• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi media terhadap karakteristik kepemimpinan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu presiden 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstruksi media terhadap karakteristik kepemimpinan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu presiden 2009"

Copied!
249
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN

PESERTA PEMILU PRESIDEN 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus

Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni-5 Juli 2009)

SKRIPSI

Disusun guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh :

NUR HENI WIDYASTUTI

NIM D0205104

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah Disetujui

untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Surakarta, Oktober 2009 Dosen Pembimbing

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Hari : _____________________

Tanggal : _____________________

Panitia Penguji : Drs. Mursito BM, S.U.

NIP. 195307271980031001 (...) Ketua

Drs. Haryanto, M.Lib.

NIP. 196006131986011001 (...) Sekretaris

Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D.

NIP. 197102171998021001 (...) Penguji

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Iyyakana’budu waiyyaka nasta’iin Ihdinash shiratal mustaqiim

(Q.S. Al-Fatihakh: 5-6)

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, karena hanya dengan KuasaNyalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga karya ini adalah upaya untuk menggapai keridlaanNya. Skripsi ini seperti menjadi penghujung masa study Penulis saat menjalani kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Namun, dengan selesainya skripsi ini, justru menjadi titik awal bagi Penulis untuk menjalani proses baru selanjutnya yang lebih baik.

Skripsi ini mengambil tema konstruksi pemberitaan di Majalah Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2009. Pengambilan tema ini dilandasi atas ketertarikan Penulis terhadap dunia jurnalistik dan terhadap Majalah Tempo. Berawal dari pengamatan terhadap kampanye pemilihan presiden yang ingar bingar, Penulis ingin mengetahui bagaimana sosok capres dan cawapres itu ‘sesungguhnya’ tanpa adanya manipulasi image lewat iklan. Pada saat-saat itulah Tempo mengeluarkan Edisi Khusus Pemilihan Presiden (sepuluh hari sebelum pemilihan presiden langsung) yang mengangkat tema tentang karakteristik kepemimpinan mereka. Dari situ, penulis ingin meneliti bagaimana pembingkaian (framing) yang dilakukan pemberitaan Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan para kandidat.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itulah ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada: 1. Drs. Supriyadi SN, S.U. selaku Dekan FISIP UNS berserta seluruh jajaran dekanat, staf,

karyawan dan seluruh civitas akademika FISIP UNS.

(6)

Pembimbing Akademik Penulis, berserta seluruh jajaran dosen, staf pengajar, serta karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS (Mas Budi), terimakasih atas ilmu dan bantuan yang diberikan, semoga akan selalu bermanfaat.

3. Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. selaku pembimbing skripsi, terimakasih atas diskusi, bimbingan, saran yang bermanfaat bagi Penulis. Terimakasih untuk buku Wars Within: The Story of Tempo nya Pak, sekali lagi terimakasih.

4. Ibundaku, Ayahandaku, Adikku, teman terdekatku, serta handai taulan yang lain, terimakasih atas doa, cinta, dan kasih sayang yang tak akan pernah putus.

5. Bapak Arief Zulkifli (Redaktur Utama Majalah Tempo) terimakasih atas kesempatan wawancara ditengah kesibukan Anda yang padat.

6. Keluarga besar LPM VISI FISIP UNS (semua teman seperjuangan di organisasi tercinta) yang telah menyediakan ruang dan waktu untuk sama-sama menimba ilmu dan berbagi banyak hal dalam suka dan duka. Tetaplah semangat untuk menjaga eksistensi organisasi yang kita cintai itu.

7. Seluruh teman-teman segala angkatan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang tergabung dalam HIMAKOM, khususnya teman-teman angkatan 2005. Bersemangatlah kawan untuk tetap berkarya demi mengharumkan nama almamater kita tercinta. Dan juga teruntuk teman-teman di Bildung Enterprise dan Medio Picture, semoga persahabatan ini akan tetap terjaga.

8. Seluruh pihak yang telah banyak membantu, namun tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.

(7)

Penulis menyadari jika skripsi ini tak luput dari kekurangan. Tetapi Penulis berharap skripsi ini tidak hanya menjadi sarana pembelajaran bagi Penulis, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca di masa yang akan datang. Selamat membaca.

Surakarta, Oktober 2009 Penulis ,

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL, SKEMA, DAN GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Telaah Pustaka ... 8

1. Paradigma Konstruktivisme ... 8

2. Teori Konstruksi Realitas Sosial ... 14

3. Media Massa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ... 17

4. Berita dan Konstruksi atas Realitas ... 29

5. Framing sebagai Sebuah Teknis Analisis ... 33

6. Kepemimpinan ... 39

(9)

G. Metodologi Penelitian ... 45

1. Jenis Penelitian ... 45

2. Metode Penelitian ... 46

3. Objek Penelitian ... 53

4. Jenis dan Sumber Data ... 54

H. Validitas Penelitian ... 55

I. Penelitian yang Telah Ada ... 55

BAB II DESKRIPSI MAJALAH TEMPO A. Sekelumit Sejarah Majalah Tempo ... 58

B. Visi, Misi, dan Moto ... 65

C. Karakteristik Majalah Tempo ... 66

D. Struktur Organisasi ... 68

E. Proses Pembuatan Berita dan Kebijakan Redaksional ... 70

F. Ideologi yang Diusung ... 71

BAB III ANALISIS FRAMING BERITA LIPUTAN KHUSUS MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS PEMILIHAN PRESIDEN A. Analisis Berita tentang Megawati Soekarnoputri A.1. Anak Revolusi di Kali Code ... 80

A.2. Luka Batin Gadis Pendiam ... 90

A.3. Tiga Cinta Putri Istana ... 100

A.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Mega ... 107

(10)

B.2. Sudut Elite di Wistminster ... 120

B.3. Jejak Militer dalam Tubuhnya ... 129

B.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Prabowo ... 138

C. Analisis Berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono C.1. Lolos dari Persimpangan Jalan ... 142

C.2. Bukan Sekadar Pendamping ... 151

C.3. Dari Bandung ke Yogyakarta ... 158

C.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan SBY ... 167

D. Analisis Berita tentang Boediono D.1. Ekonom Berirama Calypso ... 170

D.2. Boed, Sang Bima dari Blitar ... 180

D.3. Terpikat Gadis Tetangga ... 188

D.4. Belajar dari Jantung Liberalisme ... 194

D.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Boediono .. 200

E. Analisis Berita tentang Jusuf Kalla E.1. Godfather dari Makassar ... 203

E.2. Saudagar di Lapangan Hijau ... 214

E.3. Kala Jusuf di Jalan Tengah ... 220

E.4. Musim Panas di Fontainebleau ... 227

E.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan JK ... 232

F. Analisis Berita tentang Wiranto F.1. Satu Ayunan di Pintu Mercy ... 234

F.2. Kenangan si Ento ... 245

F.3. Awalnya Hanya ’Rumput’ ... 254

(11)

G. Karakteristik Berita Liputan Khusus Majalah Tempo ... 264

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 272

B. Keterbatasan Penelitian ... 276

C. Saran ... 277

DAFTAR PUSTAKA ... 279

DAFTAR LAMPIRAN

A. Surat Tugas dari Fakultas

B. Transkrip Wawancara dengan Praktisi Media dari Majalah Tempo

C. Pemetaan Elemen Berita

(12)

DAFTAR TABEL, SKEMA DAN GAMBAR

TABEL

Tabel 1 Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme ... 10 Tabel 2 Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme ... 13 Tabel 3 Kerangka Framing menurut Pan Kosicki ... 53

SKEMA

Skema 1 Faktor yang Mempengaruhi Media ... 20 Skema 2 How factor intrinsic to the communicator may influence media content

... 21

Skema 3 Berita dalam Peta Ideologi ... 27

Skema 4 Kerangka Pemikiran Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 ... 44

GAMBAR

(13)

ABSTRAK

Nur Heni Widyastuti, D0205104, Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden Dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni - 5 Juli 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.

Media massa merupakan sebuah institusi yang mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Sehingga media massa disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas”.

Pemilihan Umum Presiden 2009 yang merupakan agenda besar Bangsa Indonesia juga tak luput dari konstruksi pemberitaan di media massa. Majalah Tempo yang merupakan bagian dari media massa juga melakukan konstruksi atas realitas yang terjadi seputar Pemilu Presiden 2009 tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerbitkan Majalah

Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 sepuluh hari sebelum pemilihan tersebut berlangsung. Edisi khusus kali ini membahas profil keenam calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Angle yang ditetapkan oleh Redaksi Tempo dalam Rubrik Liputan Khusus tersebut adalah bagaimana karakteristik kepemimpinan para kandidat tersebut terbentuk.

Kepentingan yang diusung oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menerbitkan majalah tersebut adalah untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang pandangan Redaksi Majalah Tempo terhadap ketiga pasangan capres dan cawapres tersebut. Dalam mengonstruksi realitas sosok capres dan cawapres tersebut, Redaksi Majalah Tempo menonjolkan aspek-aspek tertentu dan menghilangkan aspek-aspek-aspek-aspek tertentu yang dirasa sesuai dengan kepentingan mereka.

Penelitian ini akan menjelaskan bagaimanakah framing yang dilakukan oleh Redaksi Majalah Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan para kandidat. Dalam menganalisis pemberitaan tersebut, Peneliti menggunakan metode analisis framing model Pan Kosickci. Alasan pemilihan metode tersebut karena lebih rinci dan detail dalam menganalisis dan lebih relevan dengan tema yang diangkat.

(14)

ABSTRACT

Nur Heni Widyastuti D0205104, Media Construction Toward Leadership Characteristic of Indonesian Presidential Candidates in 2009 Indonesian General Election (Framing Analysis of News Reporting at Tempo magazine 2009 General Election Special Edition, 29 June - 5 July 2009), Department of Mass Communication Sciences, Faculty of Political and Social Science, Sebelas Maret University, 2009.

Mass Media is a institution which construct common reality (first reality) into the media reality (second reality). Media reality then spread through media channels. So the reality in media often referred to “second hand reality” as reality creators agent.

As a big event, general election has allure many media in Indonesia to report and construct their own media reality. Tempo as a well known magazine in Indonesia also construct their reality in reporting the election. The Election special edition then published by

Tempo 10 days before the general election. The special edition tells about the past and turning point of each candidates. Tempo editor deciding “how the leadership characteristic of candidates built” as an angle in reporting.

The importance of this special edition is to bring another point of view to the reader from Tempo’s opinion of candidates. In constructing the reality Tempo shows certain aspect of candidates figure and hiding another aspect in Tempo’s opinion it isn’t necessary to brought to the audience and fixed their interest.

This research explain how Tempo framed their news in constructing the second reality of leadership characteristic. In analyzing the news I used Pan Kosicki’s framing analysis model. Because this method is suitable for this issue, and this method can show fine points of this research.

(15)

ABSTRACT

Nur Heni Widyastuti, D0205104, Media Construction Against Leadership Characteristics of Presidential Candidate And Vice President Candidate Presidential Election 2009 (Framing Analysis Study Special News on Tempo Magazine Special Edition Presidential Election 2009, 29 June - 5 July 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, 2009.

Mass media are institution that constructs a natural reality (called as first reality) into media’s reality (called as second reality). Reality of the media establishment is then disseminated to the public through channels owned by the media. So that the mass media referred to as “second hand reality” as well as an “reality construction agent”.

Presidential election 2009, which is a big agenda of Indonesian also did not escape the construction of news in the media. Tempo magazine, which is part of the mass media also did construction of reality that occurred around Presidential Election 2009. One way to do is to publish Tempo Magazine Presidential Election 2009 Special Edition, ten days before the election took place. Special edition this time discussing the presidential candidate six profiles president and vice-presidential. Angle determined by the Editor in the Newsroom Tempo

Special coverage is how the leadership characteristics of the candidate is established.

Tempo Magazine Editors interest in publishing the magazine is to provide an overview to the readers of Tempo Magazine Editor's view of a president and vice presidential candidate. In the construction of reality and vice presidential figure, Tempo Magazine Editors highlight certain aspects and eliminating certain aspects of the perceived according to their interests.

This research will explain how framing is done by Tempo Magazine Editors in the construction of the leadership characteristics of candidates. In analyzing the news, researchers using the method of framing the analysis of Pan Kosickci model. The reason is because the selection method in more detail and the detail in analyzing and more relevant to the themes raised.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk komitmen suatu bangsa dalam melaksanakan demokrasi. Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika Serikat, mengemukakan bahwa demokrasi direpresentasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abdulkarim, 2005: 118). Pemilu tersebut memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakilanya yang duduk di parlemen atau di pemerintahan. Pemilu bisa dianggap sebagai momen puncak berdemokrasi, oleh karena itu penyelenggaraan pemilu selalu menjadi suatu yang luar biasa dengan diistilahkan sebagai pesta demokrasi (Budiman, 2004: 154).

Lembaran sejarah mencatat Bangsa Indoneisa telah melaksanakan Pemilu Anggota Legislatif sebanyak sembilan kali yakni tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, dan yang terakhir 9 April 2009. Pada Pemilu tahun 2004, Bangsa Indonesia menorehkan sejarah baru, yakni untuk pertama kalinya presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebelum tahun 2004, Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui mekanisme Sidang Umum (SU). Pada tahun 2009 kali ini untuk kedua kalinya Bangsa Indonesia mengadakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat.

(17)

seharusnya dipegang media ketika ingin menjalankan fungsinya tersebut dengan baik. Selain itu, media dibutuhkan masyarakat untuk menyalurkan informasi tentang Pemilihan Presiden. Sehingga media massa memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan Pemilu Presiden (www.mediaindonesia.com, 2009).

Media massa sebagai pilar keempat demokrasi tersebut pada dasarnya adalah sebuah institusi ekonomi, sehingga unsur bisnis tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Pengusaha media kini harus banting setir, sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan idealisme dalam mengelola perusahaan, tetapi harus meningkatkannya menjadi industri. Itulah sebabnya akhir abad 20 dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang dikelola secara industri dengan memperhitungkan profit oriented (Djuroto, 2002: v).

Selain sebagai institusi ekonomi, media juga sebagai sebuah institusi yang mengonstruksi realitas sosial dalam menjalankan bisnisnya. Media mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi, sehingga media disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas” (Rakhmat, 2001: 224). Sehingga, pemberitaan yang beredar di masyarakat mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 juga merupakan konstruksi yang dilakukan oleh media massa. Dalam menjaga keberlangsungan pemilu agar lebih jujur dan adil, netralitas dan independensi media massa harus tetap dijaga.

(18)

pengambilan keputusan yang betul-betul otonom oleh media. Media massa menyediakan ruang bagi redaksi untuk menyatakan sikapnya terhadap obyek pemberitaan pemilu misalnya dalam tajuk rencana atau editorial (bukan dipemberitaan). Di situlah masyarakat mengidentifikasi dan menilai anjuran media atas keberpihakannya. Dalam tajuk rencana, dapat ditunjukkan alasan-alasan masuk akal atas keberpihakannya terhadap salah satu pihak (Saputra, www.vhrmedia.com, 2009). Tak terkecuali dalam Pemilu Presiden 2009 kali ini, terdapat beberapa fenomena menarik tentang keberpikakan media, salah satunya dalam pemberitaan pendeklarasian pasangan Capres dan Cawapres di televisi.

Hampir semua stasiun televisi (Trans TV, Trans7, ANteve, TVRI, RCTI, TPI, Metro TV, dan TV One) serentak menanyangkan secara langsung acara deklarasi Pasangan Capres Cawapres nomer urut dua pada Jum’at 15 Mei 2009 di Jakarta. Namun saat pendeklarasian pasangan Capres dan Cawapres nomer urut satu dan tiga hanya Metro TV dan TV One yang menyiarakan. Saat siaran deklarasi berlangsung, Metro TV melakukan wawancara dengan pengamat Centre for Strategic and International Studies

(CSIS) J. Kristiadai. Ia berkomentar “Kok tega-teganya SBY membuat acara mewah seperti ini sementara rakyatnya hidup susah. Kalau seperti ini maka pendeklarasian JK-Win terasa lebih sederhana dan heroik” (Alma, www.almaokay.wordpress.com, 2009). Sedangkan TV One, stasiun televisi “rival”dari Metro TV dalam pemberitaannya tidak terlalu concern dalam masalah dana, tetapi fokus pada pelaksanaan acara. Hal tersebut terlihat dari judul berita-berita yang diangkat semisal “Lagu Indonesia Raya Buka Deklarasi Yudhoyono” atau “Yudhoyono dan Boediono Kompak Berkemeja Merah” (www.tvone.co.id, 2009)

(19)

lalu mereka, kegiatan-kegiatan yang dilakukan, track record, dan lain-lain. Keterbatasan kolom dan halaman pada media cetak, atau keterbatasan waktu pada media elektronik menyebabkan pengelola media massa melakukan seleksi terhadap fakta-fakta dilapangan yang hendak diberitakan. Peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, coba “disederhanakan” melalui stategi framing, yakni menonjolkan aspek tertentu dan menghilangkan aspek yang dirasa tidak penting. Pembuatan frame itu sendiri didasarkan pada kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis ataupun ideologis. Sehingga pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya kepentingan-kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana issue Pemilihan Presiden yang diangkat dalam wacana tersebut.

Setiap media memiliki kebijakan berbeda-beda ketika ingin memberitakan tema terebut. Redaksi Tempo pun juga memiliki kebijakan tersendiri, salah satunya adalah dengan mengeluarkan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009, 10 hari sebelum pemilihan berlangsung. Dalam Liputan Khusus tersebut memuat berita mengenai tiga pasangan Capres dan Cawapres.

Kepemtingan penerbitan edisi khusus itu diungkapkan Redaksi Tempo dalam pengantarnya di Laporan Khusus yang berjudul Enam Remaja Bertahun Kemudian. Redaksi Tempo menuliskan lead “Inilah kisah tentang masa silam enam kandidat pemimpin. Sekadar bekal masuk bilik suara”. Hal ini dimaksudkan agar edisi kali ini memberikan gambaran kepada calon pemilih tentang para Capres dan Cawapres sebelum menentukan pilihan di bilik suara. Redaksi Tempo melanjutlkan, “Persoalan muncul: bekal seperti apa yang dibutuhkan calon pemilih—sesuatu yang tak klise dan tak makin membuat orang mereduksi politik dari ”P” besar menjadi ”p” kecil?”. Kutipan tersebut akan dijawab dalam pemilihan tema yang diungkapkam Redaksi Tempo sebagi berikut :

(20)

Kami sadar, di dalam kata ”news”, sesuatu yang kami geluti sehari-hari, terkandung kata ”new” alias kebaruan. Dan bagi sebuah majalah berita, kebaruan itu bisa berarti kecerdikan dalam memilih sudut pandang.

Melalui serangkaian diskusi, sampailah kami pada sudut pandang itu. Bahwa yang akan disoroti adalah masa lalu keenam calon presiden dan wakilnya. Bukan sembarang masa lalu, melainkan masa ketika karakter mereka sebagai pemimpin terbentuk.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28)

Kalimat yang dicetak tebal dijadikan insert tulisan di halaman Pengantar Redaksi. Kutipan diatas menyiratkan bahwa pembentukan karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres di masa lalu menjadi poin penting dalam Edisi Khusus Tempo kali ini.

Sedangkan yang menjadi poin penting dalam skripsi ini adalah bagaimanakah

Tempo membingkai pemberitaan tentang masa lalu dalam hal pembentukan karakter kepemimpinan Capres dan Cawapres tersebut. Hal itu menjadi penting, karena Redaksi

Tempo tidak bisa membingkai seluruh masa lalu Capres dan Cawapres, melainkan harus selektif sesuai dengan kesepakatan angle. Berikut kutipan Redaksi dalam pengantarnya :

“Dengan sudut pandang ini, sejumlah cerita memang harus diabaikan. Bukan karena tak penting, melainkan karena kami tak ingin berkhianat terhadap angle. Kami, misalnya, harus menyimpan kisah tentang penculikan aktivis 1998, cerita kelam yang menyeret nama Prabowo Subianto. Kisah tentang peran Wiranto dalam insiden Semanggi dan bumi hangus Timor Timur juga terpaksa tak kami ketengahkan.

Hidup memang menyimpan sejuta pilihan. Kali ini kami memilihkan berita untuk Anda, para pembaca—sesuatu yang moga-moga saja bisa menjadi bekal memilih 8 Juli nanti.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28)

(21)

Setiap Capres dan Cawapres memiliki masa lalu pembentukan karekter kepemimpinan yang berbeda-beda. Banyak sisi yang bisa ditonjolkan, dan banyak frame

yang bisa diketengahkan, tergantung dari kebijakan redaksi media itu sendiri. Dari analisis teks-teks berita yang disajikan dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 bisa dilihat nantinya bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Redaksi Tempo terhadap kandidat orang yang akan memimpin Indonesia lima tahun mendatang.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini ingin menjawab rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009.

D. MANFAAT PENELITIAN

(22)

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu komunikasi, terutama dalam hal penggunaan metode analisis framing pemberitaan media cetak yang notabene merupakan salah satu bentuk komunikasi.

E. TELAAH PUSTAKA

1. Paradigma Konstruktivisme

Pengertian paradigma secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) adalah: 1. model dari teori ilmu pengetahuan; 2. kerangka berfikir (KBBI, 2003: 729). Sedangkan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure Of Science Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu dalam memandang suatu fenomena. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (Kuhn, 2002: 187-188).

Guba dan Lincoln dalam tulisannya Paragigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging Confluences di buku Handbook of Qualitative Research mengatakan paradigma memiliki lima tipologi yaitu positivism (positivisme), postpositivismem

(postpositivisme), critical theory et al (teori kritis), constructivism (konstruktivisme) dan

(23)

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme merupakan kritik terhadap paradigma positivisme, dimana yang membedakan keduanya adalah obyek kajiannya sebagai start

awal dalam memandang realitas sosial. Positivisme berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Untuk lebih mengetahui perbedaan konstruktivisme dengan prositivisme dalam hal pemberitaan realitas sosial bisa dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1. Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme

Positivis Konstruktivisme

Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.

Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku dalam konteks tertentu. Media sebagai saluran pesan Media sebagai agen konstruksi pesan Berita adalah cermin dan refkelsi dari

kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.

Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan kostruksi atas realitas. Berita bersifat objektif :

Menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita.

Berita bersifat subjektif: Opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Wartawan sebagai pelapor Wartawan sebagai partisipan yang

menjembatani keanekaragaman subjektifitas pelaku sosial

Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada di luar proses peliputan berita

Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.

(24)

perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri (Mualivah, 2009: 5).

Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding) (Mualivah, 2009: 5).

Egon G Guba dalam The Paradigm Dialog (Guba, 1990: 25) menyatakan:

“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai.

Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic

(25)

digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus. Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Paradigma konstruktivisme secara singkat menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai construct (bangunan “kebenaran”) dan

(26)

Tabel 2. Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metodemetode kualitatif seperti participant observation. Kriteria

kualitas penelitian: Authenticity dan reflectifity, sejauhmana temuan merupakan refleksi antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti. Sumber : Denzin, 1994 : 193

Pada tabel diatas tampak bahwa elemen ontologis (keberadaan realitas) paradigma konstruktivisme adalah bersifat relatif. Artinya, realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan “realitas sosial buatan” yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi. Dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa realitas tentang karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 memang diciptakan oleh Redaksi Majalah Tempo melalui berita yang dibuat.

(27)

dengan praktisi media guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi media.

Elemen metodologis atau cara mendapatkan pengetahuan pada perapektif ini bersifat reflektif dialektif. Dalam hal ini peneliti masuk ke dalam kondisi obyek peneliti melalui wawancara guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi media. Selain itu peneliti juga bertindak sebagai pengamat langsung berita yang disajikan oleh Tempo Edisi Khusus pemilihan Presiden 2009.

Elemen aksiologis dalam paradigma konstuktivisme ini adalah peneliti bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Dalam hal ini nilai, etika, moral, dan pilihan-pilihan lain dari peneliti merupakan suatu rangkain yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian ini.

2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

(28)

Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjectif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan merekonstruksi kenyataan dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2001: 5).

Masyarakat dan manusia adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Masyarakat tak lain adalah produk manusia namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah produk atau hasil dari masyarakat. Poses dialektis tersebut memiliki tiga tahapan (Eriyanto, 2002: 14-15) yakni:

1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan metal maupun fisik. Dalam proses inilah manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia

2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik metal maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manudia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berbeda diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.

3. Internalisasi, penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.

(29)

komunikasi. Komunikasi di sini tidak dilihat dari perspektif paradigma transimisi. Komunikasi dilihat lebih kepada bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya manusia tersebut sebagai realitas sosial tadi.

Bagi Berger, realitas sosial tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi ia dibentuk dan dikostruksi. Dalam pemahaman seperti itu realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas relitas. Setiap orang mempunyai pengalaman (frame of experience), preferensi (frame of reference), pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2002: 15-16).

Apabila penulis menggunakan teori tersebut sebagai landasan analisis dalam melihat konstruksi yang dilakukan oleh Tempo, maka realitas yang dibangun oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menghasilkan teks berita berasal dari kerangka berfikir (frame of reference) dan kerangka pengalaman (frame of experience) individu wartawan. Keduanya itu diperoleh dari kegiatan eksternalisasi dan internalisasi yang juga turut mempengaruhi dalam mengonstruksi realitas sosial pemberitaan.

3. Media Massa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

(30)

verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksd sumber tadi. (c) Ketiga, media, yakni alat, sarana atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. (d) Keempat, penerima (receiver), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. (e) Kelima, efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut

Media yang digunakan dalam komunikasi bermacam-macam, namun yang bisa menjangkau khalayak lebih luas adalah media massa. Mursito BM dalam buku Memahami Institusi Media mengatakana bahwa media massa memiliki enam karakteristik khusus yang bersifat umum, pertama, penyampaian pesan ditujukan ke khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar, sertatak, serta tidak mengenal batas geografis-kultural. Kedua, bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi.

Ketiga, pola penyampaiannya cenderung berjalan satu arah. Keempat, komunikasi massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir, dengan manajemen modern.

Kelima, penyampaian pesan dilakukan secara berkala, tidak bersifat temporer. Keenam, isi pesan yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan. Dari karakteristik yang dipaparkan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah alat-alat dalam komunikasi berupa lembaga yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibandingkan dengan media komunikasi yang lain adalah bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu dan mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Media massa jenisnya ada dua, media cetak semisal koran dan majalah, dan media elektronik semisal televisi, radio, dan internet.

(31)

menghasilkan bermacam-macam realitas. Isi media tidak lagi bisa dipahami dalam konteks bebas nilai, tetapi dalam praktiknya media sarat dengan berbagai kepentingan yang menyertainya.

Turnomo Raharjo dalam tulisannya Koran Lokal dan Ruang Publik, Refleksi 55 Tahun Suara Merdeka mengutip pendapat Edward Herman (1990) yang menegaskan bahwa uang dan kekuasaan menjadi sarana untuk melakukan penetrasi terhadap (isi) media melalui kontrol langsung maupun tidak langsung. Herman menyebutkan lima, hal yang berpengaruh terhadap isi media, yaitu satu, kepemilikan yang terkonsentrasi, kekayaan pemilik dan orientasi profit. Dua, periklanan sebagai sumber utama media. Tiga, ketergantungan media pada informasi yang diberikan pemerintah, lembaga bisnis dan experts yang didanai dan disetujui oleh kelompok kepentingan tertentu. Empat, “flak” sebagai sarana mendisiplinkan media; dan lima, antikomunisme sebagai religi sekuler suatu bangsa dan mekanisme kontrol ideologis. Kelima hal tersebut berinteraksi dan saling menguatkan serta menentukan batas-batas antara wacana media dengan definisi tentang apa yang disebut sebagai kepatutan berita (newsworthy) (Suara Merdeka, 11 Februari 2005).

(32)

ideologi). Kelimanya digambarkan dalam skema berikut ini (Shoemaker, 1996) : Skema 1. Faktor yang mempengaruhi media

Sumber : Shoemaker, 1996: 64

Kelima level yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese akan dirangkum sebagai berikut :

1. Level individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media. Hal tersebut dapat dilihat dari skema berikut :

Skema 2. How factor intrinsic to the communicator may influence media content

Individual level

media routines level

organizational level

extra media level

(33)

Sumber : Shoemaker, 1996: 65

2. Level Rutinitas media

Level ini berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.

3. Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai

Communicators’s characteristics, personal background, and experiences

Communicators’s professional background, and experiences

Communicators’s professional roles and ethics

Communicators’s personal attitudes, values, and beliefs

Communicators’s power within the organization

Effect of ommunicators’s characteristics, backgrouns, experiences, attitudes, values, belief,

(34)

kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

4. Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media seperti yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese sebagai berikut :

”In this chapter, we shift our attention to factors extrinsic to (outside of) the media organization. They concluded thesource of the information that becomes media contents, such us special interest groups, public relation campaigns, and even the news organization themselves; revenue source, such as advertisers and audiences; other social institutions, such us business and government; economic environment; and tecnology.” (Dalam chapter ini, kami memindahkan perhatian kami kepada faktor ekstrinsik dari organisasi media. Faktor tersebut disimpulkan sumber informasi yang menjadi ini media, seperti kelompok penekan, kampanye publik, dan bahkan organisasi berita itu sendiri; sumber pendapatan, seperti iklan dan audiens; institusi sosial yang lain, seperti saingan bisnis dan pemerintah; lingkungan ekonomi; dan teknologi) (Shoemaker, 1996: 175)

Pernyataan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentang faktor eksternal yang memempengaruhi media tersebut akan dijelaskan sebagai berikut

(35)

memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. Ø Sumber penghasilan media, berupa iklan, bisa juga berupa

pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.

(36)

mempengaruhi strategi dan kebijakan yang diambil oleh media. Sedangkan perkembangan teknologi informasi yang cepat menuntut media untuk selalu aktif mengikuti perkembangannya.

5. Ideologi

Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengutip pendapat Raymond William dalam mendefinisi ideologi, yakni “relatively formal and articulated system of meaning, value, and belief, of a kind that can be abstracted as a ‘word view’ or a

‘class outlook’” (Shoemaker, 1996: 222). Madsud definisi yang diberikan Williams adalah, ideologi memberikan standar baku bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari definisi yang dikemukakan William dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese juga mengutip pendapat Samuel Becker yang menguatkan definisi dari William dengan mengatakan, “ideology govern the way we percieve our world and ourself; it control What we see as ‘natural’ or

(37)

pandangan Williams dan Becker menjadi semakin jelaslah bahwa ideologi memberikan aturan dalam produksi berita yang mempengaruhi pemilihan fakta untuk merangkai berita.

Ideologi media tidak berdiri sendiri. Banyak faktor karena orang-orang di didalamnya berada di tangan penguasa budaya, politik, dan ekonomi masyarakat di mana informasi terpilih sering membentuk konsep ideologi yang secara berlebihan mewakili kepentingan yang berkuasa dan meminggirkan kepentingan kelompok lainnya. Dalam kaitannya dengan berita, Shoemoker dan Reese mengatakan bahwa setiap berita pada dasarnya tidak dapat lepas dari pengaruh ideologi. Analisis ideologi terhadap teks berita merupakan analisis makro dalam penelitian isi teks media, karena memperhatikan konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik (Shoemaker, 1996: 230).

Daniel Hallin dalam Eriyanto (Eriyanto, 2002: 127) membuat ilustrasi bagaimana berita ditempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang: bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis.

Skema 3. Berita dalam Peta Ideologi

Sumber: Erianto, 2002:127

Sphere of Deviance

(38)

Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa gagasan atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Dalam bidang ini akan terlihat jelas ideologi yang ada di balik sebuah berita, karena untuk mendefinisikan suatu peristiwa sebagai penyimpangan diperlukan pengetahuan akan sesuatu yang tidak menyimpang atau sesuai konsensus (Eriyanto, 2005: 127)

Berbeda dengan bidang petama yang menegaskan kesepakatan bahwa realitas dipandang menyimpang, bidang kontroversi memandang realitas masih diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus yang menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok. Peta ini dapat dipakai untuk menjelaskan realitas yang sama dapat dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangkan yang berbeda. Media disini memberi legitimasi pada realitas tertentu dan mendelegitimasi realitas lain yang dinilai menyimpang (Eriyanto, 2005: 127).

Proses kerja pembentukan dan produksi berita bukanlah suatu yang netral, melainkan ada bias ideologi yang secara sadar atau tidak tengah dipraktekkan oleh wartawan. Media dipandang sebagai agen konspiratif yang menyembunyikan atau menampilkan fakta yang dikehendaki, dan secara sadar mengelabuhi khalayak untuk kelompok dominan. Pada akhirnya pemberitaan media memang cenderung memarjinalkan kelompok yang tidak dominan dan memantapkan posisi status quo. Prosesnya berlangsung dalam suasana yang kompleks dan sering tidak disadari (Eriyanto, 2002: 136).

(39)

menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Hal tersebut akan melahirkan konsep hegemoni oleh media.

Konsep hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang ahli filsafat plitik Italia. Menurut Gramsci, hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri, melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan mebentuk alam pikiran mereka. Hegemoni berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, melainkan dengan cara yang wajar dan bisa diterima. Hegemoni bisa dilakukan oleh media dalam produksi berita. Proses itu melalui cara yang halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran oleh semua orang. Proses hegemoni itu menjadi subuah ritual yang sering tidak disadari oleh wartawan sendiri, semisal dalam keberpihakannya terhadap sesuatu (Eriyanto, 2001: 104-105)

4. Berita dan Konstruksi atas Realitas a. Proses Produksi Berita Media Cetak

Menurut The New Grolier Webster International Dictionary, yang dikutip oleh Hikmat Kusumaningrat dalam Jurnalistik Teori dan Praktek (Kusumaningrat, 2006: 39) berita adalah :

“(1) Current information about something that has taken place, or about something not known before; (2) News is information as presented by a media such as papers, radio, or television; (3) news is anything or anyone regarded by a news media as a subject worthy of treatment.”

(40)

dihargai dalam masyarakat, padahal belum banyak orang yang mengetahuinya. Hal itu tentu saja berkaitan dengan hajat hidup orang banyak atau setidaknya mampu mengedukasi masyarakat. Sehingga, informasi itu harus disebarkan secara luas melalui media massa.

Sementara itu Mitchel V. Charnley mendefinisikan berita sebagai the timely report of fact or opinion, that hold internal or importance, or both for a considerable

number of people. Definisi itu dapat disederhanakan supaya lebih mudah dipahami, yaitu bahwa berita adalah informasi yang aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang (Kusumaningrat, 2006: 39).

Satrio Arismunandar, dalam artikelnya Teknik Reportase atau Teknik Meliput Berita di www.wikimu.com mengemukakan media massa yang sudah mapan, biasanya telah membuat semacam Standart Operational Procedure (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan. Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan, terutama berita yang akan dijadikan headline. Dalam rapat redaksi ini, para wartawan, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi wartawan, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya (Arismunandar, 2008).

(41)

membuat penilaian, apakah hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat redaksi. Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh wartawan dan mempertimbangkan asas keberimbangan dan proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan ditempatkan dalam rapat ”budgeting”. Dalam rapat ”budgeting” itulah ditentukan mana-mana berita yang masuk di halaman depan, mana yang masuk halaman dalam (Kusumaningrat, 2006: 76). Setelah itu mulailah tahap layout disusul proses cetak, kemudian hasil berita yang dimuat di media cetak siap didistribusikan.

Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media antara lain berita itu mengandung nilai aktual (timelines), kedekatan (proximity), keterkenalan (prominence), dampak (consequence), besar (magnitude), dan human interest (Kusumaningrat, 2006: 61-66).

(42)

b. Bagaimana Konstruksi Berita itu Dibuat

Menulis berita tak ubahnya menceritakan kembali penggalan peristiwa. Mark Fishman memperkenalkan sebuah model yang disebut struktur fase. Struktur fase adalah tahapan-tahapan alur cerita atau kerangka berita yang disusun wartawan. Setiap wratawan memiliki alur berbeda dalam membuat berita. Lewat struktur fase, peristiwa yang kompleks, tindakan yang tidak beraturan, beragam, dan abstrak diorganisasikan sebagai peristiwa yang beraturan, logis, dan dibuat bermakna lewat skema interpretasi wartawan (Eriyanto, 2002: 92-94).

Wartawan bukanlah agen tunggal yang menafsirkan peristiwa, sebab paling tidak ada tiga pihak yang saling berhubungan: wartawan, sumber dan khalayak. Setiap pihak menafsirkan dan mengonstruksi realitas dengan penafsiran sendiri dan berusaha agar penfsirannya yang paling dominan dan menonjol. Wartawan sebagai “agen konstruksi” berusaha untuk menjadikan apa yang ia konstruksi menjadi lebih dominan. Namun, dalam mengonstruksi realitas, wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam pikiran semata, tapi ia juga harus mempertimbangkan tiga aspek yaitu (Eriyanto, 2002: 254) :

Ø Pertama, proses konstruksi itu juga melibatkan nilai sosial yang mengikat wartawan. Nilai-nilai sosial yang mengikat wartawan tersebut mempengaruhi bagaimana realitas dipahami dan dituliskan.

Ø Kedua, ketika menulis dan mengonstruksi berita wartawan bukanlah berhadapan dengan publik yang kosong, dalam artian khalayak menjadi pertibangan wartawan dalam menyusun kata-kata.

(43)

5. Framing sebagai Sebuah Teknis Analisis

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi relitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame

sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavoir) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004: 161).

Analisis framing sendiri dalam perspektif komunikasi, dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2001: 162).

Frame, menurut Robert M. Entmant adalah pemilihan (selection) dari penonjolan hal yang penting (salience). Lebih jauh ia menyatakan :

To frame is to select some aspect of perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the itemdescribed (Zen 2004: 93).

(44)

bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai aspek informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi dan skema intepretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk dan mengintepretasi makna di dalamnya (Eriyanto, 2002: 67-69).

Wiliam A. Gomson mendefinisikan framing sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang diterima (Eriyanto, 2002: 67)

Framing oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melakukan encoding, menafsirkan, serta memunculkan informasi yang dapat dikomunikasikan dan dihubungkan dengan kebiasaan dan konvensi pekerjaan jurnalistik. Oleh karena itu framing dapat dikaji sebagai suatu strategi untuk mengonstruksi dan merespon wacana berita (Zen, 2004: 94)

Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai framing, namun ada titik singgung utama dari berbagai definisi tersebut. Secara sederhana, analisis framing

digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Realitas sosial disini dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu (Eriyanto, 2002: 3).

Eriyanto dalam buku Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, Politik Media

(45)

memiliki perangkat framing yakni kategorisasi. Kedua, model Robert N. Entman yang memiliki perangkat framing seleksi isu dan penonjolan aspek tertentu dari isu. Ketiga, model William A. Gamson yang memiliki perangkat framing metapors, catchphrase, exemplaar, depiction, visual image, roots, appeals to principle, dan consequences.

Keempat, model Pan Kosicki yang memiliki perangkat framing sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Delia Cristina Balaban dalam Journal of Media Research menuliskan malakah berjudul The Framing or the Interpretation Frames Theory yang mengetengahkan tentang klasifikasi frame. Ia menulis :

There are also attempts to classify frames. Swiss researcher Jörg Matthes talks about two categories of mediatic-frames: formal-stylistic frames and contained frames which structure specific issues. Iyengar and Simon talk about episodic frames and theme frames. ... The multidimensionality of framing phenomenon should not be overlooked. There are: framing by selecting thematic issues, framing by internal structure, by creating relationships between different aspects of the theme and last but not least, framing through foreign contextualization by creating relationships with other topics, What we call in the field frame-bridging (Balaban: 2008: 12)

Tulisan tersebut menyebutkan Jörg Matthes, peneliti Swiss menyebutkan sekitar dua kategori dari mediatic-frames yakni formal-stylistic frames dan contained frames

(yang memiliki stuktur isu spesifik). Iyengar dan Simon menyebutkan tentang episodic frames dan theme frames. Fenomena framing yang multidimensional tidak boleh diabaikan. Ada framing dengan memilih isu-isu tematik, framing oleh struktur internal, dengan menciptakan hubungan antara berbagai aspek dari tema dan terakhir, framing

melalui kontekstualisasi asing dengan menciptakan hubungan dengan topik-topik lainnya, apa kita sebut dalam field frame-bridging (Cristina: 2008: 12).

(46)

dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain (Eriyanto, 2002: 69)

Kedua menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khlayak. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan headline di depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2002: 70).

Menurut Pan Kosicki, terdapat beberapa perbedaan jika analisis framing

dibandingkan dengan analisis teks berita lainnya. Pertama, analisis framing tidak memandang teks berita sebagai sarana simbolik teratur yang akan berinteraksi dengan khalayak. Kedua, analisis framing tidak terikat oleh pendekatan stukturalis yang bebas isi terhadap semua wacana. Ketiga, validitas dari analisis framing tidak berdasar pada teks berita saja, tetapi juga pada prosedur sistematik dalam mengumpulkan data (Eriyanto, 2002: 251).

(47)

subjektivitas, memilih fakta apa yang ingin dipilih dan membuang apa yang ingin dia buang (Eriyanto, 2002: 31).

Dari pemaparan diatas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana Tempo edisi Khusus Pemilihan Presiden memilih fakta-fatkta dalam memberitakan ketiga pasangan Capres dan Cawapres. Artinya dalam tataran praktis, bagaimana media mencitrakan karakteristik kepemimpinan mereka dimulai dari masa kanak, ketika remaja, hingga beranjak dewasa, atau ketika menempuh pendidikan tinggi.

6. Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi (KBBI, 2003: 769). Pimpin memuat dua hal pokok yaitu pemimpin sebagai subjek, dan yang dipimpin sebagai obyek. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin.

1. Teori Lahirnya Pemimpin

Beberapa teori telah dikemukakan para ahli majemen mengenai munculnya seorang pemimpin. Kartono Kartini dalam buku Pemimpin dan Kepemimpinan

menyebutkan ada tiga teori mengenai munculnya kepemimpinan (Kartono, 1994: 75), yaitu teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis atau sintesis, yang akan dijelaskan berikut ini:

a. Teori Genetis

(48)

bahwa seorang pemimpin ada karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.

b. Teori Sosial

Jika teori genetis merupakan kebalikan dari teori genesis yaitu "Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.

c. Teori ekologis atau sintesis

Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dimana bakat kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan.

2. Karakteristik Kepemimpinan

(49)

melaksanakan kedua peran tersebut (Taprifios, 2008 :3).

Tracey T Manning dalam Journal of Leadership & Organizational Studies

mengemukakan sebuah pendapat yang menarik tentang karakteristik kepemimpinan. Dalam tulisannya berjudul Leadership across cultures: Attachment style influences ia menulis:

Aditya & House (2002) describe the characteristic asinterpersonal acumenability to understand others' motives and behavior. Leaders were described by "encouraging, positive, motivational, confidence builder, dynamic, and foresight," along with team-building, communicating, and coordinating. Echoing these results, Hopkins & Hopkins (1998) found that successful diversity leaders are sensitive to all followers, patient and supportive, able to mediate fairly, and involved with their employees

(Manning: 2003).

Dari apa yang ditulis oleh Tracey T Manning karakteristik kepemimpinan dinilai sebagai ”kecerdasan interpersonal”, kemampuan untuk memahami motif dan perilaku orang lain. Pemimpin yang menonjol digambarkan dengan kemampuan “mendorong, positif, memotivasi, kepercayaan diri pembina, dinamis, dan tinjauan ke masa depan”, bersama dengan pembentukan tim, berkomunikasi, dan koordinasi. Hopkins & Hopkins (1998) menemukan bahwa para pemimpin keragaman sukses sensitif terhadap semua pengikut, sabar dan mendukung, mampu menengahi secara adil, dan terlibat dengan karyawan mereka (Manning: 2003). Jika disimpulkan, karakteristik kepemimpinana yang baik menurut Tracey T Manning lebih mengarah pada hubungan yang baik dengan bawahan atau orang lain.

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme
Tabel 2. Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme
Tabel 3. Kerangka Framing menurut Pan Kosicki
Gambar 1. Cover Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jika harga tidak hanya mencerminkan informasi di waktu lalu dan informasi yang dipublikasikan, tetapi juga informasi yang diperoleh dari analisis fundamental

Seperti halnya pada pengujian ALT, kadar kreatinin pada kelompok perlakuan memiliki pola yang relatif sama dengan kontrol (Gambar 4.F), sehingga dapat disimpulkan bahwa filtrat

Jika dilihat setiap dimensi karakteristik gambar anak TK per aspek kemampuan dimana dari 9 item pertanyaan tersebut dibagi kedalam 3 aspek yaitu translasi,

Metode sensus dilakukan pada seluruh mataair di Kecamatan Jatinom dan Karanganom yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik penduduk.. Sensus dilakukan untuk pengambilan

Ketiga, penegasan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang bersumber pada adat atau nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat sebagai

Hasil penelitian tentang sikap, dipe- roleh bahwa sebagian besar responden mahasiswa kedokteran umum tahap profesi dan mahasiswa program studi keperawatan sudah memiliki sikap yang

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN DI RESTORAN MERGOSARI CIAMIS.. Universitas Pendidikan Indonesia| repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari hasil analisa Life Cycle Cost dengan kategori biaya yang terdiri dari Biaya Awal, Biaya Energi, Biaya Operasional dan Pemeliharaan, serta Biaya Penggantian, diperoleh