• Tidak ada hasil yang ditemukan

% dari armada kapal/tahun SANGAT TINGGI Mitigasi UN-ACCEPT- ABLE RISK Kecelakaan 1- <10% dari armada kapal/ tahun TINGGI 1 kapal per tahun MEDIUM INTER- MEDIATE 1 kapal per 10 tahun RENDAH 1 kapal per 100 tahun SANGAT RENDAH ACCEPT- ABLE RISK BCnD Ct r E FD Cn GHEForI JKnLMn BNOCnD G HC PorI Q RrMt BCnD Ct SNrCt G TCtCstro U p VEW I X RsM YMru n r KnLMnZ YR[ RrlMm \ ]MtMn ^_YM\luYM r KnLMn Q R]RrMpM tRrluYM ]RrM[ Z `Mn a orMnL m RnKnLLMlb cKlMnL d \ae orMnL m RnKnLLMlb cKlMnL ]MnyMY MwMY YMpMl m RnKnLLMl `Mn YMpMl [ RnLL RlMm P e n c e g a h a n

Gambar 12 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap pada matriks F-N. Kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di Utara Jawa Tengah puncaknya terjadi pada bulan Februari sedangkan di Selatan Jawa Tengah puncaknya terjadi pada bulan Juli, seperti yang terlihat pada Gambar 13.

FREKUENSI Kecelakaan >10 % dari armada kapal/tahun SANGAT TINGGI Mitigasi UN-ACCEPT- ABLE RISK Kecelakaan 1- <10% dari armada kapal/ tahun TINGGI 1 kapal per tahun MEDIUM INTER- MEDIATE 1 kapal per 10 tahun RENDAH 1 kapal per 100 tahun SANGAT RENDAH ACCEPT- ABLE RISK BCnD Ct r E FD Cn GHEForI JKnLMn BNOCnD G HC PorI Q RrMt BCnD Ct SNrCt G TCCtstro U p VEW I f g X RM YMrus n r KnLMnZ YR[ RrlMm \ ]MtMn ^_YM\luYM r KnLMn Q R]RMrpM tRrluYM ]RrM[ Z `Mn a orMnL m RnKnLLMlb cKlMnL d \ae orMnL m RnKnLLMlb cKlMnL ]MnyMY MwMY YMpMl m RnKnLLMl `Mn YMpMl [ RnLL RlMm P e n c e g a h a n

Gambar 12 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap pada matriks F-N. Kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di Utara Jawa Tengah puncaknya terjadi pada bulan Februari sedangkan di Selatan Jawa Tengah puncaknya terjadi pada bulan Juli, seperti yang terlihat pada Gambar 13.

FREKUENSI Kecelakaan >10 % dari armada kapal/tahun SANGAT TINGGI Mitigasi UN-ACCEPT- ABLE RISK Kecelakaan 1- <10% dari armada kapal/ tahun TINGGI 1 kapal per tahun MEDIUM INTER- MEDIATE 1 kapal per 10 tahun RENDAH 1 kapal per 100 tahun SANGAT RENDAH ACCEPT- ABLE RISK BCnD Ct r E FD Cn GHEForI JKnLMn BNOCnD G HC PorI rt BCnD Ct SNrCt G TCCtstro U p VEW I ghi jf k jhi l X RM YMrus n r KnLMnZ YR[ RrlMm \ ]MtMn ^_YM\luYM r KnLMn Q R]RMrpM tRrluYM ]RrM[ Z `Mn a orMnL m RnKnLLMlb cKlMnL orn mnn l l n ]MnyMY MwMY YMpMl m RnKnLLMl `Mn YMpMl [ RnLL RlMm P e n c e g a h a n

4.1.5 Analisis kecelakaan kapal berdasarkanReason’s Model

1) Kasus kecelakaan awak kapal meninggal karena sakit di atas kapal. Analisis denganReason’s Model, sebagai berikut:

(1) Pertahanan (defences), menunjukkan kemampuan awak kapal

menghadapi risiko kecelakaan dengan upaya mitigasi akibat dari sakitnya awak kapal di atas kapal.

Mitigasi yang harus dilaksanakan untuk meminimalkan risiko dari kecelakaan ini adalah melalui upaya:

a) Terdapat minimal satu orang awak kapal yang memiliki keterampilan penanganan pasien secara medis untuk setiap 15 orang awak kapal, melalui pelatihanMedical Care;

b) Tersedia obat-obatan personal di atas kapal;

c) Tersedia peralatan medis standar poliklinik di atas kapal; d) Dapat berkomunikasi radio dengan stasiun pantai atau pihak

lainnya untuk mendapatkan panduan penanganan pasien; e) Tersedia standar operasional dan prosedur darurat (emergency

preparadness) apabila ada pasien sakit keras di atas kapal.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jan Feb Mar Apr mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Fr

ek

ue

nsi

Pola Kecelakaan Kapal Ikan Bulanan di Utara Jawa Tengah Pola Kecelakaan Kapal Ikan Bulanan di Selatan Jawa Tengah

Gambar 13 Grafik kecelakaan kapal di Utara Jawa Tengah (PPP Tegalsari dan PPN Pekalongan) dan Selatan Jawa Tengah (PPS Cilacap).

Saat ini upaya mitigasi yang dilakukan nakhoda adalah membawa penderita ke pelabuhan terdekat di sekitar alur pelayaran dan daerah penangkapan atau menitipkan orang sakit ke kapal yang berlayar kembali kefishing base.

(2) Tindakan awak kapal yang membahayakan (unsafe act) yang dapat

menyebabkan meninggalnya awak kapal karena sakit di atas kapal: a) Penderita sakit tidak ditangani sesuai standar medis;

b) Penderita sakit memaksakan diri ikut bekerja; c) Tidak tersedia obat-obatan minimal;

d) Tidak tersedia peralatan medis secara darurat di atas kapal; e) Kesalahan penanganan pasien.

(3) Prekondisi (precondition)

a) Kondisi tempat istirahat pasien di atas kapal tidak layak;

b) Tidak terdapat awak kapal yang memiliki kompetensi penanganan orang sakit di atas kapal;

c) Menuju rumah sakit terdekat memerlukan waktu relatif lama; d) Tidak terdapat radio komunikasi untuk minta saran penanganan

pasien.

(4) Manajemen (management line)

a) Tidak ada keharusan terdapatnya minimal satu orang awak kapal yang memiliki kompetensiMedical Caredi atas kapal;

b) Pemilik kapal tidak melengkapi peralatan medis dan obat-obatan di atas kapal;

c) Awak kapal tidak memiliki surat sehat pada kapal yang berlayar dengan periode layar di atas tiga hari;

d) Nakhoda tidak mengetahui penyakit kronis yang diderita ABK. (5) Keputusan (decision):

a) Pihak pemerintah belum mengatur bahwa harus terdapat awak kapal penangkap ikan yang memiliki kompetensi perawatan medis di atas kapal;

b) Pengaturan peralatan medis minimal di atas kapal;

2) Kasus awak kapal meninggal karena jatuh ke laut (man over board).

Analisis dengan menggunakanReason’s Model, sebagai berikut:

(1)

Pertahanan (defences) merupakan upaya yang dilakukan awak

kapal sebagai korban atau awak kapal lain pada saat kecelakaan terjadi. Ketahanan terhadap risiko kecelakaan dengan upaya mitigasi akibat dari tindakan yang membahayakan.

Mitigasi yang harus dilaksanakan untuk meminimalkan risiko kematian akibat kecelakaan jatuh ke laut adalah melalui upaya:

a) Memiliki kemampuan berenang; b) Tidak meminum air laut;

c) Apabila mendapatkan benda terapung yang bisa digunakan sebagai alat penolong diusahakan tidak banyak bergerak; d) Memberikan kode pertolongan apabila ada kapal lain; e) Awak kapal harus memiliki keterampilan kesiapsiagaan

saat menghadapi gelombang besar dan keadaan darurat (emergency preparadness) melalui pelatihan di darat dan

di atas kapal. Saat ini penguasaan keterampilan dimaksud belum dimiliki awak kapal penangkap ikan;

f) Di atas kapal harus tersedia pelampung penyelamat (life buoy) yang ditempatkan pada kedua sisi lambung kapal,

terpasang pada tempat yang mudah untuk digunakan setiap saat apabila ada awak kapal terjatuh ke laut. Saat ini kapal- kapal penangkap ikan banyak yang belum dilengkapi pelampung penyelamat sesuai standar, atau tersedia tetapi belum terpasang pada tempat yang mudah dijangkau, dan pelampung kadang-kadang diikat dengan simpul mati di badan kapal;

g) Pada pelayaran atau kegiatan penangkapan dengan cuaca buruk dan bergelombang besar, awak kapal harus mengikat barang-barang yang mudah berpindah dan menggunakan jaket penolong saat bekerja di dek terbuka,

kecuali pada kapal yang mengoperasikan alat tangkap

gillnet;

h) Seluruh Awak kapal harus memiliki kompetensi Basic Safety Training (BST) atau BST-F dan Pelatihan Medical Carebagi perwira kapal;

i) Mengatur sistem kerja berkelompok dan saling mengawasi.

j) Kapal harus dilengkapi guard relling (pagar pengaman).

Apabila pagar pengaman menghambat kelancaran operasi penangkapan ikan maka pagar pengaman harus dapat dilepas pada saat operasi penangkapan; tinggi pagar pengaman atau tinggi bulwark kapal kapal minimum 60

cm (IMO, 1995). Tinggi bulwark kapal penangkap ikan

berukuran kurang dari 150 GT di Indonesia bervariasi, pada umumnya kurang dari 60 cm;

k) Awak kapal mampu berenang.

(2) Tindakan awak kapal yang membahayakan (unsafe act) yang

dapat menyebabkan jatuhnya awak kapal ke laut, diantaranya: a) Awak kapal bekerja pada dek kondisi basah dan licin pada

kondisi laut bergelombang besar, sementara ukuran kapal relatif kecil;

b) Awak kapal tidak memakai jaket penolong (life jacket)

pada saat bekerja di dek terbuka terutama pada kondisi ombak besar;

c) Awak kapal tidak mengawasi awak kapal lainnya pada saat kegiatan pelayaran menuju daerah penangkapan atau kembali ke pelabuhan, terutama pada malam hari;

d) Pada saat operasi penangkapan dengan longline, pada

kondisi ombak besar, awak kapal menarik tali cabang alat tangkap longline dimana terdapat ikan tersangkut pancing

membahayakan awak kapal apabila salah menangani dan berisiko awak kapal terjatuh ke laut;

e) Mengoperasikan alat tangkap pada saat cuaca buruk. (3) Prekondisi (precondition):

a) Kondisi dek kapal basah dan licin akibat masuknya air laut ke atas dek kapal;

b) Awak kapal dalam keadaan mabuk laut, sakit atau stress; c) Cuaca buruk terjadi pada malam hari dengan lampu

penerangan dan lampu kerja kurang memadai;

d) Mesin kapal atau kemudi kapal dalam keadaan rusak sehingga kapal sulit dikendalikan;

e) Stabilitas kapal kurang baik kapal miring melebihi normal; f) Bulwark kapal rendah dan tidak terpasang pagar

pengaman.

(4) Manajemen (management line):

a) Awak kapal tidak diwajibkan memiliki kompetensi keselamatan dasar (BST) atau BST-F, dalam hal ini tidak ada awak kapal yang memahami dan mampu menolong orang tenggelam;

b) Awak kapal tidak menempatkan pelampung penolong dengan baik dan benar;

c) Awak kapal tidak merawat peralatan keselamatan life buoy;

d) Nakhoda tidak melaksanakan pelatihan keselamatan di atas kapal, yang seharusnya dilakukan tiap bulan;

e) Pemilik kapal tidak menyediakan standar dan prosedur tindakan darurat;

f) Nakhoda tidak memiliki kompetensi olah gerak menolong orang jatuh ke laut.

(5) Keputusan (decision):

a) Peraturan yang mewajibkan awak kapal penangkap ikan memiliki kompetensi keselamatan dasar belum diatur dengan tegas;

b) Peraturan pengawakan kapal penangkap ikan belum tersedia;

c) Pemilik kapal belum melengkapi standar prosedur pertolongan orang jatuh ke laut;

d) Pengaturan standar konstruksi kapal yang memenuhi persyaratan belum tersedia;

e) Harus tersedia standar keselamatan kerja pada kapal penangkap ikan.

3) Kasus awak kapal meninggal karena terjepit alat penarik tali (winch);

tertarik jaring atau tali rumpon ke laut, terkait pancing longline.

Analisis dengan menggunakanReason’s Model, sebagai berikut:

(1) Pertahanan (defences), menunjukkan ketahanan terhadap risiko

kecelakaan dengan upaya mitigasi akibat dari tindakan yang membahayakan.

Mitigasi yang harus dilaksanakan untuk meminimalkan risiko dari kecelakaan ini adalah melalui upaya:

a) Penanganan korban sesegera mungkin oleh awak kapal yang memiliki kompetensimedical emergency first aid;

b) Awak kapal menggunakan pakaian kerja yang tidak mudah tersangkut alat tangkap, sepatu kerja dan helm kerja; c) Tidak memakai jam tangan, cincin atau sejenisnya yang

dapat menyebabkan tersangkutnya alat tangkap;

d) Awak kapal yang baru bekerja atau peserta pelatihan tidak diberikan tugas-tugas yang membahayakan;

e) Penerangan di tempat kerja harus memadai;

f) Istilah-istilah teknis yang umum digunakan di kapal harus dipahami seluruh awak kapal;

g) Menyiapkan peralatan gunting, pisau atau alat potong lainnya;

h) Menyiapkan pelampung penyelamat (life buoy) di dekat

tempat kerja operasisettingatauhaulingalat tangkap;

i) Pada pelayaran atau kegiatan penangkapan dengan cuaca buruk dan bergelombang besar, awak kapal harus menggunakan jaket penolong saat bekerja di dek terbuka, kecuali pada kapal yang mengoperasikan alat tangkap

gillnet;

j) Seluruh Awak kapal harus memiliki kompetensi Basic Safety Training (BST) atau BST-F dan Pelatihan Medical Carebagi perwira kapal.

(2) Tindakan awak kapal yang membahayakan (unsafe act) yang

dapat menyebabkan risiko kecelakaan karena terjepit winch

atau tersangkut jaring dan pancing, diantaranya:

a) Awak kapal tidak konsentrasi dalam melakukan kegiatan operasi penangkapan;

b) Awak kapal tidak menyadari dirinya berada pada posisi yang membahayakan dirinya;

c) Awak kapal melakukan kekeliruan dalam urutan pelepasan atau penarikan alat tangkap.

(3) Prekondisi (precondition):

a) Cuaca buruk terjadi pada malam hari dengan lampu penerangan dan lampu kerja kurang memadai;

b) Awak kapal menggunakan pakaian kerja yang mudah tersangkut pada winch, pancing atau jaring pada saat

kegiatan operasi pelepasan dan penarikan alat tangkap; c) Tidak tersedia alat pemotong yang memadai ditempat

kerja yang mudah digunakan dalam keadaan darurat; d) Diantara awak kapal ada yang tidak memahami istilah

(4) Manajemen (management line):

a) Awak kapal yang baru bekerja atau peserta magang tidak diberikan pelatihan atau petunjuk pengoperasian peralatan sebelum bekerja;

b) Pemilik kapal tidak melengkapi peralatan sesuai dengan kebutuhan awak kapal untuk operasi penangkapan;

c) Pemilik kapal tidak menyediakan pakaian kerja yang memenuhi persyaratan keselamatan.

(5) Keputusan (decision):

a) Peraturan yang mewajibkan awak kapal penangkap ikan memiliki kompetensi keselamatan dasar awak kapal penangkap ikan belum diatur dengan tegas;

b) Peraturan pengawakan kapal penangkap ikan belum tersedia;

c) Pemilik kapal belum melengkapi standar prosedur operasi penangkapan;

d) Peralatan winch (gardan) pada kapal cantrang belum

memilikiemergency stop.

4mn opnq rsrrtu pv plrw rrturxryo pnrtz w rx{ w rn

4.2.1 Institusi yang melakukan pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan Data dan informasi kecelakaan kapal penangkap ikan sangat penting bagi semua pihak yang terkait dalam industri perikanan tangkap baik bagi lembaga pemerintah maupun swasta. Pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan saat ini dilakukan oleh Satuan Polisi Air (Satpol Air) yang ditempatkan di Pelabuhan- pelabuhan Perikanan dan HNSI Cabang Kabupaten/Kota. Pendataan oleh Satpol Air dan HNSI hanya mencakup kecelakaan kapal yang menyebabkan korban meninggal/hilang atau kerugian kapal dan alat tangkap hilang. Sedangkan kecelakaan yang menyebabkan luka-luka berat dan ringan tidak terdata.

HNSI melakukan pencatatan kecelakaan kapal berkaitan dengan tanggung jawab HNSI terhadap anggotanya yang mengalami musibah untuk mendapat santunan. Ruang lingkup pendataan kecelakaan kapal oleh pihak-pihak HNSI dan

Satpol Air lokasi satu dan lainnya berbeda, namun pendataan secara umum meliputi: identitas kapal, pemilik kapal, lokasi kecelakaan, identitas korban meninggal/hilang, jenis kecelakaan. Data kecelakaan yang dihimpun HNSI termasuk besarnya santunan yang diperoleh keluarga korban baik santunan yang berasal dari pemilik kapal atau dari koperasi nelayan.

Institusi terkait yang seharusnya terlibat dalam menyelenggarakan pencatatan kecelakaan adalah pihak Syahbandar Pelabuhan Perikanan, pihak Syahbandar yang mengeluarkan Surat Pemberitahuan/Ijin Berlayar kepada kapal- kapal perikanan yang laiklaut dan laik operasi. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 209, dalam melaksanakan fungsinya Syahbandar mempunyai kewenangan:

1) Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di pelabuhan; 2) Memeriksa dan menyimpan surat, dokumen, dan warta kapal; 3) Menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan;

4) Melakukan pemeriksaan kapal;

5) Menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar; 6) Melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal; 7) Menahan kapal atas perintah pengadilan; 8) Melaksanakan sijil Awak Kapal.

Pihak institusi yang terkait pembinaan keselamatan, sebagai berikut: 1) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

(1) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas standar: kapal perikanan, alat tangkap, pengawakan kapal perikanan, kesyahbandaran, perijinan usaha dan pengembangan usaha perikanan tangkap.

(2) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Perikanan (PSDKP) memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengenai laik operasi penangkapan.

(3) Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia memiliki kewenangan dan tanggung jawab tentang pengembangan kualitas

sumberdaya manusia pelaut perikanan melalui pendidikan formal, pelatihan, magang, penyuluhan dan sertifikasi pelaut perikanan. (4) Dinas yang bertanggungjawab bidang kelautan dan perikanan di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan menyelenggarakan penyuluhan perikanan tangkap termasuk penyuluhan keselamatan awak kapal perikanan.

(5) Syahbandar di pelabuhan perikanan memiliki kewenangan dan tanggung jawab tentang pengawasan keselamatan kapal perikanan dan melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal

2) Kementerian Perhubungan

(1) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas kelaiklautan dan pengawakan kapal, sertifikasi pelaut niaga dan kapal penangkap ikan.

(2) Badan Diklat Perhubungan memiliki tanggung jawab atas standar diklat keterampilan kepelautan.

(3) Syahbandar Pelabuhan Umum memiliki tugas dan fungsi diantaranya melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal.

(4) Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) melaksanakan inspeksi kapal dan menerbitkan sertifikat kelas kapal.

3) Badan SAR Nasional, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Badan Meteorologi dan Geofisika. KNKT merupakan komisi nasional berfungsi investigasi kecelakaan diantaranya kecelakaan di laut sedangkan Badan SAR daerah Provinsi, Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas pertolongan pada kecelakaan dan musibah di daerah.

4) Pihak Swasta/LSM

(1) Pengusaha/pemilik kapal penangkap ikan (2) Nakhoda dan anak buah kapal

(3) Perancang kapal penangkap ikan (4) Galangan kapal

(6) Himpunan Pengusaha Perikanan Indonesia (7) Masyarakat Perikanan Nusantara

(8) Lembaga pendidikan kepelautan perikanan swasta (9) Lembaga pelatihan kepelautan perikanan swasta (10) Lembaga adat daerah

(11) Pemerhati keselamatan penangkapan dan pelayaran. 5) Lembaga Internasional

Menurut IMO (2005) mengatakan bahwa pihak berwenang

(Competent Authority) wajib melakukan investigasi atas semua kecelakaan

yang mengakibatkan kematian awak kapal. Kecelakaan lainnya yang mengakibatkan rusaknya kapal atau kecelakaan awak kapal dan kejadian yang membahayakan wajib dilaporkan kepada maritime administration dan

jika dipandang perlu investigasi resmi oleh lembaga/unit independen bidang

maritime authority. Hasil investigasi bila perlu diumumkan kepada

masyarakat dan dicatat dalam industri perikanan dimana kecelakaan tersebut terjadi. Hasil invetigasi juga dapat menjadi berita pada “Berita Pelaut” dan sebagai feedback bagi staf pengajar dan penguji pada lembaga pendidikan,

pelatihan dan sertifikasi kepelautan kapal penangkap ikan.

Kecelakaan kapal dapat menyebabkan kecelakaan awak kapal dan dalam beberapa hal dapat menyebabkan kematian. Beberapa pihak yang berwenang memperkirakan separuh dari kecelakaan yang menyebabkan kematian pada industri perikanan tangkap adalah akibat kecelakaan kapal. Sehingga metode yang paling efektif untuk menurunkan kecelakaan awak kapal adalah harus ada jaminan bahwa kapal penangkap ikan harus dalam keadaan aman. Persyaratan untuk sertifikat keselamatan atau layak laut diperlukan inspeksi kapal secara periodik. Hal ini akan menurunkan kecelakaan kapal dan awak kapal.

1) Pendataan kecelakaan

Pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan di tiga lokasi penelitian, yaitu di kota Tegal, Kab. Pekalongan dan Kab. Cilacap, saat ini dilaksanakan oleh:

(1) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang kabupaten/kota, hal ini dikaitkan dengan pengeluaran dana sosial atau uang duka yang dikeluarkan oleh koperasi perikanan atau iuran para nelayan;

(2) Satuan Polisi Air (SATPOLAIR) yang memiliki pangkalan di Pelabuhan Umum atau di Perikanan.

2) Kelengkapan data

Data yang dihimpun dan dicatat HNSI maupun SATPOLAIR menggunakan format yang berbeda memuat: nama kapal, nama nakhoda kapal, lokasi kecelakaan, identitas pemilik kapal (nama dan alamat), identitas korban (nama, umur dan alamat), dan tanggungan/uang duka yang diberikan kepada korban.

Data yang dihimpun hanya kecelakaan dengan korban meninggal atau hilang di laut, sedangkan data kecelakaan dengan luka ringan atau luka berat tidak tersedia.

3) Penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan data dan pelaporan

Pencatatan data kecelakaan masih dilakukan secara manual dan belum tersimpan dalam database komputer. Untuk mendapatkan data tiga tahun

terakhir tidak mudah diperoleh kecuali di HNSI Cabang Kabupaten Cilacap. Data kecelakaan dicatat dalam buku jurnal atau diketik manual dengan data yang belum standar disimpan dalam lembaran kertas. Data tidak diolah dan tidak ada laporan tahunan kecelakaan kapal.

4.2.2 Permasalahan pendataan kecelakaan

1) Data yang ada belum memberikan informasi yang lengkap tentang kejadian dan penyebab kecelakaan;

2) Data yang terkumpul belum tersimpan dengan baik dalam bentuk database dan belum dianalisis dan tidak ada laporan;

3) Data kecelakaan belum didata oleh pihak pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam pembinaan keselamatan yaitu Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan baru diserahterimakan dari Pelabuhan umum;

4) Data kecelakaan kapal belum cukup untuk melakukan evaluasi safety performance and equipment, dimana hal ini sangat mendasar untuk

mengetahui permasalahan keselamatan kapal penangkap ikan guna menghasilkan program keselamatan penangkapan;

5) Pendataan kecelakaan harus mencakup: waktu kecelakaan (hari/tanggal, jam), identitas kapal (nama kapal, nama panggilan kapal, jenis kapal, ukuran kapal, jenis alat tangkap ikan), identitas nakhoda (nama dan alamat), identitas pemilik kapal/perusahaan (nama direktur/pemilik, alamat dan nomor telpon), lokasi kecelakaan (nama perairan, posisi bujur/lintang), identitas korban (nama, umur, jabatan di kapal, alamat), risiko yang ditangung korban (meninggal/hilang di laut, luka berat, luka ringan), jenis kecelakaan kapal (tenggelam, kandas, kebakaran, tubrukan), kondisi cuaca saat kecelakaan (kecepatan angin dan tinggi gelombang), uraian singkat penyebab kejadian kecelakaan (saat pelayaran atau penangkapan), data lengkap awak kapal (jumlah dan kualifikasi); data peralatan keselamatan (jumlah dan kualitas); upaya pertolongan yang telah dilakukan, pihak asuransi/penjamin korban dan pengaruh tumpahan minyak terhadap lingkungan;

6) Data yang kurang lengkap sulit untuk: mengkuantifikasi permasalahan keselamatan; menentukan hubungan sebab-akibat kecelakaan; strategi pengembangan keselamatan kapal penangkap ikan dan menentukan program kepedulian (awareness) yang efektif.

4.2.3 Rekomendasi pendataan kecelakaan

1) Pendataan kecelakaan menggunakan format yang standar yang dikeluarkan Pemerintah disarankan dikeluarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap atau PSDKP melalui Syahbandar Pelabuhan Perikanan; 2) Pendataan kecelakaan kapal menjadi tugas dan tanggung jawab

Syahbandar Pelabuhan Perikanan setempat;

3) Perlu dibangun sistem pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan melalui pengaturan minimal tingkat Peraturan Menteri dan dilengkapi

dengan pedoman pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan pelaporan kecelakaan secara terstruktur;

4) Perlu peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pelatihan sistem pengumpulan data, pengolahan data dan pelaporan, safety awarenessdan pelatihanaccident/risk assessment.

5) Data yang terkumpul harus mampu untuk dianalisis berdasarkan statistik dan memiliki format dalam rangka peningkatan strategi keselamatan kapal penangkap ikan,

6) Data memuat waktu kecelakaan (hari/tanggal, jam), identitas kapal (nama kapal, nama panggilan kapal, jenis kapal, ukuran kapal, jenis alat tangkap ikan), identitas nakhoda (nama dan alamat), identitas pemilik kapal/perusahaan (nama direktur/pemilik, alamat dan nomor telpon), lokasi kecelakaan (nama perairan dan posisi bujur/lintang), identitas korban (nama, umur, jabatan di kapal, alamat), risiko yang ditanggung korban (meninggal/hilang di laut, luka berat, luka ringan), jenis kecelakaan kapal (tenggelam, kandas, kebakaran, tubrukan), kondisi cuaca saat kecelakaan (kecepatan angin dan tinggi gelombang), uraian singkat penyebab kejadian kecelakaan (saat pelayaran atau penangkapan), data lengkap awak kapal (jumlah dan kualifikasi), data peralatan keselamatan (jumlah dan kualitas), upaya pertolongan yang telah dilakukan, pihak asuransi/penjamin korban dan pengaruh tumpahan minyak terhadap lingkungan.

7) Statistik kecelakaan kapal diintegrasikan dengan statistik perikanan.

4|} ~um €r ‚ƒ‚„‚…u† ‡ ‚

4.3.1 Tingkat pendidikan formal nakhoda

Nakhoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sebagai pimpinan tertinggi di atas sebuah kapal maka latar belakang pendidikan formal nakhoda sangat penting

Dokumen terkait