• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

2. Fraud

a. Definisi Fraud

Fraud adalah sebuah perbuatan kecurangan yang melanggar hukum (illegal-acts) yang dilakukan secara sengaja dan sifatnya dapat merugikan pihak lain. Istilah keseharian adalah kecurangan diberi nama yang berlainan seperti pencurian, penyerobotan, pemerasan, penjiplakan, penggelapan, dan lain-lain. Hermiyatti (2010) disebutkan bahwa tindakan fraud yang terjadi di rumah sakit antara lain seperti pada markup pengadaan barang, tidak adanya pemahaman

pengendalian internal oleh para tenaga medis, serta terjadinya korupsi/ penyuapan pada manajemen.

Hermiyetti (2010) juga menyebutkan bahwa fraud bisa terjadi pada dua tingkatan, yaitu fraud pegawai dan fraud manajemen. Fraud pegawai atau fraud yang dilakukan oleh pegawai non-manajemen biasanya ditujukan untuk langsung mengkonversi kas atau aktiva lain untuk kepentingan pribadi, contohnya seperti pegawai adminitrasi gudang mengambil barang di gudang untuk dijual kembali ke pihak luar. Sedangkan fraud manajemen lebih tersembunyi dan membahayakan karena biasanya dilakukan oleh manajemen tingkat atas dimana manajemen pengendalian internal kadang ikut dalam fraud jenis ini. Kebanyakan kecurangan ini dilakukan dalam laporan keuangan sehingga perusahaan akan nampak sehat dimata publik.

Buku Tuanakotta (2007:95-96) menyebutkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti:

1) Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP: ”mengambil barang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);

2) Pasal 368: Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang”);

3) Pasal 372: Penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki baang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”);

4) Pasal 378: Perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang”);

5) Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.

6) Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang (definisi KUHP: ”dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”);

7) Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang nomor 31 tahun 1999).

Disamping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengantur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori fraud, seperti undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,

undang-undang tentang pencucian uang, undang-undang-undang-undang perlindungan konsumen, dan lain-lain.

Mengutip dalam buku karangan Tuanakotta (2007) menyebutkan juga bahwa Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk pohon fraud. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Ada tiga cabang utama fraud yaitu:

1) Corruption, yang meliputi conflicts of interest (benturan kepentingan); bribery (penyuapan); kickbacks (penyuapan terencana agar mendapat untung); bid rigging (permainan auditor dalam memenangkan tender); dan illegal graduities (pemberian hadiah yang merupakan bagian terselubung dalam penyuapan).

2) Assets missapropriation pengertiaannya adalah pengambilan/ penjarahan asset secara tidak sah. Yang menjadi sasaran penjarahan adalah uang. Selain itu dapat juga berupa asset seperti persediaan barang dagang yang nantinya dapat dikonversi dalam bentuk kas.

3) Fraudulent statements yaitu fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan keuangan dan ini menjadi perhatian auditor dan masyarakat sebagai pihak yang menggunakan laporan keuangan. Jenisnya adalah fraud yang berupa salah saji laporan keuangan yaitu penyajian asset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya dan penyajian asset dan pendapatan lebih rendah dari sebenarnya. Hal ini dilakukan agar laporan keuangan nampak “cantik” dimata

penggunanya. Kasus fraud cabang ini cukup menjadi perhatian mana kala fraud terungkap di perusahaan Enron, Amerika Serikat.

Dalam buku Tuanakotta (2007:160) fraud digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Fraud yang sudah ada tuntutan hukum, tanpa memperhatikan bagaimana keputusan pengadilan. Fraud dalam kelompok ini bisa diketahui khalayak ramai. Salah satu contohnya adalah korupsi, hasil pemeriksaan tersebut berupa indikasi, kalau sudah konkrit sekalipun. Biasanya khusus kasus-kasus yang berkenaan dengan keuangan negara.

2) Fraud yang ditemukan, tetapi belum ada tuntutan hukum. Fraud dalam kelompok ini lebih sulit diketahui karena adanya lembaga perlindungan hukum yang sering dimanfaatkan tertuduh, misalnya pencemaran nama baik. 3) Fraud yang belum ditemukan, fraud dalam kelompok ini tertutup rapat

karena tidak mungkin kita bisa menjawab besaran-besaran yang berhubungan dengan fraud secara keseluruhan yang sesungguhnya terjadi.

Menurut Amrizal (2004) kecurangan sering terjadi pada suatu entitas apabila:

1) Pengendalian interen tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.

2) Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka. 3) Pegawai diatur, diekploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau

ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran atau tujuan keuangan.

4) Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efisisen dan tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yag berlaku.

5) Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi, biasanya menyangkut masalah keuangan, kebutuhan kesehatan, dan gaya hidup berlebihan.

6) Perusahaan memiliki sejarah atau tradisi berbuat kecurangan.

b. Fraud Auditing

Pengertian fraud auditing atau lebih dikenal dengan istilah audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan terhadap pembukuan dan transaksi komersial memerlukan gabungan dua keterampilan, yaitu sebagai auditor yang terlatih dan kriminal investigator. Kongres menyetujui UU Sarbanes-Oxley pada tahun 2002 dan AICPA (American Institude of Certified Public Accountant) mengembangkan standar auditing yang khusus berhubungan dengan penilaian resiko kecurangan dan pendeteksiaannya. Sektor dunia usaha memerlukan keahlian audit fraud guna mencegah, mendeteksi, dan mengungkapkan tindak kecurangan. Menurut Albrecht dalam Pusdiklatwas (2008) terdapat 4 pilar utama dalam memerangi fraud yaitu:

1). Pencegahan fraud (fraud prevention)

2). Pendeteksian dini fraud (early fraud detection) 3). Investigasi fraud (fraud Investigation)

Dokumen terkait