• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulama dan Politik di Indonesia

Dalam dokumen Rakyat Kecil Islam dan Politik (Halaman 153-185)

Hubungan antara ulama dan umara selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, ulama — paling tidak dalam tradisi Sunni — senantiasa

memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de

facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut istilah ulama Indonesia

tahun 1950-an). Di sisi lain, juga ada pandangan umum bahwa

kekuasaan itu selalu korup dan berdekatan dengan mereka yang sedang berkuasa akan merusak harkat moral ulama dan integritas ajaran mereka. Ada sebuah hadis sangat populer yang menganjurkan sikap menghindar dari penguasa, yang sering dikutip dalam berbagai khotbah: “Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang pergi menemui umara, sedangkan sebaik-baik umara adalah mereka yang datang menemui ulama”. Berdasarkan penelitian hadis ini sebenarnya “lemah” (dha’if), tidak benar-benar meyakinkan keasliannya.1Namun,

kenyataan bahwa hadis ini seringkali dikutip oleh para ulama dan da’i populer di Indonesia menunjukkan bahwa kutipan di atas mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam.

Dalam sebuah proyek penelitian tentang pandangan hidup ulama Indonesia, sekitar separuh dari ulama yang diwawancarai mengemukakan hadis ini ketika ditanya tentang bagaimana bentuk

yang tepat hubungan Islam-negara.2Kemandirian moral, ekonomi dan

1 Yazid & Koho, 1979:185. Hadits adalah perkataan-perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, yang ditransmisikan secara lisan oleh generasi pertama dan kemudian dikumpulkan dan dituliskan. Hadits merupakan sumber utama kedua hukum dan doktrin Islam, setelah Al-Qur’an.

2 Proyek penelitian “Sikap dan Pandangan Hidup Ulama Indonesia” yang dilakukan oleh LIPI. Penulis ikut ambil bagian dalam proyek ini sebagai konsultan metodologi riset.

politik vis a vis pemerintah merupakan sikap yang dianggap esensial oleh hampir semua responden. Pada saat yang sama, kebanyakan responden juga mengakui bahwa mereka gagal memenuhi standar ideal itu. Sikap banyak pejabat pemerintah, terutama pada tingkat lokal, yang cenderung menafsirkan semua bentuk kemandirian sebagai suatu bentuk oposisi, justru membuat ulama semakin sulit untuk secara konsisten mendeinisikan posisi mereka sendiri.

Ini tidak berarti semua ulama sependapat tentang hakikat dan tingkat kemandirian yang dituntut, atau untuk hal apa umara harus datang menemui ulama. Tidak banyak yang bersikap sekeras Warsidi, pemimpin spiritual sekelompok orang yang kecewa terhadap pemerintah di Lampung. Ketika diminta menghadap oleh camat, untuk dimintai keterangan tentang khotbah-khotbahnya yang dilaporkan anti-pemerintah, Warsidi menjawab dengan mengutip hadis di atas, sembari menambahkan bahwa dia punya pekerjaan yang lebih penting untuk dikerjakan dan seharusnya camat datang jika ingin

bertemu dengannya.3Namun, umumnya disepakati bahwa inti dari

hadis ini adalah bahwa ulama tidak boleh mengejar kesenangan, dan pemerintah idealnya meminta pendapat mereka dalam semua perkara penting. Banyak (jika bukan kebanyakan) ulama merasa sangat senang dengan kunjungan kehormatan para pejabat pemerintah setempat. Sudah menjadi hal yang biasa, ulama diundang untuk membacakan doa pada acara peresmian berbagai proyek yang disponsori pemerintah, dan banyak ulama masih senang dengan pembagian jatah kerja ini. Hanya sekelompok kecil yang merasa bahwa ulama seharusnya dilibatkan dalam tahap yang lebih dini, dalam pemilihan dan perencanaan proyek.

3 Lihat liputan majalah Editor, edisi 18 Februari 1989. Sang camat pun kemudian berkunjung, dengan membawa serta sepasukan polisi. Sebuah perkelahian terjadi, menyebabkan seorang polisi tewas. Beberapa jam kemudian, bantuan pasukan militer datang lagi dan melumpuhkan pemberontakan kecil ini dengan brutal, sehingga menyebabkan puluhan, atau mungkin ratusan, orang terbunuh. Baru belakangan asal- usul peristiwa Talangsari Lampung ini diungkapkan secara lebih lengkap, lihat: Abdul Syukur, 2003.

Yang lebih problematik, tidak jarang ulama diminta ikut serta dalam sebuah kampanye untuk menyukseskan sebuah program pemerintah, misalnya program KB. Situasi ini sangat menyulitkan karena banyak ulama, walaupun resminya mendukung gagasan kontrasepsi, secara pribadi masih punya beberapa keberatan. Upaya- upaya pemerintah melibatkan ulama dalam program KB dan program lainnya untuk memperoleh legitimasi keagamaan sering menyebabkan ulama merasakan kegelisahan moral, meskipun perasaan itu tentu saja terkurangi dengan adanya berbagai kompensasi.

Walaupun tidak diminta mengatakan atau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan moralnya, para ulama kadang- kadang tetap merasa tidak enak jika berhubungan terlalu dekat dengan pemerintah. Seorang ulama yang pintar dan dihormati, pemimpin sebuah pesantren kecil yang tidak jauh dari Jakarta, mengatakan kepada saya:

“Anda lebih baik menyebut saya kiai saja, bukan ulama. Seorang ulama sejati seharusnya tidak berkompromi. Karena itu, biasanya ulama sejati tidak disukai para penguasa duniawi. Padahal, saya disukai orang-orang pemerintah: mereka sering meminta saya datang dan memberi ceramah, saya pun mengabulkannya. Saya merasa tidak pantas disebut seorang ulama.”

Ulama ini (saya yakin dia pantas menerima gelar ini) bukanlah orang yang selalu asal mendukung pemerintah dan bukan pula seorang akomodasionis yang menuruti keinginan pemerintah karena rasa takut atau karena kepentingan pribadi. Dia secara berhati-hati menjaga kemandirian ekonominya dengan secara halus, namun tegas, menolak bantuan pemerintah kepada dirinya ataupun pesantrennya. Walaupun kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah, secara umum dia punya hubungan baik dengan pejabat pemerintah. Namun, dia merasa seharusnya membuat jarak yang lebih jauh dengan pemerintah ketimbang yang sekarang.

Saya yakin, dia mengatakan apa yang dirasakan banyak ulama, walaupun tidak banyak ulama yang mengugkapkannya secara terus

terang. Kemandirian semacam ini banyak dipuji, namun sudah menjadi barang langka. Terutama sejak organisasi Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan hubungan formalnya dengan partai Islam (ketika itu),PPP, pada tahun 1984. Setelah itu banyak kiai yang telah menjalin hubungan baik dengan Golkar. Melalui saluran ini mereka mendapatkan dana pemerintah dan fasilitas lainnya. Di antara ulama lain pun ketergantungan kepada negara secara keseluruhan berangsur- angsur semakin bertambah besar selama Orde Baru. Perkembangan ini berkali-kali menyebabkan terganggunya hubungan antara umat dan ulama yang dekat dengan pemerintah, namun sekaligus memperbesar popularitas para ulama yang tetap menjaga jarak kritis dengan pemerintah. Tujuan artikel ini adalah mendeskripsikan berbagai corak ulama Indonesia dan organisasi mereka, dan mengeksplorasi hubungan mereka yang bersifat “mendua” dengan pemerintah.

Ulama dan Politik: Nahdlatul Ulama

Contoh paling jelas mengenai keterlibatan ulama dalam politik, tentu saja, dapat dilihat pada Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini berubah menjadi partai politik sejak tahun 1952 (setelah keluar dari Masyumi) hingga fusinya bersama partai-partai Islam lainnya ke dalam PPP pada tahun 1973, dan tetap merupakan bagian paling vokal dari partai ini hingga 1984. NU merupakan sebuah gejala yang unik, tidak hanya di Indonesia tetapi barangkali di seluruh dunia Islam. Sebuah organisasi yang dikontrol oleh para ulama dan memiliki massa pengikut riil. Ia merupakan organisasi massa terbesar di negeri ini, dengan akarnya yang menancap kuat di kalangan penduduk (terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan), dengan kesetiaan pengikutnya yang sangat kuat, hampir-hampir primordial. Organisasi ini, dibandingkan dengan organisasi lainnya, lebih berhasil bertahan atas kebijakan depolitisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru melalui politik “massa mengambang” dan demobilisasi, yang melarang adanya aktivitas partai di bawah tingkat kabupaten. Walaupun biasanya sangat akomodasionis terhadap

pemerintah (yaitu siap menyesuaikan diri dengan kehendaknya), sesuai dengan tradisi politik Sunni, basis massanya yang kuat selalu menjadi sasaran perhatian dan kecurigaan pihak pemerintah Orde Baru. Ini merupakan faktor utama, meski bukan satu-satunya, yang turut mendorongnya meninggalkan “politik praktis” pada tahun 1984.

NU didirikan pada tahun 1926 oleh sekelompok ulama yang berbasis di pesantren-pesantren, dengan tujuan memelihara dan memajukan Islam tradisional sebagaimana yang terwakili dalam

empat madzhab iqh Sunni ortodoks4dan tercantum dalam teks-teks

tradisional yang dipelajari di pesantren, kitab kuning — yang pada

waktu itu diserang oleh kaum Muslim reformis dan modernis. Ia tumbuh menjadi kelompok kepentingan yang besar yang mewakili lingkungan pesantren, dan dikukuhkan baik oleh kharisma kiai senior maupun jalinan rumit hubungan patronage antara guru dan mantan murid. Walaupun ulama hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota dan aktivis NU, mereka selalu menganggapnya sebagai organisasi mereka, sebuah klaim yang secara teori diakui oleh semua anggota. Otoritas tertingginya berada di tangan Pengurus

Besar Syuriah yang dipimpin seorang Rois Aam (pimpinan umum),

sedangkan urusan sehari-harinya diserahkan kepada pengurus

eksekutif (Tanidziyah), yang anggotanya tidak mesti ulama, namun

bertanggung jawab kepada Syuriah. Seringkali terjadi kesenjangan kultural dan geograis antara kedua badan pengurus ini: yang pertama berbasis terutama di pesantren Jawa Timur, sementara yang kedua berbasis di ibukota dan terlibat langsung dalam kehidupan politik nasional.

Partisipasi dalam politik parlemen di masa lalu memberikan banyak ganjaran kepada NU, khususnya ketika partai ini tetap

mendukung Sukarno pada periode Demokrasi Terpimpin.5Sejak

4 Yakni, mazhab fiqh Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali. Dalam praktiknya, ulama tradisional Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i dan hanya sekali-sekali merujuk ke pendapat mazhab lainnya.

tahun 1953 hingga 1971, jabatan Menteri Agama selalu berada di tangan tokoh NU dan Departemen Agama menjadi benteng NU, sehingga partai ini menguasai lapangan kerja cukup luas dan punya akses kepada berbagai fasilitas lainnya yang bisa dibagikan di kalangan anggotanya. Departemen ini mengawasi semua pendidikan agama, dan seorang menteri NU-lah, Saifuddin Zuhri, yang mendorong terjadinya pertumbuhan cepat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) selama tahun 1960-an. Para anggota NU yang duduk di DPR (dan juga di DPRD) juga berada dalam posisi yang dapat membagikan patronage.

Sudah sering dikemukakan bahwa NU lebih berorientasi kepada patronage ketimbang partai lain. Patronage merekatkan ikatan-ikatan antara anggota dan aktivis, dan melalui patronage inilah, bukan gagasan atau program, umat Islam dari luar lingkungan pesantren

ditarik masuk ke dalam NU.6Kehadiran para anggota yang bukan

Nahdliyyin asli ini penting karena pesantren tidak menghasilkan cukup banyak orang dengan kualitas yang sepadan dengan keperluan NU untuk dapat bergerak sebagai sebuah partai politik. Pada tingkat daerah pun, NU juga tergantung kepada anggotanya yang bukan ulama. Cabang-cabang di daerah secara inansial ditopang oleh para pemilik tanah, pedagang, dan usahawan lainnya, sebagai ganjaran atas dukungan moral yang diberikan kiai setempat. Pengurus Tanidziyah adalah penyalur kebanyakan patronage sehingga kedudukannya lebih penting di mata cabang-cabang daerah. Bentuk-bentuk patronage ini lebih kasat mata ketimbang dukungan moral yang diberikan kiai setempat kepada para pengikutnya, dan merupakan perekat awal NU.

Inilah situasi yang melahirkan benih-benih konlik antara kiai dan politisi. Pada pemilu pertama Orde Baru, 1971, NU membuktikan diri sebagai saingan paling berat bagi organisasi yang terakhir (1962-67), Saifuddin Zuhri (Zuhri, 1987).

6 Ward. 1974, hlm. 97-100. Bab yang berkaitan dengan NU dalam buku ini (hlm. 90-113) merupakan salah satu dari sangat sedikit kajian akademik perseptif mengenai organisasi ini.

disponsori pemerintah, Golkar (Ward, 1974). Pemimpin muda dan kontroversial, Subchan, yang tidak disukai banyak ulama karena gaya hidupnya yang “longgar” namun sangat populer di kalangan anggota NU tingkat bawah, melancarkan kampanye yang membuat partai ini sangat konfrontatif terhadap pemerintah. Subchan, yang tidak punya latar belakang keluarga NU, merupakan satu-satunya pemimpin NU yang memainkan peranan dalam pembentukan Orde Baru. Setelah itu muktamar partai 1968 memilihnya menjadi orang

nomor dua di kepengurusan Tanidziyah pusat. Kritiknya yang tajam

atas munculnya kecenderungan-kecenderungan tidak demokratis di dalam tubuh Orde Baru dan usahanya yang gigih membela NU dari serangan Golkar barangkali merupakan alasan utama yang menyebabkan dia terpilih kembali pada muktamar 1971, walaupun

ada veto dari Rois Aam ketika itu, Bisri Syansuri. Ini merupakan

pertanda yang jelas adanya pembangkangan terhadap pemerintah dan mungkin merupakan peristiwa pertama dalam sejarah NU di mana PB Syuriyah ditantang secara terbuka oleh cabang-cabang. Namun, sebulan kemudian Subchan dipecat dari kepengurusan oleh Rois Aam

dan Ketua Tanidziyahnya, Idham Chalid.7

Di bawah kepemimpinan politisi yang lunak, Idham Chalid, yang sudah menjadi ketua Tanidziyah sejak 1955, NU berusaha membangun kembali hubungan baik dengan pemerintah. Pemerintah memberikan kepercayaan kepadanya dengan mengangkat Idham sebagai ketua umum DPR/MPR. Namun, fungsi resmi Idham Chalid yang baru ini tidak sepadan dengan kerugian besar yang diderita NU: pemerintah mengambil sumber utama patronage dari tangan NU, dengan menunjuk Mukti Ali, seorang akademisi netral dan tak berailiasi ke organisasi apa pun sebagai Menteri Agama. Sumber patronage lain melalui wakil-wakilnya di DPR juga berangsur-angsur mengering, ketika NU bersama partai-partai Islam lainnya dipaksa melakukan fusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 7 Tentang peranan Subchan lihat Ward, 1974, hlm. 108-109, 112-113; Mudatsir, 1983; Anam, 1985, hlm. 257-268.

tahun 1973. Sejak tahun 1978, PPP dipimpin Djaelani Naro, seorang politisi praktis yang lihai tanpa massa pendukung namun punya backing kuat di pemerintahan. Naro memastikan bahwa dialah satu-satunya sumber semua patronage dan menyusun langkah-langkah untuk secara sistematik melemahkan suara NU di dalam PPP. Pada tahun 1982, Naro secara terang-terangan memanipulasi daftar nama calon anggota legislatif PPP. Tindakan ini berhasil menutup peluang para tokoh NU paling vokal untuk dapat terpilih kembali. Dalam kondisi seperti ini, tidak banyak keuntungan yang diperoleh NU dengan terus berpartisipasi dalam politik parlemen. Peristiwa ini memperkuat posisi mereka yang, dengan beragam alasan, menginginkan NU meninggalkan arena “politik praktis”.

Dari Oposisi ke Penarikan Diri

Usaha Naro menekan kekuatan NU di DPR bukan tidak berhubungan dengan kenyataan bahwa NU berkali-kali terlibat pertentangan dengan pemerintah selama tahun 1970-an. Dibandingkan dengan yang lain, NU lebih berhasil dalam merebut suara pemilih dan sekaligus membendung perolehan suara Golkar. Para ulama NU mengukuhkan kesetiaan pengikutnya dengan berbagai cara. Beberapa ulama yang menyeberang ke Golkar berhasil dikucilkan; pada tahun 1977 dan 1982 ulama mengeluarkan fatwa yang menyatakan memilih PPP adalah kewajiban bagi umat Islam. Pada tahun 1973, Rois Aam, Bisri Syansuri, dengan tegas menolak Undang-Undang Perkawinan yang diusulkan pemerintah, karena mengandung beberapa pasal yang, menurut beliau, bertentangan dengan syariat. Tindakan ini juga dikuti oleh para anggota DPR dari NU lainnya; mereka menolak pasal-pasal tersebut dan menuntut diadakan perubahan dalam Undang-Undang tersebut. Yang paling spektakuler adalah peristiwa pada Sidang Umum MPR 1978, yang ditujukan untuk mengesahkan Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk lima tahun berikutnya. Dalam Sidang ini, para wakil NU secara terbuka menentang dua agenda utama pemerintah, yaitu rencana indoktrinasi Pancasila dan

pemberian pengakuan resmi bagi Aliran Kepercayaan. Mereka tidak

hanya menyatakan penolakan, namun bahkan melakukan walk out

dari Sidang ketika akan dilakukan voting, dan tindakan ini diikuti

oleh banyak anggota PPP lainnya.

Sebagaimana dengan Undang-Undang Perkawinan, para politisi NU bertindak atas petunjuk ulama (lebih tepatnya, Rois Aam), yang menyatakan bahwa masalahnya sudah menyangkut soal prinsip yang tidak dapat dikompromikan (tentang pendirian NU dalam kasus- kasus ini, lihat Radi, 1984: 115-32; 147-53). Peristiwa ini merupakan pernyataan penolakan paling keras di Indonesia selama Orde Baru, dan membawa akibat-akibat yang sangat jauh. Walaupun pada dasarnya akomodasionis, para ulama NU kali ini menyatakan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan soal-soal prinsipiil bagi umat Islam tidak dapat ditawar-tawar. Penolakan NU tersebut membangkitkan amarah Presiden Soeharto dan menimbulkan keraguan akan kesetiaan NU kepada negara.

Barangkali peristiwa inilah yang menjadi alasan utama pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan, yang diumumkan pada 1983 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang pada tahun 1985. Di luar dugaan banyak pengamat, yang sudah telanjur melihat NU sebagai pengkritik paling radikal terhadap agenda modernisasi Orde Baru, kali ini NU tidak menentangnya atau bahkan mengajukan protes. NU justru merupakan organisasi besar pertama yang secara formal menjadikan Pancasila, di samping Islam, sebagai asas tunggalnya. Jika para pengritik menuduh mereka tidak konsisten, ulama NU dapat menjawab bahwa sekarang masalahnya tidak menyangkut soal prinsip. Mereka telah menyusun sebuah rumusan, yang dapat diterima pemerintah, yang memungkinkan mereka secara formal menerima undang-undang baru itu tanpa mengorbankan satu inci pun komitmen mereka kepada Islam. Pada dasarnya, ini berarti pendeinisian kembali atas apa yang dimaksud dengan “asas”. Klausul dalam AD/ART NU yang menyatakan bahwa NU didasarkan atas Islam diganti dengan

“berasaskan Pancasila”, namun diikuti dengan klausul baru mengenai aqidah dan tujuan organisasi, yang memungkinkan NU memelihara identitasnya sebagai ormas Islam tanpa perubahan mendasar. Para ulama pemuka NU meyakinkan diri mereka sendiri bahwa perubahan ini tidak berarti lebih dari menegaskan kembali kesetiaan mereka kepada negara Indonesia dalam bentuknya yang sekarang, yang tidak pernah mereka pertanyakan.

Kompromi ini tercapai bukan tanpa konlik dan perubahan anggota dalam tubuh kepemimpinan NU. Bisri Syansuri, Rois Aam yang berkali-kali menentang kebijakan pemerintah, sudah meninggal dunia pada tahun 1980. Dia merupakan satu-satunya tokoh yang masih hidup di antara para ulama Jawa Timur yang mendirikan NU pada tahun 1926, dan tidak ada seorang pun yang punya reputasi yang sama untuk menggantikannya. Melalui acara Musyawarah Nasional Ulama (Munas) dipilihlah seorang ulama berpengetahuan mendalam namun tidak sangat terkenal, KH. Ali Maksum dari Yogyakarta, sebagai penggantinya. Ali Maksum, seorang kiai senior namun berpikiran modern, dan para ulama lainnya sangat kecewa dengan perilaku Naro terhadap NU menjelang pemilu 1982, dan bahkan semakin kecewa ketika mengetahui bahwa Idham Chalid, ketua Tanidziyah, telah turut serta dalam manipulasi daftar nama calon anggota DPR itu.

Faktor yang kurang diungkapkan secara terbuka, namun sama pentingnya, adalah fakta bahwa Idham semakin sedikit punya patronage yang dapat dibagikan. Banyak kiai merasa tidak memperoleh apa yang mereka harapkan darinya. Dengan maksud yang jelas untuk memulihkan kembali kontrol ulama atas NU, ulama senior akhirnya mendesak Idham Chalid mengundurkan diri dari Tanidziyah, dan menyelenggarakan sebuah Munas Ulama pada 1983. Dalam Munas inilah penarikan diri NU dari politik praktis diputuskan.8

Keluarnya NU dari PPP dinyatakan dengan ungkapan 8 Tentang krisis pada tahun-tahun ini, dan pengunduran diri Idham Chalid secara terpaksa, yang kemudian dia cabut kembali, lihat Adnan, 1982; Irsyam, 1984; Soebagijo, 1982, hlm. 229-39; Jones, 1984.

positif sebagai “kembali ke Khittah 1926”, yang mengandung arti pengembalian kendali organisasi ke tangan ulama. Anggota NU sebagai individu tetap diperbolehkan bergabung dengan partai yang mereka sukai, namun pengurus NU dilarang menjabat sebagai pengurus di PPP (atau partai lainnya). Gagasan Khittah, dan rumusan mengenai apa yang dimaksudkan, berasal dari seorang kiai yang unik, yang menjadi terkenal dalam waktu singkat, KH. Achmad Siddiq dari

Jember.9Achmad Siddiq-lah yang dalam Munas tersebut, mengusulkan

rumusan kompromi yang memungkinkan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal NU. Para peserta semula tidak bersimpati kepada gagasan ini, namun atas dukungan para kiai senior, argumen-argumen Achmad Siddiq diterima oleh Munas sebagai doktrin utama NU. Muktamar 1984 mengukuhkan rumusan baru mengenai hubungan umat-negara ini dengan memilih KH. Achmad Siddiq sebagai Rois Aam.

Berbagai kelompok di dalam NU mendukung keputusan penarikan diri dari politik praktis tersebut, dengan alasan-alasan berbeda-beda namun saling bertemu. Ada banyak ulama yang merasa bahwa pertarungan politik telah mengalihkan begitu banyak perhatian dari apa yang mereka pandang sebagai tugas yang sebenarnya, dakwah dan pembinaan umat. Sekelompok ulama dan intelektual, yakni karena merasa prihatin menyaksikan ketimpangan yang ditimbulkan kebijakan pembangunan “dari atas ke bawah” dan menyadari bahwa massa pengikut NU merupakan bagian dari masyarakat yang kurang diuntungkan dalam proses tersebut, tertarik kepada model pembangunan alternatif, pembangunan yang bercorak “dari bawah ke atas” dan lebih partisipatif. Mereka merasa bahwa pesantren dapat

9 K.H. Achmad Siddiq, di samping putra seorang kiai dan memimpin pesantren warisan ayahnya, pernah meniti karir sebagai pejabat Departemen Agama. Posisinya yang pertama adalah sebagai sekretaris Wahid Hasyim, Menteri Agama NU pertama; hubungan ini mungkin telah membantunya dalam menapaki tangga hierarki di NU dengan cepat. Gagasan-gagasannya mengenai bagaimana NU seharusnya itu pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979 dalam sebuah buku kecil yang berjudul Khitthah Nahdliyyah (Siddiq, 1979).

dan seharusnya merupakan pusat-pusat pengembangan masyarakat, di samping sebagai pusat pendidikan tradisional.

Kelompok ini kecil namun berpengaruh. Selain itu, ada juga alasan yang lebih pragmatis bagi pemutusan hubungan secara formal dengan dunia politik. Banyak pedagang dan pengusaha pendukung NU merasa dirugikan karena adanya anggapan bahwa NU “tidak setia” kepada negara, terutama sejak 1978. Para pejabat pemerintah tingkat daerah, yang menyimpan rasa curiga berlebihan, tidak hanya berusaha menghalangi mereka mendapatkan proyek pemerintah, tetapi berkali-

Dalam dokumen Rakyat Kecil Islam dan Politik (Halaman 153-185)

Dokumen terkait