• Tidak ada hasil yang ditemukan

Frasa Verbal Endosentrik Atributif

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT BAHASA BATAK TOBA

2.1 Struktur Frasa Verbal dalam Bahasa Batak Toba

2.1.1 Frasa Verbal Endosentrik Atributif

Telah disebutkan bahwa kata verba untuk frasa verbal endosentrik atributif dapat diperluas dengan menambahkan kata tambah. Misalnya, ndang ‘tidak’ dalam kalimat berikut ini.

(12) Rio ndang marobat ala ibana ndang marsahit. ‘Rio tidak berobat karena dia tidak sakit.’

Dalam klausa pertama, ndang ‘tidak’ menjadi unsur tambahan bagi verba

marobat ‘berobat’ dalam frasa verbal ndang marobat ‘tidak berobat’, sedangkan dalam frasa kedua ndang ‘tidak’ menjadi unsur tambahan bagi kata sifat marsahit

‘sakit’ dalam frasa sifat ndang marsahit ‘tidak sakit’.

Oleh karena pembicaraan kata tambah ini terbatas pada kata tambahan dalam frasa verbal, maka penggolongan kata-kata tambah ini dilakukan berdasarkan maknanya. Pembuktian makna segolongan kata tambah dilakukan dengan teknik ganti. Dengan mengganti kata yang bentuknya berbeda, tetapi maknanya sama akan dihasilkan bentuk baru dengan informasi yang sama. Dengan kata lain, pemakaian teknik ganti sekaligus memakai teknik perluas. Adapun kata-kata tambah itu sekaligus analisisnya sebagai berikut.

1. Aspek

Aspek ialah segolongan kata tambah yang menyatakan tentang saat berlakunya suatu tidakan (Ramlan, 1995). Dalam frasa naeng mangan ‘akan makan’, kata tambah naeng ‘akan’ merupakan unsur tambahan dalam frasa itu untuk menyatakan hubungan makna aspek, ialah yang menyatakan bahwa tindakan mangan

‘makan’ akan dilakukan. Dalam hal ini perlu dibedakan antara aspek dengan keterangan waktu. Aspek hanya menyatakan saat berlakunya suatu tindakan,

sedangkan keterangan waktu memberi keterangan kapan suatu tindakan itu dilakukan. Hal ini akan diperjelas pada kalimat berikut.

(13) Sori nunga tu onan.

‘Sori sudah ke pasar.’ (14) Sori nantoari tu onan.

‘Sori semalam ke pasar.’

Persamaan kedua kalimat itu ialah bahwa keduanya menyatakan ‘waktu lampau’. Hanya untuk keterangan waktu nantoari ‘semalam’ dapat ditambahkan oleh kata tanya nandigan ‘kapan’ atau dapat dipertanyakan dengan nandigan ‘kapan’. Di bawah ini diberikan kalimat berikut.

(15) Sori nandigan laotu onan?

‘Sori kapan pergi ke pasar?’ (16) Nandigan Sori lao tu onan?

‘Kapan Sori pergi ke pasar?’

Hal ini menunjukkan bahwa keterangan waktu nantoari ‘semalam’ menyatakan suatu waktu tertentu, sedangkan aspek nunga ‘sudah’ hanya menyatakan bahwa tindakan itu sudah dilakukan tanpa mengandung pengertian kapan tindakan itu dilakukan. Bahwa nunga ‘sudah’ tidak sama dengan nantoari ‘semalam’ juga terbukti dengan perluasan kalimat (13) dan (14) menjadi sebagai berikut.

(17) *Sori nunga tu onan, alai sonari di jabu.

‘Sori sudah ke pasar, tetapi sekarang di rumah.’ (18) Sori nantoari tu onan, alai sonari di jabu.

‘Sori semalam ke pasar, tetapi sekarang di rumah.’

Ketidakgramatikalan (17) menunjukkan bahwa kata tambah nunga ‘sudah’ bukan lawan dari kata sonari ‘sekarang’, tetapi nantoari ‘semalam’ lawan dari sonari

‘sekarang’. Dengan demikian, nunga ‘sudah’ tidak sama dengan nantoari ‘semalam’ sehingga nunga ‘sudah’ tidak tergolong keterangan waktu, tetapi tergolong aspek.

Aspek frasa verbal dalam bahasa Batak Toba dapat diperinci menjadi empat golongan, yakni aspek yang menyatakan tindakan yang belum berlaku, yang menyatakan tindakan yang akan belaku, yang menyatakan tindakan sedang berlaku, dan yang menyatakan tindakan yang telah berlaku.

a. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan Belum Berlaku

Dalam bahasa Batak Toba ada kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan suatu tindakan yang belum berlaku, yakni ndang dope ‘belum’. Hal ini terlihat dalam kalimat berikut ini.

(19) Pantun ndang dope manggantihon hundulan ni amongna. ‘Pantun belum menggantikan kedudukannya ayahnya’ Pantun belum menggantikan kedudukan ayahnya.

Makna ‘belum berlaku’ pada kata ndang dope ‘belum’ dapat dijelaskan melalui perluasan kalimat (19) dengan suatu bentuk yang memakai kata andorang ‘masih, atau dope ‘lagi’.

Misalnya, perluasan kalimat (19) itu sebagai berikut.

(20) Pantun andorang gabe anak ni raja, Pantun ndang dope manggantihon hundulan ni amongna.

‘Pantun masih menjadi putranya raja, Pantun belum menggantikan kedudukannya ayahnya’

Pantun masih menjadi putra raja, Pantun belum menggantikan kedudukan ayahnya.

Kalimat lain:

(21) Boa-boa on ndang dope sidung. ‘Laporan ini belum selesai.’ (22) Parkarona ndang dope dipabotohon. ‘Perkaranya belum diberitahukan.’

Kalimat lain (19), (21), dan (22) menunjukkan bahwa ndang dope ‘belum’ dapat terletak di depan verba, baik verba aktif (19) maupun pasif (22) ; baik transitif (19) maupun intransitif pada contoh (21) dan (22). Akan tetapi, tidak dapat terletak di depan verba tarbuat ‘terambil’, tarsurat ‘tertulis’, seperti *ndang dope tarbuat

‘belum terambil’, *ndang dope tarsurat ‘belum tertulis’. Ketidakgramatikalan kedua klausa itu rupanya karena antara ndang dope ‘belum’ dengan kedua verba itu secara

semantis maknanya kontradiktif ; ndang dope ‘belum’ menyatakan tindakan yang belum berlaku, sedangkan dalam verba tarbuat ‘terambil’ terkandung pengertian bahwa tindakan itu secara ‘tidak sengaja sudah berlaku’ dan oleh verba tarsurat

‘tertulis’ serta awalan tar- jelas menunjukkan bahwa tindakan itu sudah selesai dilakukan.

b. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan akan Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan bahwa suatu tindakan akan berlaku, ialah naeng ‘akan’, aning ‘bakal’, aningan ‘hampir’, dan

aninganing ‘hampir’. Makna ‘akan berlaku’ berarti pada waktu lampau dan kini belum berlaku. Oleh karena itu, makna ‘akan barlaku’ naeng ‘akan’ dalam kalimat (23) dapat diperjelas dengan memperluas kalimat itu menjadi kalimat (24) di bawah ini.

(23) Ibana naeng borhat sogot.

‘Dia akan berangkat besok.’

(24) Nangkin ibana ndang dope borhat, sonari ndang dope muse borhat, alana ibana naeng borhat sogot.

‘Tadi dia belum berangkat, sekarang juga belum berangkat, karena dia akan berangkat besok.’

Kalimat lain:

(25) SMA Nageri I Silaen aning nampunasa sopo godang. ‘SMA Negeri I Silaen bakal mempunyai gedung aula.’

(26) Bangkena aningan dipaborhat.

‘Jenazahnya hampir diberangkatkan.’ (27) Oroanna aninganing ro.

‘Pangantinnya hampir datang.’

Makna ‘akan berlaku’ pada aspek naeng ‘akan’ dibandingkan dengan

aning‘bakal’, aningan ‘hampir’, dan aninganing ‘hampir’, sebenarnya mengandung ‘akan berlaku’ yang netral. Berbeda dengan pada aning ‘bakal’, dalam kata aning di samping terkandung pengertian dengan saat berlakunya tindakan itu lama; atau paling tidak lebih lama daripada naeng ‘akan’. Oleh karena itu, kalimat yang frasa verbalnya memiliki kata aning ‘bakal’ keterangan waktunya cenderung yang mengandung makna ‘akan berlaku nanti pada waktu relatif lama’. Misalnya, kalimat (28) ditambahi keterangan waktu sataon nae ‘setahun lagi’ menjadi kalimat berikut.

(28) Sataon nae SMA Nageri I Silaen aning nampunasa sopo godang. ‘Setahun lagi SMA Negeri I Silaen bakal mempunyai gedung aula.’

Kalimat (28) menunjukkan banwa aning ‘bakal’ menyatakan aspek ‘akan berlaku’, tetapi masih dalam jangka waktu yang relatif lama. Sebaliknya, aningan

‘hampir’ dan aninganing ‘hampir’ meskipun juga menyatakan ‘akan berlaku’, tetapi akan berlaku atau dilakukan dalam waktu yang tidak begitu lama lagi. Sebagai bukti

aningan ‘hampir’ (26) dan aninganing ‘hampir’ (27) di atas dapat diperluas dengan oleh kata ndang sadia leleng nai ‘tidak berapa lama lagi’ menjadi:

(29) Bangkena ndang sadia leleng nai dipaborhat. ‘jenazahnya tidak berapa lama lagi diberangkat’ Jenazahnya tidak berapa lama lagi diberangkatkan. (30) Oroanna ndang sadia leleng nai ro.

‘Pengantinnya tidak berapa lama lagi datang.’

Perbedaan antara aningan ‘hampir’ dengan aninganing ‘hampir’, yaitu

aninganing ‘hampir’ lazimnya dipakai dalam ragam pustaka, sedangkan aningan

‘hampir’ dipakai dalam ragam umum.

Daya gabungnya dengan verba dapat dicatat bahwa naeng ‘akan’ dapat bergabung dengan verba yang mengandung makna ‘tidak sengaja’, tetapi maknanya berubah menjadi sama dengan aninganing ‘hampir’. Misalnya, dalam kalimat berikut ini.

(31) Ibana naeng tartampar motor.

‘Dia akan tertabrak mobil.’

Naeng tartampar ‘akan tertabrak’ maknanya sama dengan aninganing tartampar ‘hampir tertabrak’. Hal ini membuktikan bahwa naeng ‘akan’ dengan makna ‘akan berlaku’ saja cenderung tidak bergabung dengan verba yang menunjukkan kualitas tindakan ‘tidak sengaja’. Demikian juga aspek aningan

‘hampir’, tetapi aninganing ‘hampir’ dapat bergabung dengan verba itu. Persamaan ketiga aspek itu ialah tidak mungkinnya bergabung dengan verba yang menunjukkan

kualitas ‘tindakan statif’. Misalnya, kata verba targantung ‘tergantung’ sehingga bentuk *naeng targantung ’akan tergantung’, *aning targantung ‘bakal tergantung’,

*aningan targantung ‘hampir tergantung’, dan *aninganing targantung ‘hampir tergantung’ tidak gramatikal.

c. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan sedang Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan bahwa suatu tindakan ‘sedang berlaku’ ialah dope ‘lagi’, muse ‘sedang’, tong ‘masih’, dan

museng atau musengani ‘sedang’. Makna ‘sedang berlaku’ berarti berlaku pada saat ini, bukan pada saat lampau atau saat yang akan datang. Oleh karena itu, makna ‘sedang berlaku’ dapat dibuktikan dengan mengganti aspek itu dengan kata keterangan saonari ‘sekarang’. Misalnya, seperti kalimat berikut ini.

(32) Kecamatan Silaen muse mampajongjong bagas sosial.

‘Kecamatan Silaen sedang membangun kantor sosial.’ Menjadi:

(33) Kecamatam Silaen saonari mampajongjong kantor sosial.

‘Kecamatan Silaen sekarang membangun kantor sosial.’ Kalimat lain:

(34) Sugiman musengani mangae asma.

‘Sugiman sedang menderita asma.’

(35) Hami museng mandalanhon aturan na joloan. ‘kami masih menjalankan sistem yang lama itu’ Kami masih menjalankan sistem lama.

Secara semantis muse ‘sedang’ dan museng ‘sedang’ sama maknanya, tetapi dalam pemakaian berbeda. Muse ‘sedang’ lazimnya dipakai dalam ragam umum, sedangkan museng ‘sedang’ adalah bentuk khusus dari muse ‘sedang’, meskipun sering dipakai dalam ragam umum. Perbedaan kedua aspek itu dengan tong ‘masih’ adalah bahwa tong ‘masih’ cenderung menyatakan ‘suatu tindakan berlangsung dari saat yang lampau sampai saat ini’. Sedangkan dope ‘lagi’ dan museng ‘sedang’ tidak mengandung makna itu. Oleh karena itu, kalimat yang frasa verbalnya mempunyai unsur tambahan tong ‘masih’ dapat diperluas dengan keterangan waktu, seperti sian na jolo sahat tu saonari ‘sejak dulu sampai sekarang’ misalnya kalimat (35) menjadi kalimat berikut ini.

(36) Sian na jolo sahat tu saonari, hami tong mandalanhon aturan na jolo i. ‘sejak dulu sampai ke sekarang, kami masih menjalankan sistem yang lama itu’

Sejak dulu sampai sekarang, kami masih menjalankan sistem lama.

Aspek lain yang sejenis dengan ketiga aspek itu ialah museng atau musengani

‘sedang’ perbedaannya museng atau musengani ‘sedang’ cenderung menyatakan ‘suatu tindakan yang tengah berlangsung’. Oleh karena itu, kalimat yang frasa

verbalnya mempunyai unsur tambahan museng atau musengani dapat diganti kata keterangan tagan ‘tengah’. Misalnya, frasa verbal museng manduhuti (eme) ‘sedang menyiangi (padi)’ menjadi tagan manduhuti (eme) ‘tengah menyiangi (padi)’.

d. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan Baru Dimulai

Ada dua kata tambah yang tergolong aspek dalam bahasa Batak Toba yang menyatakan suatu tindakan ‘baru dimulai’, yakni i dope ‘mulai’ dan on dope ‘mulai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan sedang dimulai dalam bahasa Batak Toba berarti bahwa suatu tindakan pada saat ini baru dimulai berlaku atau dilakukan. Aspek yang menyatakan suatu tindakan baru dimulai dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.

(37) Hampung i dope manjalo beo. ‘Kepala Desa mulai menarik pajak.’

Maknanya ialah ‘pada saat ini baru mulai dilakukan’. Aspek i dope ‘mulai’ pada kalimat (37) dapat dibuktikan dengan mengubah kalimat itu menjadi kalimat (38) berikut ini.

(38) Panjaloan ni beo na niulahon ni hampung sonari on dope didalanhon. ‘penarikan itu pajak yang dikerjakan oleh kepala desa sekarang mulai dilakukan’

Kalimat lain:

(39) Partingkian on angka jolma di huta i dope mangkarejoi haumana. ‘musim ini orang-orang di pedesaan itu mulai mengerjakan sawahnya’ Musim ini orang-orang di pedesaan mulai mengerjakan sawahnya. (40) Tulang (hu) on dope mangombaki haumana.

‘paman (ku) mulai mencangkuli sawahnya’ Paman mulai mencangkuli sawahnya.

e. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan telah Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan suatu tindakan ‘telah berlaku’ dalam bahasa Batak Toba ialah nunga ‘telah’, nangkin dope ‘baru saja’, dan nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan ‘telah berlaku’ dalam bahasa Batak Toba berarti bahwa tindakan itu ‘pada saat ini telah selesai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan telah berlaku dapat dilihat pada kalimat (41), (42), dan (43) berikut.

(41) Ulaon i nunga didalanhon saleleng si Bonar tading di huta on. ‘pekerjaan itu telah dijalankan selama si Bonar tinggal di kota ini’ Pekerjaan itu telah dijalankan selama Bonar tinggal di kota ini. (42) Tortor i nangkin dope dipentashon.

‘Tarian tersebut baru saja dipentaskan.’ (43) Dakdanak i nangkining dope sidung ditardidihon. ‘Anak itu baru saja selesai dibabtiskan.’

Ketiga unsur tambahan, yaitu dung ‘telah’ dalam dung diulahon ‘telah dijalankan’ (41), nangkin dope ‘baru saja’ (42), nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’ dalam nangkining dope sidung ditardidihon ‘baru saja selesai dibabtiskan’ (43) menyatakan aspek telah terjadi. Perbedaannya, dalam kata nangkin dope ‘baru saja’ selain menyatakan aspek telah terjadi juga terkandung makna ‘baru saja’. Kata

nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’ di samping menyatakan aspek telah terjadi terkandung juga makna ‘baru saja selesai, selesailah, dan habis perkara’.

Kata aspek telah terjadi nunga ’sudah’ bervariasi dengan nung ‘sudah’ dan

dung ‘sudah’. Hal ini terlihat pada kalimat di bawah ini.

(44) Pamarenta nung mamboto angka na so somal masa.

‘Pemerintah sudah mengetahui keadaan yang tidak pantas terjadi.’ (45) Alai apala mambahen jut roha, alana i dope sahat di alaman (ibana)

nunga dipaulak.

‘Tetapi sangat membuat kecewa hatinya, karena baru saja sampai di halaman (dia) sudah ditolak.’

Perbedaan nung dan nunga, kata nunga lebih formal sifatnya. Persamaannya kata nunga, nung, dan dung cenderung terletak di belakang kata kerja atau unsur intinya. Hal ini dapat terlihat pada kalimat di bawah ini.

(46a) Martapian nunga, mangan manogot nunga, marhaiason nunga, saonari holan tading borhat.

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

(46b) Martapian nung, mangan manogot nung, marhaiason nung, saonari holan tading borhat.

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

(46c) Martapian dung, mangan manogot dung, marhaiason dung, saonari holan tading borhat.

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

Perbedaan letak ini membawa perbedaan strukturnya. Struktur nunga didalanhon (41) adalah frasa verbal, sedangkan martapian nunga ‘mandi sudah’, mangan manogot nunga ‘makan pagi sudah’, marhaiason nunga ‘berdandan sudah’ (46a), (46b), dan (46c) dengan adanya jeda antara martapian, mangan, dan marhaiason masing-masing dengan nunga, nung, dan dung berstruktur klausa. Kemudian perbedaan nung dengan

dung; kata dung terpakai dalam ragam pustaka, sedangkan nung atau nunga dalam ragam nonpustaka.

2. Ragam

Dalam frasa verbal tongon dihurung ‘pasti dipenjara’ dan tontu ro ‘tentu datang’; unsur tambahan frasa itu, yakni kata tambah tongon ‘pasti’ dan tontu ‘tentu’ termasuk golongan kata tambah dalam bahasa Batak Toba yang menyatakan makna

ragam. Makna ragam ialah menyatakan sikap pembicara terhadap tindakan atau peristiwa yang tersebut pada golongan verba yang menjadi unsur intinya (Ramlan, 1995).

Kata tambah ragam dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni kepastian, kesangsian, dan keizinan.

a. Ragam Kepastian

Suatu kata tambah tergolong ragam kepastian apabila si pembicara memastikan atau meyakini peristiwa atau tindakan yang dinyatakan dalam verba yang menjadi unsur intinya. Untuk membuktikan hal itu dapat diperhatikan pada kalimat berikut.

(47) Saman tongon ro. ‘Saman pasti datang.’

Untuk lebih membuktikan apakah kalimat di atas menyatakan ragam kepastian, dapat dilakukan dengan memperluas kalimat itu menjadi sejenis kalimat langsung berikut ini.

(48) “Ahu porsea annon Saman ro” ninna ibana. ‘“Saya percaya nanti Saman datang” kata dia.’

Kata-kata tambah yang tergolong ragam kepastian dalam bahasa Batak Toba adalah tongon ‘pasti’, tontu ‘tentu’, torang ‘jelas’, totop ‘tetap’, antong ‘memang’,

saut ‘jadi’, dan maringkon ‘terpaksa’. Penggunaan kata-kata tambah ini dapat dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini.

(49) Parkarejo nangkin tongon dihurung. ‘Karyawan tadi pasti dipenjara.’ (50) Ibana tontu ro.

‘Dia tentu datang.’ (51) Annon botari Saman torang lao. ‘Nanti sore Saman jelas pergi.’

(52) Pangkataionna totop mamberniti roha ni na asing. ‘perkataannya tetap melukai hati –nya orang lain’ Perkataannya tetap melukai hati orang lain.

(53) Ende-ende sian Simalungun sonari on antong apala diparsinta sude jolma.

‘lagu-lagu dari Simalungun saat ini memang sangat digemari semua masyarakat’

Lagu-lagu dari Simalungun saat ini memang sangat digemari masyarakat.

Semua unsur tambahan dalam frasa verbal pada kalimat (48-52) di atas menyatakan ragam kepastian. Perbedaan di antara kata-kata tambah itu sebagai

berikut. Kata tongon ‘pasti’ dalam tongon dihurung ‘pasti dipenjara’ (48), dan tontu

‘tentu’ dalam tontu ro ‘tentu datang’ (49) kecuali menyatakan ragam kepastian tidak terkandung makna lain, sedangkan kata torang ‘jelas’ dalam torang lao ‘jelas pergi’ (50) selain menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna terang, nyata, dan jelas, sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang tersebut pada verbanya. Kata

totop ‘tetap’ dalam totop mamberniti ‘tetap melukai’ (51) selain menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna ‘tetap tidak berubah’ sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang tersebut pada kata verbanya. Kata antong ‘memang’ dalam antong diparsinta ‘memang digemari’ (52) di samping menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna ‘memang, ya begitulah’. Di samping kata-kata tambah di atas, kata

saut ‘jadi’ dan maringkon ‘terpaksa’ juga tergolong kata tambah jenis ragam kepastian.

b. Ragam Kesangsian

Dalam bahasa Batak Toba hanya dua kata tambah yang tergolong ragam kesangsian, ialah kata songon ‘seperti’ dan tarsongon ‘seperti’. Disebut ragam kesangsian karena kata itu menyatakan ketidakpastian atau antara ya dan tidak terhadap peristiwa atau tindakan yang tersebut pada verba sebagai unsur intinya. Hal ini dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.

(54) Sangkul i songon dibuat na nampunasa. ‘Cangkul itu seperti diambil yang punya.’

(55) Ibana tarsongon na ro nantoari. ‘Dia seperti yang datang kemarin.’

Meskipun songon/ haroa ‘seperti’ pada kalimat (54) dan (55) secara semantis sama, tetapi secara susunan agak berbeda. Songon pada kalimat (54) dapat dipermutasikan ke sebelah kiri sangkul i ‘cangkul itu’, dan ke sebelah kanan na nampunasa ‘yang punya’ sehingga kalimat itu menjadi sebagai berikut.

(56) Huroa sangkul i dibuat na nampunasa.

‘Rupanya cangkul itu diambil yang punya.’ (57) Sangkul i dibuat na nampunasa haroa.

‘Cangkul itu diambil yang punya rupanya.’

Apabila kata haroa ‘rupanya’ dipindahkan ke sebelah kanan na nampunasa

‘yang punya’ seperti pada kalimat (56) maka diperlukan adanya jeda (//) di sebelah kiri huroa ‘rupanya’, sedangkan kata tarsongon ‘seperti’(54) hanya dipindahkan ke sebelah kiri ibana ‘dia’ dan ke sebelah kanan nantoari ‘kemarin’ maknanya sama dengan dalam kalimat (54), tetapi terjadi perubahan struktur. Hal ini seperti pada kalimat di bawah ini.

(58) Ibana ro tarsongon nantoari. ‘Dia datang seperti kemarin.’

Oleh karena dalam kalimat (58) tarsongon ‘seperti’ menjadi satu unsur tambahan

nantoari ‘kemarin’ sehingga menjadi satu kesatuan frasa keterangan tarsongon nantoari ‘seperti kemarin’.

Perbedaan perpindahan di atas menunjukkan bahwa songon/ haroa dan

tarsongon dapat dipindahkan ke sebelah kanan verba sebagai unsur intinya apabila di sebelah kanannya lagi tidak ada konstituen lain.

Hal yang perlu diketahui ialah bahwa perbedaan letak songon/ haroa dan

tarsongon membedakan statusnya. Apabila terletak di awal atau di akhir kalimat, kata

songon semakna dengan haroa ‘rupanya’. Jadi, kata songon/ haroa mengisi fungsi keterangan, sedangkan apabila terletak di sebelah kiri verba seperti pada (54) dan (55) sebagai unsur tambahan dalam frasa verbal. Dengan demikian, yang tergolong kata tambah hanya songon dan tarsongon seperti pada (54) dan (55) dengan makna kesangsian ‘seperti’.

c. Ragam Keizinan

Suatu kata tambah dalam bahasa Batak Toba yang tergolong ragam keizinan apabila si pembicara memberi izin atau membolehkan sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang dinyatakan dalam verba yang menjadi unsur intinya. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan unsur tambah boi ‘boleh’ dalam frasa verbal boi mamillit

‘boleh memilih’.

(59) Dakdanak i boi mamillit pustaha na diparsinta.

Kalimat (59) dapat diperluas dengan menggantikan kata boi ‘boleh’ dengan dipaloas

‘diizinkan’ sehingga kalimat (59) menjadi sebagai berikut.

(60) Dakdanak i dipaloas mamillit pustaha na diparsinta.

‘Anak-anak itu diizinkan memilih buku yang disukai.’

Kata-kata tambah yang tergolong ragam keizinan adalah boi ‘boleh’, diloas

‘diizinkan’, dan bolas ‘boleh’. Penggunaan kata-kata tambah itu seperti kalimat di bawah ini.

(61) Angka dakdanak sonari boi masuk.

‘Anak-anak itu sekarang boleh masuk.’

(62) Dago si Saurma jom 09.00 annon diloas mulak sian ruma sakit. ‘Bu si Saurma jam 09.00 nanti diizinkan pulang dari rumah sakit.’ (63) Kaluarga ni amanta i bolas dohonon kaluarga seniman.

‘Keluarga bapak itu boleh disebut keluarga seniman.’

3. Larangan

Kata tambah yang tergolong larangan adalah kata tambah yang melarang pernyataan yang disebut di sebelah kanannya. Dalam bahasa Batak Toba hanya ada satu kata tambah yang tergolong larangan, yaitu unang ‘jangan’. Kata tambah unang

‘jangan’ ditentukan sebagai unsur tambahan suatu frasa verbal berdasarkan teknik perluas. Penggunaan kata tambah itu seperti kalimat di bawah ini.

(64) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana. ‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia.’

Apabila kalimat (64) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana diperluas, ternyata

unang ‘jangan’ satu kesatuan dengan pasingirhon ‘meminjamkan’ dalam frasa verbal

unang pasingirhon ‘jangan meminjamkan’ sebagai unsur tambahan. Hal ini tentu saja

Dokumen terkait