• Tidak ada hasil yang ditemukan

Frasa Verbal dan Fungsinya dalam Kalimat Bahasa Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Frasa Verbal dan Fungsinya dalam Kalimat Bahasa Batak Toba"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT

BAHASA BATAK TOBA

SKRIPSI

OLEH

RUSMINA PANJAITAN NIM 030701008

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

(2)

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT

BAHASA BATAK TOBA

SKRIPSI

OLEH

RUSMINA PANJAITAN NIM 030701008

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dra.Salliyanti , M.Hum. Dra.Sugihana Br Sembiring. M.Hum.

NIP 131284308 NIP 131571776

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum.

(3)

PERNYATAAN

(4)

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT BAHASA BATAK TOBA

Oleh

RUSMINA PANJAITAN

ABSTRAK

Penelitian ini membahas frasa verbal dan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Frasa verbal dapat dirumuskan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang bersifat endosentrik atributif atau endosentrik koordinatif dengan verba sebagai unsur intinya. Frasa verbal endosentrik atributif terdiri atas unsur inti dan unsur tambahan. Unsur inti diisi oleh verba, sedangkan unsur tambahan diisi oleh kata tambah. Kata tambah pengisi unsur tambahan frasa verbal dapat digolongkan secara semantis menjadi lima belas golongan, yaitu aspek, ragam, larangan, negatif, keharusan, kemampuan, kesanggupan, keseringan, pembatasan, keterlanjuran, ketergesa-gesaan, kemendadakan, kebersamaan, kepura-puraan, dan keniatan. Frasa verbal endosentrik koordinatif terdiri atas dua atau lebih verba sebagai unsur intinya dan satu atau lebih penghubung. Berdasarkan corak hubungan antara verba satu dengan verba lainnya, frasa verbal endosentrik koordinatif dapat digolongkan menjadi frasa verbal endosentrik koordinatif aditif dan frasa verbal endosentrik koordinatif alternatif. Frasa verbal ditinjau dari segi kedudukannya dalam kalimat bahasa Batak Toba, frasa verbal dapat berfungsi sebagai predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini penulis mengambil dua buku sebagai penuntun utama, yakni Ilmu Bahasa Indonesia

‘Sintaksis’ (Ramlan, 1995) dan Alwi, dkk. (2000) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ramlan (1995) untuk menganalisis masalah yang pertama yaitu

(5)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkati penulis sehingga skripsi yang berjudul ’Frasa Verbal dan Fngsinya dalam Kalimat Bahasa

Batak Toba’ dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis hendak menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak di bawah ini.

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra USU. 2. Bapak Drs. Parlaungan Parlaungan, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Sastra USU.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU.

4. Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sejak penulisan proposal sampai penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sugihana Br. Sembiring, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah banyak mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Dra. Ida Basaria, M.Hum., selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak

memperhatikan penulis selama kuliah di Fakultas Sastra.

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU, yang telah memberikan bekal dan pengetahuan, baik dalam linguistik, sastra, maupun bidang-bidang umum lainnya.

8. Kak Fitri yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU.

9. Kedua orang tua penulis, W. Panjaitan dan H. Harahap, yang telah mendukung penulis selama perkuliahan baik melalui materi maupun spritual di dalam doa.

(6)

memberikan dukungan kepada penulis agar tetap semangat mengerjakan skripsi ini bahkan yang telah membantu penulis secara materi.

11. Pimpinan BT/BS BIMA beserta stafnya buat kerja samanya dengan penulis selama ini.

12. Teman-teman saya satu profesi sebagai tentor di BT/BS BIMA yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.

13. Teman-teman guru yang mengajar di SMA NASRANI 3 MEDAN yang tidak dapat saya sebut namanya satu persatu.

14. Teman-teman satu kamar Junita dan Mega buat kesabarannya menemani penulis selama empat tahun ini.

15. Teman-teman satu kos Neli (yang imut dan supel), Mangatur, Edi, Reni, Santi, Erni, Fita, Atur, Eka, Roi, Ganda, Bang Jeri, Bang Jinoko, Bang Alek, dan Bang Raimon dan mantan satu kos yang terus memberikan penulis semangat.

16. Ibu kos M. Simanjuntak.

17. Teman-teman satu angkatan Sastra Indosesia 2003.

18. Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU angkatan 2004-2007.

Sebagai manusia, penulis menyadari kekurangan yang ada dalam diri penulis. Kekurangan-kekurangan tersebut mungkin saja tercermin dalam skripsi ini sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga kekurangan yang ada dapat disempurnakan pada masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap, skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membaca.

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

PRAKATA iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.4.5 Kedudukan Frasa Verbal dari Segi Fungsinya dalam Kalimat... 18

BAB II FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT BAHASA

BATAK TOBA 21

2.1 Struktur Frasa Verbal dalam Bahasa Batak Toba 21 2.1.1 Frasa Verbal Endosentrik Atributif 21

1. Aspek 22

(8)

3. Larangan 40

1. Frasa Verbal Endosentrik Koordinatif Aditif 65 2. Frasa Verbal Endosentrik Koordinatif Alternatif 68 2.2 Kedudukan Frasa Verbal Dilihat dari Segi Fungsinya dalam Kalimat

(9)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Informan Lampiran 2 Kusioner

Lampiran 3 Peta Kecamatan Silaen

(10)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang

* tidak berterima pada tata bahasa Batak Toba [ ] batas frasa verbal

Daftar Singkatan

(11)

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT BAHASA BATAK TOBA

Oleh

RUSMINA PANJAITAN

ABSTRAK

Penelitian ini membahas frasa verbal dan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Frasa verbal dapat dirumuskan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang bersifat endosentrik atributif atau endosentrik koordinatif dengan verba sebagai unsur intinya. Frasa verbal endosentrik atributif terdiri atas unsur inti dan unsur tambahan. Unsur inti diisi oleh verba, sedangkan unsur tambahan diisi oleh kata tambah. Kata tambah pengisi unsur tambahan frasa verbal dapat digolongkan secara semantis menjadi lima belas golongan, yaitu aspek, ragam, larangan, negatif, keharusan, kemampuan, kesanggupan, keseringan, pembatasan, keterlanjuran, ketergesa-gesaan, kemendadakan, kebersamaan, kepura-puraan, dan keniatan. Frasa verbal endosentrik koordinatif terdiri atas dua atau lebih verba sebagai unsur intinya dan satu atau lebih penghubung. Berdasarkan corak hubungan antara verba satu dengan verba lainnya, frasa verbal endosentrik koordinatif dapat digolongkan menjadi frasa verbal endosentrik koordinatif aditif dan frasa verbal endosentrik koordinatif alternatif. Frasa verbal ditinjau dari segi kedudukannya dalam kalimat bahasa Batak Toba, frasa verbal dapat berfungsi sebagai predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini penulis mengambil dua buku sebagai penuntun utama, yakni Ilmu Bahasa Indonesia

‘Sintaksis’ (Ramlan, 1995) dan Alwi, dkk. (2000) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ramlan (1995) untuk menganalisis masalah yang pertama yaitu

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi mendatang (Keraf, 1994: 1).

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain, karena dalam menjalani kehidupan sosial manusia selalu membutuhkan individu lain yang dapat menolongnya. Dalam proses tolong-menolong tersebut manusia membutuhkan bahasa supaya mereka dapat berkomunikasi dengan individu lain.

(13)

Perkembangan bahasa Batak Toba juga dipengaruhi besarnya jumlah penutur bahasa Batak Toba. Penutur bahasa ini diperkirakan sekitar lima juta orang (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Namun, perlu dipertegas bahwa penutur bahasa Batak Toba adalah semua masyarakat suku Batak Toba dan masyarakat suku lain yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Samosir ataupun yang tinggal di daerah lain.

Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya yang tersebar di empat kabupaten yaitu; Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige, Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di Tarutung, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok Sanggul yang berada di bagian tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara, yakni di punggung Bukit Barisan yang terletak antara 10 20’-20 4’ Lintang Utara dan 980 10’-900 35’ Bujur Timur (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006).

Kemudian masyarakat yang ada pada keempat kabupaten tersebut menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, khususnya di daerah Medan, Provinsi Sumatera Utara. Bahasa ini menjadi salah satu ragam dan kekayaan budaya di Indonesia.

(14)

Daerah Tingkat II Karo, Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun; di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Asahan dan Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu; di sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan; dan di sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Selatan (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006).

Berdasarkan uraian tentang masyarakat penutur bahasa Batak Toba di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan penduduk, perluasan lingkungan pemukiman, dan pengaruh bahasa lain sangat mempengaruhi perkembangan bahasa Batak Toba. Hal ini menjadi salah satu hal yang penting diteliti terutama mengenai perkembangan bahasa Batak Toba dari segi struktur kalimat. Namun, pada kesempatan ini diberikan perhatian khusus terhadap stuktur frasa verbal dan fungsinya pada bahasa Batak Toba.

Dalam bahasa Batak Toba dikenal adanya satuan linguistik yang disebut morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pelbagai satuan linguistik itu dibicarakan dalam ilmu yang berbeda. Morfem dan kata, misalnya dibahas dalam morfologi, sedangkan frasa, klausa, dan kalimat merupakan objek kajian sintaksis. Ramlan (1995: 22) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’ telah dijelaskan hubungan satuan linguistik tersebut. Dikatakannya bahwa satuan kalimat terdiri atas unsur-unsur yang berupa klausa; satuan klausa terdiri atas unsur-unsur yang berupa frasa; dan satuan frasa terdiri atas unsur-unsur yang berupa kata.

(15)

diwisuda hari ini’ terdiri dari satu klausa, yaitu anggi ni omak ni ibana naeng diwisuda sadari on. Dikatakan demikian karena telah terpenuhinya syarat sebuah kluasa, yakni adanya subjek (S): Anggi ni omak ni ibana ‘adik ibu dia’, dan predikat (P): naeng diwisuda ‘akan diwisuda’. Selanjutnya, klausa itu terdiri atas tiga frasa, yaitu Anggi ni omak ni ibana karena berfungsi sebagai subjek (S); naeng diwisuda

karena berfungsi sebagai predikat (P); dan sadari on karena berfungsi sebagai keterangan (KET). Di sini terlihat bahwa frasanya ada yang terdiri atas lima kata (Anggi ni omak ni ibana) dan ada pula yang dua kata (naeng diwisuda; sadari on).

Pertanyaan yang mungkin segera muncul adalah bagaimanakah cara menentukan frasa dalam bahasa Batak Toba. Frasa dapat ditentukan apabila masing-masing unsur yang berupa kata tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1995: 151) atau dalam istilah lain bersifat nonpredikatif (Kridalaksana, 1986: 81). Dengan kata lain, penentuan frasa dalam bahasa Batak Toba adalah jika kata-kata yang terdapat dalam konstruksi kalimat telah menduduki satu fungsi gramatikal, baik itu (S), (P), (O), (PEL), dan (KET). Maka, Anggi ni omak ni ibana ‘adik ibu dia’ digolongkan sebuah frasa karena menduduki satu fungsi S; naeng diwisuda ‘akan diwisuda’ sebuah frasa karena menduduki satu fungsi P; dan sadari on ‘hari ini’ satu frasa karena menduduki satu fungsi KET.

(16)

hian ‘dekat sekali’). Frasa endosentrik dibedakan atas frasa endosentrik koordinatif, frasa endosentrik atributif, dan frasa endosentrik apositif. Frasa eksosentrik adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang salah satu unsurnya tidak dapat berdistribusi dengan unsur lainnya (Silaban, 1987: 43). Frasa eksosentrik dibaginya atas tiga bagian (berdasarkan posisi penghubung yang mungkin terdapat di dalamnya) yaitu frasa preposisi yaitu frasa yang intinya kata depan penunjuk tempat (misalnya, frasa di jabu ‘di rumah’), frasa pasposisi yaitu frasa yang intinya kata depan penunjuk asal (misalnya, frasa sian porlak ‘dari ladang’), dan frasa perposposisi yaitu frasa yang intinya kata depan yang mengapit suatu kata (misalnya, frasa sianhau i ‘dari pohon itu’).

(17)

Frasa eksosentrik terbagi atas frasa preposisi-instrumental, frasa preposisi-agentif, frasa preposisi-komparatif, frasa preposisi-perihal, dan frasa preposisi-kausal.

Sinaga (2002) dalam bukunya Tata Bahasa Batak Toba juga menyinggung frasa bahasa Batak Toba terbatas pada pembahasan adjektiva serta penggunaannya dalam berbahasa. Namun, dia menjelaskan unsur-unsur pembentuk kata sifat yang juga merupakan unsur atributif yang membentuk frasa.

Alwi, dkk. (2000: 157) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia

membedakan frasa verbal menjadi dua yaitu frasa verbal endosentrik atributif dan frasa verbal endosentrik koordinatif. Frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier) yang ditempatkan di muka atau di belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakang dinamakan pewatas belakang (misalnya, ‘harus menjunjung’). Frasa verbal endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang dihubungkan dengan memakai kata penghubung ‘dan’ atau ‘atau’, sebagai verba dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan atau belakang (misalnya, ‘tertawa atau marah’). Sedangkan, dari segi fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.

Mariani (1995) dalam skripsinya Analisis Frasa Verbal dalam Tabloid Nova

(18)

adverbia + adverbia + verba, (14) adverbia + frasa koordinatif, (15) adverbia + adjektiva + verba, (16) adverbia + adverbia + verba + adverbia, (17) adverbia + adverbia + verba + verba, (18) adverbia + adverbia + adverbia + verba, (19) adverbia + verba + adverbia + verba, dan (20) verba + adverbia + adverbia + verba. Selanjutnya, dari tiga tipe frasa endosentrik, yaitu koordinatif, atributif, dan apositif, tidak ditemukan dalam data ( majalah Nova tersebut) frasa endosentrik apositif.

Dari hasil kajian di atas terlihat bahwa (1) frasa dipahami sekurang-kurangnya terdiri atas dua anggota pembentuk, (2) klasifikasi frasa verba berdasarkan pada keberadaan intinya, (3) struktur frasa merupakan proyeksi dari inti dan frasa tanpa memperhatikan adanya kategori lain di antara keduanya, (4) dari segi fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, keterangan, dan (5) frasa verbal dapat didahului atau diikuti kelas kata yang lain.

(19)

Akan tetapi, penelitian yang mereka lakukan telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian lanjutan tentang kajian tata bahasa Batak Toba, khususnya terhadap kajian sintaksis. Namun, hingga saat ini kajian sintaksis yang lebih mendalam belum banyak dilakukan, terutama kajian frasa baik frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa lainnya. Di antara frasa-frasa tersebut penelitian tentang frasa verbal dirasakan masih kurang mendalam, hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti frasa verbal dan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba.

Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini penulis mengambil dua buku sebagai penuntun utama, yakni Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’ (Ramlan, 1995) dan Alwi, dkk. (2000) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ramlan (1995) untuk menganalisis masalah yang pertama yaitu struktur frasa verbal dalam bahasa Batak Toba dan buku Alwi, dkk. (2000) untuk menganalisis masalah yang kedua yaitu kedudukan frasa verbal dilihat dari segi fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Buku ini penulis pilih karena dari semua buku yang membahas tentang frasa verbal kedua buku ini membahas masalah yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

1.1.2 Masalah

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa masalah yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur frasa verbal dalam bahasa Batak Toba?

(20)

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur frasa verbal bahasa Batak Toba serta menjelaskan kedudukan frasa verbal bahasa Batak Toba dilihat berdasarkan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba.

1.2.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.

1. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam usaha pengembangan kajian sintaksis bahasa Batak Toba sehingga memperkaya kajian bahasa Batak Toba, khususnya yang berhubungan dengan frasa verbal bahasa Batak Toba.

2. Secara praktis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain untuk mengungkapkan berbagai jenis frasa dalam bahasa-bahasa daerah terutama bahasa-bahasa di Sumatera Utara. Selain itu, penelitian ini dapat juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara melakukan evaluasi terhadap kajian bahasa Batak Toba.

1.3Metode dan Teknik Penelitian

1.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

(21)

kebenaran, sedangkan metode adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Dalam pengumpulan data diterapkan metode kepustakaan yaitu dengan mencari buku-buku yang menjadi sumber data terutama data-data yang berupa frasa atau berhubungan dengan frasa verbal. Untuk mendapatkan data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-135), kemudian didukung oleh teknik catat, yaitu mencatat data-data yang ditemukan.

Menurut Nazir (1988: 111), untuk mendapatkan data tulis digunakan studi pustaka yakni dengan mencari buku-buku yang menjadi sumber data yang berhubungan dengan objek kajian (dalam hal ini yang berupa frasa verbal). Setelah itu dilanjutkan dengan teknik catat yaitu mencatat data-data yang ditemukan.

Untuk mengumpulkan data frasa verbal akan ditempuh langkah-langkah berikut.

1. Pencatatan hal-hal yang berhubungan dengan frasa verbal bahasa Batak Toba dari berbagai sumber, terutama dari buku-buku yang berhubungan dengan sintaksis bahasa Batak Toba.

2. Pengelompokan frasa verbal berdasarkan jenis dan kedudukan frasa verbal berdasarkan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba.

(22)

1. Berusia antara 25-65 tahun;

2. Lahir dan besar di daerah penelitian;

3. Berpendidikan maksimal tamatan pendidikan dasar (SD-SLTP); 4. Memiliki kemampuan menggunakan bahasa daerahnya;

5. Dapat berbahasa Indonesia; dan

6. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan sehat rohani (tidak gila atau pikun) (Maksun, 1995).

Data-data lisan tersebut diujikan kepada penutur bahasa Batak Toba melalui penggunaan daftar tanyaan. Hal ini jelas menuntut dan mengharuskan peneliti bertindak hati-hati pada tahap analisis dan interpretasi data. Untuk mengumpulkan data frasa verbal dan fungsinya ini ditempuh langkah-langkah berikut.

Untuk mendapatkan data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-135) yang didukung oleh teknik catat. Data tulis itu bersumber dari buku

SintaksisBahasa Batak Toba (Sibarani, 1997); Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia

(Warneck, 2001); dan Tata Bahasa Batak Toba (Sinaga, 2002).

Frasa verbal, ndang mangan ‘tidak makan’, misalnya, dimasukkan ke dalam kelompok frasa verbal endosentrik atributif dengan pewatas depan karena inti frasa tersebut adalah mangan ‘makan’, sedangkan pawatas depan sebagai atributifnya,

ndang ‘tidak’, terletak di kanan atau sebelum inti. Sedangkan frasa verbal

mangangguk muse ‘mengangguk lagi’, misalnya, dalam kelompok frasa verbal endosentrik atributif dengan pewatas belakang karena inti leksikal mangangguk

‘mengangguk’ terletak di kiri, sedangkan pewatas belakang sebagai atributif muse

(23)

1.3.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Pada tahap pengkajian data diterapkan dua metode. Pertama, metode tahap referensial dengan teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu dan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan pokok (Sudaryanto, 1993: 21-27). Metode padan referensial berfungsi untuk menentukan referen sebuah kata, yaitu dengan cara membandingkan referen kerja dengan hal pokok berdasarkan daya pilah yang dimiliki oleh peneliti dan daya pilah yang melekat pada referen tersebut (Sudaryanto, 1993: 21-27). Misalnya, modom ‘tidur’ makna referensialnya dalam

Kamus Besar BahasaIndonesia (2002) adalah keadaan berhenti (mengaso) badan dan kesadarannya (biasanya dengan memejamkan mata); hendak (mulai) mengistirahatkan badan dan kesadarannya. Kedua, metode agih dengan teknik dasar berupa teknik bagi unsur langsung dan teknik lanjutan berupa teknik lesap, teknik perluas, teknik balik, dan teknik ganti.

Pada metode agih digunakan intuisi untuk membagi satuan lingual tersebut. Contohnya, terlihat pada kalimat sebagai berikut.

1. Mangan muse anak ni amanta i. ‘makan lagi anaknya bapak itu’ ‘Makan lagi anak bapak itu.’

(24)

unsur inti adalah mangan ‘makan’. Jika unsur ini dilesapkan, menjadi *muse ‘lagi’, bentuknya menjadi tidak gramatikal.

Teknik perluas dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang bersangkutan dengan menggunakan unsur tertentu. Pada frasa verbal, mardalan pat

‘berjalan kaki’ dapat diperluas dengan adverbia muse ‘lagi’ menjadi mardalan pat muse ‘berjalan kaki lagi’. Struktur seperti ini dapat diterima secara sintaksis dan semantik dalam bahasa Batak Toba.

Teknik ganti dilakukan dengan mengganti satuan lingual yang menjadi pokok perhatian dengan satuan lingual pengganti, misalnya, adverbia muse pada frasa

mardalan pat muse ‘berjalan kaki lagi’ dapat diterima sebagai pengganti adverbia

museng dari frasa verbal mardalan pat museng ‘berjalan kaki juga’.

1.4Landasan Teori

1.4.1 Konsep Dasar

Istilah sintaksis diambil dari bahasa Belanda Syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah Syntax. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, klausa, dan frasa, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk-beluk kata dan morfem (Ramlan, 1995: 21).

Ramlan (1995) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’

(25)

KET ataupun tidak. Unsur inti klausa ialah S dan P. Sedangkan frasa ialah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.

1.4.2 Pengertian Frasa

Pembicaraan mengenai frasa termasuk bidang sintaksis karena menyangkut hubungan antarkata (Verhaar, 1970: 97). Adapun ciri utama kata, yaitu dapat dipisahkan dari bentuk lainnya. Dalam frasa ‘tidak melupakan’, ‘tidak’ dan ‘melupakan’ merupakan dua buah kata karena antara kata ‘tidak’ dan ‘melupakan’ dapat dipisahkan dengan menyisipkan kata lain seperti kata ‘akan’ menjadi ‘tidak akan melupakan’. Bahkan, dalam posisinya sebagai jawaban, kata ‘tidak’ dan ‘melupakan’ dapat berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang disebut kata adalah bentuk bebas yang mengandung arti utuh.

Hubungan antarkata dalam frasa, baik dari segi bentuk maupun makna, bersifat longgar, tetapi tidak melampaui batas fungsi yang diduduki. Misal, kalimat di bawah ini.

2. Dia sekarang menulis surat.

(26)

masing-masing kata dalam kalimat ini mengisi satu fungsi sehingga hubungan yang ada di sini adalah hubungan antarfungsi.

Berbeda halnya dengan hubungan antarkata ‘akan’ dengan ‘menulis’ dalam kalimat di bawah ini.

2a. Dia akan menulis surat.

Pada kalimat di atas ditemukan frasa ‘akan menulis’ yang menduduki satu fungsi. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa frasa adalah hubungan dua kata yang tidak melampaui batas fungsi. Ramlan (1995: 151) mengatakan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Pendapat Ramlan ini didukung juga oleh pendapat Elson dan Picket (1969) mengatakan frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Tarigan, 1986: 50).

Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan unsur klausa dari batasan di atas adalah satuan gramatik yang terdiri dari S dan P baik disertai O, PEL, dan KET maupun tidak (Ramlan, 1995). Malahan, sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, sebuah klausa dapat saja terdiri atas P tanpa perlu adanya unsur-unsur lain. Apabila satuan bahasa sudah melampaui batas fungsi, maka bukan lagi disebut frasa, melainkan klausa yang tetap berada di dalam konstruksi yang lebih besar, yaitu kalimat.

(27)

unsurnya haruslah memperhatikan prinsip hierarki dalam tata bahasa yang bersangkutan.

1.4.3 Frasa Verbal

Tarigan (1986: 59) mengatakan frasa verbal adalah frasa modifikatif yang hulunya berupa verba atau kata kerja.

Ramlan (1995: 168) mengatakan frasa verbal adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verba.

Kridalaksana (1988: 93) mengatakan frasa verbal ialah frasa yang terjadi dari verba sebagai induk dengan verba, atau kata berkelas kata lain, yaitu adverbia, atau frasa preposisional, sebagai modifikator.

Moeliono (1988: 127) mengatakan frasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya dan tidak merupakan klausa.

Alwi, dkk. (2000: 157) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia

(28)

fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa verbal ialah frasa yang intinya kata kerja (verba) atau frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata kerja. Persamaan distribusi ini dapat diketahui dengan jelas dalam kalimat berikut ini.

3. Allah akan menguji keimanan hamba-Nya dalam menghadapi perkara itu. 4. Allah ---- menguji keimanan hamba-Nya dalam menghadapi perkara itu.

Frasa ‘akan menguji’ dalam kalimat (3) mempunyai distribusi yang sama dengan kata ‘menguji’. Kata ‘menguji’ termasuk golongan verba, karena itu frasa verbal ‘akan menguji’ termasuk golongan verba.

1.4.4 Struktur Frasa Verbal

(29)

Sedangkan wujud frasa verbal sangat sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan atau pewatas belakang. Perhatikan contoh berikut.

5. Mereka menangisi dan meratapi nasibnya.

6. Dia tidak akan mengakui atau mengingkari perbuatannya.

Pewatas depan dan belakang pada frasa verbal koordinatif seperti ini memberi keterangan tambahan pada kedua verba yang bersangkutan dan bukan pada verba yang pertama saja. Dengan demikian, maka pada kalimat (6) pewatas ‘tidak akan’ memberi keterangan tambahan pada ‘mengakui dan mengingkari’, bukan pada ‘mengakui’ saja.

1.4.5 Kedudukan Frasa Verbal dari Segi Fungsi dalam Kalimat

Jika ditinjau dari segi fungsi, frasa verba terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian, frasa verbal dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, pelengkap, dan keterangan (dengan perluasannya berupa objek, pelengkap, dan keterangan). Berikut ini akan dijelaskan kedudukan frasa verbal dari segi fungsinya dalam kalimat.

(30)

7. Pemerintah akan mengeluarkan peraturan moneter baru.

Pada kalimat (7) frasa ‘akan mengeluarkan’ yang berkedudukan sebagai predikat diikuti oleh objek ‘peraturan moneter baru’.

Kedua, frasa verbal sebagai subjek. Pada kalimat di bawah ini terlihat bahwa frasa verbal dan perluasannya (yang berupa objek, pelengkap, dan/ atau keterangan) dapat berfungsi sebagai subjek. Pada umumnya verba yang berfungsi sebagai subjek adalah verba inti, tanpa pewatas depan ataupun pewatas belakang. Jika verba ini memiliki unsur lain seperti objek dan keterangan, unsur itu menjadi bagian dari subjek.

8. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.

Pada kalimat (8) subjeknya adalah frasa verbal ‘bersenam setiap pagi’.

Ketiga, frasa verbal sebagai objek. Dalam kalimat berikut frasa verbal dan perluasannya berfungsi sebagai objek.

9. Dia menekuni membaca buku setiap hari.

(31)

Keempat, frasa verbal berfungsi sebagai pelengkap. Frasa verbal dan perluasannya dapat berfungsi sebagai pelengkap dalam kalimat, seperti terlihat pada contoh berikut.

(10) Dia sudah berhenti dari merokok.

Frasa verbal ‘dari merokok’ dalam kalimat (10) berfungsi sebagai pelengkap dari predikat ‘berhenti’. Predikat itu tidak lengkap dan dengan demikian, predikat yang bersangkutan tidak berterima jika tidak diikuti oleh pelengkap.

Kelima, frasa verbal berfungsi sebagai keterangan. Dalam kalimat berikut verba dan perluasannya berfungsi sebagai keterangan.

(11) Mereka baru saja pulang bertamasya.

Pada kalimat (11) terkandung pengertian ‘asal’ dan oleh sebab itu dapat disisipkan kata ‘dari’: ‘pulang dari bertamasya’; dalam hal ini frasa verbal (dengan

(32)

BAB 11

FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA DALAM KALIMAT

BAHASA BATAK TOBA

2.1 Struktur Frasa Verbal dalam Bahasa Batak Toba

Dilihat dari segi konstruksinya, frasa verbal dalam bahasa Batak Toba terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut. Dengan adanya unsur penambah tersebut maka terbentuklah frasa verbal yang berbentuk endosentrik atributif dan frasa verbal yang berbentuk endosentrik koordinatif. Konstruksi seperti nunga lao ‘sudah pergi’, naeng songgop ‘akan mendarat’, ndang ingkon mulak ‘tidak harus pulang’, merupakan jenis frasa verbal yang berbentuk endosentrik atributif. Frasa verbal seperti manortor dohot marende

‘menari dan bernyanyi’ serta mangan manang modom ‘makan atau tidur’ masing-masing mempunyai dua verba inti yang dihubungkan dengan kata dohot ‘dan’ dan

manang ‘atau’. Frasa seperti itu disebut frasa endosentrik koordinatif.

2.1.1 Frasa Verbal Endosentrik Atributif

(33)

(12) Rio ndang marobat ala ibana ndang marsahit. ‘Rio tidak berobat karena dia tidak sakit.’

Dalam klausa pertama, ndang ‘tidak’ menjadi unsur tambahan bagi verba

marobat ‘berobat’ dalam frasa verbal ndang marobat ‘tidak berobat’, sedangkan dalam frasa kedua ndang ‘tidak’ menjadi unsur tambahan bagi kata sifat marsahit

‘sakit’ dalam frasa sifat ndang marsahit ‘tidak sakit’.

Oleh karena pembicaraan kata tambah ini terbatas pada kata tambahan dalam frasa verbal, maka penggolongan kata-kata tambah ini dilakukan berdasarkan maknanya. Pembuktian makna segolongan kata tambah dilakukan dengan teknik ganti. Dengan mengganti kata yang bentuknya berbeda, tetapi maknanya sama akan dihasilkan bentuk baru dengan informasi yang sama. Dengan kata lain, pemakaian teknik ganti sekaligus memakai teknik perluas. Adapun kata-kata tambah itu sekaligus analisisnya sebagai berikut.

1. Aspek

Aspek ialah segolongan kata tambah yang menyatakan tentang saat berlakunya suatu tidakan (Ramlan, 1995). Dalam frasa naeng mangan ‘akan makan’, kata tambah naeng ‘akan’ merupakan unsur tambahan dalam frasa itu untuk menyatakan hubungan makna aspek, ialah yang menyatakan bahwa tindakan mangan

(34)

sedangkan keterangan waktu memberi keterangan kapan suatu tindakan itu dilakukan. Hal ini akan diperjelas pada kalimat berikut.

(13) Sori nunga tu onan.

‘Sori sudah ke pasar.’ (14) Sori nantoari tu onan.

‘Sori semalam ke pasar.’

Persamaan kedua kalimat itu ialah bahwa keduanya menyatakan ‘waktu lampau’. Hanya untuk keterangan waktu nantoari ‘semalam’ dapat ditambahkan oleh kata tanya nandigan ‘kapan’ atau dapat dipertanyakan dengan nandigan ‘kapan’. Di bawah ini diberikan kalimat berikut.

(15) Sori nandigan laotu onan?

‘Sori kapan pergi ke pasar?’ (16) Nandigan Sori lao tu onan?

‘Kapan Sori pergi ke pasar?’

(35)

(17) *Sori nunga tu onan, alai sonari di jabu.

‘Sori sudah ke pasar, tetapi sekarang di rumah.’ (18) Sori nantoari tu onan, alai sonari di jabu.

‘Sori semalam ke pasar, tetapi sekarang di rumah.’

Ketidakgramatikalan (17) menunjukkan bahwa kata tambah nunga ‘sudah’ bukan lawan dari kata sonari ‘sekarang’, tetapi nantoari ‘semalam’ lawan dari sonari

‘sekarang’. Dengan demikian, nunga ‘sudah’ tidak sama dengan nantoari ‘semalam’ sehingga nunga ‘sudah’ tidak tergolong keterangan waktu, tetapi tergolong aspek.

Aspek frasa verbal dalam bahasa Batak Toba dapat diperinci menjadi empat golongan, yakni aspek yang menyatakan tindakan yang belum berlaku, yang menyatakan tindakan yang akan belaku, yang menyatakan tindakan sedang berlaku, dan yang menyatakan tindakan yang telah berlaku.

a. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan Belum Berlaku

Dalam bahasa Batak Toba ada kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan suatu tindakan yang belum berlaku, yakni ndang dope ‘belum’. Hal ini terlihat dalam kalimat berikut ini.

(36)

Makna ‘belum berlaku’ pada kata ndang dope ‘belum’ dapat dijelaskan melalui perluasan kalimat (19) dengan suatu bentuk yang memakai kata andorang ‘masih, atau dope ‘lagi’.

Misalnya, perluasan kalimat (19) itu sebagai berikut.

(20) Pantun andorang gabe anak ni raja, Pantun ndang dope manggantihon hundulan ni amongna.

‘Pantun masih menjadi putranya raja, Pantun belum menggantikan kedudukannya ayahnya’

Pantun masih menjadi putra raja, Pantun belum menggantikan kedudukan ayahnya.

Kalimat lain:

(21) Boa-boa on ndang dope sidung. ‘Laporan ini belum selesai.’ (22) Parkarona ndang dope dipabotohon. ‘Perkaranya belum diberitahukan.’

Kalimat lain (19), (21), dan (22) menunjukkan bahwa ndang dope ‘belum’ dapat terletak di depan verba, baik verba aktif (19) maupun pasif (22) ; baik transitif (19) maupun intransitif pada contoh (21) dan (22). Akan tetapi, tidak dapat terletak di depan verba tarbuat ‘terambil’, tarsurat ‘tertulis’, seperti *ndang dope tarbuat

(37)

semantis maknanya kontradiktif ; ndang dope ‘belum’ menyatakan tindakan yang belum berlaku, sedangkan dalam verba tarbuat ‘terambil’ terkandung pengertian bahwa tindakan itu secara ‘tidak sengaja sudah berlaku’ dan oleh verba tarsurat

‘tertulis’ serta awalan tar- jelas menunjukkan bahwa tindakan itu sudah selesai dilakukan.

b. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan akan Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan bahwa suatu tindakan akan berlaku, ialah naeng ‘akan’, aning ‘bakal’, aningan ‘hampir’, dan

aninganing ‘hampir’. Makna ‘akan berlaku’ berarti pada waktu lampau dan kini belum berlaku. Oleh karena itu, makna ‘akan barlaku’ naeng ‘akan’ dalam kalimat (23) dapat diperjelas dengan memperluas kalimat itu menjadi kalimat (24) di bawah ini.

(23) Ibana naeng borhat sogot.

‘Dia akan berangkat besok.’

(24) Nangkin ibana ndang dope borhat, sonari ndang dope muse borhat, alana ibana naeng borhat sogot.

‘Tadi dia belum berangkat, sekarang juga belum berangkat, karena dia akan berangkat besok.’

Kalimat lain:

(38)

(26) Bangkena aningan dipaborhat.

‘Jenazahnya hampir diberangkatkan.’ (27) Oroanna aninganing ro.

‘Pangantinnya hampir datang.’

Makna ‘akan berlaku’ pada aspek naeng ‘akan’ dibandingkan dengan

aning‘bakal’, aningan ‘hampir’, dan aninganing ‘hampir’, sebenarnya mengandung ‘akan berlaku’ yang netral. Berbeda dengan pada aning ‘bakal’, dalam kata aning di samping terkandung pengertian dengan saat berlakunya tindakan itu lama; atau paling tidak lebih lama daripada naeng ‘akan’. Oleh karena itu, kalimat yang frasa verbalnya memiliki kata aning ‘bakal’ keterangan waktunya cenderung yang mengandung makna ‘akan berlaku nanti pada waktu relatif lama’. Misalnya, kalimat (28) ditambahi keterangan waktu sataon nae ‘setahun lagi’ menjadi kalimat berikut.

(28) Sataon nae SMA Nageri I Silaen aning nampunasa sopo godang. ‘Setahun lagi SMA Negeri I Silaen bakal mempunyai gedung aula.’

Kalimat (28) menunjukkan banwa aning ‘bakal’ menyatakan aspek ‘akan berlaku’, tetapi masih dalam jangka waktu yang relatif lama. Sebaliknya, aningan

‘hampir’ dan aninganing ‘hampir’ meskipun juga menyatakan ‘akan berlaku’, tetapi akan berlaku atau dilakukan dalam waktu yang tidak begitu lama lagi. Sebagai bukti

(39)

(29) Bangkena ndang sadia leleng nai dipaborhat. ‘jenazahnya tidak berapa lama lagi diberangkat’ Jenazahnya tidak berapa lama lagi diberangkatkan. (30) Oroanna ndang sadia leleng nai ro.

‘Pengantinnya tidak berapa lama lagi datang.’

Perbedaan antara aningan ‘hampir’ dengan aninganing ‘hampir’, yaitu

aninganing ‘hampir’ lazimnya dipakai dalam ragam pustaka, sedangkan aningan

‘hampir’ dipakai dalam ragam umum.

Daya gabungnya dengan verba dapat dicatat bahwa naeng ‘akan’ dapat bergabung dengan verba yang mengandung makna ‘tidak sengaja’, tetapi maknanya berubah menjadi sama dengan aninganing ‘hampir’. Misalnya, dalam kalimat berikut ini.

(31) Ibana naeng tartampar motor.

‘Dia akan tertabrak mobil.’

Naeng tartampar ‘akan tertabrak’ maknanya sama dengan aninganing tartampar ‘hampir tertabrak’. Hal ini membuktikan bahwa naeng ‘akan’ dengan makna ‘akan berlaku’ saja cenderung tidak bergabung dengan verba yang menunjukkan kualitas tindakan ‘tidak sengaja’. Demikian juga aspek aningan

(40)

kualitas ‘tindakan statif’. Misalnya, kata verba targantung ‘tergantung’ sehingga bentuk *naeng targantung ’akan tergantung’, *aning targantung ‘bakal tergantung’,

*aningan targantung ‘hampir tergantung’, dan *aninganing targantung ‘hampir tergantung’ tidak gramatikal.

c. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan sedang Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan bahwa suatu tindakan ‘sedang berlaku’ ialah dope ‘lagi’, muse ‘sedang’, tong ‘masih’, dan

museng atau musengani ‘sedang’. Makna ‘sedang berlaku’ berarti berlaku pada saat ini, bukan pada saat lampau atau saat yang akan datang. Oleh karena itu, makna ‘sedang berlaku’ dapat dibuktikan dengan mengganti aspek itu dengan kata keterangan saonari ‘sekarang’. Misalnya, seperti kalimat berikut ini.

(32) Kecamatan Silaen muse mampajongjong bagas sosial.

‘Kecamatan Silaen sedang membangun kantor sosial.’ Menjadi:

(33) Kecamatam Silaen saonari mampajongjong kantor sosial.

‘Kecamatan Silaen sekarang membangun kantor sosial.’ Kalimat lain:

(34) Sugiman musengani mangae asma.

(41)

(35) Hami museng mandalanhon aturan na joloan. ‘kami masih menjalankan sistem yang lama itu’ Kami masih menjalankan sistem lama.

Secara semantis muse ‘sedang’ dan museng ‘sedang’ sama maknanya, tetapi dalam pemakaian berbeda. Muse ‘sedang’ lazimnya dipakai dalam ragam umum, sedangkan museng ‘sedang’ adalah bentuk khusus dari muse ‘sedang’, meskipun sering dipakai dalam ragam umum. Perbedaan kedua aspek itu dengan tong ‘masih’ adalah bahwa tong ‘masih’ cenderung menyatakan ‘suatu tindakan berlangsung dari saat yang lampau sampai saat ini’. Sedangkan dope ‘lagi’ dan museng ‘sedang’ tidak mengandung makna itu. Oleh karena itu, kalimat yang frasa verbalnya mempunyai unsur tambahan tong ‘masih’ dapat diperluas dengan keterangan waktu, seperti sian na jolo sahat tu saonari ‘sejak dulu sampai sekarang’ misalnya kalimat (35) menjadi kalimat berikut ini.

(36) Sian na jolo sahat tu saonari, hami tong mandalanhon aturan na jolo i. ‘sejak dulu sampai ke sekarang, kami masih menjalankan sistem yang lama itu’

Sejak dulu sampai sekarang, kami masih menjalankan sistem lama.

Aspek lain yang sejenis dengan ketiga aspek itu ialah museng atau musengani

(42)

verbalnya mempunyai unsur tambahan museng atau musengani dapat diganti kata keterangan tagan ‘tengah’. Misalnya, frasa verbal museng manduhuti (eme) ‘sedang menyiangi (padi)’ menjadi tagan manduhuti (eme) ‘tengah menyiangi (padi)’.

d. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan Baru Dimulai

Ada dua kata tambah yang tergolong aspek dalam bahasa Batak Toba yang menyatakan suatu tindakan ‘baru dimulai’, yakni i dope ‘mulai’ dan on dope ‘mulai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan sedang dimulai dalam bahasa Batak Toba berarti bahwa suatu tindakan pada saat ini baru dimulai berlaku atau dilakukan. Aspek yang menyatakan suatu tindakan baru dimulai dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.

(37) Hampung i dope manjalo beo. ‘Kepala Desa mulai menarik pajak.’

Maknanya ialah ‘pada saat ini baru mulai dilakukan’. Aspek i dope ‘mulai’ pada kalimat (37) dapat dibuktikan dengan mengubah kalimat itu menjadi kalimat (38) berikut ini.

(38) Panjaloan ni beo na niulahon ni hampung sonari on dope didalanhon. ‘penarikan itu pajak yang dikerjakan oleh kepala desa sekarang mulai dilakukan’

(43)

Kalimat lain:

(39) Partingkian on angka jolma di huta i dope mangkarejoi haumana. ‘musim ini orang-orang di pedesaan itu mulai mengerjakan sawahnya’ Musim ini orang-orang di pedesaan mulai mengerjakan sawahnya. (40) Tulang (hu) on dope mangombaki haumana.

‘paman (ku) mulai mencangkuli sawahnya’ Paman mulai mencangkuli sawahnya.

e. Aspek yang Menyatakan bahwa Suatu Tindakan telah Berlaku

Kata-kata tambah yang tergolong aspek yang menyatakan suatu tindakan ‘telah berlaku’ dalam bahasa Batak Toba ialah nunga ‘telah’, nangkin dope ‘baru saja’, dan nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan ‘telah berlaku’ dalam bahasa Batak Toba berarti bahwa tindakan itu ‘pada saat ini telah selesai’. Aspek yang menyatakan suatu tindakan telah berlaku dapat dilihat pada kalimat (41), (42), dan (43) berikut.

(41) Ulaon i nunga didalanhon saleleng si Bonar tading di huta on. ‘pekerjaan itu telah dijalankan selama si Bonar tinggal di kota ini’ Pekerjaan itu telah dijalankan selama Bonar tinggal di kota ini. (42) Tortor i nangkin dope dipentashon.

(44)

Ketiga unsur tambahan, yaitu dung ‘telah’ dalam dung diulahon ‘telah dijalankan’ (41), nangkin dope ‘baru saja’ (42), nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’ dalam nangkining dope sidung ditardidihon ‘baru saja selesai dibabtiskan’ (43) menyatakan aspek telah terjadi. Perbedaannya, dalam kata nangkin dope ‘baru saja’ selain menyatakan aspek telah terjadi juga terkandung makna ‘baru saja’. Kata

nangkining dope sidung ‘baru saja selesai’ di samping menyatakan aspek telah terjadi terkandung juga makna ‘baru saja selesai, selesailah, dan habis perkara’.

Kata aspek telah terjadi nunga ’sudah’ bervariasi dengan nung ‘sudah’ dan

dung ‘sudah’. Hal ini terlihat pada kalimat di bawah ini.

(44) Pamarenta nung mamboto angka na so somal masa.

‘Pemerintah sudah mengetahui keadaan yang tidak pantas terjadi.’ (45) Alai apala mambahen jut roha, alana i dope sahat di alaman (ibana)

nunga dipaulak.

‘Tetapi sangat membuat kecewa hatinya, karena baru saja sampai di halaman (dia) sudah ditolak.’

Perbedaan nung dan nunga, kata nunga lebih formal sifatnya. Persamaannya kata nunga, nung, dan dung cenderung terletak di belakang kata kerja atau unsur intinya. Hal ini dapat terlihat pada kalimat di bawah ini.

(45)

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

(46b) Martapian nung, mangan manogot nung, marhaiason nung, saonari holan tading borhat.

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

(46c) Martapian dung, mangan manogot dung, marhaiason dung, saonari holan tading borhat.

‘Mandi sudah, makan pagi sudah, berdandan sudah, sekarang hanya tinggal berangkat.’

Perbedaan letak ini membawa perbedaan strukturnya. Struktur nunga didalanhon (41) adalah frasa verbal, sedangkan martapian nunga ‘mandi sudah’, mangan manogot nunga ‘makan pagi sudah’, marhaiason nunga ‘berdandan sudah’ (46a), (46b), dan (46c) dengan adanya jeda antara martapian, mangan, dan marhaiason masing-masing dengan nunga, nung, dan dung berstruktur klausa. Kemudian perbedaan nung dengan

dung; kata dung terpakai dalam ragam pustaka, sedangkan nung atau nunga dalam ragam nonpustaka.

2. Ragam

(46)

ragam. Makna ragam ialah menyatakan sikap pembicara terhadap tindakan atau peristiwa yang tersebut pada golongan verba yang menjadi unsur intinya (Ramlan, 1995).

Kata tambah ragam dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni kepastian, kesangsian, dan keizinan.

a. Ragam Kepastian

Suatu kata tambah tergolong ragam kepastian apabila si pembicara memastikan atau meyakini peristiwa atau tindakan yang dinyatakan dalam verba yang menjadi unsur intinya. Untuk membuktikan hal itu dapat diperhatikan pada kalimat berikut.

(47) Saman tongon ro. ‘Saman pasti datang.’

Untuk lebih membuktikan apakah kalimat di atas menyatakan ragam kepastian, dapat dilakukan dengan memperluas kalimat itu menjadi sejenis kalimat langsung berikut ini.

(47)

Kata-kata tambah yang tergolong ragam kepastian dalam bahasa Batak Toba adalah tongon ‘pasti’, tontu ‘tentu’, torang ‘jelas’, totop ‘tetap’, antong ‘memang’,

saut ‘jadi’, dan maringkon ‘terpaksa’. Penggunaan kata-kata tambah ini dapat dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini.

(49) Parkarejo nangkin tongon dihurung. ‘Karyawan tadi pasti dipenjara.’ (50) Ibana tontu ro.

‘Dia tentu datang.’ (51) Annon botari Saman torang lao. ‘Nanti sore Saman jelas pergi.’

(52) Pangkataionna totop mamberniti roha ni na asing. ‘perkataannya tetap melukai hati –nya orang lain’ Perkataannya tetap melukai hati orang lain.

(53) Ende-ende sian Simalungun sonari on antong apala diparsinta sude jolma.

‘lagu-lagu dari Simalungun saat ini memang sangat digemari semua masyarakat’

Lagu-lagu dari Simalungun saat ini memang sangat digemari masyarakat.

(48)

berikut. Kata tongon ‘pasti’ dalam tongon dihurung ‘pasti dipenjara’ (48), dan tontu

‘tentu’ dalam tontu ro ‘tentu datang’ (49) kecuali menyatakan ragam kepastian tidak terkandung makna lain, sedangkan kata torang ‘jelas’ dalam torang lao ‘jelas pergi’ (50) selain menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna terang, nyata, dan jelas, sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang tersebut pada verbanya. Kata

totop ‘tetap’ dalam totop mamberniti ‘tetap melukai’ (51) selain menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna ‘tetap tidak berubah’ sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang tersebut pada kata verbanya. Kata antong ‘memang’ dalam antong diparsinta ‘memang digemari’ (52) di samping menyatakan ragam kepastian juga memiliki makna ‘memang, ya begitulah’. Di samping kata-kata tambah di atas, kata

saut ‘jadi’ dan maringkon ‘terpaksa’ juga tergolong kata tambah jenis ragam kepastian.

b. Ragam Kesangsian

Dalam bahasa Batak Toba hanya dua kata tambah yang tergolong ragam kesangsian, ialah kata songon ‘seperti’ dan tarsongon ‘seperti’. Disebut ragam kesangsian karena kata itu menyatakan ketidakpastian atau antara ya dan tidak terhadap peristiwa atau tindakan yang tersebut pada verba sebagai unsur intinya. Hal ini dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.

(49)

(55) Ibana tarsongon na ro nantoari. ‘Dia seperti yang datang kemarin.’

Meskipun songon/ haroa ‘seperti’ pada kalimat (54) dan (55) secara semantis sama, tetapi secara susunan agak berbeda. Songon pada kalimat (54) dapat dipermutasikan ke sebelah kiri sangkul i ‘cangkul itu’, dan ke sebelah kanan na nampunasa ‘yang punya’ sehingga kalimat itu menjadi sebagai berikut.

(56) Huroa sangkul i dibuat na nampunasa.

‘Rupanya cangkul itu diambil yang punya.’ (57) Sangkul i dibuat na nampunasa haroa.

‘Cangkul itu diambil yang punya rupanya.’

Apabila kata haroa ‘rupanya’ dipindahkan ke sebelah kanan na nampunasa

‘yang punya’ seperti pada kalimat (56) maka diperlukan adanya jeda (//) di sebelah kiri huroa ‘rupanya’, sedangkan kata tarsongon ‘seperti’(54) hanya dipindahkan ke sebelah kiri ibana ‘dia’ dan ke sebelah kanan nantoari ‘kemarin’ maknanya sama dengan dalam kalimat (54), tetapi terjadi perubahan struktur. Hal ini seperti pada kalimat di bawah ini.

(50)

Oleh karena dalam kalimat (58) tarsongon ‘seperti’ menjadi satu unsur tambahan

nantoari ‘kemarin’ sehingga menjadi satu kesatuan frasa keterangan tarsongon nantoari ‘seperti kemarin’.

Perbedaan perpindahan di atas menunjukkan bahwa songon/ haroa dan

tarsongon dapat dipindahkan ke sebelah kanan verba sebagai unsur intinya apabila di sebelah kanannya lagi tidak ada konstituen lain.

Hal yang perlu diketahui ialah bahwa perbedaan letak songon/ haroa dan

tarsongon membedakan statusnya. Apabila terletak di awal atau di akhir kalimat, kata

songon semakna dengan haroa ‘rupanya’. Jadi, kata songon/ haroa mengisi fungsi keterangan, sedangkan apabila terletak di sebelah kiri verba seperti pada (54) dan (55) sebagai unsur tambahan dalam frasa verbal. Dengan demikian, yang tergolong kata tambah hanya songon dan tarsongon seperti pada (54) dan (55) dengan makna kesangsian ‘seperti’.

c. Ragam Keizinan

Suatu kata tambah dalam bahasa Batak Toba yang tergolong ragam keizinan apabila si pembicara memberi izin atau membolehkan sehubungan dengan peristiwa atau tindakan yang dinyatakan dalam verba yang menjadi unsur intinya. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan unsur tambah boi ‘boleh’ dalam frasa verbal boi mamillit

‘boleh memilih’.

(59) Dakdanak i boi mamillit pustaha na diparsinta.

(51)

Kalimat (59) dapat diperluas dengan menggantikan kata boi ‘boleh’ dengan dipaloas

‘diizinkan’ sehingga kalimat (59) menjadi sebagai berikut.

(60) Dakdanak i dipaloas mamillit pustaha na diparsinta.

‘Anak-anak itu diizinkan memilih buku yang disukai.’

Kata-kata tambah yang tergolong ragam keizinan adalah boi ‘boleh’, diloas

‘diizinkan’, dan bolas ‘boleh’. Penggunaan kata-kata tambah itu seperti kalimat di bawah ini.

(61) Angka dakdanak sonari boi masuk.

‘Anak-anak itu sekarang boleh masuk.’

(62) Dago si Saurma jom 09.00 annon diloas mulak sian ruma sakit. ‘Bu si Saurma jam 09.00 nanti diizinkan pulang dari rumah sakit.’ (63) Kaluarga ni amanta i bolas dohonon kaluarga seniman.

‘Keluarga bapak itu boleh disebut keluarga seniman.’

3. Larangan

Kata tambah yang tergolong larangan adalah kata tambah yang melarang pernyataan yang disebut di sebelah kanannya. Dalam bahasa Batak Toba hanya ada satu kata tambah yang tergolong larangan, yaitu unang ‘jangan’. Kata tambah unang

(52)

(64) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana. ‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia.’

Apabila kalimat (64) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana diperluas, ternyata

unang ‘jangan’ satu kesatuan dengan pasingirhon ‘meminjamkan’ dalam frasa verbal

unang pasingirhon ‘jangan meminjamkan’ sebagai unsur tambahan. Hal ini tentu saja akan berbeda jika ditinjau secara semantis, khususnya dari jangkauan pelarangannya. Apabila analisis berdasarkan jangkauan pelarangannya mungkin unang ‘jangan’ melarang pasingirhon ‘meminjamkan’, mungkin melarang hepeng ‘uang’, mungkin melarang tu ibana ‘kepada dia’, mungkin melarang pasingirhon hepeng

‘meminjamkan uang’, mungkin melarang pasingirhon hepeng tu ibana

‘meminjamkan uang kepada dia’. Di bawah ini diberikan kalimat perluasan dari kalimat (64) di atas.

(65) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana, alai lehonhon ma tu ibana aha pe taho agia sadia.

‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia, tetapi berikanlah apa saja sekadarnya.’

(66) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana (alai) pasingirhon sajo ma boras (tu ibana).

‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia (tetapi) pinjamkan sajalah beras (kepada dia).’

(53)

(67) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana, (alai) pasingirhon ma (hepeng i) tu ahu sajo.

‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia, (tetapi) pinjamkanlah (uang itu) pada saya saja.’

(68) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana, lehon sajo ma boras tu ibana. ‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia, beri sajalah beras kepada dia.’

(67) Ho unang pasingirhon hepeng tu ibana, lehon sajo ma boras i tu natoras na.

‘Kamu jangan meminjamkan uang kepada dia, beri sajalah beras itu kepada orang tuanya.’

Dari kalimat di atas jelaslah bahwa unang ‘jangan’ berdasarkan jangkauan larangannya ada kemungkinan tidak hanya verba saja, tetapi mungkin juga konstituen-konstituen yang lain. Namun, seperti pada kalimat (63) ternyata bahwa

unang ‘jangan’ adalah kata tambah yang menjadi unsur tambahan frasa verbal unang pasingirhon ‘jangan meminjamkan’. Dengan demikian, unang ‘jangan’ digolongkan kata tambah jenis ‘larangan’ adalah secara gramatika saja.

(54)

daong ‘jangan’ menjadi daong ma ‘janganlah’. Penggunaan kata tambah itu dapat dilihat pada kalimat berikut.

(69) Ho unang ma borhat saonari.

‘kamu jangan-lah berangkat sekarang’ Kamu janganlah berangkat sekarang. (70) Ho daong ma borhat saonari.

‘kamu jangan-lah berangkat sekarang’ Kamu janganlah berangkat sekarang.

Pada dasarnya suatu peristiwa atau tindakan yang dapat dilarang adalah peristiwa atau tindakan yang belum terjadi. Oleh karena itu, tidak ditemui frasa verbal seperti *unang tardege ‘jangan terpijak’, *unang tarpasak ‘jangan tepukul’, dan *unangmanabunihon diri ‘jangan menyembunyikan diri’.

4. Negatif

Kata tambah yang tergolong negatif adalah kata tambah yang mengingkari suatu pernyataan yang tersebut di sebelah kanannya. Kata tambah yang tergolong negatif pada bahasa Batak Toba adalah kata-kata ndang ‘tidak’, ndang pola ‘tidak usah’, nda ‘tidak’, ndang jolo ‘tanpa’, ndang rippu roha ‘mustahil’, sangkan

(55)

teknik dasar teknik pilah dan dilanjutkan dengan teknik lanjutan teknik perluas. Penggunaan kata-kata tambah itu dapat dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini.

(71) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa. ‘Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa.’

Kalimat (71) itu dipilah menjadi kalimat berikut ini.

Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa

Ternyata kata tambah ndang ‘tidak’ satu kesatuan dengan mamereng ‘menonton’ dalam frasa verbal ndang mamereng ‘tidak menonton’ sebagai unsur tambahan. Berdasarkan jangkauan pengingkarannya, ternyata negatif tidak hanya mengingkari verbanya saja, tetapi dapat juga mengingkari objeknya, keterangannya, verba dan objeknya, seta verba –objek-keterangannya. Di bawah ini diberikan kalimat perluasan dari kalimat (71) di atas.

(72) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa, alai holan mambege layar tancap (na dipancang) di huta.

‘Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi hanya mendengarkan layar tancap (yang ditanggap) di kelurahan.’

(73) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa, alai mamereng halak na marbadai di huta.

(56)

(74) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa, alai (mamereng layar tancap) di jabu ni si Selamat.

‘Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi (menonton layar tancap) di rumah-nya si Selamat’

Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi (menonton layar tancap) di rumah Selamat.

(75) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa, alai mangalului anggina di huta.

‘Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi mencari adiknya di kelurahan.’

(76) Bonar ndang mamereng layar tancap di balai desa, alai maminjam pustaha tu jabu ni si Tagor.

‘Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi meminjam buku ke rumah-nya si Tagor’

Bonar tidak menonton layar tancap di balai desa, tetapi meminjam buku ke rumah Tagor.

(57)

(77) Ama Raden ndang manuturhon parbinotoan i. ‘Pak Raden tidak memberi pelajaran itu.’

(78) Parkaro i ndang pola dihatai marganjang-ganjang. ‘Perkara itu tidak usah dibicarakan berkepanjangan.’ (79) Nda dietong anakna na dipaima-ima i ro.

‘Tidak dikira anaknya yang diharap-harapkan itu datang.’ (80) Angkang (boru) Sondang parlaona ndang jolo martading hata.

‘Kakak (perempuan) Sondang perginya tanpa pamitan.’ (81) Si Tiur ndang rippu roha mandapot bintang.

‘si Tiur mustahil meraih bintang’ Tiur mustahil meraih bintang.

Semua unsur tambahan dalam frasa verbal pada kalimat (77-81) di atas menyatakan makna ingkar. Perbedaan kata-kata itu sebagai berikut. Kata ndang

‘tidak’ dalam ndang manuturhon ‘tidak memberi’ (77) tidak terkandung makna lain selain makna ingkar ‘tidak’, sedangkan kata ndang pola ‘tidak usah’ dalam ndang pola dihatai ‘tidak perlu dibicarakan’ (78) di samping makna ingkar mempunyai makna lain, ialah ‘tidak perlu lagi, tidak perlu diulang’. Kata nda ‘tidak’ dalam nda dietong ‘tidak dikira’ (79) makna yang terkandung sama dengan ndang ‘tidak’. Perbedaannya, nda dipakai dalam ragam pustaka tetapi tidak produktif, sedangkan

(58)

makna yang sama dalam ragam pustaka dipakai kata ndang didohoti ‘tiada disertai’. Kata ndang rippu roha ‘mustahil’ dalam ndang rippu roha mandapot ‘mustahil mendapat’ (81) mengandung makna lain, yaitu ‘tiada mungkin’.

5. Keharusan

Kata-kata tambah yang tergolong keharusan adalah kata tambah yang menyatakan suatu tindakan atau peristiwa yang tersebut pada verba sebagai unsur intinya ‘ tidak boleh tidak harus dilakukan’. Oleh karena itu, maka keharusan dalam bahasa Batak Toba dapat dibuktikan dengan mengganti kata tambah yang bersangkutan dengan ndang boi ndang ‘tidak boleh tidak’. Misalnya, ingkon ‘harus’ dalam kalimat berikut.

(82) Tu na mampature dalan, dongan-donganna ingkon mambayar seo. ‘untuk yang membangun jalan, teman-temannya harus membayar iuran’ Untuk membangun jalan, teman-temannya harus membayar iuran.

Diganti kata ndang boi ndang ‘tidak boleh tidak’ menjadi :

(83) Tu na mampature dalan, dongan-donganna ndang boi ndang mambayar seo.

(59)

Untuk membangun jalan, teman-temannya tidak boleh tidak membayar iuran.

Yang tergolong kata tambah keharusan adalah ingkon ‘harus’, ringkot ‘perlu’,

so holan ‘hanya sekedar’, ringkot ‘wajib’, dan diharingkothon ‘diwajibkan’. Penggunaan kata-kata tambah ini dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.

(84) Ibana ingkon mansumpal dohot hepeng. ‘Dia harus menyuap dengan uang.’

(85) Jabu-jabu na nunga sega i ringkot dipadimpos. ‘Rumah-rumah yang sudah rusak itu perlu diperbaiki.’

(86) Parulaan ni dakdanak na metmet so holan mambahen si jut ni roha. ‘Perbuatan anak-anak yang kecil hanya sekedar membuat kemarahan.’

(87) Hita sude ringkot mangarimang-rimangi pambahenan dia do nanaeng diulahon.

‘Kita semua wajib mempertimbangkan tindakan mana yang akan dilakukan.’

(60)

Perbedaan kata-kata tambah itu adalah sebagai berikut. Kata tambah ingkon

‘harus’ dalam ingkon mansumpal ‘harus menyuap’ (84), kecuali bermakna keharusan tidak terkandung makna lain. Kata tambah ringkot ‘perlu’ dalam ringkot dipadimpos

‘perlu diperbaiki’ (85), kecuali bermakna keharusan juga menyatakan bahwa atau tindakan tersebut pada verba sebagai unsur pusatnya itu sebaiknya dilakukan. Kata tambah so holan ‘sekedar hanya’ dalam so holan mambahen ‘sekedar hanya membuat’ (86) makna kaharusannya tidak begitu kuat, dibandingkan dengan ringkot ‘perlu’. Kata tambah ringkot ‘wajib’ dalam wajib manimbang-nimbang ‘wajib mempertimbangkan’ (87) makna keharusan yang terkandung begitu kuat, lebih kuat daripada ringkot ‘perlu’. Kata tambah diharingkothon ‘diwajibkan’ dalam

diharingkothon mampasidung ‘diwajibkan menyelesaikan’ (88), di samping menyatakan makna keharusan juga terkandung makna ‘mendapat tugas dan tugas itu wajib dilaksanakan sampai selesai dan sampai tuntas.

Pada dasarnya, suatu tindakan dapat diharuskan apabila belum berlaku, sedangkan suatu tindakan yang berlaku dengan tidak disengaja dan tidak tertahankan kecil kemungkinannya untuk diharuskan. Oleh karena itu, tidak ditemui frasa verbal seperti *ingkon tardege ‘harus terpijak’, *ringkot martabuni ‘perlu melarikan diri’, dan *so holan tartampar ‘sekedar hanya tertabrak’.

6. Kemampuan

(61)

bersinonim dengan tolap ‘mampu’. Dengan demikian, untuk membuktikan suatu kata tambah dalam bahasa Batak Toba bermakna ‘kemampuan’ adalah dengan menggantikan kata yang bersangkutan dengan kata tolap ‘mampu’ atau kata gogo

‘kuat’. Misalnya, boi ‘bisa’ dalam kalimat berikut ini.

(89) Nang pe si Sotar lukana nunga posi, alai tong do boi mangalo musuna. ‘walaupun si Sotar lukanya sudah parah, tetapi masih bisanya melawan

musuhnya’

Walaupun Sotar lukanya sudah parah, tetapi masih bisa melawan musuhnya.

Kalimat (89) itu diganti tolap ‘mampu’ atau gogo ‘kuat’ sehingga menjadi kalimat berikut ini.

(90) Nang pe si Sotar lukana nunga posi, alai tong do tolap/ gogo mangalo musuna.

‘walaupun si Sotar lukanya sudah parah, tetapi masihnya mampu/ kuat melawan musuhnya’

Walaupun Sotar lukanya sudah parah, tetapi masih mampu/ kuat melawan musuhnya.

Adapun yang tergolong kata tambah kemampuan dalam bahasa Batak Toba adalah kata-kata boi ‘bisa’, tolap ‘mampu’, gogo ‘kuat’, tobang ‘mampu’ dan togong

(62)

(91) Sude na i boi do dipasuman. ‘semuanya itu bisanya diatur’ Semua itu bisa diatur.

(92) Nang pe holan guru SD, Ama Raden tolap manggarar kulia ni gellengna. ‘walaupun hanya guru SD, Pak Raden mampu membiayai kuliahnya anaknya’

Walaupun hanya guru SD, Pak Raden mampu membiayai kuliah anaknya. (93) Sari gogo marlange sampe marjom-jom.

‘Sari kuat menyelam sampai berjam-jam.’ (94) Togar togong mangambi hagogoon ni amanta i.

‘Togar mampu menandingi kekuatan bapak itu.’

(95) Ulaonna nunga godang situtu, alai tong tolap/ sanga mangajar anggina i.

‘Pekerjaannya sudah bertumpu-tumpuk, tetapi masih mampu/ sempat mengajar adiknya itu.’

(63)

(96) Ibana ndang togong mampaso murukna. ‘Dia tidak tahan menahan amarahnya.’

Kalimat (96) di samping makna ‘kemampuan, pada kata togu ‘mampu’ juga terkandung makna ‘sempat’.

7. Kesanggupan

Kata-kata tambah yang tergolong kesanggupan adalah kata tambah yang menyatakan kesanggupan melakukan suatu tindakan seperti tersebut pada verba sebagai unsur intinya. Pada dasarnya, kata tambah kesanggupan adalah kata tambah yang bersinonim dengan kata togi ‘sanggup’. Dengan demikian, untuk membuktikan suatu kata tambah tergolong kesanggupan dalam bahasa Batak Toba adalah dengan mengganti kata itu dengan kata togi ‘sanggup’. Misalnya kata olo ‘mau’ dalam kalimat berikut ini.

(97) Angka naposo ni huta i olo mangaradoti hadameon di hutana. ‘Para pemuda mau menjaga kedamaian di kampungnya.’

Kalimat (97) itu diganti togi ‘sanggup’ sehingga menjadi kalimat berikut ini. (98) Angka naposo ni huta i togi mangaradoti hadameon di hutana.

‘para pemuda-nya kampung itu sanggup menjaga kedamaian di kampungnya’

Referensi

Dokumen terkait

1) perizinan; 2) rekomendasi; 3) koordinasi; 4) pembinaan;.. Dalam hal kewenangan atribusi yaitu tugas umum pemerintahan, tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa panjang dan massa cacing yang ditumbuhkan pada perlakuan A memiliki rata-rata panjang, rata-rata LPR, dan

Perubahan yang dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia dalam penggunaan akad dalam produk Kongsi Pemilikan Rumah Syariah (KPRS) ini tidak lepas dari kelebihan yang dapat

Penelitian Ahmad dan Fatima (2008) pada organisasi sektor publik menunjukkan hubungan langsung antara partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial, komitmen organisasi dan

Primitif fungsi f pada suatu interval mempunyai sifat-sifat antara lain bervariasi terbatas dan kontinu mutlak.. Penelitian ini mengkaji sifat kekonti- nuan fungsi

• Jasa manajemen fasilitas fsik yang mengembangkan dan mengelola instalasi fsik yang diperlukan untuk jasa komputer, telekomunikasi, dan manajemen data.. • Jasa manajemen TI

Proses pengidentifikasi motivasi petani padiyang berusahatani terhadap kearifan lokal ataupun dari luar perlu dilakukan karena belum ada kajian tentang hal ini

pain pada pekerja pembuat batu bata. Mengetahui hubungan faktor indeks masa tubuh dengan kejadian low. back pain pada pekerja pembuat batu bata. Mengetahui hubungan faktor kebiasaan