• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. PLTN Fukushima

Saat gempa akbar Tohoku 2011 terjadi, hanya reaktor unit 1, 2 dan 3 yang hidup, sementara reaktor unit 4, 5 dan 6 sedang dimatikan sesuai jadwal untuk perawatan rutin. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN Fukushima, namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks ini. Model getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan

kompleks PLTN Fukushima 1 mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanah 0.5 g. Percepatan ini hampir 3 kali lipat nilai percepatan maksimum desain reaktor PLTN Fukushima (yakni 0.18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan. Meski demikian getaran sangat keras ini menghancurkan menara jaringan tegangan ekstra tinggi sehingga jaringan listrik setempat terputus.

Karena posisinya tepat di tepi laut, PLTN ini juga dilindungi dengan dinding anti-tsunami (seawall). Namun dinding dirancang hanya untuk menahan tsunami setinggi 4 meter produk gempa dengan Mw~8. Kala gempa akbar Tohoku 2011 terjadi, tinggi tsunami di Fukushima Jepang mencapai 8.5 meter yang secara teoritis mampu menerjang ke daratan hingga sejauh 200 meter pada pantai yang telah dilengkapi sistem anti-tsunami sekalipun. Ketinggian tsunami melampaui dinding penahannya dengan mudah menerjang fasilitas PLTN Fukushima Dai-ichi Jepang.

Disinilah rangkaian kegagalan demi kegagalan terjadi yang kemudian berujung pada kecelakaan nuklir. Sistem kendali reaktor secara otomatis mematikan semua reaktor kala gempa terjadi secara SCRAM. Putusnya jaringan listrik membuat katup-katup aliran pendingin digerakkan oleh diesel cadangan, namun ini pun hanya bertahan 1 jam karena diesel kemudian mati terendam air tsunami. Aliran listrik lantas diambil alih aki selama 8 jam kemudian. Bantuan aki dan diesel cadangan yang mobil segera didatangkan dari PLTN terdekat yang tidak mengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pasca gempa untuk mencapai Fukushima Dai-ichi Jepang. Bantuan itu pun tidak langsung tersambung dengan Fukushima karena konektornya berada di ruang basement yang terendam

air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya mendapatkan pendinginan 9 jam pasca gempa dan setelah itu pendingin berhenti. Sistem pendinginan darurat (ECCS atau emergency core cooling system) juga tidak bisa diaktifkan akibat ketiadaan listik. Konsekuensinya panas peluruhan tidak lagi bisa dialirkan keluar, sebuah kondisi yang kadang diistilahkan sebagai LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau LOFA (Loss Of Flow Accident) (EPA, 2007).

Akibat LOHSA, air pendingin dalam reaktor tidak bisa mengalir sehingga terus terdidihkan sampai menguap oleh panas peluruhan. Penguapan intensif membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan satu saat sampai ke titik dimana batang bahan bakar mulai tidak terendam air. Pada saat itu suhu reaktor sudah mencapai 800 oC. Tidak terendamnya batang bahan bakar berimplikasi serius, sebab suhu reaktor terus naik hingga mencapai 1000 oC. Pada titik ini, panas telah mampu melelehkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi yang secara teknis disebut LOCA (Loss Of Coolant Accident) (EPA, 2007). Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya (EPA, 2007). Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi (reaksi kimia biasa) dengan uap air panas menghasilkan zirkonium oksida dan gas hidrogen, dimana dalam tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas hidrogen. Terbentuknya gas hidrogen membuat tekanan di dalam reaktor meningkat sehingga sempat mencapai 2 kali lipat di atas normal.

Pada titik tertentu, campuran uap air, udara dan gas hidrogen cukup berbahaya karena sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan

pelepasan gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat yang mampu mengalirkan gas hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya tercapai. Namun ketiadaan aliran listrik membuat langkah ini tak berjalan, sementara gas hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara lapisan pengungkung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi berbahaya tercapai, ledakan hidrogen tidak bisa terelakkan.

Gambar 3. Ledakan Hidrogen (Digital Globe, 2011)

Gambar 3 menunjukkan ledakan yang terjadi pada unit 1 dan 3. Ledakan hidrogen di reaktor unit 1 terjadi lebih dahulu dari reaktor lainnya menyebabkan atap reaktor (lapisan pengungkung kedua) bolong. Namun inspeksi menunjukkan lapisan pengungkung pertama masih utuh. Masalah di reaktor unit 1 ternyata juga menghinggapi reaktor unit 3 yang berujung pada ledakan hidrogen dua hari kemudian, sebagai bagian dari rangkaian kegagalan yang dimulai dengan matinya ECCS sejak sehari sebelumnya. Meski ledakan menyebabkan bagian atas lapisan pengungkung kedua juga bolong, namun lapisan pengungkung pertama tetap utuh. Namun puing-puing ledakan berhamburan kemana-mana, termasuk merusak

sistem pendinginan reaktor unit 2. Akibatnya ECCS reaktor unit 2 juga mati, yang membuat air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelehan juga mulai terjadi. Akhirnya, ledakan hidrogen di reaktor unit 2 juga terjadi.

Gambar 4. Bangunan reaktor sebelum dan sesudah ledakan Hidrogen ( NHK, 2011) Gambar 4 menunjukkan kondisi reaktor sebelum dan sesudah ledakan hidrogen. Gas hidrogen juga terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi berbahaya sehingga ledakan hidrogen terjadi. Tingginya konsentrasi gas hidrogen membuat kolam bahan bakar bekas terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah menyebabkan dinding lapisan pengungkung kedua bolong di dua lokasi, masing-masing seluas 64 meter persegi. Bolongnya dinding dan habisnya air dalam kolam bahan bakar bekas menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya selama rangkaian kecelakaan nuklir ini, karena nyaris tidak ada pelindung lagi antara batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.

Akibat rangkaian kejadian ini, IAEA menempatkannya sebagai kecelakaan nuklir dalam skala 4 INES dan kemudian dinaikkan menjadi skala 5 INES. Ini disebabkan telah terjadinya pelelehan sebagian bahan bakar nuklir dalam reaktor, yang secara akumulatif mencapai 3 % meski diestimasikan pada reaktor unit 1 dan

2 masing-masing telah terjadi 70 % dan 33 % bahan bakar rusak. Dalam skala 5 INES, kecelakaan nuklir PLTN Fukushima 1 setara dengan kecelakaan nuklir PLTN Three Mile Island 1 di Pennsylvania (AS), yang sama-sama disebabkan oleh LOCA (EPA, 2007). Radiasi di dalam kompleks PLTN Fukushima 1 sempat menyentuh angka 1 juta mikro Sievert/jam alias 3 juta kali lipat di atas nilai radiasi natural, meski kemudian turun menjadi 0.6 juta mikro Sievert/jam. Dalam jarak 20 km dari reaktor, radiasi tercatat 330 mikro Sievert/jam sementara batas aman bagi manusia adalah 25 mikro Sievert/jam (EPA, 2007). Inilah yang menjadi dasar evakuasi penduduk dalam radius 20 km dari PLTN Fukushima 1 sementara penduduk dalam radius 20 hingga 30 km diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah. Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih berada di ambang batas normal.Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0.8 mikro Sievert/jam (EPA, 2007).

Dokumen terkait