protein akan tetap terlarut pada pI. Denaturasi akibat panas menyebabkan perubahan profil kelarutan protein pada variasi pH. Perubahan tersebut terkait dengan meningkatnya hidrofobisitas protein permukaan akibat struktur yang terbuka. Permukaan protein memiliki kesetimbangan muatan terkait dengan kandungan asam amino dan pH lingkungan protein tersebut (Culbertson 2006).

2.5.2 Pengaruh Suhu terhadap Kelarutan Protein

Suhu umumnya meningkatkan kelarutan molekul dalam solven sejalan dengan laju difusi melalui solven. Hal ini disebabkan oleh peran panas yang meningkatkan energi kinetik rata-rata pada molekul solven. Air sebagai solven akan mengalami hal tersebut dengan adanya pemutusan ikatan hidrogen pada air sehingga meningkatkan kapasitas solut terhadap sejumlah volume air (Sheehan 2009).

Panas akan mengganggu ikatan nonkovalen, seperti ikatan hidrogen terutama pada struktur biomakromolekul. Ikatan kovalen yang menggabungkan kelompok-kelompok molekul memiliki energi ikatan yang rendah daripada energi dalam kelompok-kelompok molekul sehingga adanya pemanasan dapat menyebabkan disintegrasi struktur kovalen yang ada (Culbertson 2006). Hal ini menyebabkan protein akan terputus menjadi komponen peptida dan asam-asam amino. Kapasitas pengikatan air umumnya menurun dengan meningkatnya suhu karena berkurangnya ikatan hidrogen dan kemampuan hidrasi gugus ionik (Damodaran 1996). Waktu pemanasan mempengaruhi kelarutan protein seperti pada Tabel 11.

Reduksi kualitas protein pada tepung kedelai sebagai hasil dari proses berlebihan terkait dengan terutama dengan kombinasi antara destruksi lisin dan

24

sistein serta menurunkan kemampuan lisin dan sistein yang tidak rusak untuk dapat dicerna (Dudley-Cash, 1991 diacu dalam Rodica & Căpriţă 2007). Hal ini dapat dijelaskan dengan reaksi Maillard, yaitu asam amino bebas berikatan dengan gugus karbonil bebas (misalnya gula reduksi atau karbohidrat).

Tabel 11 Pengaruh waktu pemanasan terhadap kelarutan protein Waktu pemanasan

(menit)

Protein terlarut (%)

Protein terlarut terhadap total protein (%) 0 38,19 87,40 10 31,11 71,19 20 26,20 59,95 30 23,27 53,25 60 16,69 38,19

BAB III

Dokumen terkait