• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi relitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame

sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavoir) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004: 161).

Analisis framing sendiri dalam perspektif komunikasi, dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2001: 162).

Frame, menurut Robert M. Entmant adalah pemilihan (selection) dari penonjolan hal yang penting (salience). Lebih jauh ia menyatakan :

To frame is to select some aspect of perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the itemdescribed (Zen 2004: 93).

Todd Gitlin berpendapat bahwa framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Menurut Gitlin, frame adalah

bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai aspek informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi dan skema intepretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk dan mengintepretasi makna di dalamnya (Eriyanto, 2002: 67-69).

Wiliam A. Gomson mendefinisikan framing sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang diterima (Eriyanto, 2002: 67)

Framing oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melakukan encoding, menafsirkan, serta memunculkan informasi yang dapat dikomunikasikan dan dihubungkan dengan kebiasaan dan konvensi pekerjaan jurnalistik. Oleh karena itu framing dapat dikaji sebagai suatu strategi untuk mengonstruksi dan merespon wacana berita (Zen, 2004: 94)

Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai framing, namun ada titik singgung utama dari berbagai definisi tersebut. Secara sederhana, analisis framing

digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Realitas sosial disini dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu (Eriyanto, 2002: 3).

Eriyanto dalam buku Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, Politik Media

memiliki perangkat framing yakni kategorisasi. Kedua, model Robert N. Entman yang memiliki perangkat framing seleksi isu dan penonjolan aspek tertentu dari isu. Ketiga, model William A. Gamson yang memiliki perangkat framing metapors, catchphrase, exemplaar, depiction, visual image, roots, appeals to principle, dan consequences.

Keempat, model Pan Kosicki yang memiliki perangkat framing sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Delia Cristina Balaban dalam Journal of Media Research menuliskan malakah berjudul The Framing or the Interpretation Frames Theory yang mengetengahkan tentang klasifikasi frame. Ia menulis :

There are also attempts to classify frames. Swiss researcher Jörg Matthes talks about two categories of mediatic-frames: formal-stylistic frames and contained frames which structure specific issues. Iyengar and Simon talk about episodic frames and theme frames. ... The multidimensionality of framing phenomenon should not be overlooked. There are: framing by selecting thematic issues, framing by internal structure, by creating relationships between different aspects of the theme and last but not least, framing through foreign contextualization by creating relationships with other topics, What we call in the field frame-bridging (Balaban: 2008: 12)

Tulisan tersebut menyebutkan Jörg Matthes, peneliti Swiss menyebutkan sekitar dua kategori dari mediatic-frames yakni formal-stylistic frames dan contained frames

(yang memiliki stuktur isu spesifik). Iyengar dan Simon menyebutkan tentang episodic frames dan theme frames. Fenomena framing yang multidimensional tidak boleh diabaikan. Ada framing dengan memilih isu-isu tematik, framing oleh struktur internal, dengan menciptakan hubungan antara berbagai aspek dari tema dan terakhir, framing

melalui kontekstualisasi asing dengan menciptakan hubungan dengan topik-topik lainnya, apa kita sebut dalam field frame-bridging (Cristina: 2008: 12).

Dalam proses freming ada dua aspek dilakukan yakni memilah fakta dan menuliskan fakta. Proses pemilihan fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam pemilihan fakta ini selalu terkandung

dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain (Eriyanto, 2002: 69)

Kedua menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khlayak. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan headline di depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2002: 70).

Menurut Pan Kosicki, terdapat beberapa perbedaan jika analisis framing

dibandingkan dengan analisis teks berita lainnya. Pertama, analisis framing tidak memandang teks berita sebagai sarana simbolik teratur yang akan berinteraksi dengan khalayak. Kedua, analisis framing tidak terikat oleh pendekatan stukturalis yang bebas isi terhadap semua wacana. Ketiga, validitas dari analisis framing tidak berdasar pada teks berita saja, tetapi juga pada prosedur sistematik dalam mengumpulkan data (Eriyanto, 2002: 251).

Pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif. Water Lippman menyarakan bahwa dalam proses kerjanya, bukan melihat lalu menyimpulkan dan menulis, tetapi lebih sering adalah menyimpulkan lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Wartawan tidak bia menghindari dari kemungkinan

subjektivitas, memilih fakta apa yang ingin dipilih dan membuang apa yang ingin dia buang (Eriyanto, 2002: 31).

Dari pemaparan diatas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana Tempo edisi Khusus Pemilihan Presiden memilih fakta-fatkta dalam memberitakan ketiga pasangan Capres dan Cawapres. Artinya dalam tataran praktis, bagaimana media mencitrakan karakteristik kepemimpinan mereka dimulai dari masa kanak, ketika remaja, hingga beranjak dewasa, atau ketika menempuh pendidikan tinggi.

Dokumen terkait