• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi tentang kesimpulan serta saran-saran yang berkaitan dengan hasil penelitian.

3. Bagian akhir skripsi

Bagian ini memuat tentang daftar pustaka yang digunakan sebagai acuan penelitian serta lampiran-lampiran seperti data-data penelitian, dokumentasi dan surat-surat yang berkaitan saat penelitian dilaksanakan.

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Kabupaten Wonogiri

Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten di bagian selatan Jawa Tengah dengan luas wilayah 182.236,02 Ha secara geografis terletak pada 7°32'00'' LS sampai 8°15'00'' LS dan 110°41'00'' BT sampai 111°18'00'' BT dengan batas-batas, sebelah utara berbatas dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Sebelah timur berbatas dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur). Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan Samudra Indonesia.Sebelah barat berbatas dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Klaten. Kabupaten Wonogiri menempati daerah perbukitan yang cukup luas dan tersusun sebagian besar oleh batugamping, batugamping pasiran dan sebagian lagi oleh produk gunung api. Kabupaten Wonogiri memiliki bagian wilayah berupa kawasan karst dengan luas 338, 74 km2 atau 18,6 % dari luas Kabupaten Wonogiri yang tersebar di lima Kecamatan, yaitu Kecamatan Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Paranggupito dan Giriwoyo. Kawasan karstKabupaten Wonogiri merupakan bagian dari kawasan karstPegunungan Sewu yang membentang dari Kabupaten Gunungkidul di sebelah barat sampai dengan Kabupaten Pacitan di sebelah timur. Secara fisik, kawasan karstdapat dilihat berdasarkan ciri bentukan alam yang berupa barisan

perbukitan berbentuk kerucut, terdapat lembah diantara perbukitan, gua, luweng, telaga dan pada beberapa tempat muncul aliran sungai bawah tanah.

Pengambilan data dilakukan di kawasan karst Pracimantoro, Wonogiri.LetakDesa Gebangharjo Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiritepatnya yaitu 45 km di selatan Kota Wonogiri.

Kawasan karst di Kabupaten Wonogiri itu sendiri merupakan bagian dari kawasan karst pegunungan seribu (Gunungsewu) yang meliputi Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Pacitan.Kawasan karst dikelilingi oleh beberapa gua dan luweng antara lain: (1) Gua Tembus, (2) Gua Sodong, (3) Gua Potro Bunder, (4) Luweng Sapen, (5) Gua Gilap, (6) Gua Mrica, dan (7) Gua Sonya Ruri.

Bentang alam karst di wilayah kabupaten Wonogiri disusun oleh beberapa jenis batugamping.Dalam perngambilan data ini, bentangan lintasan yang dibuat memotong gua sodong seperti pada Gambar 2.1.Gua Sodong adalah gua yang paling dekat dengan Museum Karst, hanya berjarak sekitar 100 m dari bangunan utama museum. Gua ini memiliki lorong panjang dan mempunyai bentukan stalaktit dan stalakmit yang masih hidup.Gua Sodong dibanding gua yang lainnya yaitu atapnya yang sedikit basah.Gua ini merupakan hasil pelarutan dari batuan kapur dan suasana yang terlihat di dalamnya gelap tanpa adanya penerangan.Di dalam gua ini terdapat sungai bawah tanah dan sumber air yang sudah sejak lama dijadikan sumber air oleh penduduk setempat untuk mencuci dan mandi.

Gambar 2.1 Gua Sodong

Kondisi geologi ditinjau dari peta geologi lembar Surakarta–Giritontro, Jawa (Gambar 2.2), bawah permukaan Daerah Dusun Mudal, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro Wonogiri termasuk Formasi Wonosari-Punung. Batuannya terdiri dari batugamping, batugamping napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau.Formasi ini dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung(Surono & Sudarno,1992). Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunungsewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter.Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek.Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu.Sedangkan sebagai sisipan adalah napal.Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.

Gambar 2.2 Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa (Surono & Sudarno,1992)

2.1.1 Satuan Geologi Lingkungan Perbukitan Karst (Batugamping)

Satuan ini merupakan morfologi yang khas pada batugamping, batugamping pasiran yang membentuk morfologi berelief kasar dan kemiringan yang curam. Batugamping adalah batuan yang mudah larut oleh air sehingga pada morfologi ini akan terbentuk fenomena alam yang khas antara lain gua-gua yang di dalamnya dapat dijumpai stalaktit dan stalakmit. Gua–gua ini merupakan proses dari alur sungai bawah tanahyang akhirnya muncul sebagai mata air di kaki atau di lembah morfologi ini. Morfologi ini cukup luas di bagian selatan Kabupaten Wonogiri, dan sebagian di bagian tengah yaitu di perbukitan karst antara Pracimantoro–Giribelah–Paranggupito, perbukitan karst Manyaran–Wuryantoro–

Eromoko dan perbukitan karst Batuwarno.

2.2 Karst

Kata Karst berasal dari bahasa Slavia “Krs atau Kras” yang berarti batu -batuan. Karst secara umum adalah istilah bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat yang mempunyai bentuk berkelompok atau menjadi sebuah pegunungaan dan ada yang berbentuk tunggal, pembentukkannya dipengaruhi oleh proses pelarutan yang sangat tinggi di bandingkan dengan batuan di tempat lainnya dimanapun serta adanya proses karstifikasi.

2.2.1 Ciri – ciri Bentang Alam Karst

1. Terdapat sejumlah cekungan atau depresi dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi, cekungan–cekungan tersebut digenangi air atau tanpa air, kedalaman dengan jarak yang berbeda–beda.

2. Bukit–bukit kecil yang merupakan sisa–sisa erosi akibat pelarutan kimia pada batugamping, sehingga terbentuk bukit–bukit karst berbentuk kerucut (conical hill).

3. Sungai tidak mengalami perkembangan pada permukaan.

4. Terdapat sungai–sungai bawah permukan, adanya gua–gua kapur pada permukaan atau bawah permukaan atau stalagmit dan stalagtit seperti pada Gambar 2.3.

Stalagtit adalah batu kapur yang tumbuh dari bagian atas gua menuju ke dasar gua, sedangkan stalagmit tumbuh menjulang dari dasar gua ke atas.

Gambar 2.3 Stalagtit dan Stalagmit

Stalagtit dan stalagmit yang sering kita jumpai di gua-gua berasal dari senyawa CaCO3 dengan persamaan reaksi :

Ca(HCO3)2 (l) ----> CaCO3 (s) + H2O (l) + CO2 (g)

Ca(HCO3)2 berupa air yang merembes ke dalam tanah.Ca(HCO3)2 yang merembes ke tanah menetes ke dasar gua dan terurai menjadi CaCO3, H2O dan CO2. Ca(HCO3)2 terus menetes dan mengakibatkan penumpukan CaCO3 (CaCO3 mengendap). Penumpukan CaCO3 inilah yang nantinya tumbuh sebagai stalagmit. Sedangkan stalagtit muncul karena Ca(HCO3)2 sudah terurai terlebih dahulu sebelum menetes ke dasar gua sehingga terjadi penumpukan CaCO3 di atap

Stalagmit Stalagtit

gua.Stalagtit dan stalagmit yang tumbuh di dalam gua umunya berwarna putih.Hal ini dikarenakan pengaruh atom Ca dalam CaCO3. Atom Ca yang tidak memiliki orbital d tidak memberikan warna yang khas atauhanya putih saja.

5. Terdapat tanah lempung tak larut berwarna merah kecoklatan sebagai endapan residual akibat pelarutan batugamping oleh air tanah.

Endapan residual yaitu endapan hasil pelapukan dimana proses pelapukan dan pengendapan terjadi di tempat yang sama, dengan kata lain tanpa mengalami transportasi (baik dengan media air atau angin) seperti endapan sedimen yang lainnya.

6. Permukaan yang kasar, pecah–pecah atau lubang–lubang karena pelarutan air tanah pada batugamping yang tidak tertutup oleh terrarosa.

Terrarosa adalah tanah yang terbentuk dari batuan kapur.Tanah ini terdapat di dasar dolina-dolina dan merupakan tanah pertanian yang subur di daerah batu kapur.Dolina adalah lubang yang berbentuk corong yang terjadi karena erosi (pelarutan) atau karena runtuhan.

2.2.2 Proses Pembentukan Karst

Proses pembentukan karst menurut Thornbury (1954), topografi karst terbentuk dengan syarat-syarat sebagai berikut :

1. Adanya batuan yang mudah larut, terutama batuan gamping. 2. Batuannya tebal, banyak kekar (rekahan-rekahan).

3. Adanya lembah yang dibatasi oleh batuan yang mudah larut dan mempunyai kekar (rekahan).

Pembentukan topografi karst dimulai pada saat air permukaan memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan tersebut.Akibat adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada menjadi semakin lebar, akhirnya membentuk sungai bawah tanah atau gua.

Kawasan karst di Indonesia mencakup luas sekitar 15,4 juta hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia (Maulana,2011). Keberadaan kawasan ini menunjukkan bahwa pulau-pulau di Indonesia banyak yang pernah menjadi dasar laut, namun kemudian terangkat dan mengalami pengerasan.Wilayah karst biasanya berbukit-bukit dengan banyak gua. Sebagian besar kawasan karst di Indonesia tersusun oleh batuan karbonat (Tawan et al.,2012).Hampir di setiap pulau di Indonesia memiliki batuan karbonat, tapi tidak semuanya terklasifikasi menjadi kawasan karst.Karst di Indonesia tersebar di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, namun demikian tidak semuanya berkembang dengan baik.

Menurut Bahri et al. (2008) karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan dan gua. Daerah karst terbentuk oleh pelarutan batuan yang terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit dalam evaporit seperti gips dan halite, dalam silika seperti batu pasir dan kuarsa serta di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable).Bentukan topografi karst dibagi menjadi dua yaitu endokarst dan eksokarst.Endokarst adalah bentukan karst yang berada di bawah permukaan tanah sedangkan eksokarst adalah bentukan karst yang berada di permukaan tanah (Perwita, 2010).

2.3 Sungai Bawah Tanah

Di kawasan karst banyak dijumpai gua dan sungai bawah permukaan yang juga menjadi pemasok ketersediaan air permukaan yang sangat dibutuhkan oleh kawasan yang berada di bawahnya.

Pada fenomena bawah permukaan (Gambar 2.4) sering kali kita jumpai adanya aliran sungai bawah permukaan yang mengalir seperti halnya sungai-sungai yang ada di permukaan bumi. Aliran sungai-sungai tersebut bisa berasal dari luar gua dimana air permukaan yang berada di luar gua masuk kedalam mulut telan (swallow hole) dan muncul lagi di tempat yang lain bahkan biasanya sangat jauh dari lokasi swallow hole. Tempat keluarnya aliran sungai bawah permukaan di kawasan karst disebut resurgence atau karst spring. Jika kita interpretasi melalui peta topografi terlihat aliran sungai yang mengalir lalu menghilang atau terputus. Aliran tersebut biasa disebut arus vadose atau disebut juga aliran allochthonous. Aliran pada sungai bawah permukaan juga bisa berasal dari gua itu sendiri dimana air yang berada di permukaan kawasan karst meresap masuk kedalam kawasan karst dan ketika didalam gua menjadi ribuan tetesan yang kemudian tertampung lalu mengalir dan membentuk sebuah aliran sungai. Aliran tersebut biasa disebut

percolation water atau disebut juga aliran autochtonous.

Air yang mengalir didalam gua terdiri dari campuran air vadose dan perkolasi.Air perkolasi dan air vadose memiliki perbedaan dari segi kuantitas maupun kualitas. Air perkolasi pada umumnya banyak mengandung CaCO3

karena air perkolasi meresap dan merembes secara perlahan kedalam gua sehingga mineral pada batugamping yang didominasi oleh calsite (CaCO3) lebih

banyak terbawa. Sedangkan aliran vadose sangat sedikit mengandung calsite karena bentuk aliran yang hanya numpang lewat pada sungai bawah permukaan sehingga sangat singkat bersinggungan dengan mineral batugamping.Air perkolasi juga dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang konstan sepanjang hari bahkan sepanjang tahun, sedangkan air vadose berfluktuasi dengan suhu diluar gua.Air vadose juga pada umumnya keruh karena material yang berasal dari luar gua ikut hanyut kedalam alirannya seperti lumpur, pasir dan kerikil. Sedangkan pada aliran perkolasi cukup jernih karena proses perembesan tadi sehingga air tersebut tersaring pada pori–pori batugamping (limestone). Pada saat turun hujan, gua yang dialiri oleh air vadose akan lebih cepat bertambah debitnya dan ketika hujan berenti serentak debit airnya juga menurun sampai level air sebelum hujan. Berbeda dengan air perkolasi, ketika diluar gua terjadi hujan lebat, debit air bertambah secara perlahan–lahan tidak secepat aliran vadose dan ketika hujan berhenti debit air juga akan turun secara perlahan–lahan (Bahriet al.,2009).

Gambar 2.4 Fenomena Sungai Bawah Tanah

Lorong Fosil Lorong Vadose Swallow Hole Air Perkolasi Collapse Lorong Fhareatic

Kita dapat menentukan jenis lorong pada gua dari segi Hidrologi. Lorong tersebut dibagi dalam 3 jenis, yaitu Lorong Fhareatik dimana pada lorong ini kondisi lorong masih sepenuhnya ditutupi oleh air dan pada umumnya memiliki dinding gua yang relatif halus. Lorong Vadose yaitu lorong yang sebagian dari lorong tersebut dialiri air. Pada lorong ini pembentukan ornamen biasanya baru terbentuk pada bagian atap gua. Lorong Fosil yaitu lorong yang kering atau sudah tidak dialiri air lagi, kemungkinan adanya perubahan pola aliran air bawah tanah. Pada lorong ini pembentukan ornamen sudah mencapai nol.

2.4 Metode VLF (Very Low Frequency)

Pengukuran geofisika untuk pendugaan bawahpermukaan sangat bervariasi metode pengukurannya,metode pengukuran geofisika didasarkan pada sifatkelistrikan bumi, sifat kemagnetan bumi, getaran bumidan gelombang elektromagnetik. Salah satu metodepengukuran geofisika adalah dengan menggunakanmetode VLF-EM (Very Low Frequency-Electromagnetics), yang merupakan metode geofisikadekat permukaan dengan memanfaatkan target anomaligeofisika yang bersifat konduktif(Santos, 2006). Metode VLF-EM yang dikenal sebagai metode elektromagnetik VLF-EM bekerja denganmemanfaatkan pemancar radio dengan frekuensi sekitar 15-30 kHz (atau pada panjang gelombang 10-20 km)sebagai medan primer dan pemancar gelombang radioyang berdaya besar sekitar 100-1000 kW (Bayrak, 1995).

Mekanisme kerja VLF-EM yang memanfaatkan pancaran gelombang radio danpemancar VLF akan menginduksi sistem pelapisan bumi yang konduktif (Hiskiawan, 2011). Pola radiasi induksi tersebut akan menimbulkan medan

elektromagnetik sekunder yang memberikan gangguan medan magnetik alamiah bumi (Hiskiawan, 2009).

Prinsip pengukuran metode VLF yaitu sumber gelombang elektromagnetik memanfaatkan gelombang hasil induksi elektromagnetik yang berfrekuensi sangat rendah yang disebut sebagai medan primer dan mempunyai frekuensi 15 kHz sampai 30 kHz, dirambatkan di antara permukaan bumi dan ionosfer. Karena induksi gelombang tersebut, maka di dalam medium oleh batuan akan timbul arus induksi. Dalam tubuh batuan konduktif, medan primer ini akan menginduksi arus sekunder didalamnya yang disebut arus Eddy. Arus induksi inilah yang menimbulkan medan sekunder yang dapat ditangkap di permukaan bumi yang kemudian bergabung dengan medan primer yang dibangkitkan tergantung dari besaran fisika yang terkandung dalam batuan yaitu resistivitas atau konduktivitas. Besarnya kuat medan elektromagnetik sekunder ini sebanding dengan besarnya daya hantar listrik batuan (rho), sehingga dengan mengukur kuat medan pada arah tertentu. Maka secara tidak langsung kita dapat mendeteksi daya hantar listrik batuan di bawahnya.

Gelombang EM (Electromagnetics) terdiri dari komponen medan H dan medan E. Untuk tempatyang jauh dari pemancar dan dianggap medium tanah konduktif, maka komponenmedan H akan mempunyai arah mendatar tegak lurus arah pemancar, sedangkangelombang E akan mempunyai arah mendatar searah dengan arah pemancar (arahperambatan). Karena adanya gelombang sekunder maka arah medan H maupun medanE akan berubah.Peralatan yang dipakai untuk mengukur medan E dan H adalah T-VLF

IrisInstrumen yang dapat beroperasi dengan dua frekuensi sekaligus. Dua pemancar radioyang terdekat dengan Indonesia berada diYosamai, Jepang dan Nortwest Cape,Australia.Antena pemancar terdiri dari beberapa menara tinggi (200-300 m).Parameter yang diukur yaitu sudut tilt (Tilt Angle, dalam %) dan Elliptisitas (Ellipticity,dalam %).

2.4.1 Dasar Teori VLF-EM

Persamaan Maxwell merupakan bentuk dari perambatan gelombang elektromagnetik (Sismanto &Hartantyo,2005) yang berhubungan dengan vektor medan listrik dan medan magnet adalah:

(2.1) dan

(2.2) dengan

J= rapat arus listrik (A/m2) E= medan listrik (V/m) B= induksi magnetik (Wb/m2) D= pergeseran listrik (C/m2) H= medan magnetik (A/m)

Apabila diasumsikan medan E dan H tersebut sebagai fungsi waktu eksponensial, maka akan diperoleh persamaan vektorial sebagai berikut (Febria & Sismanto,2009) :

(2.3)

dengan

σ = konduktifitas listrik (mho/m)

µ = permeabilitas (H/m) = permitivitas dielektrik (F/m)

Pada persamaan (2.3) dan (2.4) bagian kiri pada sisi kanan menunjukkan arus konduksi dan bagian kanannya menunjukkan sumbangan arus pergeseran.

Medan elektromagnetik primer sebuah pemancar radio, memiliki komponen medan listrik vertikal Ez dan komponen medan magnetik horizontal Hy

tegak lurus terhadap arah perambatan sumbu x. Pada jarak yang cukup jauh dari antena pemancar, komponen medan eletromagnetik primer Hy dapat dianggap sebagai gelombang yang berjalan secara horizontal. Jika di bawah permukaan terdapat suatu medium yang konduktif, maka komponen medan magnetik dari gelombang elektromagentik primer akan menginduksi medium tersebut sehingga akan menimbulkan arus induksi seperti pada Gambar 2.5.

Arus Eddy disebabkan oleh sebuah medan magnetik VLF (Very Low Frequency) pada bagian tanah yang lebih konduktif yang menghasilkan medan magnet sekunder dengan frekuensi yang sama dan fase yang berbeda. Arus Eddy berbandinglurus dengan konduktivitas batuan.Sehingga dalam pengukuran arus Eddy, secaratidak langsung mendapatkan nilai konduktivitas batuan. Bagian magnetik vertikal Hz berguna untuk menentukan anomali dan sebagian besar instrumen VLF membandingkan medan magnetik vertikal dengan medan magnetik horizontal yang bertujuan untuk mengamati sudut tilt (Milsom, 1989).

Karakteristik gelombang elektromagnetik dalam metode VLF dapat dijelaskan pada saat gelombang primer masuk kedalam medium, gaya gerak listrik (ggl) induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama, tetapi fase tertinggal 90° (Kaikkonen, 1979). Gambar 2.6 menunjukkan diagram vektor antara medan primer P dan ggl induksinya. Kombinasi antara medan P dan medan S (R cosα)

disebut komponen real (in-phase) dan komponen yang tegak lurus P (R sinα)

disebut komponen imaginer (out-of-phase, komponen kuadratur). Komponen yang diukur dalam VLF adalah tilt angle α yaitu sudut utama polarisasi ellips dari

horizontal (dalam derajat atau persen), dan eliptisitas ε adalah perbandingan

antara sumbu kecil terhadap sumbu besarnya (dalam persen). Tilt angle α dan

eliptisitas ε, berkaitan dengan komponen medan magnetik horizontal, vertikal dan

fasanya. Secara matematis dapat diperlihatkan bahwa tilt angle α mirip dengan

bagian komponen real (in-phase) dari komponen vertikal dan eliptisitas ε mirip

Gambar 2.6 Hubungan Ampitudo dan Fase Gelombang Sekunder (S) dan Primer (P)

Jika medan magnet horizontal adalah Hx dan medan magnet vertikalnya adalah Hz, maka besar sudut tilt dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.7, yang besarnya adalah :

(2.5) dan elipsitasnya diberikan sebagai :

(2.6) Tangen dari sudut tilt dan eliptisitas dapat digunakan untuk membandingan komponen medan magnetik sekunder S vertikal dengan medan magnetik primer P horizontal, serta membandingkan komponen kuadrat dari medan sekunder S vertikal terhadap medan primer P horizontal (Peterson & Ronka,1971).

Gambar 2.7 Parameter Polarisasi Ellips 0 R cos α S sin ø es S cos θ R sin α R α P S ø θ z b Hx x Hz a

2.4.2 Jenis Pengukuran VLF

Ada dua jenis pengukuran VLF, yaitu mode tilt-angle dan mode resistivity. Mode tilt-angle mengukur polarisasi komponen medan magnetik, sedangkan mode resistivity mengukur polarisasi komponen medan magnetik dan medan listrik.

2.4.2.1 Mode Tilt-angle

Mode tilt-angle (Gambar 2.8)digunakan untuk mengetahui struktur konduktif dan kontak geologi seperti zona alterasi, patahan, dan dike

konduktif.Dalam mode ini, arah strike target memiliki sudut ±45° dengan lokasi pemancar. Pada konfigurasi pengukuran semacam ini, medan primer akan memberikan fluks yang maksimum jika memotong struktur, sehingga memberikan kemungkinan anomali yang paling besar.

Gambar 2.8 Ilustrasi Pengukuran VLF dengan Mode Tilt-Angle

Medan magnet yang memiliki komponen horisontal dan vertikal membentuk sebuah ellips yang dapat ditunjukkan dengan sudut tilt dari sumbu mayor dan sumbu horisontalnya, dan eliptisitasnya (perbandingan sumbu minor/sumbu mayor). Alat akan mengukur dua besaran tersebut dari pengukuran komponen in-phase dan out-of-phase medan magnetik vertikal dari medan

Arah pemancar Lintasan ukur

Strike struktur Hz

horisontalnya. Data tilt biasanya disajikan dalam fraser derivatif. Parameter eliptisitas kadang digunakan untuk mengetahui bahwa struktur di bawah memiliki konduktivitas tinggi(berharga kurang dari nilai tilt tetapi bertanda terbalik) atau memiliki konduktivitas rendah(bernilai dan bertanda sama dengan nilai tilt). 2.4.2.2 Mode Resistivity

Mode ini digunakan untuk mengetahui dike resistif dan di sisi lain untuk membatasi satuan geologi melalui pemetaan tahanan jenisnya. Mode ini sangat baik jika arah pemancar tegak lurus strike geologinya (±45°) seperti terlihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Ilustrasi Pengukuran VLF dengan Mode Resistivity

Alat akan langsung mengukur besarnya tahanan jenis medium dan besarnya sudut fase medium. Letak anomali secara kasar berada di bawah puncak anomali tahanan jenis. Sedangkan harga fase > 45° menunjukkan tahanan jenis semakin dalam maka semakin kecil, dan harga fase < 45° menunjukkan tahanan jenis semakin dalammaka makin besar.

2.4.3 Noise

Sumber noise yang utama adalah radiasi medan elektromagnetik akibat kilat atmosfer baik di tempat yang dekat atau jauh dengan lokasi pengukuran. Pada frekuensi VLF, radiasi medan ini cukup dapat melemahkan sinyal yang

Arah pemancar Strike struktur Lintasan ukur Hz E

dipancarkan oleh pemancar. Daerah yang cukup banyak gangguan tersebut adalah Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah serta kepulauan di Asia Tenggara.Di Indonesia gangguan noise ini cukup banyak. Gangguan ini dicirikan dengan naiknya kuat medan listrik vertikal dan medan magnet horisontal secara tiba-tiba jika sumber medan cukup dekat dengan pengukur. Noise kedua adalah variasi diurnal medan elektromagnetik bumi, dimana terjadi pergerakan badai dari arah timur ke barat yang terjadi pada siang hari hingga petang hari.

2.5 RAE (Rapat Arus Ekuivalen)

Rapat arus adalah aliran muatan pada suatu luas penampang tertentu di suatu titik penghantar. Dalam SI, rapat arus memiliki satuan Ampere per meter persegi (A/m2). Rapat arus : , dimana I adalah kuat arus (A) dan adalah luas penampang (m2).

Hubungan antara RAE dengan konduktivitas dan resistivitas dapat dilihat pada persamaan berikut:

(2.7) dimana

dengan

I = kuat arus (A)

= luas penampang (m2)

σ = konduktivitas(Mho/m) V = beda potensial (volt)

l = panjang (m)

ρ= resistivitas (Ωm)

Resistivitas (ρ) adalah kemampuan suatu bahan untuk mengantarkan arus listrik

yang bergantung terhadap besarnya medan istrik dan kerapatan arus. Semakin besar resistivitas suatu bahan maka semakin besar pula medan listrik yang dibutuhkan untuk menimbulkan sebuah kerapatan arus. Konduktivitas adalah kebalikan dari resistivitas.Nilai konduktivitas adalah perbandingan antara sifat kelistrikan dengan konduktivitas termal.

Dokumen terkait