• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti yang telah dijelaskan Merriam (1964:225) bahwa tidak semua unsur kebudayaan memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi, dan sebagainya. Musik adalah suatu perwujudan dan aktivitas yang bertujuan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Musik tradisional Karo lebih banyak dihubungkan dengan akativitas adat serta keagamaan sehingga unsur hiburan pada khususnya menjadi samar-samar (tidak muncul secara langsung). Kehadiran keyboard dalam kebudayaan musik tradisional Karo menunjukkan bahwa ketika menjalankan seremonial adat istiadat Karo, unsur-unsur emosi serta hiburan sekaligus juga terekspresikan. Aktivitas landek dalam upacara adat menjadi sebuah bagian yang menarik bagi sebagian besar masyarakat Karo. Dengan demikian gendang kibod tidak hanya berfungsi dalam mendukung pelaksanaan adat-istiadat tetapi sekaligus juga dapat mengeks-presikan unsur emosi serta hiburan bagi masyarakat pendukungnya.

Apabila kegiatan adat istiadat yang disertai dengan gendang kibod telah mengandung unsur hiburan yang bermanfaat bagi masyarakat Karo maka kehadiran alat musik keyboard tersebut serta kehadiran masyarakat pendukung kebudayaan tersebut dalam suatu ritual adat menjadi semakin terbuka. Musik dalam kegiatan adat istiadat tidak lagi berfungsi sebagai mengiringi upacara adat, tetapi telah menyatu menjadi kebutuhan akan penayaluran emosi serta hiburan bagi peserta upacara adat tersebut. Masyarakat tradisional Karo semakin sering berinteraksi, berkomunikasi dalam aktivitas gendang kibod karena kehadiran gendang kibod tersebut memberikan fungsi hiburan bagi mereka. Dengan demikian, perubahan yang terjadi dalam pemakaian alat musik dalam kebudayaan daerah Karo

memiliki fungsi mengiringi upacara adat, sekaligus juga berfungsi sebagai hiburan bagi peserta upacara adat tersebut.

Fungsi Hiburan

Malinowski (dalam Koentjaraningrat 1987:71) menguraikan bahwa semua aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia. Dihubungkan dengan kesenian sebagai aktivitas kebudayaan dalam suatu masyarakat maka keberadaan suatu bentuk kesenian tidak semata-mata ditentukan oleh seniman sebagai pelaku kesenian, namun yang lebih penting lagi adalah terletak pada penerimaan masyarakat sebagai penikmat dan sekaligus apresiator terhadap suatu bentuk kesenian. Dengan perkataan lain, sekuat apapun seorang seniman mempertahankan atau melestarikan satu bentuk kesenian, kesenian tersebut akan ditinggalkan masyarakatnya jika masyarakat menganggap sudah tidak memadai lagi fungsinya dalam melayani kebutuhan masyarakat tersebut. Sebaliknya, secanggih apapun seorang seniman melakukan inovasi atau perubahan, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa sepanjang masyarakat pemilik kesenian tersebut tidak mendukung ide perubahan tersebut.

Hal tersebut di atas sesuai dengan yang terjadi dalam perubahan alat musik yang terjadi pada masyarakat Karo. Perubahan alat musik dapat diterima oleh masyarakat Karo karena masyarakat pendukungnya merasakan terdapat fungsi-fungsi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Secara tradisional, fungsi musik sebagai hiburan dalam arti terlibat langsung sebagai pelaku bagi orang Karo yang telah berumah tangga (telah menikah) menjadi berkurang. Gendang guro-guro aron sebagai salah satu seni pertunjukan tradisional Karo yang memiliki fungsi hiburan merupakan aktivitas pemuda-pemudi yang belum berumahtangga (anak perana singuda-nguda). Seorang laki-laki atau perempuan Karo yang telah menikah maka secara otomatis tidak bisa lagi berperan menjadi aron simantek dalam sebuah gendang guro-guro aron. Memang, kelompok orang tua juga memiliki peluang untuk menari, bahkan menyanyi dalam suatu gendang guro-guro aron, namun kesempatan tersebut cukup terbatas dari sisi waktu karena pada dasarnya konteks seni pertunjukan tersebut adalah seni pertunjukan muda-mudi.. Dengan terbatasnya waktu, tidak mungkin semua kelompok orang tua mendapat kesempatan untuk menari dan menyanyi. Oleh karena itu, peran orang tua dalam gendang guro-guro aron pada umumnya adalah sebagai penonton (sindedah). Sedikitnya peluang para

orang tua untuk menari sebagai bagian dari fungsi hiburan mengakibatkan rasa estetika yang ada dalam dirinya menjadi terkekang (tidak tersalurkan).

Ketika gendang kibod telah sering dipergunakan dalam gendang guro-guro aron, muncullah gagasan untuk menggunakannya dalam kegiatan yang berbentuk adat (kerja). Gagasan ini dapat dipastikan muncul dari pihak orang tua karena unsur-unsur yang terlibat dalam suatu upacara adat Karo adalah para orang Karo yang telah menikah. Secara adat, orang Karo yang belum menikah—berapapun umurnya—tidak memiliki peranan atau pun kewajiban dalam suatu upacara adat.

Kerja perjabun sebagai suatu seremonial yang bersifat gembira merupakan konteks awal masuknya gendang kibod. Awal pemakaian gendang kibod pada upacara perkawinan Karo adalah pada acara gendang serayaan. Gendang serayaan merupakan kegiatan hiburan dalam bentuk menari dan menyanyi diiringi musik pada upacara perkawinan adat Karo. Secara tradisional, gendang serayaan (yang diiringi gendang lima sedalanen) diperuntukkan bagi kelompok anak beru serta kelompok anak perana singuda-nguda pada malam hari ketika mempersiapkan makanan untuk keperluan upacara besoknya. Kalaupun ada kesempatan gendang adat, waktu yang disediakan biasanya hanya sedikit karena pada dasarnya memang ditujukan pada anak beru dan anak perana singuda-nguda yang berkerja di dapur.

Masuknya gendang kibod dalam gendang serayaan mengakibatkan peserta yang terlibat menjadi berkembang, tidak hanya ditujukan kepada anak beru dan anak perana singuda-nguda. Dalam kesempatan ini, seluruh kelompok peserta upacara mendapat kesempatan menari. Pasangan suami istri akan menari seperti anak perana singuda-nguda menari dalam gendang guro-guro aron. Mereka datang dalam suatu upacara berdasarkan perannya sebagai salah satu unsur kekerabatan dari orang yang mengadakan upacara adat. Beberapa di antara pasangan suami istri yang menari tersebut sekaligus juga bernyanyi, seperti perkolong-kolong beryanyi dalam gendang guro-guro aron. Dalam upacara memasuki rumah baru juga tidak jauh berbeda kondisinya. Setiap pasangan suami-istri memiliki kesempatan untuk menari bersama. Dengan demikian, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo memiliki fungsi hiburan yang lebih menyeluruh bagi semua kalangan, tidak hanya kalangan pemuda dan pemudi, tetapi juga kalangan orang tua pada umumnya. Kelompok orang tua memiliki berbagai kesempatan menari sebagai bagian dari fungsi hiburan.

Perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo juga melahirkan kebiasaan baru, yaitu: adu pengantin, yaitu kedua penganten (yang akan

diresmikan secara adat besok harinya) menari bersama sekaligus bernyanyi secara bergantian. Kebiasaan ini juga juga berfungsi sebagai hiburan bagi seluruh peserta upacara.

Fungsi Ekonomi

Munculnya gendang kibod ternyata membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kalangan seniman tradisional Karo saat ini, khususnya perkolong-kolong. Dengan semakin seringnya dilaksanakan seni pertunjukan gendang guro-guro aron pada masyarakat Karo, maka perkolong-kolong sebagai salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari seremonial tersebut semakin sering mendapat panggilan untuk bernyanyi. Berdasarkan sistem dan standard imbalan (upah) yang diterima perkolong-kolong saat ini maka profesi sebagai perperkolong-kolong-perkolong-kolong saat ini merupakan suatu pekerjaan yang cukup dihargai secara ekonomis. Dalam satu malam penampilan perkolong-kolong saat ini, masing-masing akan mendapatkan bayaran sekitar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 900.000,-(sembilan ratus ribu rupiah).

Selain itu, munculnya banyak pemain keybaord Karo (perkibod) dari kalangan usia yang muda (umur 20an tahun sampai 30an tahun) cukup menggambarkan bahwa profesi perkibod memiliki fungsi secara ekonomis. Walaupun tidak semua perkibod mendapat bayaran yang sama besarnya dengan yang diperoleh perkolong-kolong, namun beberapa di antaranya telah memiliki standar bayaran tertentu yang tidak jauh berbeda dengan perkolong-kolong. Dengan demikian, perubahan alat musik memiliki fungsi secara ekonomis bagi kalangan seniman tradisional Karo.

Perubahan alat musik dalam arti terjadinya pergantian pemakaian alat musik dalam kesenian tradisional Karo ternyata tidak dapat sepenuhnya menghilangkan peran musik tradisional gendang lima sedalanen dalam masyarakat Karo. Sampai saat ini masih terdapat beberapa kelompok musik tradisional gendang lima sedalanen yang setiap saat dapat dipanggil untuk mendukung suatu upacara adat. Kelompok tersebut tidak hanya tinggal di daerah pedesaat di wilayah kabupaten Karo, melainkan juga terdapat di wilayah perkotaan seperti di kota Medan. Menurut Ismail Bangun (penarune/penggual) terdapat 6 (enam) kelompok sierjabaten di kota Medan. Kelompok tersebut tidak hanya bermain di sekitar kota Medan, tetapi juga sering dipanggil untuk mendukung suatu upacara adat di wilayah kabupaten Karo. Hal ini juga tidak berarti bahwa di wilayah kabupaten Karo tidak terdapat kelompok sierjabaten karena di Kabanjahe juga terdapat beberapa sierjabaten musik tradisional Karo yang bersedia dipanggil setiap

saat. Di Kabanjahe juga terdapat satu warung kopi yang dinamakan kede kopi penggual (warung kopi musisi tradisonal Karo). Masyarakat Karo juga telah mengerti akan keberadaan warung tersebut, sehingga ketika membutuhkan sierjabaten, biasanya akan mencari ke warung kopi tersebut.

Gendang lima sedalanen masih memiliki peluang untuk tampil di beberapa upacara adat, seperti ritual kematian. Walaupun belum didapat data-data konkrit tentang kaitan antara perubahan alat musik tersebut, pada saat sekarang ini imbalan (upah) yang diterima sierjabaten gendang lima sedalanen berkisar antara Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- dalam satu kali sangket. Perbedaan ini jumlah bayaran yang diperoleh tersebut berkaitan dengan kepopuleran sebuah kelompok sierjabaten dan jauh dekatnya wilayah tempat mengadakan pertunjukan. Total imbalan terhadap sierjabaten tersebut akan dibagi kepada 4 (empat) orang dalam satu kelompok sierjabaten. Menurut pengakuan beberapa orang seniman Karo, seperti: Kebun Tarigan (penarune), Ismail Bangun (penarune dan penggual), imbalan (upah) yang diterima seorang sierjabaten dalam mendukung suatu upacara tradisional Karo saat ini telah cukup memuaskan.

Dengan demikian, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo bukan hanya berfungsi secara ekonomis bagi para pelaku kesenian di dalam genre gendang kibod, tetapi, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, perubahan alat musik tersebut juga berfungsi secara ekonomis bagi para pelaku gendang lima sedalanen (sebagai musik yang sebagian besar telah kehilangan perannya dalam kebudayaan Karo).

Fungsi Imitasi dan Individu

Perubahan alat musik yang diawali dengan pengabungan (kolaborasi) antara gendang lima sedalanen dengan keyboard berkembang menjadi usaha-usaha peniruan pola-pola bunyi musik tradisional Karo melalui fasilitas program irama musik yang terdapat pada keyboard. Peniruan pola bunyi musik Karo di dalam program keyboard tersebut pertama sekali menghasilkan irama gendang patam-patam. Irama gendang patam-patam dipergunakan untuk mengiringi tari yang sering disebut gendang salih. Selanjutnya, program peniruan pola irama musik Karo juga dilakukan terhadap irama musik yang biasa untuk mengiringi tari dan sekaligus mengiringi nyanyian perkolong-kolong. Kedua program imitasi tersebut selanjutnya dikembangkan dengan beberapa variasi, namun pola dasarnya tetap mengacu kepada irama musik Karo dalam mengiringi tari hiburan. Dengan adanya dua jenis program imitasi irama musik Karo tersebut,

keyboard telah dapat mengiringi tarian sekaligus nyanyian perkolong-perkolong tanpa disertai gendang lima sedalanen.

Kreativitas seniman tradisional Karo terus berkembang dalam usaha peniruan pola irama musik Karo dan akhirnya telah dapat memprogram irama musik Karo yang biasa digunakan untuk mengiringi tarian adat, yaitu gendang simalungen rayat. Dengan adanya program imitasi gendang simalungen rayat maka alat musik keyboard telah dapat digunakan untuk mengiringi tarian adat pada masyarakat Karo. Genre musik inilah yang disebut gendang kibod. Gendang kibod merupakan program imitasi irama musik ensambel musik tradisional Karo gendang lima sedalanen yang dihasilkan melalui alat musik keyboard.

Genre gendang kibod mengakibatkan konsep sierjabaten dalam kesenian tradisional Karo menjadi berubah. Sierjabaten pada ensambel gendang lima sedalanen terdiri dari 4 (empat) atau 5 (lima) orang pemain musik. Setiap pemusik memainkan satu alat musik. Sedangkan genre gendang kibod hanya membutuhkan 1 (satu) orang pemain musik, yaitu pemain keyboard (perkibod). Dengan demikian, perubahan alat musik mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah pemusik dalam seni pertunjukan kesenian tradisional Karo. Pemusik yang sebelumnya berjumlah minimal 4 (empat) orang dalam ensambel gendang lima sedalanen, berubah menjadi hanya 1 (satu) orang pemusik dalam genre gendang kibod. Pemusik tradisional Karo yang sebelumnya berperan secara kolektif dalam gendang lima sedalanen berubah menjadi pemusik yang berperan secara tunggal (individu) dalam genre gendang kibod.

Dengan demikian, perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo, selain memiliki fungsi imitasi dalam menghasilkan musik, sekaligus juga memiliki fungsi individualis dalam peranan pemusik.

Maka Peruahan Alat Musik

Umar Kayam (dalam Sachari 2002:52) mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) ciri-ciri khas nilai-nilai estetik tradisional dalam kebudayaan masyarakat agraris yang memiliki sifat-sifat khas masyarakat petani tradisional. Pertama, nilai-nilai estetik memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, nilai-nilai estetik yang merupakan pencerminan satu kultur yang berkembang secara perlahan, karena dinamika yang menunjangnya. Ketiga, nilai-nilai estetik yang merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, nilai-nilai estetik

yang bukan merupakan kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya.

Nilai-nilai estetik tradisional yang dikemukakan di atas sesuai dengan nilai estetika yang terdapat dalam musik tradisional gendang lima sedalanen pada masyarakat Karo. Musik tradisional Karo merupakan bagian dari satu kultur terbatas, yaitu kebudayaan etnik Karo. Gendang guro-guro aron dipergunakan berkaitan dengan ritual sistem pertanian tradisional masyarakat Karo di pedesaan kabupaten Karo. Spesialisasi memang telah muncul secara perlahan, seperti: penarune, penggual, namun dalam kesehariannya orang-orang yang memiliki kemampuan memainkan alat musik tersebut juga adalah seorang petani. Artinya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, seorang pemain musik tidak dapat mengandalkan pekerjaannya dari bermain musik karena imbalan (upah) yang diterima dari bermain musik tidak mencukupi; bahkan lebih jauh lagi “penghormatan” (upah) yang diterima sebenarnya lebih ditujukan kepada alat musiknya.

Komposisi-komposisi musik tradisional yang biasa dimainkan gendang lima sedalanen, seperti: gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam dan lainnya juga tercipta secara anonim (tidak diketahui siapa penciptanya). Demikian pula bentuk-bentuk tari, seperti: tari lima serangke, telu serangke juga merupakan hasil kolektivitas masyarakat Karo karena tidak diketahui siapa penciptanya.

Terjadinya perubahan alat musik dalam kesenian Karo mengakibatkan nilai-nilai yang terkandung dalam estetika musik menjadi berubah pula. Berikut ini akan ditelusuri sejauh mana makna perubahan alat musik bagi masyarakat Karo.

Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Berdasarkan bentuk, perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo Sumatera Utara memiliki beberapa tahapan (proses) sampai pada akhirnya melahirkan satu genre musik, yaitu gendang kibod. Pertama, alat musik kulcapi digabungkan dengan ensambel gendang lima sedalanen mengakibatkan gendang guro-guro aron menjadi sebuah seni pertunjukan yang digemari pada masyarakat Karo. Kedua, alat musik keyboard digabungkan dengan gendang lima sedalanen plus kulcapi dalam konteks seni pertunjukan yang sama. Penggabungan ini mengakibatkan gendang guro-guro aron menjadi semakin sering dilaksanakan, baik di lingkungan

pedesaan kabupaten Karo, maupun di lingkungan perkotaan komunitas orang Karo seperti di Medan, ibu kota propinsi Sumatera Utara.

Ketiga, melalui keyboard mulai dibuat program irama musik menyerupai irama musik gendang lima sedalanen sehingga melahirkan genre gendang kibod. Keempat, lahirnya gendang kibod mengakibatkan alat musik keyboard sudah dapat dipergunakan untuk mendukung (mengiringi) gendang guro-guro aron secara tunggal, tanpa disertai gendang lima sedalanen. Kelima, dengan adanya genre gendang kibod, alat musik keyboard juga dipergunakan untuk mengiringi upacara adat Karo, seperti: kerja perjabun, kerja mengket rumah mbaru, kerja erpangir ku lau. Dari sisi pemakaian musik dalam upacara adat, perubahan alat musik mengakibatkan keyboard semakin sering diikutsertakan dalam pelaksanaannya. Dari segi musik sebagai pengiring tari, penggunaan gendang kibod sangat dominan dalam mengiringi tari, baik tari adat, maupun tari hiburan.

Dari sisi jenis komposisi, perubahan alat musik mengakibatkan berbagai lagu populer, baik lagu populer daerah Karo, maupun lagu populer Indonesia, dan lagu-lagu dangdut, serta beberapa lagu populer Barat dapat dipergunakan dalam mengiringi tarian dalam konteks seni pertunjukan tradisional Karo. Dari sisi gerakan tari, tarian adat semakin dinamis dengan mengarah kepada tari hiburan. Selanjutnya muncul pula kebiasaan baru dalam upacara perkawinan Karo, yaitu kedua penganten menari bersama dan sekaligus bernyanyi secara bergantian. Kebiasaan bernyanyi ini juga muncul dari kalangan orang tua dalam upacara perkawinan dan upacara memasuki rumah baru. Ketika penganten bernyanyi lahir pula kebiasaan pemberian dukungan berupa uang (cokong-cokong) yang diatur secara adat Karo. Pemberian dukungan uang tersebut juga muncul pada setiap orang yang bernyanyi dalam upacara adat, walaupun tidak diatur secara adat. Dari sisi tempat pertunjukan, masih mempertahankan tempat yang lama, yaitu jambur. Dari sisi konteks pertunjukan masih dilaksanakan dalam konteks upacara tradisional Karo, yaitu: konteks gendang guro-guro aron, konteks kerja perjabun, konteks mengket rumah mbaru, konteks erpangir ku lau, dan sebagian kecil ritual penguburan jenazah. Dari sisi pakaian (kostum), setiap penari (khususnya laki-laki) masih mengacu pada perlengkapan menari secara tradisional, yaitu menggunakan sarung (kampoh). Berdasarkan teori akulturasi, perubahan alat musik tersebut melahirkan bentuk-bentuk baru dalam kebiasaan menari dan menyanyi, oleh karena itu masih relevan dengan teori akulturasi. Berdasarkan teori Velben dan Ogburn, perubahan alat musik mengkibatkan seni pertunjukan tradisional Karo memiliki ketergantungan secara teknologi.

Dari sisi fungsi, perubahan alat musik yang terjadi pada masyarakat Karo memiliki berbagai fungsi, yakni: fungsi penghayatan estetis, fungsi komunikasi, fungsi yang berkaitan dengan norma-noram sosial, fungsi pengintegrasian masyarakat, fungsi perubahan musik, fungsi dan hiburan, fungsi hiburan, dan fungsi ekonomi.

Daftar Pustaka

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis. Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, terj. Nurhadi.

Anonim. 2002. Kabupaten Karo Dalam Angka. 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo.

Anonim. 2002. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Surabaya:Bina Pustaka Tama.

Anonim. 2003. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Univertas.

Astra, I Gde Semadi. 2003, Guratan Budaya dalam Pesepektif Multikultural. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Bachtiar, Harsya W. 1991. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian dalam

Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Bandem, I Made. 1985. Etnologi Tari. Denpasar: Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub/bagian Proyek Peningkatan dan Pengembangan Akademi Seni Tari Indonesia, Denpasar.

Bandem, I Made dan Sal Murgianto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Denpasar: STSI Denpasar.

Bangun, Payung. 1985. Kebudayaan Batak dalam Manusia dan Kebudayaan

Indonesia (Koentjaraningrat, red) Jakarta: PT Jambatan

Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Orang Karo, Jakarta: Yayasan Merga Silima Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo, Jakarta: Inti Idayu Press

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, terj. Nurhadi

Bramantyo, Tryiono. 2004. Disseminasi Musik Barat Di Timur. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia

Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat Istiadat Karo, Hasil Kongres 1965, Kabanjahe: Toko Bukit.

Djelantik, A.A. 1999. Estetika: Sebuah Pengantar: Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Haviland, William A. 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga, terj. R.G. Soekadijo Ihromi, T.O. (ed). 1996. Pokok Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Kaplan, David, dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Kartomi, Margaret J. 1981. “The Processes and Results of Musical Cultural Contact: A Discussion of Terminology and Concept” in Ethnomusicology No. XXV-2:B. Bloomington: Indiana University Press

Koentjaraningrat. 1991. “Metode Wawancara” dalam Metode-metode Penelitian

Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

---. 1994 Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, terj. Alimandan

Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik Kitsch Kontemporer, Sebuah Studi Tentang Seni

Pertunjukan Jawa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mack, Dieter. 2004. Musik Kontemporer & Persoalan Interkultural. Jakarta: Arti Mardimin, Johannes (ed). 1994. Jangan Tangisi Tradisi. Transformasi Budaya

Menuju Masyarakat Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.

Merriam, Alan P. 1964. The Anhropology of Music. Chicago: North Western University Prees.

---. 1992. Metode dan teknik Penelitian dalam Etnomusikologi. Surakarta: MSPI, terj. Santosa dan Rizaldi Siagian

Muhadjir, Noeng. 2002, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss

Nettl, Burno. 1964. Theory and Method in Ethnomusikilogi. New York: The Free Perss

Pelly, Usman & Asih Menanti. 1994. Teori-teori Ilmu Sosial Budaya. Jakarta:Dirjen Dikti. Depdikbud.

Pelto, Pertty J. Dan Gretel H. Pelto. 1978. Anthropological Recearch: The Structure

of Inguiry. Second Edition London: Cambridge University Perss.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan

Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung:

Mizan.

---. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS

Prinst, Darwan & Darwin Prinst. 1985. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Jakarta: cv. GRAMA.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Juxtapse research and publication studi club bekerjasama dengan KREASI WACANA.

Rohendi, Tjetjep. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adatptasi Simbolik Terhadap

Kemiskinan, Bandung: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendikia.

Sachari, Agus & Yan yan Sunarya. 2001. Wacana Transformasi Budaya, Bandung: ITB Bandung.

Dokumen terkait