• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan kerangka kerja keselamatan operasi penangkapan ikan di Provinsi Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan kerangka kerja keselamatan operasi penangkapan ikan di Provinsi Jawa Tengah"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

DI PROVINSI JAWA TENGAH

DJODJO SUWARDJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Pengembangan Kerangka

Kerja Keselamatan Operasi Penangkapan Ikan di Provinsi Jawa Tengah” adalah

karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 22 September 2011

Djodjo Suwardjo

(3)

DJODJO SUWARDJO. Development of Fishing Operation Safety Frame Work in the Province of Central Java . Under the direction of JOHN HALUAN, INDRA JAYA, and SOEN’AN H. POERNOMO.

Charachteristics of the occupational in fishing vessel are dangerous, dirty and difficult, known as “3d”. Fishing vessel safety is a complex interactions among human factors, machines and environmental. Fishing safety problems emerge when minimum one of those elements of human factor, machines or environment is misfunction.

The general objective of this research is to develope frame work of fishing vessel operation safety in Central Java Province. Specific objectives of this research, are as follows: 1) identification database systems of fishing vessel accident; 2) identification of crews quality and capacity, 3) identification of the safety equipment, 4) identification of the national and international regulations on fishing vessel safety, 5) to make the alternative policies and strategies on fishing vessel safety management, to make strategies development on maritime training and education.

Results of this reasearch, are: 1) to provide national database systems on fishing vessel accidents and investigations and to integrate this system database into fisheries satatistic, 2) the level of safety and navigation competencies of the skippers are still in low level, 3) fishing vessels which already equipped with the minimum safety equipment as much as 29,69%, 4) the existing regulations for seaworthiness and shipmanning of fishing vessel need to be reviewed, 5) the Fatality Accident Rate (FAR) is 113 fishermen died/missing at sea per 100.000 fisherman per year and if it is compared with the FAR of the world fishing fleet, it‘s still consider higher. The average FAR of the world is 80 fishermen per year, 6) the position of the fishing vessels accident on F-N matrix is still on the unacceptable risk level.

The necessary measures to reduce accident risk of fishing vessels accident are needed. Some of the measures that we suggest, are as follows: 1) to estasblish national database systems of fishing vessel accidents and investigations and to integrate this system data base into fisheries satatistics, 2) training on navigation and safety competences (BST) for skippers and crew members, 3) increasing safety awareness for the fishing vessel stakeholders 4) crews insurance, 5) to provide standard of fishing vessel, ship manning, works in fishing, education, training and certification, 6) extended researchs are needed on development model fishing vessel safety development, B/C analisys and to make standart ship of fishing vessels less than 60 GT that suitable to be operated in southern Jawa Island waters

(4)

DJODJO SUWARDJO. Pengembangan Kerangka Kerja Keselamatan Operasi Penangkapan Ikan di Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, INDRA JAYA, dan SOEN’AN H. POERNOMO.

Pekerjaan pada kapal penangkap ikan merupakan pekerjaan yang membahayakan, maka profesi tersebut memiliki karakteristik “3d” yaitu: membahayakan (dangerous), kotor (dirty) dan sulit (difficult). Keselamatan kapal penangkap ikan merupakan interaksi antara human factor, machines dan

environmental. Kecelakaan akan timbul apabila salah satu elemen tersebut tidak berfungsi.

Tujuan penelitian ini adalah menyusun pengembangan kerangka kerja sistem keselamatan operasi penangkapan ikan di Jawa Tengah. Sedangkan tujuan khusus penelitian mencakup: 1) mengidentifikasi sistem pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan, 2) mengidentifikasi kualitas awak kapal, 3) mengidentifikasi kelengkapan alat-alat keselamatan, 4) mengidentifikasi peraturan-peraturan dan kelembagaan, 5) menyusun alternatif kebijakan pengembangan manajemen keselamatan (safety management) penangkapan ikan dan 6) strategi pengembangan diklat bagi awak kapal.

Penelitian dilaksanakan antara Juni 2008 sampai Februari 2009 di pelabuhan perikanan yang menjadi basis penangkapan ikan, yaitu: PPN Pekalongan dan PPP Tegalsari serta PPS Cilacap.

Analisis risiko kecelakaan dilakukan dengan menghitung Fatality Accident Rate (FAR) dan Risk Index (RI) dari data kecelakaan yang ada dalam tiga tahun terakhir. Pengukuran FAR dengan membandingkan jumlah korban meninggal/hilang pertahun dengan jumlah awak kapal aktif per 100.000 orang

Kecelakaan fatal kapal penangkap ikan dari tahun 2006 sampai 2008, sebanyak 61 kali dengan awak kapal meninggal/hilang di laut sebanyak 68 orang atau rata-rata korban meninggal/hilang sebanyak 23 orang per tahun dari jumlah awak kapal aktif sebanyak 19.640 orang. Kapal dan alat tangkap yang tenggelam/hilang di laut sebanyak 22 unit kapal atau rata-rata kapal hilang sebanyak 7 unit/tahun.

FAR di lokasi penelitian sebagai berikut: di PPP Tegalsari 123 orang, , PPN Pekalongan 48 orang dan PPS Cilacap 239 orang. Rata-rata FAR di tiga lokasi penelitian tersebut adalah 113 orang Jenis kecelakaan di ketiga lokasi, sebagai berikut: kapal terbalik, sebanyak 31 orang atau sebesar 45,59%, jatuh ke laut 18 orang atau 26,47%, sakit di atas kapal 14 orang atau 20,50% dan 5 orang meninggal/hilang atau 7,35% terjadi saat penanganan alat tangkap. Data kecelakaan armada kapal penangkap ikan tahun 2006–2008 setelah dilukiskan pada matriks F-N menunjukkan bahwa kinerja keselamatan armada kapal penangkap ikan berada pada posisiunacceptable risk.

(5)

armada kapal-kapal Mini longline di PPS Cilacap yang telah memenuhi persyaratan peralatan keselamatan adalah 57,14%.

Peraturan nasional yang mengatur kelaiklautan kapal perikanan dan pengawakan kapal adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 46 Tahun 1996, sedangkan peraturan internasional belum mengikat dan belum diadopsi secara menyeluruh oleh pemerintah.

Kesimpulan hasil penelitian meliputi: 1) sistem pendataan kecelakaan kapal penangkap ikan belum terstruktur secara regional maupun nasional, 2) nakhoda-nakhoda kapal-kapal penangkap ikan 84,3% tamat SD dan tidak tamat SD dengan sertifikat kompetensi kepelautan SKK 60dan SKK 30 mil. 3) FAR 113 orang meninggal /hilang per 100.000 awak kapal per tahun, angka tersebut lebih tinggi dari FAR kapal penangkap ikan dunia 80 orang meninggal /hilang per 100.000 awak kapal, 4) kapal-kapal penangkap ikan yang telah memenuhi persyaratan peralatan keselamatan minimal baru mencapai 29,69%, 5) Peraturan Menteri Perhubungan No. 46 Tahun 1996 memerlukan peninjauan kembali, 6) strategi pengembangan keselamatan harus melibatkan unsur awak kapal, pemilik kapal, syahbandar, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga diklatluh, BMKG, SAR masyarakat dan stakeholders lainnya, 7) pengembangan keselamatan melalui peningkatan keterampilan awak kapal, pelatihan perawatan medis, menyediakan standar kapal dan alat tangkap ikan, menyediakan SOP dan meningkatkan kapasitas aparatur

Saran terhadap pengembangan sistem keselamatan operasi penangkapan, sebagai berikut: 1) perlu mengembangkan program peduli keselamatan bagi seluruh stakeholders, 2) perlu dibangun database kecelakaan kapal perikanan, data kecelakaan kapal dapat diintegrasikan dengan statistik perikanan, 3) para nakhoda dan seluruh awak kapal wajib mengikuti pelatihan Basic Safety Training

khusus untuk awak kapal penangkap ikan, dan pelatihan perawatan medis (medical care), 4) melengkapi peralatan keselamatan sesuai dengan kebutuhan, 5) meninjau kembali peraturan-peraturan mengenai keselamatan kapal sesuai kelasnya, 6) perlunya penelitian lanjutan tentang system dan model pengembangan keselamatan untuk armada kapal kecil dan analisa biaya-manfaat (benefit-cost analisys) pengembangan system keselamatan serta penyusunan standar kapal dibawah 60 GT yang mampu dioperasikan di perairan Selatan Pulau Jawa.

(6)

! " " # #

# $ # %

! " & % '! (

) "

(7)

DI PROVINSI JAWA TENGAH

DJODJO SUWARDJO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PAS

*

ASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

- ./012,34546 2,4/7. 89 1913: ;< -8=><? 8<@8<A1BC=/ =D<E4F G=8=HA< D I< JK.914K=L,F,- ./ 5,5,G4/M

N< ? 8<@8<E15O,P<@F G4/ 5 48HA< D I JD. G8.948,F? . 3489. L./-D- M

- ./012,34546 2,4/7. 8Q1G4: ;< -8=><? 8<? 4/,.BR<A=/,/924 JS 181E. F 4 8T-@K M

(9)
(10)

[ \]^ _`\a \b cde \f^ _ cge ]g hage a dcgig jf fgk l m n g hg_ _ dogfg agb \e^gp q`g _dk^ eoog i^ _ db hg_ ^ ^e^ hdf gk

rdbkg_ ^ f i^_df d_ g^ ages t^_ dbhg_^ rdb ]\i\f ”Pengembangan Kerangka Kerja Keselamatan Operasi Penangkapan Ikan di Provinsi Jawa Tengah” disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di PPP Tegalsari Kota Tegal, di PPN Pekalongan dan di PPS Cilacap.

Disertasi ini menghasilkan suatu konsep pengembangan kerangka kerja keselamatan operasi penangkapan ikan bagi kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan selatan Jawa Tengah yang merupakan laut dalam dan terbuka terhadap Samudera Hindia dan utara Jawa Tengah yang merupakan perairan pantai.

Semoga disertasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan berbagai pihak dalam pengembangan program penurunan tingkat kecelakaan kapal penangkap ikan dan dapat memperkaya keilmuan dalam bidang keselamatan kapal penangkap ikan. Kritik dan saran untuk penyempurnaan disertasi ini sangat diharapkan.

Bogor, 22 September 2011

(11)

vwxyxz{|}~  x€ x~ ‚y|zƒ„~  xyx~€ xz€ |yx… x†

‡ˆ ‰}Š‹ˆ Œ}ˆ }ˆ Ž Š‚z x„ ƒxz ‘ˆ’wˆ ‰}Š‹ ˆ Œ}ˆ }ˆ z… }x Žx“x ‘ˆ’wˆ …xz Œ}ˆ’Š|z”xz ˆ ‰Š|}zŠŠ ‘ˆ•…ˆ |„ x€ ƒ …Š |z y|–~–~ z— “xz— { |„ x‚ | –~  –~z—y|z ƒ„~… x„ x

|z“ƒ ƒz

…~  | }{x~ ~z~ˆ ˜ˆ ‰}Š‹ˆŒ}ˆ}ˆ‘ƒ„“ŠzŠ’ ˆ™x€Š}Š‘ˆ’w‰|z—ƒš~

v š~xz› |}{ ƒ{ƒy œˆ Œ}ˆ}ˆ™ƒ…‚~ˆ € xz…x}‘ˆ’w‰|z—ƒš~vš~ xz›|}{ƒ{ ƒy

ˆ ‰}Š‹ˆŒ}ˆŒxz~|„…žˆ‘Šz~ z{ š x ‰|z—ƒš~

v š~xz›|} –ƒ€ x Ÿˆ Œ}ˆ}ˆŒ|…“ ˆ’ƒ{~z x‘ˆ’ ‰|z—ƒš~vš~ xz› |}– ƒ€ x  ˆ Œ}ˆ¡ x… |„‘ƒ‚ x x…‘|z{ |}~¢|„ xƒ{xz… xz‰| }~ € xz xzžˆ

£ˆ ‰}Š‹ˆ}ˆž x… |z’š x}~|‹¤~ … šxšx‰‚ˆŒ ˆ ¡ž¥¦¢ | yx„x™‰ ’ Œ ‘¢‰§¢¢‰ ˆ ¨ˆ Œ}ˆ¦z…~ zˆ›x }“Š{Š

©ˆ ¢|yx„xŒ~zx¢|„xƒ{xz…xz‰|}~€ xz xz‰}Š ª~ z ~Žx«x›|z —x‚ˆ ‡¬ˆ¢|yx„x‰|„ x–ƒ‚xz‰|}~€ xz xz‰xz{ x~›|—x„ x }~¢Š{ x›|—x„ˆ

‡‡ˆ’“x‚ –xz…x}…~‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz‰xz{ x~›|— x„ x}~¢Š{ x›|— x„ˆ

‡˜ˆ¢|yx„x’x{ € | }‰˜’ Œ¢‰‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz‰xz { x~› |— x„ x}~¢Š{ x›|—x„ ‡œˆ¢|yx„xŒ~zx‰|}{ xz~ xz…xz¢|„xƒ{xz¢Š{ x›|— x„ˆ

‡ˆ¢|yx„x’v‰ ‘¥|— |}~›|—x„ˆ ‡Ÿˆ¢|yx„x™‰‰ ‰›|— x„ˆ

‡ ˆ¢|yx„x‰|„ x–ƒ‚xz‰|}~€ xz xz¥ƒ xz{ x} x‰|€ x„Šz —xzˆ

‡£ˆ’“x‚ –xz…x}…~‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz¥ƒ xz{x}x‰|€ x„Šz— xzˆ

‡¨ˆ¢|yx„x’x{ € | }‰˜’ Œ¢‰‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz¥ƒ  xz{ x}x‰|€x„Šz— xzˆ ‡©ˆ¢|yx„xŒ~zx‰|}{ xz~ xz‰|}~€ xz xz… xz¢|„xƒ{xz¢Š{ x‰|€ x„Šz —xzˆ ˜¬ˆ¢|yx„x…xz{ x‹‰|„ x–ƒ‚xz‰|}~€ xz xz’xƒ… |} x­~ „ xwxyˆ

˜‡ˆ’“x‚ –xz…x}…~‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz’xƒ… |} x­~ „ xwxyˆ ˜˜ˆ

¢|yx„x

’x{ € | }‰˜’ Œ¢‰‰|„ x–ƒ‚ xz‰|}~€ xz xz’x ƒ… |}x­~„xwxyˆ ˜œˆ¥ ’

­ x– xz —

¢Š{x› |—x „ˆ ˜ˆ¥ ’

­ x– xz —

¢Š{ x‰|€x „Šz—xzˆ ˜Ÿˆ¥ ’­ x– xz —¢x–ƒy x{|z­ ~ „ xwxyˆ

(12)

®Ñ°±»É ²ÈËÀ»É²ÈϲÁ ²Åµ ÅÇ ²ºÐÒ½

ÓÔ°ÕÖ¿È Â ²Ã× ·¿Àǵ½ µÅÌÀµ·µÌµº²ÀÖµ²Á½Ï¹Õ Â²È ²È ²ÉË²È ²ÉÌ»À¸µ È̲ Òµ²½ÄÅ ²½ Ä Â²³Â²ÈصÀ ²

(13)

ýî ìî èøî èþ ÿ îðíëîêóíîèþ ÿ éðëÿ éíî ïüçð ñçêéîð øîí çèøî èìî ù éë ì ùçðë ëùë

University of Fisheries Japan, JICA,õúö–õúõ; Training of Trainer on Fishing

and Navigation Simulationô ô õúú! Maritime Safety Management (MSM)

(14)

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

1.3 Identifikasi Masalah... 10

1.4 Pembatasan Masalah... 12

1.5 Tujuan Penelitian ... 14

1.6 Manfaat Penelitian ... 15

1.7 Ruang Lingkup Penelitian... 16

2 TINJAUAN PUSTAKA 19 2.1 Keselamatan Kapal Penangkap Ikan... 19

2.2 Operasi Kapal Penangkap Ikan ... 29

2.3 Sertifikasi Kompetensi Kepelautan... 30

2.4 Pengawakan Kapal ... 32

2.5 Kebijakan Keselamatan Kapal... 32

2.6 Tugas dan Tanggung Jawab Pihak Pemerintah, Pemilik Kapal dan Awak Kapal (Nakhoda dan ABK)... 33

2.7 Kapal Penangkap Ikan... 35

2.8 Pelatihan bagi Awak Kapal berukuran < 12 m ... 37

2.9 Teknologi Peralatan Komunikasi Darurat ... 38

2.10 Lembaga Pendidikan dan Pelatihan ... 38

(15)

2.12 Cuaca dan Kondisi Laut ...39

2.13 Strategi Peningkatan Keselamatan ...40

2.14 Pengembangan Sistem Keselamatan Awak dan Kapal Penangkap Ikan.41 3 METODE PENELITIAN 43 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...43

3.2 Langkah-langkah Penelitian ...44

3.3 Pengumpulan Data...47

3.4 Metode Analisis ...50

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 57 4.1 Tingkat Kecelakaan Fatal Kapal Penangkap Ikan ...57

4.2 Pendataan Kecelakaan Kapal Penangkap Ikan ...79

4.3 Sumberdaya Manusia...85

4.4 Perlengkapan Keselamatan, Desain, Konstruksi dan Stabilitas Kapal Penangkap Ikan...103

4.5 Hukum dan Kelembagaan...122

4.6 Pengembangan Keselamatan Kapal Penangkap Ikan ...152

5 SIMPULAN DAN SARAN 167 5.1 Simpulan...167

5.2 Saran ...168

DAFTAR PUSTAKA 170

(16)

:;<; =;>

1 Daftar peralatan keselamatan kapal kecil bermesin……... 36

2 Armada kapal perikanan Indonesia 2004 – 2007... 36

3 Kondisi cuaca, kecepatan angin dan ketinggian gelombang pada skala?eaufort @@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@ 40 4 Logaritmic Severity Index (SI)... 51

5 Frequency Index (FI)... 51

6 Risk Index (RI)... 52

7 Aspek kajian, kriteria dan alat analisis ... 55

8 Tingkat kecelakaan fatal kapal penangkap ikan yang berbasis di PPP Tegalsari ………... 58

9 Jenis kecelakaan fatal di atas kapal penangkap ikan yang menyebabkan awak kapal meninggal/hilang di PPP Tegalsari……….. 59

10 Tingkat kecelakaan fatal kapal penangkap ikan yang berbasis di PPN Pekalongan………... 62

11 Jenis kecelakaan fatal di atas kapal penangkap ikan yang menyebabkan awak kapal meninggal/hilang di PPN Pekalongan……….. 63

12 Spesifikasi alat tangkaplongline……… 65

13 Spesifikasi kapallonglinedi PPS Cilacap... 66

(17)

15

16

Jenis kecelakaan fatal kapal penangkap ikan yang menyebabkan awak kapal meninggal/hilang pada kapal-kapal berbasis operasi di PPS Cilacap (bobot kapal-kapal rata-rata < 30 GT ) ………... Tingkat kecelakaan fatal kapal penangkap ikan yang

berbasis di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap………

67

70 17 Pendidikan formal nakhoda kapal penangkap ikancantrang,

mini purseseine dan mini longline……….. 87

18 Umur nakhoda kapal cantrang, mini purseseine dan mini

longline……… 88

19 Pengalaman nakhoda kapal cantrang, mini purseseine dan

mini longline……… 89

20 Sertifikat kepelautan bagi nakhoda kapal penangkap ikan

cantrang, mini purseseinedanmini longline……….

91 21 Jumlah orang dalam keluarga yang menjadi tanggungan

awak kapal (nakhoda) kapal cantrang, mini purseseine dan

mini longline……….. 91

22 Kompetensi kerja bagi seseorang yang akan bekerja pada

kapal penangkap ikan berukuran kurang dari 12 m………. 95

23 Mata pelatihan keselamatan operasi penangkapan, IMO MC

1.33………. 98

24 Rekomendasi struktur sertifikasi Awak kapal penangkap

ikan………... 98

25 Kondisi kelaiklautan kapal cantrang, mini purseseine dan

(18)

26 Design Category A kapal dipertimbangkan cocok di laut

dengan tinggi gelombang 4 m B Scale ≤ 8………...

117

27 Armada kapal penangkap ikan di Utara dan Selatan Jawa Tengah tahun 2005 ...

118

28 Pengaturan internasional dan nasional tentang kapal niaga

dan kapal penangkap ikan……….. 150

29 30

Strategi keselamatan penangkapan ikan di beberapa negara. Kerangka kerja pengembangan keselamatan operasi

penangkapan ikan sesuai peran institusi terkait ...

152

(19)

ABCD BE FBGHB E

IJKJ LJn 1 Kerangka pikir peningkatan keselamatan operasi

Penangkapan ikan ... 9 2

3

4

SiklusSafety Management System (SMS)...

Matriks Resiko F-N (Paulsson, 1999) ...

Reason’s model...

21

26

28

5 Diagram alir kerangka penelitian ... 46

6 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis

di PPP Tegalsari pada matriks F-N ……… 60

7 Grafik kecelakaan kapal cantrang yang berbasis di PPP

Tegalsari………... 61

8 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis

operasi di PPN Pekalongan pada matriks F-N………... 63

9 Grafik kecelakaan kapalmini purseseineyang berbasis

di PPN Pekalongan………... 64

10 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di PPS

Cilacap pada matriks F-N……….. 68

11 Grafik kecelakaan kapal mini longline yang berbasis di PPS

Cilacap………. 69

12 Plotting kecelakaan kapal penangkap ikan yang berbasis di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap pada matriks

F-N ………. 71

13 Grafik kecelakaan kapal di Utara Jawa Tengah (PPP Tegalsari, PPN Pekalongan) dan Selatan Jawa Tengah (PPS Cilacap)

(20)

14 Grafik kondisi pendidikan formal nakhoda……….... 87

15 Prosentase kepedulian nakhoda kapal cantrang, mini

purseseine dan mini longline dengan ukuran panjang

keseluruhan 15-27 m……… 92

16 Penguasaan kompetensi kepelautan dan keselamatan nakhoda kapal cantrang, mini purseseine dan mini longline dengan

ukuran panjang15-27m……….. 93

17 Diagram alir pengembangan SDM awak kapal penangkapan

Ikan ……… 99

18 Diagram alir peningkatan kepedulian dan keselamatan……….. 101

19

20

21

Kondisi kelayakan kapal penangkap ikan 10-129 GT yang berbasis operasi di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap……… Kerangka kerja pengembangan keselamatan operasi penangkapan ikan di provinsi Jawa Tengah ... Peran institusi terkait dalam pengembangan keselamatan operasi penangkapan ikan ...

106

160

(21)

MNOP NQ R NSTUQNV

WXY XZX[ 1

2

3 4

5

Peta Lokasi Kecelakaan Kapal Cantrang, Purse seine dan Long Line... Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 46 Tahun 1996 ……… Daftar singkatan nama jurnal berbagai bidang ilmu ………... Gambar jenis-jenis kapal penangkap ikan yang berbasis

di daerah penelitian ………... Alat-alat pelindung keselamatan kerja ………...

174

175 179

(22)

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi perikanan tangkap yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, dengan dukungan jumlah penduduk 225.000.000 jiwa (BPS, 2007) merupakan potensi yang dapat diandalkan dalam membangun ekonomi nasional. Salah satu permasalahan sumberdaya manusia dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

Pelaut kapal penangkap ikan adalah salah satu profesi yang sangat dibutuhkan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya ikan, memiliki karakteristik pekerjaan bersifat “3d” yaitu: membahayakan (dangerous), kotor (dirty) dan sulit

(difficult). Sifat-sifat pekerjaan pelaut kapal penangkap ikan tersebut

mengakibatkan generasi muda di negara maju seperti di Jepang, Korea dan negara maju lainnya kurang tertarik terhadap profesi tersebut. Mereka cenderung memilih bidang teknologi informasi, kedokteran, hukum, ekonomi, bisnis yang lebih populer. Negara-negara maju dibidang penangkapan ikan umumnya mendatangkan tenaga kerja pelaut kapal penangkap ikan dari negara berkembang seperti Indonesia, China, Vietnam dan Philiphina (FAO, 2000).

Memperhatikan karakteristik pekerjaan di atas kapal penangkap ikan, kepedulian terhadap keselamatan baik oleh awak kapal maupun pemilik kapal dan penguasaan kompetensi yang berkaitan dengan keselamatan bagi awak kapal penangkap ikan sangat penting. Di Indonesia terdapat kurang lebih 2,78 juta pelaut perikanan atau nelayan, sebagian besar mereka bekerja pada kapal penangkap ikan berukuran kecil dan hanya sebagian kecil bekerja pada kapal-kapal besar yang umumnya berskala industri (DKP, 2009).

Pelaut perikanan Indonesia yang berjumlah 2,78 juta orang tersebut, umumnya belum memiliki sertifikat kompetensi (Certificate of Competency)

kepelautan perikanan maupun sertifikat keterampilan (Certificate of Proficiensy)

(23)

pada lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan yang telah memenuhi standar nasional dan internasional.

Permasalahan yang dihadapi oleh pelaut kapal ikan berukuran kecil khususnya di negara sedang berkembang termasuk di Indonesia adalah rendahnya pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill), fisik kurang sehat, rendahnya

tingkat keselamatan kerja (safety of work), rendahnya kondisi kerja (condition of

work). Pelaut pada kapal penangkap ikan sebagian besar bukan merangkap

pemilik kapal (ship’s owner) melainkan sebagai pekerja (workers) atau buruh

nelayan, saat ini tanpa memiliki jaminan sosial, asuransi, pendapatan rendah dan dukungan modal kerja kurang serta tidak adanya ikatan perjanjian kerja antara pelaut dan pemilik kapal.

Ditinjau dari sisi rendahnya pendidikan dan keterampilan menyebabkan rendahnya terhadap akses teknologi, informasi dan kurangnya penguasaan kompetensi keselamatan dan kompetensi penangkapan serta kemampuan dalam penanganan hasil tangkap ikan. Hal ini akan bermuara kepada pelaksanaan kerja yang kurang efisien, kurang efektif dan kurang aman.

Kemampuan penguasaan kompetensi bagi pelaut kapal penangkap ikan harus dibuktikan dengan dimilikinya sertifikat kompetensi kepelautan Indonesia yang telah dikenal dibeberapa negara-negara, yakni Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (ANKAPIN) Tingkat I, II dan III (Certificate of Competency for

Deck Officer of Fishing Vessel Level I, II, III) untuk bagian dek dan Sertifikat

Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN) Tingkat I, II dan III untuk bagian mesin (Certificate of Competency for Engine Officer of Fishing Vessel).

Disisi lain, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan dapat mengakibatkan rendahnya kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sehingga sering terjadi kasus-kasus penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab misalnya menggunakan bahan peledak, bahan kimia, listrik atau jenis alat tangkap illegal, yang berakibat kepada rendahnya tingkat

(24)

Peluang kerja pada kapal penangkap ikan di luar negeri masih terbuka untuk para pelaut perikanan Indonesia, namun persaingan semakin tinggi dan perlunya palaut memenuhi persyaratan internasional. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seluruh pelaut kapal penangkap ikan adalah sertifikat Basic Safety

Training (BST), yakni sertifikat yang menunjukkan kemampuan pelaut dalam

kompetensi penyelamatan diri, pencegahan dan pemadaman kebakaran, pertolongan pertama pada kecelakaan, pencegahan polusi dari kegiatan kapal dan hubungan manusia di atas kapal. Sertifikat tersebut harus dimiliki oleh seluruh awak kapal tanpa memperhatikan jabatan apapun di atas kapal. Sedangkan untuk perwira kapal masih diperlukan sertifikat-sertifikat keterampilan lainnya serta menguasai teknologi dan kompetensi tentang: bernavigasi, penangkapan ikan, komunikasi, penanganan hasil tangkap, Bahasa Inggris maritim serta budaya dan bahasa asing sesuai dengan negara tempat bekerja.

Data kecelakaan kapal penangkap ikan yang terjadi di beberapa daerah baik untuk kategori kapal berukuran kecil yang umumnya dioperasikan oleh nelayan tradisional maupun kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar pada perikanan tangkap skala industri yang dikumpulkan dari berbagai sumber menunjukkan peningkatan terutama pada musim laut berombak besar.

Data kecelakaan kapal penangkap ikan di Indonesia, yang dihimpun dari berbagai sumber adalah sebagai berikut:

1) Pada tanggal 12 Februari 2008, kecelakaan kapal sopek nelayan Tambak loro Semarang, nakhoda Prayitno hilang, saat itu cuaca versi BMG kecepatan angin 20-25 knot; kemudian kapal sopek Indramayu hilang di perairan Brebes 7 orang nelayan hilang, ketinggian ombak 2-3 m, perahu ditemukan utuh terapung; dan kapal sopek nelayan Brebes 4 orang hilang.

2) Pada tanggal 14 Februari 2008, terjadi badai Nicolas, 3 orang nelayan NTT hilang;

(25)

Diantara yang tewas kapten yang berkebangsaan Taiwan dan seorang warga Cina;

4) Pada tanggal 16 Agustus 2005, 13 ABK kapal penangkap ikan KM. Mulya Sentosa, asal Juwana, Pati, kecelakaan di perairan Kalimantan Selatan.

5) 6 Desember 2007 gelombang dan angin kencang mengakibatkan hilangnya satu kapal penangkap ikan dengan jumlah korban 20 orang, terjadi di daerah Blanakan Subang pada 05-25-25,8 LS 107-45-20,3 BT, kapal berukuran panjang 20 m;

6) 19 Juli 2008, terjadi kebakaran kapal penangkap ikan KM. Sumber Jaya I yang tengah sandar di Dermaga Kota Ambon, Maluku. Kapal diduga sengaja dibakar orang tak dikenal. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Seluruh awak kapal berhasil menyelamatkan diri; 7) Pada tanggal 13 Juli 2008, Petugas Pelabuhan Benoa Denpasar

berhasil mengevakuasi sebuah kapal pencari tuna milik PT. Sentra Benoa Utama, yang tenggelam di perairan pantai Labuan Sait, Uluwatu. Kapal sepanjang 20 meter dengan nomor lambung BB 4699 ditarik ke pelabuhan Benoa. Kapal ditemukan tenggelam pada Kamis malam, 10 Juli 2008 lalu. Saat ditemukan kapal dalam keadaan kosong, tanpa Anak Buah Kapal (ABK).

8) Sebuah kapal ikan dari Desa Pandangan, Kecamatan Kragan, Rembang Kamis malam mengalami kecelakaan dan tenggelam di sekitar perairan Pulau Bawean atau sekitar 40 mil laut pantai Rembang, 19 ABK selamat.

Dari hasil penelitian diberbagai negara, penyebab kecelakaan kapal baik pada kapal perikanan maupun kapal niaga yang terjadi di negara maju sekalipun adalah kesalahan faktor manusia (human error). Kecelakaan pada kapal

penangkap ikan dikarenakan kurangnya kesadaran dan kurangnya keterampilan awak kapal dalam keselamatan pelayaran dan penangkapan. Faktor lainnya penyebab kecelakaan kapal adalah kondisi kapal, yakni keseimbangan (stability)

(26)

Sampai saat ini pemerintah belum meratifikasi standar kapal penangkap ikan yang sesuai dengan ketentuan internasional konvensi Torremolinos Safety of

Fishing Vessel Protocol 1993, dimana kapal penangkap ikan harus dibangun dan

dioperasikan sesuai dengan kaidah-kaidah standar keselamatan, demikian juga pemerintah belum meratifikasi STCW-F 1995 sebagai standar pelatihan, sertifikasi dan dinas jaga kapal bagi awak kapal penangkap ikan. Pemerintah juga belum mengatur standar pengawakan kapal penangkap ikan menyangkut kualifikasi dan jumlah awak kapal disesuaikan dengan ukuran kapal, daerah pelayaran dan jenis teknologi alat tangkap ikan yang dioperasikan.

Perubahan iklim yang terjadi belakangan ini sering menimbulkan gelombang besar yang tidak terduga, hal ini mengakibatkan kapal-kapal kecil mengalami kesulitan dalam melakukan pelayaran dan penangkapan ikan bahkan mengakibatkan kecelakaan yang fatal. Pendataan kecelakaan, safety assessment

kapal-kapal penangkap ikan dengan berbagai jenis alat tangkap belum dilaksanakan, demikian pula penyuluhan dan pembinaan, pendidikan dan pelatihan keselamatan awak kapal masih perlu ditingkatkan terutama untuk awak kapal yang bekerja pada kapal penangkap ikan berukuran kecil. Saat ini sulit untuk mengetahui posisi tingkat kecelakaan fatal (Fatality Rate) pada industri

perikanan tangkap. Lemahnya pendataan kecelakaan kapal sulit bagi penentu kebijakan untuk menentukan strategi dan kebijakan pengembangan keselamatan awak dan kapal penangkap ikan. Pihak asuransi sebagai penjamin sosial bagi awak kapal belum berpihak kepada awak kapal terutama pada awak kapal pada usaha skala kecil.

Keselamatan operasi penangkapan ikan sangat penting untuk mendapat perhatian, mengingat:

1) Jiwa manusia sangat bernilai tinggi;

2) Awak kapal sebagai sumber pencari nafkah keluarganya apabila menjadi korban akan menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi keluarga yang menjadi tanggungannya;

(27)

jumlah kapal;

4) Asuransi sebagai jaminan sosial awak kapal maupun jaminan usaha penangkapan belum membudaya pada industri perikanan tangkap sehingga menjaga keselamatan operasi penangkapan menjadi sangat penting karena tidak adanya jaminan bagi awak kapal maupun usaha penangkapan;

5) Peningkatan keselamatan kerja akan meningkatkan kesejahteraan awak kapal;

6) Pencemaran lingkungan laut akibat kecelakaan kapal dapat merusak sumberdaya hayati tidak akan terjadi;

7) Biaya yang dikeluarkan untuk pencarian dan pertolongan (SAR) korban kecelakaan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pencegahan kecelakaan;

8) Semakin tinggi tingkat keselamatan operasi penangkapan menunjukkan tingginya kualitas awak kapal, pemilik kapal dan pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait didalam sistem keselamatan operasi penangkapan;

9) Pelaut kapal penangkap ikan yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan keselamatan dasar (Basic Safety Training) berstandar IMO

memiliki peluang untuk mengisi peluang kerja pada kapal-kapal penangkap ikan di negara lain.

Memperhatikan berbagai kondisi, permasalahan dan pentingnya keselamatan operasi penangkapan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Pengembangan Kerangka Kerja Keselamatan Operasi Penangkapan Ikan di Provinsi Jawa Tengah” dengan studi kasus kapal-kapal penangkap ikan yang berbasis operasi penangkapan di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

nop qrrstuvswx v xrwrnrlxtx st

(28)

kegiatan bernavigasi keluar masuk pelabuhan, bernavigasi menuju dan kembali dari fishing ground, olah gerak kapal saat operasi penangkapan, olah gerak kapal

pada perairan bergelombang, transfer hasil tangkapan atau perbekalan di tengah laut, bongkar muat hasil tangkapan dan penanganan hasil tangkap. Kecelakaan juga dapat terjadi di atas dek, di ruang mesin atau di palkah ikan, tercebur ke laut (man over board) pada saat bernavigasi menuju daerah penangkapan atau

kembali menuju pelabuhan asal, terkait pancing saat operasi penangkapan dengan

longline atau terbelit jaring operasi penangkapan dengan purse seine, cantrang

atau jaring lainnya atau bahkan terjatuh ke laut akibat dari berbagai sebab pada saat operasi penangkapan serta digigit ular laut berbisa saat melakukan sortir hasil tangkapan.

Tingkat risiko pada operasi penangkapan ikan mulai dari luka ringan hingga kematian bersamaan dengan hilangnya harta berupa kapal, alat tangkap ikan dan hasil tangkapan ikan. Kondisi saat ini menunjukkan memungkinkan sering terjadinya kecelakaan kapal penangkap ikan yang dapat menimbulkan risiko kematian awak kapal, kerusakan dan hilangnya kapal serta hasil tangkapan, terancamnya lingkungan akibat tumpahan sisa bahan bakar dan hilangnya alat tangkap yang dapat menyebabkan ghost fishing . Data kecelakaan kapal

penangkap ikan hingga saat ini belum tersedia dengan baik di Indonesia.

Kecelakaan kapal penangkap ikan dapat mengakibatkan kebangkrutan usaha perikanan tangkap karena hilangnya aset seperti kapal penangkap ikan dan awak kapal, sementara itu umumnya asuransi belum terbiasa dilakukan terhadap kapal, peralatan kapal maupun awak kapal. Selain itu, secara tidak langsung tingginya tingkat kecelakaan akan mengakibatkan meningkatkan masalah sosial di lingkungan keluarga nelayan karena umumnya awak kapal merupakan pencari nafkah utama bagi keluarganya.

(29)

Permasalahan lain adalah belum diterapkannya pengaturan tentang kepelautan kapal perikanan, belum tersedianya standar kapal penangkap ikan, standar operasi, standar pengawakan kapal dan standar keterampilan awak kapal. Identifikasi permasalahan berkenaan dengan tingkat keselamatan operasi penangkapan yang terjadi di lapangan dilakukan melalui studi kasus pada industri perikanan tangkap di lokasi penelitian. Identifikasi meliputi aspek sumberdaya manusia, teknis, aspek hukum dan kelembagaan.

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam sistem keselamatan kapal penangkap ikan selain awak kapal, yakni para pemilik kapal/operator armada kapal, syahbandar, HNSI, pengawas/penyuluh perikanan, lembaga pendidikan dan pelatihan perikanan, pemimpin lokal, petugas Dinas Kelautan dan Perikanan dan lembaga swadaya masyarakat perlu diidentifikasi kebutuhannya. Identifikasi permasalahan dan kebutuhan pihak-pihak pemangku kepentingan merupakan langkah awal penelitian sesuai dengan metoda yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan sistem.

(30)
(31)

yz{ |} ~nt € ‚ƒ„‚ƒ ‚… ‚†

1.3.1 Aspek sumberdaya manusia awak kapal penangkap ikan

Tingkat kecelakaan kapal penangkap ikan sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (inner factor) yakni faktor manusia dalam hal ini awak kapal, pemilik kapal

dan kapal penangkap ikan. Oleh karena itu, perlu diketahui sejauh mana tingkat kesadaran terhadap pentingnya keselamatan (safety awareness) awak kapal

perikanan dan pemilik kapal. Keselamatan kapal juga tergantung kesadaran pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya yang berperan dalam menurunkan

angka kecelakaan kapal yakni lembaga pemerintah dalam hal ini Syahbandar Perikanan dan/atau Syahbandar Pelabuhan Umum, Penyuluh Perikanan atau Pengawas Perikanan Tangkap, Badan SAR, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)/Asosiasi Pelaut Perikanan Indonesia (APPI), Tokoh masyarakat perikanan dan lembaga pendidikan dan pelatihan kelautan dan perikanan serta Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sebagai lembaga yang mengeluarkan ramalan cuaca.

Pihak nakhoda dan anak buah kapal serta pemilik kapal merupakan pihak-pihak yang paling bertanggungjawab dalam keselamatan kapal penangkap ikan. Awak kapal pada kapal-kapal berukuran kecil diawaki oleh awak kapal yang memiliki tingkat pendidikan formal relatif rendah dan tidak memiliki sertifikat kompetensi pelaut perikanan. Umumnya pelaut pada kapal penangkap ikan berukuran kecil merupakan “pelaut turunan”, mereka tahan bekerja di laut dengan keterampilan diperoleh dari pengalaman selama mengikuti penangkapan. Perlu diketahui permasalahan awak kapal misalnya latar belakang pendidikan formal, sertifikat kepelautan kapal penangkap ikan yang dimiliki, pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Perlunya diketahui kebutuhan pihak awak kapal berkenaan dengan pelaksanaan pencegahan keselamatan jiwa, harta dan lingkungan.

1.3.2 Aspek teknis

(32)

≥ 24 m secara internasional telah diatur misalnya menyangkut persyaratan nakhoda, kepala kamar mesin, perwira radio dan awak kapal lainnya, sertifikasi awak kapal maupun kapalnya.

Penggunaan teknologi pada kapal penangkapan ikan berukuran kecil sangat minim sehingga pengoperasian alat tangkap seperti pelepasan alat tangkap (setting) dan penarikan alat tangkap (hauling) menggunakan tenaga manusia.

Dengan demikian, pada kapal penangkap ikan kecil memerlukan awak kapal relatif banyak sehingga apabila terjadi kecelakaan dapat mengakibatkan korban jiwa lebih banyak.

Kapal-kapal penangkap ikan berukuran ≥ 24 m (setara LOA 27 m) harus dilengkapi dengan alat-alat keselamatan seperti rakit penolong (life raft),

pelampung penolong (life buoy),rompi penolong (life jacket), signal parasut

(parachute signal),obor (hand flare),sinyal asap jingga (smoke signal) serta radio

komunikasi darurat Global Maritime Distress Safety System (GMDSS).

Sedangkan dilapangan pada kapal-kapal perikanan Indonesia secara teknis belum mendapat perhatian dari para awak kapal, pemilik kapal dan pihak pemerintah (Syahbandar) karena belum diatur dengan jelas. Kapal-kapal berukuran kecil atau < 24 m secara umum belum dilengkapi dengan alat-alat keselamatan dan belum adanya pengaturan khusus keselamatan kapal penangkapan ikan tersebut.

Penggunaan teknologi GMDSS pada kapal-kapal niaga maupun perikanan sangat membantu dalam pencarian dan pertolongan terhadap kapal-kapal yang mengalami kecelakaan. Sejauh mana peluang penerapan teknologi ini pada kapal-kapal perikanan. Sementara Vessel Monitoring System (VMS) yang telah

diwajibkan pada kapal-kapal berukuran tertentu apabila alat tersebut berbasis digital dapat berfungsi sebagai alat monitor untuk pencarian kapal yang mengalami kecelakaan.

(33)

1.3.3 Aspek hukum dan kelembagaan

Sertifikat Kesempurnaan Kapal merupakan sertifikat laiklaut bagi kapal-kapal untuk dapat berlayar dengan aman. Sebelum berlayar kapal-kapal harus memiliki Surat Ijin Berlayar (SIB), SIB menunjukkan bahwa kapal layak laut dan telah diawaki oleh orang yang kompeten. Apabila sertifikat kesempurnaan dan SIB telah diterbitkan untuk sebuah kapal maka peralatan keselamatan maupun hal-hal lain seperti instalasi perpipaan pemadam kebakaran dan pompa-pompa darurat kapal telah diperiksa dan dapat dioperasikan dalam keadaan darurat sesuai standar yang ditetapkan. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Standar Internasional STCW-F 1995 tentang pengetahuan dan keterampilan minimum yang harus dimiliki awak kapal, standar kapal penangkap ikan, standar alat keselamatan berdasarkan Torremolinos Safety of Fishing

Vessel, IMO atau standar ketenagakerjaan pada perikanan tangkap Konvensi

nomor 188Work in Fishing Sectordari ILO.

Permasalahan kelembagaan pemerintah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap keselamatan pada tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota serta lembaga non pemerintah yang peduli keselamatan awak kapal perikanan belum melaksanakan sesuai peran dan fungsinya. Pada tingkat Internasional masalah kerjasama perikanan dengan negara-negara Asia Pasifik menjadi penting dalam pengembangan ketenagakerjaan kapal penangkap ikan.

Aspek lingkungan dalam sistem keselamatan kapal mencakup keadaan cuaca dan kondisi gelombang laut, rezim manajemen perikanan yang diterapkan dan asuransi. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang laut diukur berdasarkan skala Beauport, skala 1-8 atau lebih dengan ketinggian gelombang dari 0-8 m

atau lebih. Rezim perikanan open akses, sistem quota atau lainnya dapat mempengaruhi keselamatan kapal penangkap ikan. Aspek Finansial merupakan hal yang perlu diidentifikasi meliputi aspek biaya dan manfaat dari upaya-upaya penurunan risiko danprobabilitykecelakaan awak dan kapal penangkap ikan.

‡ˆ‰ Š‹mŒ tŽ  Ž‘ ’

(34)

kapal, 2) Pemilik kapal, 3) Syahbandar, 4) Lembaga pendidikan dan pelatihan, 5) Penyuluh/pengawas perikanan, 6) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)/Asosiasi Pelaut Perikanan (APPI), 7) Dinas Perikanan dan Kelautan, 8) Badan SAR, 9) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 10) Lembaga Swadaya Masyarakat, 11) Pemuka Masyarakat (Local leader) seperti Panglima Laot di

Propinsi NAD.

Nakhoda sebagai pemegang komando di atas kapal dibantu para perwira bagian dek dan mesin serta kelasi memiliki peran sangat penting dalam keselamatan secara langsung di atas kapal penangkap ikan. Nakhoda dan anak buah kapal harus memiliki awareness yang tinggi tentang keselamatan. Nakhoda

dan anak buah kapal harus memiliki keterampilan dalam hal keselamatan baik selama dalam pelayaran maupun penangkapan ikan. Mereka harus menyadari bahwa dalam pekerjaan yang diembannya memiliki risiko kecelakaan yang fatal apabila tidak mengutamakan keselamatan. Kecelakaan dapat terjadi saat bernavigasi, mengoperasikan alat tangkap, olah gerak pada cuaca buruk, penanganan hasil, pengoperasian alat-alat yang bergerak, pengoperasian mesin pendingin atau kegiatan lainnya di atas kapal.

Pemilik kapal bertanggungjawab atas keselamatan kapal dimana pemilik kapal mempunyai kewajiban melengkapi peralatan keselamatan kapal sesuai persyaratan dan dan peralatan lainnya seperti peralatan navigasi, permesinan dan

spare part-nya. Pemilik kapal harus melengkapi petunjuk pengoperasian dan

penanganan kapal serta hasil tangkapan sesuai dengan standar keselamatan pelayaran dan penangkapan. Pemilik kapal harus menyadari bahwa risiko yang dihadapi awak kapal dan kapal adalah tinggi. Pemilik kapal berkewajiban mengasuransikan awak kapal dan kapal. Jadi, peran pemilik kapal penting dalam peningkatan keselamatan awak kapal dan kapal penangkap ikan.

(35)

Pihak lain yang terkait dan berperan penting dalam mendukung terciptanya kondisi kerja yang aman dan sehat (decent work) pada kapal penangkap ikan

adalah lembaga pendidikan dan pelatihan baik lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non formal di bidang perikanan. Lembaga pendidikan dan pelatihan harus memiliki kepedulian tentang pentingnya nelayan atau awak kapal memiliki kompetensi keselamatan, navigasi dan penangkapan sesuai dengan standard minimal yang harus dipenuhi. Lembaga pendidikan dan pelatihan harus mengikuti perkembangan teknologi keselamatan, navigasi dan penangkapan ikan serta mengikuti perkembangan peraturan nasional dan internasional.

Penyuluh perikanan khususnya perikanan tangkap sejauh ini belum berperan dalam peningkatan keselamatan penangkapan. Penyuluh harus memiliki pengetahuan bila perlu keterampilan tentang standar keselamatan awak kapal dan kapal perikanan. Secara teknis akan diidentifikasi kelengkapan peralatan keselamatan kapal meliputi keberadaan, penempatan, sertifikat dan kesiapan peralatan untuk dioperasikan pada kondisi darurat. Identifikasi teknis dalam penelitian ini tidak mencakup desain kontruksi serta stabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan.

Armada kapal penangkap ikan berskala usaha kecil dengan mengoperasikan kapal berukuran panjang kurang dari 24 m banyak dioperasikan di Laut Jawa dan sekitarnya dengan karakteristik perairan pantai, diantaranya berbasis Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegal dan PPP Pati. Sedangkan untuk pantai Selatan Jawa dengan basis pelabuhan seperti di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap dan PPP Pelabuhan Ratu, merupakan perairan terbuka dengan samudera Hindia, memiliki karakteristik laut dalam dan bergelombang besar.

“”• –u—u˜™ š›n›lœtœ˜™

Tujuan umum penelitian ini adalah menyusun ”pengembangan kerangka kerja keselamatan operasi penangkapan ikan di provinsi Jawa Tengah”. Sedangkan tujuan khusus penelitian mencakup:

1) Mengidentifikasi sistem pendataan kecelakaan kapal dan safety/risk

(36)

2) Mengidentifikasi kualitas awak kapal, seperti: awareness, tingkat

pendidikan, pengetahuan, keterampilan awak kapal penangkap ikan berkaitan dengan keselamatan penangkapan, sertifikat kepelautan yang dimiliki awak kapal serta pembinaannya.

3) Mengidentifikasi kelengkapan alat-alat keselamatan dan alat komunikasi darurat pada kapal penangkap ikan serta petunjuk-petunjuk, panduan atau dokumen yang berkaitan dengan peralatan keselamatan.

4) Mengidentifikasi peraturan-peraturan dan kelembagaan pada tingkat daerah, nasional dan internasional yang relevan dengan keselamatan operasi penangkapan.

5) Menyusun alternatif strategi kebijakan pengembangan manajemen keselamatan (safety management) penangkapan ikan.

6) Menyusun strategi pengembangan diklat bagi nakhoda (management

level), perwira (operational level) dan kelasi (supporting level) untuk

kapal-kapal penangkap ikan berukuran panjang keseluruhan kurang dari 24 m.

žŸ  ¡¢ £ ¡¡¤¥¦n¦l§t§¡n

Informasi dan gambaran yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembuat kebijakan sebagai :

1) Rujukan bagi lembaga pemerintah dalam pengembangan sistem keselamatan kapal dalam industri perikanan tangkap.

2) Rujukan bagi nakhoda dan perwira kapal penangkap ikan dalam melaksanakan manajemen keselamatan.

3) Rujukan bagi pihak yang melaksanakan pendataan kecelakaan kapal perikanan.

4) Rujukan bagi lembaga pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kemampuan SDM pelaut kapal perikanan berkaitan dengan keselamatan operasi penangkapan.

(37)

¨©ª «u¬­ ®¯°n®±up²³n³l°t°¬­

Menurut FAO/IMO/ILO bahwa kapal penangkap ikan dikelompokkan berdasarkan ukuran panjang kapal pada garis air (length of water line), yakni

kapal berukuran panjang < 12 m (setara panjang keseluruhan, LOA < 15 m), 12– 24 m (LOA ≥ 15 - < 27 m) dan kapal berukuran ≥ 24 m (LOA 27 m). Apabila ditinjau dari besarnya tenaga penggerak utama maka dikelompokkan kapal-kapal bertenaga < 750 kW dan ≥ 750 kW. Ditinjau dari daerah pelayaran digolongkan sebagai berikut, yakni daerah perairan terbatas (limited waters) dan perairan tidak

terbatas (unlimited water). Perairan tidak terbatas sering diartikan perairan laut

dalam (deep sea waters).

Ukuran panjang kapal dalam peraturan internasional untuk kapal penangkap ikan menggunakan meter sedangkan satuan ukuran panjang kapal penangkap ikan di dalam negeri menggunakan GT. Menurut konvensi Work in Fishing

Convention 188 dan Recommendation 199 dalam Annex 3, konversi ukuran

panjang kapal sebagai berikut: L- <15 m (LOA 16,5 m) setara 75 GT; L 24 m (LOA 26,5 m) setara 300 GT; L 45 m (LOA 50 m) setara 950 GT. Konversi tersebut sesuai dengan kapal-kapal penangkap ikan yang berbadan lebar dan umumnya kapal-kapal penangkap ikan di Eropa. Sedangkan konversi tersebut tidak sesuai untuk kapal-kapal ramping yang umumnya dibuat negara-negara Asia, sehingga konversi untuk kapal-kapal Asia termasuk Indonesia sebagai berikut: L- <15 m (LOA 16,5 m) setara 55 GT; L 24 m (LOA 26,5 m) setara 175 GT; L 45 m (LOA 50 m) setara 700 GT. Konversi kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia belum ditetapkan dalam peraturan perundangan.

Pada penelitian ini difokuskan untuk kapal-kapal yang memiliki ukuran panjang < 24 m. Alasan pemilihan obyek penelitian, sebagai berikut:

1) Kecelakaan pada kapal kecil menunjukkan peningkatan.

2) Pantai selatan Jawa merupakan laut terbuka dan laut dalam dengan kondisi kecepatan angin sangat bervariasi dengan skala Beaufort 6-8,

dengan ketinggian gelombang laut anatara 2–4 m, sedangkan di perairan utara Jawa merupakan perairan pantai dengan skala Beaufort

(38)

pada bulan berombak besar banyak kecelakaan kapal penangkap ikan berukuran kecil di perairan ini.

3) Kapal-kapal berukuran panjang keseluruhan < 15 m umumnya terdiri dari kapal layar tanpa motor, motor tempel atau inboard engine

dengan jumlah awak kapal 3-4 orang per kapal. Ketahanan kapal-kapal penangkap ikan berukuran kecil memiliki probabilitas tinggi untuk kecelakaan terhadap tingginya gelombang laut. Umumnya kapal-kapal kecil berangkat dan pulang dalam satu hari (one day trip).

4) Kapal ukuran kecil mendominasi armada kapal perikanan di Indonesia mencapai 99,72%. Sekalipun kapal berukuran kecil, namun kenyataan di lapangan pada musim tertentu berlayar bisa mencapai di atas 60 mil bahkan mencapai ZEEI sehingga diperkirakan memiliki risiko kecelakaan tinggi.

5) Kapal-kapal berukuran panjang keseluruhan (LOA) ≥ 15 - < 27 m umumnya menggunakan teknologi sederhana sehingga banyak menyerap tenaga kerja awak kapal walaupun ukuran kapal relatif kecil. Jumlah awak kapal pada kapal mini purse seine bisa mencapai

42 orang. Peluang kecelakaan awak kapal yang menjadi korban apabila terjadi kecelakaan menjadi besar. Periode berlayar per trip operasi penangkapan mencapai dua bulan.

6) Kemampuan ekonomi untuk membeli peralatan keselamatan pada kapal penangkap ikan rendah.

7) Pada tingkat Internasional IMO/ILO/FAO telah mengatur standar keselamatan kapal yang berukuran ≥ 24 m, sedangkan untuk pengaturan kapal-kapal berukuran < 24 m diberikan sepenuhnya kepada pemerintah. Sejauh ini belum adanya peraturan khusus tentang keselamatan kapal-kapal kecil tersebut.

(39)
(40)

´¾¿ ½ÀsÀlÁ ÁÂÁÃm ½ÁÄÁÅ»ÀnÁÃÆÇ ÁĶ Ç Áà 2.1.1 Definisi

Menurut Pizzo dan Jaeger, 1974dalam Blueprint National Program (1991)

menyebutkan bahwa nelayan di seluruh dunia sangat rentan terhadap resiko alam seperti yang dihadapi para pelaut niaga yakni laut yang ganas, angin kencang dan jarak pandang yang terbatas dan para nelayan mengoperasikan kapalnya didaerah yang membahayakan, menangani peralatan dek yang bergerak dengan kondisi kapal dalam keadaan miring dan pada kondisi laut bergelombang.

Lama per trip pelayaran kapal penangkap ikan bervariasi yakni periode berlayar satu hari (one day fishing) sampai dengan tiga atau empat bulan di tengah

laut tanpa mendarat sehingga dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya masalah hubungan antar awak kapal maupun kondisi alam. Pada kondisi seperti itu maka keselamatan, kesehatan dan kondisi kerja bagi awak kapal menjadi hal sangat penting pada kapal penangkap ikan terutama kapal-kapal yang berlayar di samudera dan di atas periode layar tiga hari.

Menurut Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan (2005) keselamatan dan kesehatan kerja adalah perlindungan terhadap pekerja yang berada di tempat kerja dari bahaya-bahaya kecelakaan yang bersumber pada pekerjaan yang berbahaya dan perbuatan yang berbahaya. Pada glosarium tersebut keselamatan juga diartikan sebagai perlindungan pekerja terhadap sumber-sumber bahaya dan cara kerja yang dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja. Keselamatan berkaitan erat dengan kecelakaan, risiko kecelakaan, tingkat kecelakaan, yang menurut Anonymous (2008) dan Paulsson (1999), sebagai berikut:

1) Keselamatan (Safety) adalah kondisi kerja yang aman dan selamat

dan terbebas dari bahaya, risiko atau terluka;

2) Kecelakaan (Accident): An unintended event involving fatality, injury,

ship loss or damage, other property loss or damage or environmental

damage;

3) Peristiwa, kecelakaan ringan (Incident):Refers to something that takes

(41)

also refer to a distinct event of sharp identity and significance;

4) Risiko (Risk)is defined as the product of the frequency with which an

event is anticipated to occur and the consequence of the event

outcome. Risk is composed of two elements, frequency and

consequence;

Risk = FrequencyxConsequence

5) Kekerapan (Frequency): The frequency of the potential undesirable

event is expressed as events per unit time, usually per year;

6) Konsekuensi (Consequence): It can be expressed as a number of

people affected (injured or killed), property damaged, amount of spill,

area affected, outage time, mission delay, dollars lost, etc. Regardless

of the measure chosen, the consequences are expressed “per event”.

Thus the above equation has the units “events/year” times

“consequences/event”, which equal “consequences/year”, the most

typical quantitative risk measure;

7) Penilaian Risiko (Risk Assessment): Intended to be a careful

examination of what, in the nature of operations, could cause harm, so

that decisions can be made as to whether enough precautions have

been taken or whether more should be done to prevent harm. The aim

is to minimize accidents and ill health on boardship;

8) Pengendalian Risiko (Risk Control): A means of controlling as a

single element of risk;

9) Bahaya kecelakaan (Hazard): A potential to threaten human life,

health, property or the environment.

2.1.2 Konsep keselamatan kapal penangkap ikan

Mengelola keselamatan kapal menurut Chengi KuodalamDanielson (2004)

yaitu menguraikan konsep keselamatan dan sistem manajemen keselamatan untuk menangani risiko-risiko kecelakaan. Safety Management System (SMS)

(42)

diterapkan dengan cara yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Siklus Safety

Management System(SMS) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 SiklusSafety Management System(SMS).

2.1.3 Jenis-jenis keselamatan kapal penangkap ikan

Menurut IMO/ILO/FAO (2006), area keselamatan kapal penangkap ikan meliputi:

1) Keselamatan kapal (safety of vessel) yang meliputi permukaan bebas

(freeing port), bagian kapal yang dapat dibuka/ditutup seperti tutup

palkah, pintu atau jendela kedap air, jangkar dan perlengkapannya, stabilitas kapal;

2) Keselamatan di kamar mesin dan peralatan permesinan (Safety in

machinary space and mechanic equipment) yang meliputi mesin

utama dan mesin bantu,winch danhoist, sistem refrigerasi dan sistem

udara tekan;

3) Pencegahan dan pemadaman kebakaran (Fire precautions and fire

fighting), pada area ini meliputi pelarangan merokok pada ruang atau

area yang membahayakan seperti dekat tangki bahan bakar dan pelumas, gudang cat, ruang refrigrasi, dekat boiler pengolahan hati ikan dan dekat gudang baterai listrik;

4) Keselamatan pada operasi penangkapan ikan (safety in fishing

operation and fish handling) yang meliputi keselamatan pada waktu

Measure

Implement

Organise Policy

Review

Hazard Identification

Risk assessment

Risk reduction

Emergency preparedness Safety

(43)

mengoperasikan alat tangkap trawl, purse seine, longline, pole dan

linedan pada saat penanganan ikan dan es;

5) Keselamatan pada area terbuka (safety in exposed areas) yakni

keselamatan seperti di dek, lorong, pencahayaan, pencegahaan awak kapal jatuh kelaut dan tali-temali;

6) Pencegahan khusus (special safety precautions), perlindungan mata,

perlengkapan dan baju pelindung, pengecatan, pekerjaan membahayakan,boileruntuk pengolahan ikan dan hati ikan;

7) Peralatan keselamatan dan peralatan darurat (Life-saving appliances

and emergencies) meliputi sekoci penolong, rakit penolong, jaket

penolong, alat penolong orang jatuh ke laut dan prosedur dalam keadaan darurat (emergency procedure and musters);

8) Keselamatan pada saat meninggalkan kapal (abandoning vessel),

bertahan hidup dan pertolongan/evakuasi (survival and rescue)

meliputi tindakan meninggalkan kapal, bertahan pada saat terapung di air, tindakan dalam menghindari serangan hiu dan ikan buas lainnya, pendaratan dan bertahan hidup di daratan dan bertahan hidup di wilayah kutub;

9) Keselamatan dalam bernavigasi dan Radio Komunikasi (Safety of

navigation and radiocommunications) yang meliputi peralatan

navigasi dan alat bantu navigasi, mengemudi dan dinas jaga, Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut 1972, sinyal khusus pada saat operasi penangkapan, informasi cuaca dan daerah berbahaya, sinyal darurat (distress signal), pesan darurat (distress message) dan pelaporan

posisi kapal;

10) Shipboard facilities for crew members;

11) Kesehatan dan perawatan medis (health and medical care), meliputi

(44)

2.1.4 Penyebab kecelakaan pada kapal penangkap ikan

Keselamatan kapal penangkap ikan merupakan interaksi faktor-faktor yang kompleks yakni human factor (nakhoda, anak buah kapal dan pemilik kapal),

machines (kapal dan peralatan keselamatan) dan enviromental (cuaca dan skim

pengelolaan sumberdaya perikanan). Permasalahan keselamatan akan timbul apabila minimum satu elemen dari human factor, machines atau enviromental

factor tersebut tidak berfungsi. Kelelahan, kurang berpengalaman, tidak

berpengalaman dan tanpa memakai alat keselamatan merupakan elemen faktor sumberdaya manusia. Kondisi kapal tua dan tidak memadainya perlengkapan mesin untuk kegiatan penangkapan merupakan elemen machine. Sedangkan

faktor lingkungan terdiri dari komponen cuaca buruk, tempat kerja licin dan tidak stabil (Lincolnet al.,2002).

Kendrick (2007) menyatakan bahwa umumnya kecelakaan di kapal ikan disebabkan karena kesalahan operator, termasuk factor-faktor seperti kelebihan muatan (overloading), kurangnya perawatan yang dapat menganggu

keseimbangan kapal dan modifikasi kapal yang mengurangi stabilitas kapal. Menurut Lucas dan Lincoln (2007), banyak kesalahan fatal di kapal mungkin dapat dicegah dengan memahami keterlibatan dan intervensi faktor-faktor resiko khusus. Intervensi meliputi penciptaan ruang kerja yang lebih dekat, pengelolaan jalur, menghindari menangkap ikan secara sendirian (sebaiknya berkelompok), memakai pelampung, menggunakan alarm dan mengurangi minuman alkohol.

Menurut Blue Print of National Program (1991) penyebab terjadinya

kecelakaan disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri kemampuan awak kapal, kapal penangkap ikan (desain, stabilitas kapal dan kelengkapan peralatan keselamatan. Sedangkan faktor eksternal yaitu praktik manajemen perikanan (fisheries management practices), asuransi (insurance),dan

kondisi lingkungan (environmental conditions). Walaupun praktek manajemen

(45)

Menurut NRC (1981) menunjukkan bahwa kategori penyebab kecelakaan laut dari sisi sumberdaya manusia akibat dari:

1) Kelelahan dan stress;

2) Prosedur yang tidak tepat atau kurang memadai termasuk tidak amannya saat bongkar muat, tidak tepat penghitungan stabilitas kapal dan tidak disiplin dalam melaksanakan tugas jaga;

3) Kurangnya perawatan peralatan;

4) Kurangnya perhatian (inattention)/acuh tak acuh;

5) Ketidaktepatan desainhuman engineering;

6) Tidak memadainya kondisi fisik;

7) Menjadikan seseorang tidak mampu melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (incapacitation) akibat obat-obat terlarang dan

minuman keras/alcohol;

8) Tidak memiliki pengalaman (inexperience) termasuk tidak

memadainya pengetahuan dan keterampilan, tidak familiar dengan kapal dan aktivitas penangkapan;

9) Kesalahan dalam pengambilan keputusan; 10) Kesalahan bernavigasi dan operasi; 11) Pengabaian (neglect);

12) Hubungan personil kurang baik; 13) Kondisi kerja baru.

Suatu studi menyimpulkan bahwa human error merupakan faktor terbesar

penyebab kecelakaan pada industri perikanan tangkap dan diketahui tidak cukup data untuk analisis kecelakaan, kurangnya kohesifnessdan keberlanjutan industri,

pemahaman sebab akibat yang berkaitan dengan kecelakaan masih rendah, tidak cukupnya anggaran dan personil untuk menerapkan program penurunan angka kecelakaan yang efektif dan adanya kebutuhan yang kuat untuk merubah keselamatan dengan sikap dan perilaku nelayan.

(46)

(offshore fishing) tetapi data SAR Amerika Serikat menunjukkan sebaliknya.

personnel error” merupakan faktor utama penyebab kecelakaan kapal penangkap

ikan dan tampaknya tidak signifikan kecelakaan kapal penangkap ikan yang beroperasi pada perairan pantai dan perairan pedalaman dibandingkan dengan kecelakaan kapal yang beroperasi di perairan laut dalam atau lepas pantai.

Bernavigasi pada perairan dangkal, alur sempit dan muara sungai memerlukan pengetahuan tentang angin dan arus menjadi sangat penting, termasuk keterampilan/keahlian bernavigasi dan olah gerak kapal (boat handling).

Dalam kondisi ekonomi yang tertekan dan penerapan rezime manajemen perikanan dapat meningkatkan tekanan bagi awak kapal sehingga dapat meningkatkan kecelakaan kapal (BPNP, 1991). Menurut ASMAIN menunjukkan bahwa faktor perilaku manusia sebagai penyebab kecelakaan dalam industri perikanan tangkap, sehingga sangat beralasan dari sisi sumberdaya manusia menjadi target pengembangan.

2.1.5 Risk assessment

IMO telah mengembangkan suatu metode risk assessment dikenal dengan

Formal Safety Assessment(FSA). Proses FSA melalui tahapan:

1) Hazard identification.

2) Risk assessment.

3) Risk reduction.

4) Emergency preparedness.

5) Cost benefit assessment dan

6) Recommendation for decision making.

Tujuan utamarisk assessment adalah:

1) Meningkatkan kepedulian dan pemahaman adanya bahaya-bahaya yang terdapat dalam pengoperasian kapal oleh perancang kapal, operator, awak kapal dan orang-orang yang terlibat dalam keselamatan penangkapan ikan.

2) Menganalisa dan memverifikasi bahwa keselamatan berada pada tingkat yang diterima (acceptable) atau tidak diterima (unacceptable)

(47)

3) Menemukan pendekatan struktur untuk analisis secara sistimatis dari sistem teknik yang kompleks dari elemen-elemen:operation, control,

technique,danenvironment.

High ÈÉÊquÊnËy

Unacceptable Risk OPRC

Mitigating LL SOLAS COLREX

Acceptable MARPOL

Risks 73/78

Preventive Low

Minor Major Catastrophic

Gambar 3 Matriks Risiko F-N (Paulsson,1999).

Risk harus diturunkan dari Unacceptable Risk ke area Acceptable Risk

melalui upayapreventif dan mitigasi. Preventive risk control dimaksudkan untuk

menurunkan probability (frequency) kejadian kecelakaan, sedangkan mitigating

risk controlmengurangi tingkatseverity of the outcomedari kejadian.

ILO dan FAO (2000) diacu dalam Lincoln et al. (2002), memperkirakan

7% dari seluruh kecelakaan kerja fatal di dunia terjadi pada industri perikanan tangkap. Pada industri perikanan tangkap di seluruh dunia, berdasarkan pengalaman terdapat 24.000 kecelakaan fatal yang menyebabkan kehilangan nyawa dan terdapat 24 juta kecelakaan tidak fatal per tahun. Tingkat kecelakaan dunia pekerjaan nelayan atau awak kapal penangkap ikan mencapai 80/100.000 awak kapal per tahun.

Menurut FAO (2008), statistik kecelakaan fatal pada industri perikanan tangkap dibandingkan dengan kecelakaan pada kategori pekerjaan lainnya bahwa penangkapan ikan yakni paling membahayakan. Di Australia, kecelakaan yang terjadi antara 1982 sampai 1984, laju kecelakaan fatal (fatality rate) nelayan

adalah 18 kali lebih tinggi rata-rata kecelakaan fatal secara nasional (143/100.000 orang-tahun dibanding 8,1/100.000); di Denmark dari tahun 1989 sampai 1996 Enhancement of safety is gained by reduction of risk

Risk reduction by

Preventive measures and by Mitigation measures

Quantity of spilt oil Enviromental impact

(48)

laju kecelakaan fatalnya 25–30 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata kecelakaan fatal di daratan. Di Amerika Serikat tahun 1996, tingkat kematian dalam perikanan diperkirakan delapan kali lebih tinggi dibanding orang yang mengoperasikan kendaraan, dan 16 kali lebih tinggi dibandingkan petugas pemadam kebakaran dan polisi serta 40 kali dari rata-rata kecelakaan fatal nasional. Laju kecelakaan fatal lainnya (dimana x merupakan rata-rata laju kecelakaan fatal nasional negara tersebut); Republik Korea (15 x); Estonia (11 x); Italy (21 x); Lithuania (11 x); Polandia (9 x); Spanyol (6 x) dan Canada (3,5 x).

Selanjutnya ILO memperkirakan sebanyak 24.000 kecelakaan fatal di seluruh dunia per tahun dalam industri perikanan. Di negara-negara Nordic menunjukkan bahwa kecelakaan fatal antara 90 sampai 150 orang per 100.000 pekerja dan upaya-upaya pencegahan kecelakaan, pelatihan survival dan

pelayanan SAR di negara ini termasuk salah satu diantara negara-negara yang terbaik di dunia. Selanjutnya disebutkan dari negara berkembang seperti Sri Lanka untuk perikanan tangkap laut dalam (offshore fishing) 10 kali lebih tinggi

dibanding kecelakaan fatal di Norwegia. Studi kecelakaan fatal penangkapan dengan kano di Guinea tahun 1991–1994 menunjukkan 500 orang per 100.000 pekerja; di sepanjang pantai Afrika Barat, penangkapan ikan tradisional dengan kano, kecelakaan fatal antara 300–1000 orang per 100.000 pekerja. Dari Afrika Selatan melaporkan angka kecelakaan fatal 585 orang per 100.000 nelayan.

2.1.6 Reason’s Model

Penelaahan kecelakaan secara terintegrasi menggunakan instrument

Reason’s Model. Menurut Ayoko (1999) diacu dalam ILO (2000), suatu cara

untuk menelaah kenapa terjadi kecelakaan dan untuk menelaah kompleknya sebab-sebab kecelakaan diilustrasikan dengan apa yang disebut sebagai “Reason’s Model”. Model ini dikembangkan oleh Dr. James Reason dari

University of Manchester, United Kingdom, dengan memperhatikan faktor lingkungan luar dari kecelakaan dan memperhatikan prekondisi sebelum terjadi kecelakaan. Model tersebut mungkin merupakan alat yang sangat berguna dalam mengindentifikasi “siapa berbuat apa, who should take what actiont

(49)

Pada model tersebut,

1) Lapisan pertama adalah pertahanan (defences) yang menunjukkan

ketahanan dengan upaya mitigasi akibat dari tindakan yang tidak aman;

2) Pada lapisan keduaunsafe act;

3) Lapisan ketiga adalah kondisi sebelum kejadian (precondition),

termasuk kondisi seperti adanya kelelahan, stres, praktek pengoperasian dan lain-lain;

4) Lapisan keempat (manajemen lini) meliputi aspek seperti pelatihan, pemeliharaan dan lain-lain;

5) Lapisan kelima menggambarkan semua keputusan tingkat tinggi seperti pembuat regulator, pemilik, desainer, produsen, serikat buruh dan lain-lain.

DR Reason menjelaskan bahwa pengambil keputusan ini sering membuat keputusan yang keliru atau "berbuat salah" dan mengakibatkan kesalahan tetap (latent). Dengan demikian tinggal menunggu seseorang melakukan tindakan yang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini pembuatan desain pembelajaran bermuatan nilai dengan model pembelajaran kooperatif inkuiri difokuskan pada topik hukum- hukum dasar kimia,

Untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi ibu dengan kecemasan yang dialami ibu menjelang persalinan dilakukan Uji Chi Square yang disajikan pada

mengalami kemunduran dari segi emosional (21). Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa 23 orang yang menderita DM Tipe 2 mengalami stres merasa mempunyai

Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana) memiliki pengaruh terhadap kadar glukosa darah mencit ( Mus musculus L. ) diabetik yang

Pembelajaranapresiasisenitaritradisionaldenganmenggunakan media LCD padasiswa kelas IX.A SMP Negeri 6 Makassar dapat meningkatkan kemampuan apresiasi siswa yang

Kepala madrasah MTs Al-Masruriyah Baturaden selalu mendorong kemajuan SDM yang ada di MTs Al-Masruriyah Baturaden dengan memotivasi dan memberikan solusi agar guru

Sedangkan beberapa negara memiliki jumlah penggunaan air yang rendah, seperti yang terjadi Bahrain dan Arab Saudi, di mana penggunaan air di sektor pertanian hanya

Analisa yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan  persentase dari variabel independen (tingkat kecemasan keluarga) dan variabel dependen (kemampuan