• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fundamentalisme Islam: Agama atau Gejala Sosial?

Dalam dokumen Rakyat Kecil Islam dan Politik (Halaman 185-200)

Istilah “fundamentalisme”, kalau dipakai dalam konteks Islam, segera memberikan kita gambaran tentang apa yang dimaksud, tetapi ketika kita mencoba mendeinisikannya, ternyata sukar menemukan rumusan yang tepat dan yang dapat disetujui orang banyak. Sudah cukup diketahui bahwa istilah ini berasal dari suatu konteks kebudayaan dan agama yang berbeda. Dalam konteks asalnya, yaitu Amerika Serikat pada abad ke-19, istilah “fundamentalisme” dulu (dan hingga sekarang) memiliki makna yang lebih tepat: penegasan kembali keyakinan akan kebenaran Perjanjian Lama secara hariah, di tengah gempuran ilmu pengetahuan modern, terutama teori evolusi. Wujudnya yang paling mencolok adalah kreasionisme, pembelaan atas kepercayaan mengenai penciptaan yang berlawanan dengan teori evolusi Darwin. Gerakan-gerakan di dunia Muslim yang disebut “fundamentalis” memiliki latar belakang intelektual dan politik yang berbeda, sehingga pemakaian istilah yang sama atas mereka mungkin tidak akan membantu mengantarkan ke arah pemahaman yang lebih baik.

Istilah ini, sebagaimana dipakai sekarang, pada umumnya bernada menghakimi. Walaupun ada sebagian kecil Muslim yang menyebut diri mereka sendiri dan pendiriannya dengan istilah yang sama (sebagai al-ushuliyyah al-islamiyyah, misalnya), istilah itu lebih umum dipakai untuk mengkritik atau mengejek kelompok lain —hampir sama dengan halnya istilah “fanatik”. Istilah ini cenderung digunakan untuk menyebut mereka yang berpikir, berbicara, berperilaku dan berpakaian dengan cara berbeda dari kebanyakan orang. Karena itu,

lebih mudah mengatakan apa dan siapa yang tidak dimaksud dengan “fundamentalis” ketimbang apa arti istilah ini sebenarnya. Di samping itu, ada juga anggapan bahwa kaum fundamentalis bersikap menentang tatanan politik yang sedang berlaku. Kelompok Muslim yang bersikap oposisi seringkali dicap sebagai “fundamentalis”, walaupun mereka mungkin terdiri dari berbagai aliran, dengan perbedaan-perbedaan keyakinan yang cukup besar. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang

di anggap sebagai fundamentalis karena alasan-alasan lain, juga

gampang dicurigai sebagai kelompok yang berpotensi melakukan subversi politik.

Meskipun ada keberatan-keberatan serius tentang kegunaan konsep fundamentalisme, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa istilah ini semakin banyak dipakai dan kita pun menggunakannya karena tidak ada istilah lain yang lebih tepat, paling tidak dalam perbincangan informal. Sepanjang artikel ini saya akan tetap memakai

istilah ini dengan cara senetral mungkin, untuk menyebut semua

gerakan dan ideologi yang menempatkan wahyu dan ajaran-ajaran yang diyakini berasal dari wahyu (nilai-nilai Islam, ekonomi Islam, negara Islam) di atas semua sumber legitimasi lainnya (seperti tradisi setempat, pengalaman mistik, humanisme, rasionalisme, undang-undang sekular, dan perjanjian internasional).1

Betapa problematiknya konsep “fundamentalisme Islam” ini dapat diilustrasikan dengan mengemukakan dua negara Muslim, contohnya Iran dan Arab Saudi. Pemerintah Saudi mengikuti interpretasi Islam

Wahabi, yang sering dianggap sebagai fundamentalisme Islam par

excellence (yang paling khas). Namun, atas nama Islam pula ia ditentang oleh kelompok Muslim radikal ( Juhaiman dkk.), yang pada tahun 1979 menduduki Masjidil Haram di Mekah. Padahal, kelompok yang terakhir ini oleh kebanyakan pengamat juga dianggap sebagai kaum 1 Definisi ini mencantumkan baik gerakan politik yang bercita-cita mendirikan negara Islam maupun gerakan non-politik yang menekankan agama sebagai disiplin pribadi (yang pertama dinamakan ‘Islamisme’ dan yang terakhir ‘neo-fundamentalisme’ oleh Olivier Roy dalam buku terkenal mengenai memudarnya Islam politik: Roy, 1994).

fundamentalis. Jadi, baik penguasa maupun oposisi keras disebut “fundamentalis.”2

Demikian pula, di Iran pasca-revolusi gerakan oposisi terhadap

rezim baru yang paling penting adalah Mujahidin-i Khalq, gerakan

yang juga mengaku berjuang untuk menciptakan tatanan politik yang didasarkan atas Islam. Baik para aktivis gerakan ini maupun faksi ulama yang sekarang sedang berada di tampuk kekuasaan dulunya adalah bagian dari gerakan oposisi militan pada masa Syah (Mujahidin-i Khalq menempuh risiko yang lebih besar dan berkorban lebih besar). Keduanya pada saat itu dicap “fundamentalis” oleh rezim Syah, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan ideologis sangat besar di antara keduanya.3

Perilaku politik serupa yang mengatasnamakan Islam kadang- kadang juga didasarkan atas berbagai interpretasi yang sangat beragam tentang Islam, dilegitimasi oleh ideologi-ideologi Islam yang sangat berbeda, yang semuanya tergantung kepada konteks politiknya masing-masing. Tuntutan politik kelompok-kelompok oposisi Islam fundamentalis berbeda-beda dari satu negara dengan negara lainnya. Tuntutan-tuntutan itu tampaknya lebih tergantung kepada berbagai faktor situasional ketimbang kepada serangkaian gagasan “fundamentalis” yang sangat lugas. Mengutip ungkapan seorang pengamat, “sementara beberapa kelompok fundamentalis di Mesir mengkritik kebijakan ekonomi Anwar Sadat sebagai kebijakan yang menguntungkan orang-orang kaya, kelompok-kelompok Islamis di Syria lebih mendukung kebijakan yang mengutamakan kepentingan 2 Belakangan diketahui bahwa para pemberontak ini, sebagaimana para penguasa sendiri, adalah Muslim Sunni dan menganut faham Salafi yang tak jauh berbeda; lihat Hegghammer & Lacroix 2007. Situasinya menjadi lebih rumit ketika kita juga mempertimbangkan gerakan-gerakan protes orang Syiah yang merupakan minoritas cukup penting di Arab Saudi. Mengenai aspek ini, lihat: Goldberg 1986.

3 Pemerintah Syah biasanya menjuluk Mujahidin-i Khalq sebagai “reaksi hitam merah”, pemakaian istilah yang mengindikasikan betapa sulitnya meletakkan kaum militan Islam sosialis (yang diilhami Syari’ati) ini dalam dikotomi Kiri-Kanan konvensional. Faksi Khumaini hanya disebut “reaksi hitam” dalam terminologi resmi. Uraian historis yang baik mengenai gerakan Mujahidin dan ideologinya adalah karya Abrahamian 1989.

kelas menengah-keatas ketimbang kebijakan-kebijakan pemerintah yang sosialis dan berorientasi pedesaan. Di Tunisia dan Aljazair, perhatian utama kelompok-kelompok Islamis adalah pengajaran bahasa Arab. Terakhir, ada pula kelompok-kelompok di Arab Saudi yang merasa bahwa pemerintah sudah melangkah terlalu jauh dalam proses modernisasi” (Dessouki 1982: 9). Pada konteks tertentu pengamat biasanya akan menempatkan mereka pada spektrum politik kanan atau ekstrem kanan, namun pada konteks lain mereka dipandang sebagai kelompok kiri. Jelaslah, tidak banyak pemahaman yang dapat diperoleh dengan menggumpalkan seluruh gerakan yang beragam ini menjadi satu, di bawah label “fundamentalisme”. Orang tidak boleh sekali-sekali menganggap sepi luasnya jurang perbedaan dalam hal ideologi, organisasi, dan perilaku di kalangan mereka. Pendekatan Sosiologis

Dalam karya-karya ilmu sosial dan politik, khususnya yang disusun oleh para pengarang bermazhab teori modernisasi, gerakan fundamentalis umumnya dianalisa sebagai reaksi penolakan terhadap modernitas. Dengan cara demikian, kompleksitas gerakan ini direduksi ke dalam beberapa faktor yang dianggap relevan secara. sosiologis. Penyederhanaan itu mempermuda perbandingan antara berbagai gerakan fundamentalis Kristen di Barat dengan gerakan- gerakan politik agama dalam konteks budaya lainnya, seperti gerakan Khalistan di kalangan kaum Sikh, atau gerakan Hindutva (revivalisme Hindu) di India. Beberapa faktor sosial yang relevan memang dapat ditemukan dengan menggunakan pendekatan ini, misalnya latar belakang banyak aktivisnya yang umumnya berasal dari kota kecil, latar belakang kelas mereka (orangtua para aktivis biasanya adalah kelas menengah ke bawah, para aktivis telah mengalami peningkatan status sosialnya namun peningkatan itu tidak secepat dan setinggi yang mereka harapkan), dan peranan perpindahan penduduk ke kota- kota sebagai katalisatornya. Ambruknya keluarga tradisional, sebagai akibat proses transisi menuju masyarakat industrial, dan mobilitas

yang meningkat serta masuknya banyak perempuan ke lapangan kerja (non-domestik), juga merupakan faktor penting, yang menyebabkan adanya kerinduan nostalgik akan “nilai-nilai keluarga” dan mendorong usaha-usaha militan untuk memberlakukannya kembali, baik di Dunia

Kristen maupun di Dunia Islam.4

Dalam bentuknya yang sangat sederhana (dan sayangnya, sangat umum terjadi), penjelasan semacam ini tidak lebih dari sebuah mata rantai penalaran yang melingkar-lingkar. Pertama, fundamentalisme secara implisit dideinisikan sebagai sebuah reaksi atau perlawanan ter- hadap modernisasi (sehingga gerakan-gerakan yang tidak mengandung unsur-unsur perlawanan tidak dianggap sebagai gerakan fundamentalis). Kemudian gerakan-gerakan yang cocok dengan deinisi tadi dijelaskan sebagai … reaksi terhadap modernitas. Demikian penjelasannya sudah inheren di dalam deinisi dan tidak memerlukan usaha pengkajian serius mengenai gerakan-gerakan yang dibicarakan.

Ini bukanlah satu-satunya kelemahan paradigma modernisasi dalam menganalisa gejala-gejala keagamaan. Asumsi dasar yang sejak lama dianut adalah bahwa sekularisasi dan rasionalisasi merupakan hal yang inheren dalam modernisasi. Keduanya bukan hanya merupakan perkembangan baik dan positif, tetapi bahkan merupakan perkembangan yang tak terelakkan. Agama masuk ke dalam rumus ini hanya sebagai faktor penghambat yang pada akhirnya akan hilang. Kebangkitan agama yang dapat diamati di seluruh dunia tidak punya tempat dalam paradigma ini, kecuali jika ia dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang tidak benar-benar religius tetapi sebagai gejala politik atau sosial.

Salah satu masalah yang tak bisa diuraikan oleh penjelasan sosiologis bermatra tunggal ini adalah kenyataan bahwa kebanyakan gerakan “fundamentalis” dengan sangat yakin mengaku sebagai

4 Sivan, dalam bab pertama bukunya (1985), menyajikan sebuah antologi memukau yang memuat ungkapan antimodernis dari pers fundamentalis Arab. Kebanyakan tidak berbeda dengan hal-hal yang dapat dikutip dari pers fundamentalis Kristen Amerika.

pewaris intelektual langsung dari sebuah tradisi “fundamentalis” panjang dalam Islam, dengan Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taymiyyah dan Muhammad ibn Abdulwahhab sebagai pendahulu mereka. Akar-akar intelektual ini jelas mendahului modernitas sehingga kehadirannya tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai reaksi terhadap modernisasi. Lebih dari itu, kebanyakan kelompok fundamentalis tidak menunjukkan sikap yang mati-matian menentang modernitas, mereka tidak terbelakang dalam hal pemanfaatan produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir. Fundamentalisme, jika istilah ini punya validitas empiris, tidak boleh disamakan dengan perlawanan terhadap modernitas.

Aliran berikir lain yang juga berpengaruh dalam analisa sosial adalah yang berasal dari tradisi Marxis. Pada dasarnya, aliran ini menganalisa gerakan keagamaan sebagai sesuatu yang mewakili dan membela kepentingan-kepentingan lain, yang terutama bukan bersifat keagamaan. Ajaran-ajaran yang dinyatakan sebagai dasar dan tujuan suatu gerakan dipandang sebagai ideologi belaka, sebuah jalinan pembenaran yang menyelubungi masalah-masalah yang sebenarnya. Contoh klasik analisa sosial semacam ini adalah kajian Friedrich Engels mengenai Perang Petani Jerman. Dalam analisanya, Engels menyoroti sebuah konlik yang tampak sebagai konlik agama, namun yang sebenarnya terjadi menurutnya—adalah perjuangan kelas petani miskin melawan para penindas mereka. Analisa jenis ini seringkali sangat masuk akal dan dipakai juga oleh banyak sejarawan dan ilmuwan sosial non-Marxis. Kajian sangat cemerlang mengenai gerakan- gerakan Ratu Adil abad ke-19 di Jawa yang dilakukan sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo (1972, 1973), merupakan salah satu kasusnya. Walaupun lebih serius dalam mengkaji dimensi keagamaan dari gerakan-gerakan tersebut (jauh lebih serius ketimbang yang biasanya terjadi dalam mazhab pemikiran modernisasi), analisa jenis ini menekankan bahwa di bawah gerakan atau konlik yang bersifat keagamaan itu ada faktor-faktor lain yang memainkan peranan yang lebih menentukan. Bagi seorang Marxis dogmatis, satu-satunya faktor

penyebab yang relevan adalah konlik kelas. Namun, analisanya yang paling mutakhir mempertimbangkan kombinasi antara faktor politik dan faktor ekonomi.

Satu analisa halus mengenai sebuah gerakan “fundamentalis” dalam kerangka pendekatan ini adalah kajian Clive Kessler mengenai bangkitnya PAS (Partai Islam Se-Malaysia) di Kelantan (Kessler 1974, 1978). Walaupun memberikan perhatian yang cukup memadai kepada gagasan-gagasan dan diskusi keagamaan tanpa mereduksi hal yang bersifat keagamaan menjadi masalah kepentingan material belaka, pengarang berusaha menunjukkan bahwa PAS juga mewakili kepentingan sekelompok orang tertentu yang hampir dapat dideskripsikan sebagai sebuah kelas. Dalam konteks budaya yang lain, mereka mungkin tidak akan mengungkap protes mereka dengan bahasa agama. Masih mengenai Malaysia, penjelasan yang hingga kini tetap paling meyakinkan mengenai “kebangkitan Islam” di negara itu, yang semakin mencolok selama tahun 1980-an, adalah analisa Chandra Muzafar (1987). Muzafar tidak menekankan latar belakang konlik kelas, melainkan dimensi etnis. Orang Melayu, yang menganggap diri mereka sebagai pemilik negerinya yang sah, berada dalam posisi genting karena mewakili hanya sedikit di atas 50% penduduknya, dan merasa terancam oleh orang Cina dan India yang lebih sukses dalam berbagai usaha. Karena identitas Melayu dan Islam umumnya dianggap sama saja, orang Melayu terdorong untuk mengekspresikan kekhawatiran mereka dan menyublimasikan perasaan inferioritas mereka dengan mengumandangkan alternatif-alternatif Islami. Uraian ini dapat menerangkan, paling tidak, perbedaannya dengan kasus Indonesia, di mana perimbangan demograis tidak begitu membuat kaum pribumi merasa terancam, sehingga fundamentalisme hanya merupakan gejala marginal.

Dalam kasus yang lain lagi, gerakan-gerakan fundamentalis dianalisa sebagai gerakan protes politik, yang anggota-anggotanya secara sadar atau tidak sadar memilih wacana Islam dalam menyuarakan sebuah protes yang pada dasarnya bersifat politik.

Banyak anggota gerakan fundamentalis yang barangkali menolak pembedaan yang dibuat di sini antara masalah keagamaan dan masalah politik. Mereka menyatakan bahwa Islam pada dasarnya bersifat politik, namun mereka akan berhati-hati membedakan antara konsep Islam mengenai keadilan sosial dan konsep-konsep yang berasal dari gerakan saingannya, gerakan sosialis misalnya. Karena banyaknya (meski tidak semua) gerakan fundamentalis yang sekaligus juga (namun tidak semata-mata) merupakan gerakan protes politik, maka pertanyaan yang muncul adalah: kenapa dan dalam kondisi bagaimana protes politik diekspresikan dalam istilah-istilah keagamaan? Kenapa ekspresi ketidakpuasan politik yang diekspresikan dalam bahasa agama meningkat begitu dramatis pada periode yang lalu?

Dimensi-Dimensi Teologis Fundamentalisme Islam

Dapatkah kita mengidentiikasi sebuah teologi fundamentalis yang khas? Para pengamat yang berpengetahuan mengenai sejarah pemikiran Islam cenderung menggunakan istilah fundamentalisme terutama untuk menyebut gerakan puritan Islam yang melanjutkan

tradisi intelektual Ibn Taymiyyah-Muhammad bin Abdulwahhab.5

Menurut pendapat yang lazim, sikap para Sui dan sikap dasar gerakan reformis-puritan itu saling bertolak belakang, tetapi dalam praktik ternyata terdapat berbagai bentuk kombinasi antara keduanya, dalam bentuk tasawuf puritan atau gerakan pemurnian yang bercorak suistik (Bruinessen, 2009). Di Indonesia, kebanyakan gerakan fundamentalis berada di kubu reformis dalam bidang teologi (aqidah) dan menolak mazhab. Baik yang bersifat gerakan politik maupun yang non-politik

menekankan pemurnian agama dari unsur lokal dan bid`ah lainnya.

Agaknya benar bahwa kaum radikal Muslim di Indonesia lebih 5 Fazlur Rahman, dalam sebuah survai tentang gerakan-gerakan Islam mutakhir, bahkan memperkenalkan istilah “neofundamentalisme” untuk gerakan-gerakan ini (dalam skemanya istilah asli “fundamentalis” hanya digunakan untuk menyebut gerakan Wahhabi akhir abad ke-18), dan istilah tersebut lebih dipopulerkan melalui tulisan- tulisan Olivier Roy. Lihat Rahman, 1981; Roy, 1994. Belakangan gerakan-gerakan puritan ini lebih sering disebut “Salafi.”

banyak berasal dari latar belakang reformis ketimbang tradisionalis. Di Malaysia, yang terjadi justru sebaliknya. Dibandingkan dengan Indonesia, di Malaysia gerakan fundamentalis (yang bergerak untuk tujuan pembentukan masyarakat/negara Islam) lebih menonjol, namun hampir semua gerakan radikal ini tradisionalis dalam masalah ibadah, dan sangat dipengaruhi ajaran-ajaran Sui.

Namun, satu hal yang menjadi persamaan semua gerakan fun- damentalis Islam adalah penolakan tegas mereka terhadap sekularisme dan sekularisasi (sikap yang sama juga banyak menjadi persamaan mereka dengan gerakan fundamentalisme Kristen). Pengamatan ini mungkin menyerupai pengamatan para sosiolog yang mereduksi semua fundamentalisme sebagai sebuah perlawanan terhadap modernitas belaka, tetapi yang saya maksudkan sangat berbeda. Saya tidak bermaksud menjelaskan gerakan-gerakan fundamentalis sebagai semata-mata sebuah reaksi atas proses sekularisasi, tetapi yang saya maksudkan adalah bahwa sikap antisekularisme merupakan unsur penting dari ideologi gerakan-gerakan ini. Sikap antisekularisme ini tidak hanya dipahami sebagai respons terhadap perkembangan modern, tetapi sebagai arus tandingan yang sudah hadir dalam sejarah Islam hampir sejak masa awal kelahirannya. Sekularisme dengan berbagai tingkatannya, suka atau tidak suka, telah menjadi hal yang biasa terjadi sepanjang sejarah Islam. Kompromi yang tidak nyaman

antara syari’ah dan qanun (undang-undang yang dirumuskan sultan)

telah menyertai perkembangan Islam hampir sejak awal kelahirannya. Sejak lama, sudah ada sekelompok kecil pemikir yang menentang kompromi ini. Para pemikir ini diakui oleh para fundamentalis sekarang sebagai pendahulu mereka. Istilah “desekularisasi” barangkali baru namun memancarkan nada responsif, dan para pendukungnya merasa bahwa mereka berdiri di atas sebuah tradisi yang panjang dan mulia, bukan pasukan kesiangan dalam perang terakhir melawan proses modernisasi yang tak terelakkan.6

6 Kajian Sivan (1985) lebih jelas ketimbang yang lain dalam menggambarkan sejauh mana pemikiran fundamentalis Arab kontemporer punya akar dalam pemikiran

Kaum fundamentalis ingin meletakkan syariat, hukum Ilahi, di atas hukum buatan manusia. Adanya dorongan untuk menerapkan syariat ini barangkali merupakan kriteria paling tepat untuk membedakan fundamentalisme Islam dengan gerakan Islam pada umumnya, sebuah deinisi minimum. Sebagai sebuah kriteria, ia tidak merujuk kepada karakteristik sosial gerakan ini tetapi lebih kepada aspek-aspek yang bersifat doktrinal. Tentu saja, ia masih mencakup sangat banyak ragam kaum Muslim karena tidak banyak orang Islam yang berani menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan

penerapan syariat. Di Indonesia, gerakan Darul Islam berjuang

melawan pemerintah Republik Indonesia yang sekular, dengan harapan dapat mendirikan Negara Islam Indonesia yang berdasarkan syariat. Namun, kalangan kelompok pendukung pemerintahan Republik, baik NU maupun Masyumi, dua partai politik Islam besar, juga berjuang untuk mendapatkan pengakuan resmi atas syariat melalui Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini dimaksudkan sebagai bagian dari Mukadimah UUD 45 dan berisi pernyataan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban menjalankan syariat (dalam hal ini merujuk, terutama, kepada penunaian salat, puasa dan

zakat).7 Dukungan untuk Piagam Jakarta datang dari para tokoh yang

mewakili sebagian besar umat Islam Indonesia, dan agaknya benar bahwa sekarang pun semakin banyak persentase umat Islam Indonesia

yang ingin, dalam kondisi-kondisi ideal, menyaksikan—paling tidak

sebagian—syariat diterapkan di sini.8 Haruskah semua Muslim ini

para pemikir Islam abad tengah seperti Ibn Taymiyyah.

7 Piagam Jakarta akhirnya ditolak dalam sidang Konstituante oleh mayoritas besar anggotanya. Jelaslah, Muslim abangan Indonesia (yang pada tahun 1950-an melampaui bilangan kaum Muslim yang taat, santri) tidak begitu tertarik kepada gagasan bahwa negara seharusnya mewajibkan mereka melaksanakan kewajiban agama. Mengenai perdebatan ini lihat Boland 1982: 25-27, 90-101; Maarif 1985.

8 “Dalam kondisi-kondisi ideal” merupakan klausus pengelakan paling terkenal yang memungkinkan penundaan pemberlakuan hukuman hudud menyeluruh sehingga batas waktu yang belum ditentukan. Sepanjang masih ada alasan ekonomis bagi orang untuk mencuri, dengan kata lain sejauh keadilan sosial dan ekonomi yang menyeluruh belum tercapai, menurut sebuah penalaran yang sangat dikenal, berarti kondisi

dicap fundamentalis?

Jelaslah, tidak semua pengikut NU dan Masyumi dapat disebut fundamentalis dalam pengertian yang ketat. Barangkali, kita harus lebih eksplisit dan berbicara tentang penerapan syariat tidak hanya dalam kehidupan personal (yang menyangkut salat, puasa, zakat, perkawinan dan warisan) tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik. Akibatnya, mereka yang disebut fundamentalis adalah orang- orang yang mempropagandakan sebuah alternatif terhadap tatanan yang sudah mapan. Namun, dalam hal ini pun kita masih harus melihat berbagai ragam sikap yang mereka pilih. Terdapat kelompok fundamentalis yang membentuk komunitas utopian sebagai alternatif

terhadap masyarakat mapan,seperti gerakan Darul Arqamdi Malaysia

(sebelum dilarang), ada pula gerakan yang berusaha mengubah

individu dan masyarakat melaui dakwah seperti Jama’ah Tablighdan

barangkali Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, komunitas yang terdiri dari orang yang merasa teralienasi dari masyarakat sekular

seperti halnya kelompok Warsidi di Talangsari Lampung9, serta

kelompok-kelompok yang secara aktif terus berusaha menumbangkan tatanan politik melalui cara-cara kekerasan, seperti kelompok pembunuh Anwar Sadat di Mesir. Jenis-jenis fundamentalis pertama berusaha mempersiapkan masyarakat sekitarnya untuk perubahan ke tatanan sosial yang lebih “Islami”, dengan menampilkan diri mereka sendiri sebagai teladan kongkret atau dengan melakukan dakwah lisan. Sedangkan dua jenis fundamentalis yang terakhir mewakili pola hijrah dan jihad.

masyarakat masih jauh dari yang ideal, sehingga penerapan syari’ah secara harfiyah tidak dapat dijalankan.

9 Warsidi adalah pemimpin sebuah kelompok kecil orang Islam yang menolak penerimaan ideology Pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara dan bermasyarakat untuk Indonesia. Mereka mengundurkan diri (“hijrah”) dari masyarakat umum ke Talangsari, desa terpencil di Lampung, di mana mereka menunggu kedatangan sebuah revolusi Islam. Pengajian-pengajian keras Warsidi menarik perhatian pihak militer; ia dipanggil ke KORAMIL tetapi menolak dating. Ketika kesatuan militer datang ke Talangsari untuk menangkap Warsidi, para pengikutnya melawan dengan senjata primitif buatan sendiri. Setelah itu, tentara menumpas seluruh kelompok. LIhat Abdul Syukur, 2003.

Di samping perbedaan-perbedaan yang jelas dalam perilaku politik antara jenis-jenis kelompok ini, terdapat juga jurang perbedaan ideologis dan teologis yang lebar di antara mereka. Beberapa penelitian mutakhir berusaha mengkaji semua gerakan yang bersifat intelektual dan politis di dunia Islam pada satu setengah abad terakhir dibawah

Dalam dokumen Rakyat Kecil Islam dan Politik (Halaman 185-200)

Dokumen terkait