• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.1.2 Fraser Derivatif

Salah satu parameter penting pada pengukuran VLF adalah nilai fraser. Benda konduktif akan mempunyai nilai fraser yang positif dengan puncak- puncaknya menunjukkan posisi benda yang menyebabkan anomali. Nilai fraser derivatif dapat dihitung dari nilai tilt yang didapat dari hasil pengukuran.fraser derivatif berfungsi untuk memperlihatkan bahwa daerah anomali yang : Menunjukkan adanya cross antara tilt dengan ellips. Hal inimenunjukkan daerah yang lebih konduktif dibandingkan sekitarnya. : Menunjukkan adanya pola ellips rendah dan anomali tilt yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan konduktor yang baik, tetapi lapisan penutupnya resistif atau konduktor buruk, tetapi lapisan penutupnya konduktif.

: Menunjukkan adanya pola dan tanda elips dan tilt yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa daerah merupakan konduktor buruk.

sebelumnya tersebar pada beberapa daerah menjadi sedikit lebih fokus, sehingga mengurangi titik-titik yang ambigu pada saat penentuan titik anomali. Interpretasi menggunakan data sebelum filter fraser akan sulit, karena kesulitan untuk menentukan titik perubahan yang tidak terfokus pada satu titik. Selain itu, jika daerah tersebut memiliki banyak bahan konduktif maka titik perubahan akan lebih sulit untuk ditentukan. Setelah dilakukan filter fraser anomali menjadi lebih jelas.

a. Lintasan Pertama

Gambar 4.7 Hubungan Grafik Smoothing Tilt dan Ellips vs Jarak dengan Grafik Fraser Derivatif Pada Lintasan Pertama

Gambar 4.8 Hubungan Grafik Smoothing Tilt dan Ellips vs Jarak dengan Grafik Fraser Derivatif Pada Lintasan Kedua

Gambar 4.9 Hubungan Grafik Smoothing Tilt dan Ellips vs Jarak dengan Grafik Fraser Derivatif Pada Lintasan Ketiga

Keterangan:

: Menunjukkan adanya anomali.

Bulatan hitam tersebut menunjukkan adanya anomali pada tilt di grafik smoothing tilt dan ellips yang disesuaikan dengan grafik frase derivatif. Garis hijaumenunjukkan korelasi antara grafik smoothing tilt dengan fraser derivatif. 4.1.1.3 Surfer

Nilai RAE didapatkan dengan menggunakan data real, pada pengolahan data ini nilai RAE yang didapatkan sampai pada RAE 30. Semakin RAEmenunjukkan angka yang besar hal ini menunjukkan datanya pada kedalaman yang cukup dalam. Nilai RAE yang besar berasosiasi dengan daerah yang lebih konduktif daripada daerah sekitarnya. Sedangkan nilai RAE kecil berasosiasi dengan daerah yang kurang konduktif daripada sekitarnya. Berdasarkan pengolahan data menggunakan software Surfer maka diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Lintasan Pertama

Pada lintasan pertama, hasil pengolahan data menunjukan lintasan pertama dapat diinterpretasikan bahwa lintasan pada Gambar 4.10 terdapat dua buah anomali batuan karbonat berdasarkan nilai RAE (Rapat Arus Ekuivalen). Anomali batuan karbonat pertama berada pada jarak 40 sampai 60 meter dari pusat lintasan dengan kedalaman 10 meter dari permukaan.Anomali batuan karbonat kedua berada pada kedalaman 10 meter dari permukaan dengan jarak 130 sampai 140 meter dari pusat lintasan yang ditunjukan citra warna merah.

Lapisan penyusun batuan ini memiliki kontur seperti sisipan yang dapat diinterpretasikan sebagai batuan gamping napalan-tufan yang mempunyai struktur masif dan memiliki porositas baik.Pada lapisan ini, lapisan batugamping

berbentuk lorong yang merupakan struktur sungai bawah tanah yang berada di permukaan.

Hasil data ditampilkan dalam bentuk pola pencitraan konduktivitas dalam komponen anomali medan magnetik yang ditampilkan dalam bentuk degradasi warna konduktivitas dari nilai-60 hingga + 80 dan ditunjukkan dari warna ungu menuju warna merah. Anomali rendah pada gambar ditandai warna ungu sampai biru.Anomali tersebut diinterpretasikan sebagai batugamping.Sedangkan anomali tinggi pada gambar ditandai warna kuning sampai merah dan diinterpretasikan sebagai air tanah.

Gambar 4.10 Hasil Pengolahan Data Lintasan Pertama

Gambar diatas menunjukkan area bawah permukaan pengambilan data VLF. Dari gambar tersebut dapat kita simpulkan bahwa terlihat kecocokan antara pola

RAE (%)

-60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80

tilt dan ellips pada grafik dengan plot RAE yang dibuat dalam grafik hubungan antara jarak dengan smoothing tilt dan ellips.

b. Lintasan Kedua

Pada lintasan kedua, interpretasi hasil pengolahan data pada lintasan ini batuan karbonat mulai dijumpai pada daerah permukaan dangkal dengan kedalaman berkisar 10 meter dari permukaan dengan jarak 60 sampai 80 meter dari pusat lintasan. Anomali batuan karbonat yang lain berada pada kedalaman 10 meter dari permukaan dengan jarak 100 sampai 140 meter dari pusat lintasan seperti pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Hasil Pengolahan Data Lintasan Kedua

Hasil data ditampilkan dalam bentuk pola pencitraan konduktivitas dalam komponen anomali medan magnetik yang ditampilkan dalam bentuk degradasi

RAE (%)

-35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35

warna konduktivitas dari nilai -35 hingga + 35 dan ditunjukkan dari warna biru menuju warna merah.

Dari gambar di atas, kita bisa menduga bahwa anomali konduktif (dinyatakan dengan nilai positif) pada warna kuning dan merah.Sedangkan anomali resistif (nilai negatif) pada warna biru. Anomali rendah pada gambar ditandai warna biru.Anomali tersebut diinterpretasikan sebagai batugamping.Sedangkan anomali tinggi pada gambar ditandai warna kuning sampai merah dan diinterpretasikan sebagai air yang diduga sebagai sungai bawah tanah.

Lapisan batuan karbonat ini diduga lapisan yang berpotensi sebagai akifer dan berbentuk lorong sebagai struktur sungai bawah tanah yang bersifat masif dan kedap air sehingga dapat menampung serta mengalirkan air pada periode waktu tertentu.

c. Lintasan Ketiga

Pada lintasan ketiga, hasil pengolahan data menunjukan bahwa pada lintasan ini terdapat anomali batuan karbonat.Lapisan tersebut diduga sebagai batuan karbonat yang bersifat pembawa air. Anomali batuan karbonat yang pertama terdapat pada kedalaman 10 meter dari permukaan dengan jarak 50 sampai 60 meter dari pusat lintasan. Anomali batuan karbonat yang kedua terdapat pada kedalaman 20 meter dari permukaan dengan jarak 80 sampai 140 meter dari pusat lintasan dan anomali batuan ketiga terdapat pada kedalaman 10 meter dari permukaan dengan jarak 150 sampai 170 meter dari pusat lintasan seperti pada Gambar 4.12.

Hasil data ditampilkan dalam bentuk pola pencitraan konduktivitas dalam komponen anomali medan magnetik yang ditampilkan dalam bentuk degradasi warna konduktivitas dari nilai -11 hingga + 16 dan ditunjukkan dari warna ungu menuju warna merah. Anomali ketiga batuan tersebut berbentuk seperti lorong- lorong dan diduga berupa batuan dalam struktur sungai bawah tanah yang dapat mengalirkan air.

Gambar 4.12 Hasil Pengolahan Data Lintasan Ketiga

Anomali rendah pada gambar ditandai warna ungu sampai biru.Anomali tersebut diinterpretasikan sebagai batugamping. Sedangkan anomali tinggi pada gambar ditandai warna kuning sampai merah dan diinterpretasikan sebagai air asin atau air laut yang diperkuat oleh referensi dari Telford et al. (1976) bahwa

nilai resistivitas air asin yaitu 0,2 Ωm. RAE (%)

4.2

Pembahasan

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Surferdidapatkan profil bawah permukaan serta lapisan-lapisan batuan penyusun pada setiap lintasan dan didapatkan pula nilai RAE (Rapat Arus Ekuivalen) yang ditunjukan dengan skala warna.Skala warna kuning sampai merah (bernilai positif) menunjukan nilai RAE tinggi yang berarti memiliki nilai konduktivitas tinggi pula. Skala warna hijau (bernilai nol) berarti nilai konduktivitasnya sama seperti batuan yang ada disekitarnya. Pada skala warna biru sampai hitam (bernilai negatif) menunjukan nilai RAE tersebut rendah, maka nilai konduktivitasnya rendah pula.Indikasi adanya daerah yang konduktif dengan nilai rapat arus ekivalen yang tinggi.Apabila nilai RAE tinggi maka nilai konduktivitas juga tinggi namun

berkebalikan dengan nilai resistivitas.Hubungan antara nilai konduktivitas (σ) dan nilai resistivitas (ρ) berbanding terbalik, apabila nilai konduktivitas tinggi maka

nilai resistivitas rendah, begitu pula sebaliknya seperti pada persamaan 4.1.

Pada Gambar 4.13 merupakan hasil pengolahan data menggunakan software RockWorks pada setiap lintasan. Ketiga lintasan tersebut apabila dikorelasikan akan diperoleh hasil interpretasi distribusi aliran sungai bawah tanah. Pendugaan adanya sistem akifer sungai bawah tanah apabila dihubungkan dengan nilai konduktivitas yang didapatkan pada batuan karbonat dalam keadaan menampung air dalam jumlah yang cukup untuk dialirkan maka batuan karbonat tersebut akan mengalami kenaikan nilai konduktivitas. Batuan karbonat apabila dalam keadaan basah, nilai resistivitas lebih rendah daripada batuan karbonat

dalam keadaan kering (Telford et al.,1976). Oleh sebab itu dikatakan bahwa lapisan batuan karbonat ini merupakan akifer yang baik karena diduga menyimpan air yang cukup dan dapat mengalirkan air pada waktu tertentu yang terbentuk dari proses karstifikasi. Batuan karbonat memiliki sifat mudah larut dalam air maka dari itu mudah pula mengalami karstifikasi.

Air yang masuk ke dalam gua dan membentuk sungai bawah tanah itu berupa rembesan pada permukaan batuan karbonat akibat pengaruh dari air hujan yang turun.Semakin besar curah hujan maka semakin besar media pelarut, sehingga tingkat pelarutan yang terjadi pada batuan karbonat juga semakin besar. Rembesan air tersebutakan tertampung ke dalam lorong-lorong. Air yang masuk ke dalam lorong-lorong tersebut kemudian dialirkan ke dalam sungai bawah tanah.Pola aliran sungai bawah tanah ini berbentuk pola kontur berupa lorong.

Pada Gua Sodong sendiri anomali batuan karbonat ditemukan pada kedalaman sekitar 10 meter. Aliran air tersebut bergerak melewati lorong-lorong dari lintasan pertama sampai lintasan ketiga dan air tersebut mengalir pada periode tertentu khususnya saat musim penghujan maka air yang mengalir akan sangat berlimpah. Pada saat musim kemarau datang maka air hanya akan tertampung dalam volume yang sedikit dan tidak dapat dialirkan seperti saat penelitian ini dilakukan. Pola arah aliran sungai bawah tanah lintasan pertama kearah Timur menuju lintasan kedua.Sedangkan lintasan kedua arah alirannya kearah Tenggara menuju lintasan ketiga. Aliran air tersebut diduga yang nantinya akan dialirkan ke pantai selatan.

Gambar 4.13 Penampang Hasil Pengolahan Software RockWorks

Panjang lintasan kedua tidak sama dengan lintasan pertama dan ketiga dikarenakan pada lintasan tersebut spasi antar titik saat pengukuran dilakukan berbeda yakni 3 meter untuk lintasan kedua dan 2 meter untuk lintasan pertama dan ketiga. Profil pemetaan sungai bawah tanah pada setiap lintasan dengan kedalaman 30 meter terdapat nilai RAE tinggi pada masing-masing lintasan yang digambarkan dengan warna merah. Lintasan pertama memiliki citra warna merah lebih banyak daripada lintasan lain. Hal ini dikarenakan kondisi topografi tempat penelitian berupa perbukitan karst, dimana posisi lintasan pertama lebih rendah daripada lintasan kedua dan lintasan ketiga.

Line 1 Line 2 Line 3

Conductivity

55

BAB 5

PENUTUP

5.1

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Struktur lapisan bawah permukaan di daerah Karst Pracimantoro Kabupaten Wonogiri terdiri atas batugamping, batugamping napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau.

2. Pola aliran sungai bawah tanah di daerah Karst Pracimantoro dengan menggunakan metode VLF (Very Low Frequency) arah alirannya menuju kearah Timur lintasan kedua dan selanjutnya arah aliran lintasan kedua menuju kearah Tenggara lintasan ketiga. Aliran air tersebut diduga yang nantinya akan dialirkan ke pantai selatan.

5.2

Saran

Mengacu pada hasil penelitian dan pembahasan di atas untuk penelitian selanjutnya disarankandilakukan dimusim penghujan agar hasil penelitian lebih jelas aliran sungai bawah tanahnya dan menambah banyak bentangan lintasanuntuk memperoleh data yang lebih banyak.

56

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, A.S., D. Santoso, D.D. Paradimedja, R.M. Tofan, & F.A.M. Santos.2008. Penerapan Metode VLF-EM-Vgrad Untuk Memetakan Sungai Bawah Permukaan Daerah Karst.Indonesion Scientific Karst. Jogjakarta. 19-20 Agustus.

Bahri, A.S., B. Jaya, & W. Sugeng. 2009. Pemetaan Sungai Bawah Permukaan di Wilayah Karst Seropan Gunungkidul Menggunakan Metoda GeofisikaVLF-EM-vGRAD.Disertasi.Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Bayrak, M. 1995. Use of Electromagnetic VLF Method in Shallow Exploration in Turkey (in Turkish).Jeofizik, 9-10, 143-148.

Bayrak, M. 2002. Exploration of chrome ore in Southwestern Turkey by VLFEM.Journal of the Balkan Geophysical Society Vol. 5 No 2, May 2002.

Febria, A. & Sismanto.2009. Estimasi Aliran Sungai Bawah Tanah dengan Menggunkan Metode Geofisika VLF em, Mode Sudut Tilt di Daerah Dengok dan Ngrejok Wetan, Gunungkidul Yogyakarta.Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng &DIY : ISSN 0853-0823.

Ford, D. & P. Williams. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. Chapman and Hall, London.

Hiskiawan, P. 2009. High Resolution Deteksi Reaktif Patahan Dangkal dengan Metode Geofisika, VLF-EM.Jurnal Ilmu Dasar Vol. 10 No. 1.2009 : 68 – 76.

Hiskiawan, P. 2011. Akuisisi Data VLF-EM Menggunakan Teknik Konvensional dan Teknik Gradio.Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia Vol.11 (1) p.18-22.

Kaikkonen, P. 1979. Numerical VLF Modelling. Geophysical Prospecting27. 815-834.

Karous, M. & S.E. Hjelt. 1983. Linear Filtering of VLF dip angle Measurement.

Geophysics ProspectingV. 31:782-794.

Karunia, D.N., Darsono, & Darmanto.2012. Identifikasi Pola Aliran Sungai Bawah Tanah di Mudal, Pracimantoro dengan Metode

Geolistrik.Indonesian Journal of Applied Physics Vol.2 No.2 halaman 91 : ISSN:2089 – 0133.

Kusumayudha, S.B. 2005. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunungsewu.Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Maulana, Y.C. 2011.Pengelolaan Berkelanjutan Kawasan Karst Citatah.RegionVol. III No.2 (1-14).

Milsom, J. 1989. Field Geophysics, John Wiley & Son, London.

Perwita, A.I. 2010. Potensi dan Pengembangan Museum Kawasan Karst sebagai Daya Tarik Wisata di Kabupaten Wonogiri.Skripsi.Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Peterson, N.R. & V. Ronka. 1971. Five Years of Surveying With The Very Low Frequency-Electromagnetics Method. Geoexploration 9, page 7-26.

Santos, F.A.M. 2006.Instructions for Running PrepVLFand Inv2DVLF 2-D Inversion of VLF-EM Single Frequency.Centro de Geofisica da Universidade de Lisboa, Portugal.

Sismanto & E. Hartantyo. 2005. Distribution of Leachate Polution in The Final Disposal of Piyungan, Bantul, Yogyakarta, by Using The Electromagnetic Method. Proceedings Joint Convention Surabaya.

Surono, B. Toha, & I. Sudarno. 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Skala 1 : 100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Suryatmojo, H. 2006. Strategi Pengelolahan Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul.Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan Konservasi Di Daerah Padat Penduduk. Fakultas Kehutanan UGM, 9 Februari.

Tawan, I.G., M. Suryadi, & I.W. Treman. 2012. Karakteristik Kawasan Karst di Pulau Nusa Penida Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung (Kajian Geomorfologi). Skripsi.Bali : Universitas Pendidikan Ganesha. Telford, W.M., L.P. Geldart, R.E. Sheriff, & D.A. Keys. 1976. Applied

Geophysics. Cambridge University Press.

Thornbury, W.D. 1954. Principles of Geomorphology.2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Dokumen terkait