• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI PENYUNTING. Etnomusikologi, Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DARI PENYUNTING. Etnomusikologi, Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN:"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Etnomusikologi,

Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721

DARI PENYUNTING

Manusia adalah makhluk yang memerlukan pemusan akan rasa keindahan dalam dirinya. Untuk itulah muncul seni dalam setiap kelompok manusia, apakah itu dalam bentuk keluarga, masyarakat, etnik, atau bangsa. Kesenian dapat berfungsi dan memiliki makna-makna. Kedua aspek seni ini menjadi focus dan tema jurnal Etnomusikologi kali ini.

Tiga orang penulis, yang kesemuanya adalah dosen di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan, menyumbangkan pikiran-pikiran mereka sebagai hasil penelitian lapangan, berdasarkan minat mereka. Yang pertama, Prikuten Tarigan menyoroti akulturasi dan fungsi musik dalam kebudayaan Karo. Kemudian Torang Naiborhu melihat dan menguraikan fungsi komunikasi gondang hasapi dalam upacara sipahasada dalam kelompok religi Parmalim di Tanah Toba. Selanjutnya, Fadlin yang selama ini banyak meneliti musik Melayu, melihat dan mengaalisis keberadaan busana pengantin Melayu, makna dan strukturnya. Akhir kata, redaksi mengucapkan, “Selamat menikmati tulisan-tulisan tersebut dan salam kesenian.”

(2)

Etnomusikologi,

Nomor 7 Tahun 4 Maret 2008 ISSN: 1858-4721

DAFTAR ISI

Dari Penyunting i

Daftar Isi ii

Akulturasi dan Fungsi Musik dalam Budaya Karo

Prikuten Tarigan 1-71

Gondang Hasapi sebagai Medium Komunikasi kepada Pencipta: Kajian dalam Konteks Upacara Sipahasada Parmalim

Torang Naiborhu 72-86

Busana Pengatin Melayu Sumatera Utara: Struktur dan Maknanya

(3)

Etnomusikologi,Nomor 7, Tahun 4, Maret 2008 ISSN: 1858-4721

AKULTURSI DAN FUNGSI MUSIK

DALAM BUDAYA KARO

Prikuten Tarigan

Dosen Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract

This paper will be discuss about acculturation and function of North Sumatra Karo ethnic cultural music in their life. The acculturation process in their culture continued their traditional music and adopted some modern music elements, such as use the keyboard instrument, national and international popular music, and so on. The Karonese musical culture use in the some cultural activities, such as in go to the new home, traditional bathng ceremony, supernatural communicated, and so on. In the other hand, their music function as entertainment, religious beleief, social integration, enforced the culture identitiy, communication, and so on.

Latar Belakang Masalah

Perkembangan musik-musik tradisional di Indonesia dalam tiga dasawarsa belakangan ini ditandai dengan munculnya musik-musik kolaborasi, yaitu suatu musik yang dihasilkan dari perpaduan alat-alat musik yang berbeda, baik latar belakang budaya maupun gaya musiknya. Secara umum, musik kolaborasi ini menggabungkan dua jenis alat musik yang berbeda tradisi, yang satu adalah alat-alat musik Barat (diatonis) dan yang lainnya adalah alat-alat musik tradisional yang terdapat di Indonesia. Bentuk (hasil) musik kolaborasi itu sendiri banyak ragamnya karena jenis-jenis alat musik dan konsep musik yang digabungkan juga bermacam-macam.

Salah satu bentuk musik kolaborasi yang cukup dikenal di dalam kebudayaan musik di Indonesia adalah musik campursari pada kesenian masyarakat Jawa. Efix (Kompas 2001:1) menguraikan bahwa “kalau ada jenis musik yang hidupnya sangat bergairah belakangan ini, pasti salah satunya adalah campursari. Itulah jenis musik yang memadukan kultur musik gamelan dengan tradisi musik Barat.” Musik campursari pada awalnya merupakan gabungan antara alat-alat musik tradisional Jawa dengan alat musik keroncong, antara lain ukulele, seruling, bas betot, serta

(4)

instrumen lain. Sekitar tahun 1993, alat-alat musik keroncong diganti dengan alat-alat musik Barat, seperti gitar bas listrik, gitar melodi listrik, organ dan drum. Gabungan dari alat-alat musik tersebut digunakan untuk, baik itu memainkan lagu-lagu Jawa dan lagu populer Indonesia, maupun mengiringi penyanyi dalam menyanyikan lagu-lagu tersebut, dan itulah yang dinamakan musik campursari. Arti kata ”campursari” sendiri, diambil dari kata ”campur” dan ”sari.” Campur lantaran berbaurnya beberapa alat musik, baik yang tradisional maupun modern, campur aduk jadi satu. Sari berarti eksperimen tadi menghasilkan jenis irama lain dari yang lain, irama yang rancak dan enak dinikmati. Menurut Suparno (Pikiran Rakyat 2003:1) musik campursari ini pada awalnya dicetuskan (dilahirkan) oleh Manthous, seorang pemusik yang mempunyai latar belakang pemain bas keroncong. Sebelum melahirkan musik campursari, Manthous sebenarnya telah berkarya dalam musik pop Indonesia, khususnya dalam mencipta lagu. Lagu-lagu ciptaannya antara lain ”Surga Neraka,” dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang, ”Jamilah” dinyanyikan oleh Jamal Mirdad, dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Manthous sebenarnya memiliki latar belakang musik Barat, karena musik keroncong berdasarkan sejarahnya dibawa oleh bangsa Portugis ke Indonesia beberapa abad yang lalu. Judith Becker (dalam Bramantyo 2004: 98) menjelaskan bahwa “keroncong adalah istilah umum untuk populer, lagu-lagu sentimentil yang dinyanyikan di seluruh Indonesia dan pada umumnya dipercaya diperkenalkan oleh Portugis pada sekitar abad enam belas.”

Walaupun tidak disebutkan sebagai musik kolaborasi, Franki Raden dalam Dieter Mack (2001:23) menuliskan bahwa “sementara itu dari pihak komponis diatonis barat generasi 70-an juga muncul para komponis yang menggarap karyanya dengan memanfaatkan intrumen tradisional dan pendekatan estetika yang justru berangkat dari konsep musik tradisional, antara lain adalah Harry Roesly, Guruh Sukarnoputra...“ Genre musik perpaduan musik Barat dengan musik tradisi di Indonesia masih terus dilakukan oleh berberapa musisi populer di Indonesia yang antara lain dilakukan oleh Dwiki Dermawan dengan Krakatau Band-nya.Lukmanul Hakim (Republika 2004:9) mengatakan bahwa Dwiki meramu musik Krakatau Band dengan memadukan unsur musik etnik Sunda dan musik modern.

Mack (2001:42-47) mengatakan bahwa telah banyak komponis Indonesia yang tidak secara langsung berakar pada budaya karawitan menghasilkan karya musik yang disebutnya sebagai musik kontemporer. Dia mengemukakan beberapa komponis musik kontemporer di Indonesia

(5)

seperti Slamet Abdul Sjukur, Paul Gutama Soegijo, Suka Harjana, Ben Pasaribu, Harry Rusli dan lain-lain. Semua komponis kontemporer tersebut menghasilkan gaya musik yang berbeda-beda. Walaupun latar belakang keahlian musik mereka kebanyakan dari musik Barat, beberapa di antaranya memanfaatkan unsur-unsur musik etnik Indonesia, seperti alat musik tradisi atau konsep musik tradisi itu sendiri.

Kayam (dalam Sachari 2002:53) menguraikan pula bahwa musik gambang kromong Jakarta lahir karena bertemunya alat musik antar bangsa di Jakarta, yaitu “rebab Cina”, “bondang Thai”, “kendang Sunda”, “gambang Jawa”, serta “trompet Belanda”, telah bercampur menjadi satu dan melahirkan satu seni musik, yaitu kesenian khas Jakarta yag tak terdapat di daerah lain.

Musik dalam bentuk akulturasi juga terdapat di Minangkabau, yaitu suatu genre musik yang dinamakan gamaik, Menurut Yurnaldi (Kompas, 2001: 24) "Instrumen musik gamaik didominasi oleh alat musik Barat, seperti saksofon, gitar, biola, dan akordeon, tetapi vokalnya didominasi oleh musik pribumi Minangkabau. Di sini terjadi akulturasi budaya yang mempesona. Musik gamaik dibentuk oleh aspek musik dan aspek sastra (lagunya dalam bentuk pantun berbahasa Minangkabau),". Lebih jauh lagi Edy Utama (dalam Yurnaldi 2001:12), peneliti seni tradisi Minang dan Ketua DKSB, musik gamaik adalah musik yang terlahir dari akulturasi budaya pribumi dengan budaya Barat. Sejak kemunculannya di awal abad ke-20, sampai sekarang ia tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau dan kemudian menjadi musik tradisional Minangkabau

Perubahan alat musik yang terjadi dalam kebudayaan musik etnik Karo di Sumatera Utara secara sepintas memperlihatkan gejala yang sama dengan perkembangan musik campursari pada komunitas masyarakat Jawa, maupun gamaik pada musik Minangkabau. Namun jika dicermati lebih dalam ternyata memiliki kekhususan dan kekhasan tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan musik campursari dan musik gamaik yang telah disebutkan di atas. Selain itu, jika musik campursari pada komunitas masyarakat Jawa muncul pada sekitar tahun 1993, perubahan alat musik yang terjadi pada musik etnik Karo telah terjadi sebelumnya.

Gejala Akulturasi pada Musik Karo

Sejak tahun 1991 kebudayaan musik etnik Karo telah memunculkan suatu fenomena baru, yaitu alat musik keyboard mulai digunakan dalam seni pertunjukan tradisional yang bersifat kontekstual. Keyboard yang dimaksud dalam hal ini adalah satu alat musik modern

(6)

(musik populer) yang biasanya dimainkan oleh seorang pemain untuk menghasilkan suatu bunyi musik yang “lengkap” seperti musik sebuah band/combo. Musik keyboard ini sering juga disebut “musik organ tunggal”. Alat musik keyboard biasanya digunakan untuk mengiringi seorang penyanyi dalam membawakan lagu-lagu hiburan, seperti lagu populer Indonesia, lagu-lagu dangdut, dan lagu populer dari Barat. Selain sebagai musik untuk mengiringi penyanyi, keyboard juga dapat menghasilkan musik-musik yang bersifat instrumentalia.

Pada awalnya, alat musik keyboard ini dimainkan secara bersama-sama (berkolaborasi) dengan ensambel musik tradisional Karo yang dikenal dengan istilah gendang lima sedalanen. Musik kolaborasi itu dilakukan dalam konteks seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron. Dengan adanya kolaborasi alat musik tersebut, gendang guro-guro aron menjadi semakin sering dilaksanakan, baik oleh masyarakat Karo yang tinggal di wilayah pedesaan kabupaten Karo, maupun oleh masyarakat Karo yang tinggal di perkotaan, seperti di kota Medan dan di kota-kota lainnya di wilayah propinsi Sumatera Utara.

Secara berangsur-angsur, peranan keyboard dalam gabungannya dengan gendang lima sedalanen semakin lama semakin menonjol atau dominan. Jika pada awalnya keyboard hanya dimainkan sebagai alat musik pengiring pada setiap bagian akhir (bergabung dengan gendang lima sedalanen yang mengiringi dari awal sampai akhir) suatu komposisi musik untuk mengiringi tarian, belakangan keyboard mulai digunakan dari awal komposisi, baik sebagai pengiring, maupun sekaligus sebagai pembawa melodi lagu. Dengan demikian peranan sarune—sebagai pembawa melodi dalam gendang lima sedalanen—mulai berkurang karena sebagian sudah digantikan keyboard. Melalui keyboard sebagai pembawa melodi, lagu-lagu di luar daerah Karo (seperti lagu-lagu Melayu, lagu-lagu dangdut Indonesia) mulai dimainkan dalam mengiringi tarian Karo, bahkan tidak jarang sekaligus juga dinyanyikan dengan lirik aslinya.

Dalam perkembangan berikutnya, pola-pola ritem/irama gendang karo (“irama musik Karo”) mulai diprogram di dalam keyboard sehingga melalui keyboard dapat dimainkan musik ‘menyerupai’ musik Karo (imitasi musik Karo). Pemain keyboard memanfaatkan/mengedit bunyi-bunyi nada yang terdapat dalam keyboard sehingga menjadi “mirip” dengan karakter bunyi gendang lima sedalanen. Dengan hasil program “musik Karo imitasi”, maka alat musik tersebut sudah dapat mengiringi suatu tarian maupun nyanyian tradisional Karo tanpa disertai gendang lima sedalanen. Penggunaan “musik Karo imitasi” melalui keyboard untuk mengiringi

(7)

tari-tarian dan nyanyian Karo dalam konteks gendang guro-guro aron tanpa disertai dengan gendang lima sedalanen sering disebut orang Karo dengan istilah gendang kibod.

Pada tahap ini pengertian musik kolaborasi sebagai penggabungan antara alat-alat musik tradisional dengan alat musik Barat menjadi berbeda dengan apa yang terjadi pada perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo, karena genre gendang kibod hanya menggunakan satu alat musik (instrumen) yaitu keyboard tapi pemakaiannya justru dalam seni pertunjukan tradisional yang bersifat kontekstual pada masyarakat Karo.

Dengan adanya genre gendang kibod, instrumen musik Barat tersebut mulai dipergunakan dalam konteks upacara adat Karo yang lain, seperti adat perkawinan Karo, memasuki rumah baru pada masyarakat Karo, bahkan dalam upacara religi (ritual kepercayaan) pun terkadang juga digunakan.

Ternyata pemakaian gendang kibod dalam konteks tersebut disambut dengan antusias oleh mayoritas masyarakat Karo. Untuk saat sekarang ini, setiap mengadakan upacara perkawinan adat Karo, hampir dapat dipastikan selalu menyertakan minimal keyboard dengan genre musik gendang kibod, atau kadang-kadang juga digabungkan dengan gendang lima sedalanen.

Walaupun demikian, proses adaptasi alat musik keyboard ke dalam kesenian tradisional masyarakat Karo, terutama pada awal dipergunakannya alat musik tersebut pada konteks upacara adat, banyak memunculkan sikap yang berbeda di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Reaksi dan komentar dari kalangan pemerhati kesenian Karo sebagian besar menghawatirkan kehadiran keyboard itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesenian tradisi dan juga budaya tradisi masyarakat Karo. Pandia (Kompas, 1993: 24) antara lain mengatakan kehadiran alat musik modern seperti keyboard sangat dominan dalam mengubah gerak serta makna dari musik dan tarian itu sendiri. Lebih jauh lagi, Pandia mengatakan bahwa jika pemakaian keyboard dalam musik tradisional Karo tidak dibatasi, dikhawatirkan sekitar sepuluh tahun lagi musik tradisional Karo yang asli akan hilang.

Dalam buletin Tenah (satu buletin khusus yang berisi tentang masyarakat dan kebudayaan Karo, terbit sekali dalam sebulan), juga muncul beberapa artikel tentang gendang kibod. Pada umumnya artikel tersebut menguraikan tentang dampak kehadiran keyboard yang dapat merugikan kebudayaan tradisional Karo. Sembring (1995:27) antara lain mengatakan bahwa perlu waspada terhadap hal-hal yang bersifat negatif yang ditimbulkan oleh perubahan itu, jangan sampai merubah tatanan tradisi yang sudah mapan. Sinuraya (1998:34) mengatakan bahwa di samping memiliki

(8)

faktor positif, kehadiran keyboard juga memiliki faktor negatif, seperti memudarnya nilai etika dan estetika budaya Karo dalam menari dan menyanyi. Sitepu (1998:36) juga mengatakan bahwa kehadiran musik keyboard banyak yang menyimpang dari kebiasaan menari menurut adat Karo, oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah yang bersepadan agar kehadiran musik keyboard tidak menghilangkan ciri-ciri seni tradisional Karo yang lama.

Dari sisi pemain musik juga memunculkan fenomena yang menarik. Dengan adanya “musik Karo imitasi”, yakni gendang kibod, ternyata melahirkan banyak pemain atau pemusik keyboard Karo (disebut perkibod) dari kalangan remaja/pemuda Karo, baik dari pedesaan maupun perkotaan. Pertumbuhan pemain/musisi gendang kibod dapat berlangsung dengan cepat, disamping karena sering dibutuhkan oleh masyarakat Karo, secara teknik memainkan juga lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan alat-alat musik yang terdapat dalam gendang lima sedalanen. Dengan menekan satu tombol saja, bunyi irama musik Karo imitasi tadi akan segera berbunyi secara terus menerus dari keyboard karena irama tersebut telah diprogram dalam disket keyboard, dan setiap saat dapat dimunculkan dari keyboard. Jadi pemain keyboard hanya perlu belajar memainkan melodi lagu, mengikuti tempo/irama yang telah berjalan secara konstan, dan belajar tentang pergerakan kunci/akord dari setiap lagu yang juga dapat dimainkan dengan teknik “satu jari tangan”. Hal ini sangat berbeda dengan pertumbuhan pemain musik gendang lima sedalanen yang sangat lamban karena, disamping kurang diminati, teknik memainkan alat musik tradisi Karo seperti sarune, juga membutuhkan waktu belajar yang cukup lama. Demikian juga dalam mempelajari gendang singanaki dan gendang singindungi, selain memerlukan teknik-teknik khusus dalam memainkan, sekaligus juga memiliki beberapa pola ritem tertentu yang harus dipelajari secara benar.

Akibat peranan alat musik keyboard yang sudah sangat menonjol di dalam seni pertunjukan tradisional Karo, maka pemakaian gendang lima sedalanen menjadi sangat berkurang. Walaupun demikian, setidaknya sampai saat penelitian ini dilaksanakan, gendang lima sedalanen masih dipergunakan pada ritual tradisional Karo tertentu, seperti pada ritual penguburan jenazah orang Karo. Beberapa seniman tradisional Karo tetap mempertahankan profesinya sebagai pemain gendang lima sedalanen karena mereka juga masih dibutuhkan, khususnya di dalam konteks upacara-upacara adat tertentu.

(9)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tampak bahwa perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo mengakibatkan peranan musik dalam upacara adat dan hiburan menjadi semakin penting. Sebaliknya, sebagian masyarakat juga merasa khawatir bahwa alat musik keyboard dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kebudayaan Karo pada umumnya, kesenian Karo pada khususnya. Menurut hemat penulis, perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo merupakan suatu fenomena yang cukup manarik untuk dikaji lebih lanjut, dan atas dasar itu pula penelitian ini dilakukan.

Geografis Kultural Masyarakat Karo

Berdasarkan wilayah geografis, masyarakat Karo menempati daerah Kabupaten Karo berada pada 2˚50’ – 3˚19’ Lintang Utara dan 97˚35’– 98˚38’ Bujur Timur. Kabupaten Karo yang merupakan salah satu

kabupaten yang terdapat dalam wilayah Sumatera Utara, memiliki luas 2.127,25 km2 atau hanya 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Daerah Kabupaten Karo merupakan daerah beriklim sejuk, di mana suhunya berkisar antara 14-26 derajat celsius

Secara administratif, kabupaten Karo terdiri dari 13 kecamatan, dan 158 desa dengan luas keseluruhan wilayah 2.172,25 km2 (Buku Biro Pusat Statistik Kabupaten Karo 2002:34) Walaupun secara administratif masyarakat Karo menempati wilayah Kabupaten Karo, telah sejak lama (sebelum tahun 1900) orang-orang Karo telah menempati beberapa wilayah kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini juga terlihat dari batas-batas wilayah Kabupaten Karo yang berbatas-batasan langsung dengan 6 (enam) kabupaten yang berbeda:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deliserdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Simalungun Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Nanggroe Aceh Darusalam). Kabanjahe yang merupakan ibu kota Kabupaten Karo mempunyai jarak sekitar 76 kilometer dari Medan (ibu kota Provinsi Sumatera Utara) dan dapat ditempuh dengan kenderaan/bus selama lebih kurang satu setengah jam perjalanan.

Berdasarkan hasil Kongres Kebudayaan Karo 1995 di Berastagi dapat dijelaskan bahwa selain bertempat tinggal di wilayah kabupaten Karo, banyak pula orang Karo yang telah lama tinggal menetap di beberapa wilayah di luar Kabupaten Karo, seperti Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Simalungun. Semua kabupaten yang

(10)

tersebut di atas masih dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Perbedaan wilayah domisili mengakibatkan munculnya sebutan atau julukan orang Karo atas dasar wilayah komunitasnya, seperti Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun

Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih ada wilayah yang cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo, yaitu wilayah kota Medan (ibukota propinsi Sumatera Utara). Orang-orang Karo yang tinggal di kota Medan biasanya tidak memiliki sebutan tertentu Di sepanjang jalan dari Kabanjahe/ Kabupaten Karo menuju kota Medan terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) seperti kota Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan Pancurbatu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Deliserdang). Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala, Padang Bulan yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walaupun telah lama tinggal secara menetap namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Kabupaten Karo.

Domisili orang Karo di daerah Padang Bulan, Simpang Kuala, Simpang Selayang sudah berlangsung dalam beberapa generasi. Hal ini ditandai dengan telah bedirinya 7 buah jambur adat Karo di wilayah tersebut. Gambaran Umum Musik Tradisional Karo

Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan.

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih. Salah satu jenis mengekspresikan kesenian tersebut adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik instrumentalia, musik vocal, dan gabungan antara keduanya.

Masyarakat Karo memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian tradisional. Ada alat musik yang dimainkan

(11)

secara bersama-sama (ensambel), ada pula dimainkan secara tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vokal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik yang telah disebutkan di atas. Untuk membicarakan perubahan alat musik dalam kesenian tradisional tradisional Karo, kiranya penting terlebih dahulu membicarakan musik tradisional Karo secara keseluruhan.

Masing-masing jenis alat musik serta genre musik yang terdapat dalam musik tradisional Karo akan diuraikan secara berurutan berikut ini.

Gendang Lima Sedalanen

Gendang lima sedalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) buah alat musik, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak, dan (5) gung. Istilah gendang pada gendang lima sedalanen berarti “alat musik”, lima berarti “lima”, dan sedalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian gendang lima sedalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Sering pula gendang lima sedalanen disebut dengan istilah gendang sarune. Adanya dua istilah—gendang lima sedalanen dan gendang sarune—untuk penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya. Di kalangan musisi tradisional Karo lebih sering menggunakan istilah gendang sarune; sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah gendang lima sedalanen. Untuk konsistensi penulisan, dalam tesis ini penulis menggunakan salah satu istilah, yakni gendang lima sedalanen. Ini tidak berarti istilah gendang lima sedalanen lebih mewakili dari pada gendang sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam masyarakat Karo.

Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung dapat dimainkan oleh hanya seorang pemain. Sarune

Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c) ampang-ampang, (d) batang sarune, (e) gundal.

(12)

Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan. Jika hendak dibunyikan, anak-anak sarune terlebih dahulu harus dibasahi dengan air ludah agar menjadi lembek sehingga mudah bergetar jika ditiup.

Tongkeh terbuat dari timah, ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Batang sarune terbuat dari kayu selantam atau pohon nangka. Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan buah sebagai penghasil atau pengubah nada ketika sarune ditup. Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada alat tiup sarune sehingga menghasilkan nada-nada yang lebih panjang serta nyaring atau keras.

Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya dihubungkan satu sama lain dengan tali kecil pengikat agar bagian-bagian tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecil-kecil.

Gambar 1: Bagian-bagian Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Keterangan gambar 1: (1) anak-anak sarune, (2) tongkeh, (2a) ampang-ampang, (3) batang sarune, (4) gundal, (4a) tagan sarune.

(13)

Gambar 2: Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi

Gendang singanaki dan gendang singindungi (double headed conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, masing-masing terdapat membrane yang terbuat dari kulit binatang.. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi (diikatkan) sebuah “gendang mini”, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membrane gendang. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.

Penganak dan Gung

Penganak dan gung (suspended idiophone/gong berpencu) memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaan keduanya

(14)

adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak terbuat dari kuningan, dan palu-palu (stick) gung dan penganak terbuat dari kayu. Gambar 3: Gendang singanaki Gambar 4: Gendang singindungi

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gambar 5: Gung dan Palu-palu Gambar 6: Penganak dan Palu-palu

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Peran Setiap Instrumen dalam Gendang Lima Sedalanen

Gendang lima sedalanen sebagai suatu ensambel musik yang terdiri dari lima alat musik memiliki karakter bunyi dan cara memainkan yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk instrumen tersebut.

Sarune dimainkan dengan cara meniup anak-anak sarune (reeds) sementara jari-jari kedua tangan si pemain memegang (membuka dan menutup) lobang nada yang terdapat pada badan (batang) alat musik tersebut. Alat musik Sarune ini dalam Gendang lima sedalanen memiliki peran sebagai pembawa melodi lagu.

(15)

Gambar 7: Penarune Sedang Memainkan Sarune

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Sementara itu, gendang singanaki, gendang singindungi dimainkan dengan cara memukul babah gendang (head membrane) masing dengan dua palu-palu gendang (alat pukul gendang/stick). Gendang singanaki menghasilkan pola ritem berulang-ulang (repetitif). Gendang singindungi membawakan pola ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem yang dimainkan gendang singanaki.

Penganak dan gung dimainkan dengan memukul pencu yang terdapat pada bagian tengah penganak dan gung masing-masing dengan satu palu-palu. Kedua alat musik tersebut menghasilkan pola pukulan yang berulang-ulang.

(16)

Gambar 8: Penggual Singindungi Gambar 9: Penggual Singanaki

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok.Perikuten Tarigan)

Posisi pemain gendang lima sedalanen

Secara umum pemain Gendang lima sedalanen dalam setiap pertunjukannya bermain dalam keadaan atau posisi duduk. Posisi duduk ini—khsususnya untuk penarune dan penggual—merupakan posisi baku karena dua hal, yaitu: (1) dalam menghasilkan nada-nada tertentu, penarune harus menutupkan ujung Sarune-nya (tonggum) ke bagian betis kakinya sendiri, (2) penggual senantiasa mengaitkan alat musiknya (gendang singanaki dan gendang singindungi) diantara kedua kakinya dalam posisi duduk bersila, sehingga posisi intrumen tersebut menjadi diagonal, dengan babah gendang mengarah ke sebelah kanan penggual. Simalu gung dan simalu penganak juga bermain dalam posisi duduk, sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus.

(17)

Gambar 10: Simalu Gung sedang memainkan penganak dan gung

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gambar 11: Posisi Pemain Musik Gendang lima sedalanen dalam upacara adat.

(Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Gendang telu sedalanen

Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng, dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang dapat digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi atau balobat. Pemakaian kulcapi atau balobat sebagai pembawa

(18)

melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan berulang-ulang (repetisi).

Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok sebagai alat musik pengiring, maka istilah gendang telu sedalanen sering disebut menjadi gendang kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.

Gambar 12: Gendang Balobat Gambar 13: Gendang Kulcapi

(Sumber: Dok. Irwansyah Harahap) (Sumber: Dok. Irwansyah Harahap)

Kulcapi

Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua buah senar (two-strenged fretted-necked lute). Dahulu kala senarnya terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah diganti senar metal. Langkup kulcapi (bagian depan resonator kulcapi) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang kulcapi. Dalam memainkan kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga berfungsi untuk mengubah warna bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni suatu teknik permainan kulcapi dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian babah kulcapi ke badan pemain kulcapi secara berulang dalam waktu tertentu. Efek bunyi kulcapi yang dihasilkan melalui tehnik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi echo pada alat musik elektronik pada umumnya.

(19)

Balobat

Balobat merupakan alat musik tiup yang tebuat dari bambu (block flute). Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik barat. Balobat memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu sedalanen, balobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting, karena pada sebagian besar penampilan gendang telu sedalanen biasanya menggunakan kulcapi pembawa melodi.

Keteng-keteng

Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut gung, karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima sedalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gendang lima sedalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang pemain keteng-keteng.

Menurut Sempa Sitepu (1982: 192) kemungkinan terciptanya alat musik ini [keteng-keteng] ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil gendang [gendang lima sedalanen] dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo tendi (memanggil roh) atau erpangir ku lau, alat tersebut dapat menggantikannya. Balobat digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan sarune dalam gendang lima sedalanen.

Mangkok

Mangkok yang dimaksud dalam hal ini adalah semacam cawan (chinese glass-bowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat musik, namun dalam gendang telu sedalanen, mangkok tersebut digunakan sebagai instrumen pembawa ritmis. Selain sebagai alat musik, mangkok juga merupakan perlengkapan penting dari guru sibaso (dukun) dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkok tersebut digunakan sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual tertentu. Ketika mangkok digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam gendang telu sedalanen

(20)

biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan mangkok tersebut menjadi lebih nyaring.

Peran Setiap Instrumen Gendang Telu Sedalanen.

Secara struktur musikal, gendang telu sedalanen mengacu kepada struktur musikal gendang lima sedalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai istrumen musik pengiring. Dalam gendang telu sedalanen, kulcapi (dalam gendang kulcapi) atau balobat (dalam gendang balobat) berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi empat alat musik pengiring yang terdapat pada gendang lima sedalanen. Dalam pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (“bunyi”) penganak, gung, cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung dalam gendang lima sedalanen.

Alat musik tradisional Karo Non-Ensambel

Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut adalah kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murdad, genggong, dan tambur

Musik Vokal

Musik vokal yang dimaksud dalam dalam tulisan ini adalah bunyi musikal yang dihasilkan dari suara manusia melalui kegiatan bernyanyi. Tidak ditemukan suatu istilah atau kata dalam bahasa Karo yang berarti musik vokal, namun orang bernyanyi disebut rende, penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende, sekaligus juga pandai menari (landek) sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta gendang guro-guro aron, maka sebutannya menjadi perkolong-kolong. Perkolong-kolong, yakni penyanyi tradisional Karo biasanya memiliki kemampuan menyanyikan berbagai lagu yang terdapat dalam kebudayaan musik Karo. Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu

(21)

untuk menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) oleh perkolong-kolong pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara/seremonial yang sedang berlangsung pada saat itu.

Genre musik vocal/nyanyian perkolong-kolong yang terdapat dalam konteks gendang guro-guro aron cukup dikenal dan berkembang sampai saat ini. Istilah perkolong-kolong pada awalnya berasal dari sebuah lagu yang cukup terkenal pada masa dulu, yaitu kolong-kolong. Jadi orang yang menyanyikan lagu tersebut disebut perkolong-kolong. Menurut M.Bukit (1994: 157), sebelum tahun 1928 orang mengenal penyanyi (perende-ende) dengan menyanyi-kan ceritera, sesudah itu timbullah lagu tertih pong. Pada masa ini perende-ende belum diiringi gendang lima sedalanen.

Pada masa Mentas Pelawi dan Kinahun Milala terjadilah nyanyian mangga-mangga yang mulai menggunakan iringan gendang lima sedalanen. Penyanyinya disebut permangga-mangga. Selanjutnya, pada masa Tipan br. Sembiring lahirlah lagu kolong-kolong yang sangat terkenal pada masyarakat Karo. Oleh karena terkenalnya lagu tersebut maka masyarakat Karo menyebut penyanyinya dengan sebutan perkolong-kolong. Lebih spesifik lagi, istilah perkolong-kolong pada awalnya lebih ditujukan pada perende-ende wanita, sementara perende-ende pria disebut dengan istilah tukang lawak (“pembuat lucu”) walaupun sebenarnya keduanya (wanita dan pria) sama-sama menari dan menyanyi. Memang pada saat menari dan bernyanyi berdua dalam adu perkolong-kolong pada waktu dulu (dan juga pada saat sekarang ini), perende-ende pria sering memunculkan dialog (berbicara) tentang lagu yang sedang dinyanyikan dengan hal-hal yang bersifat lucu agar sindedah (penonton) menjadi tertawa/terhibur. Untuk saat sekarang ini, perende-ende wanita dan pria disebut sebagai perkolong-kolong. Istilah perkolong-kolong—selain sebutan untuk penyanyi tradisional Karo—sering juga diartikan sebagai satu genre nyanyian tradisional Karo yang berbeda dengan musik vocal yang lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan perkolong-kolong kebanyakan bertema percintaan muda-mudi.

Selain rende dalam aktifitas hiburan, aktifitas rende juga sering ditemukan pada saat seorang ibu menidurkan anaknya. Nyanyian menidurkan anak (lullaby) pada masyarakat Karo disebut didong doah. Istilah didong doah sebagai aktifitas rende juga ditemukan dalam upacara perkawinan adat Karo, dimana seorang ibu mengungkapkan perasaan serta

(22)

nasihatnya kepada keluarga penganten melalui nyanyian. Tangis-tangis merupakan ungkapan tentang kepedihan, penderitaan, maupun nasihat-nasihat terhadap seseorang yang diceritakan melalui aktifitas rende (narrative song).

Dalam ritual kepercayaan tradisional Karo juga terdapat beberapa aktifitas rende yaitu: tabas, mang-mang. Tabas adalah mantera-mantera yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan tradisional. Mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang dukun terhadap beras pati taneh (penguasa tanah) ketika memulai suatu ritual pengobatatan pada masyarakat Karo.

Perlu digarisbawahi bahwa aktifitas guru sibaso dalam tabas dan mang-mang ini tidak selalu dilakukan dengan rende (bernyanyi) namun kadang-kadang hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantera, dan isi ucapan itupun biasanya hanya guru sibaso bersangkutan yang mengerti (sacred knowledge).

Seniman tradisional Karo

Tidak terdapat satu kosa kata atau istilah untuk menyatakan orang-orang yang berprofesi di bidang musik tradisional Karo secara umum. Seseorang yang memiliki keahlian dan berprofesi sebagai seniman tradisional memiliki sebutan atau julukan berdasarkan bidang keahliannya. Berikut ini adalah sebutan untuk seniman tradisional Karo berdasarkan bidang yang dikuasainya.

Tabel 1:

Nama alat musik dan sebutan terhadap pemainnya

No Pemain/Bidang Keahliannya Sebutan/julukan

1 Sarune Penarune/Panarune

2 Gendang Sinaganaki Penggual/ /Singanaki

3 Gendang singindungi Penggual/ Singindunngi

4 Penganak Simalu Penganak

5 Gung Simalu Gung

6 Kulcapi Perkulcapi

7 Keteng-keteng Simalu Keteng-keteng

8 Balobat Perbalobat

9 Surdam Penurdam

10 Kibod (keyboard) Perkibod

(23)

Sebutan atau julukan tersebut berlaku sepanjang mereka masih menekuni pekerjaan tersebut, atau dengan kata lain, mereka siap dipanggil untuk bermain jika ada yang membutuhkan berdasarkan keahlian mereka. Ketika mereka melakukan aktifitas musik dalam upacara atau seremonial adat, panggilan atau sebutan kepada mereka menjadi satu (secara group atau kumpulan) yaitu sierjabaten.

Sierjabaten

Sierjabaten berasal dari dua kata, yaitu: si berarti “orang yang…” (menyatakan kata ganti orang) dan erjabaten berarti “mempunyai jabatan” atau “mempunyai kedudukan”. Dengan demikian, sierjabaten memeiliki pengertian “orang yang berjabatan” atau “orang yang memiliki kedudukan”. Jabatan atau kedudukan yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai pendukung upacara dalam hal memainkan musik tradisional. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan peranan dari setiap orang yang datang kedalam upacara tradisioal Karo telah memiliki kedudukan secara adat, seperti: anak beru, kalimbubu, sukut, teman meriah, dan sebagainya. Oleh karena itu para musisi pun kemudian memiliki nama status dalam kapasitasnya sebagai pemusik yaitu sierjabaten, karena mereka juga secara sengaja diundang untuk mendukung suatu upacara adat. Kata sierjabaten diartikan sebagai orang yang mempunyai jabatan atau orang yang mempunyai kedudukan dalam suatu upacara adat karo memang tergambar dari perlakuan pelaksana upacara (diwakili oleh pihak anak beru) terhadap mereka, seperti: ketika pihak yang mengundang mereka menyediakan tempat duduk (tempat mereka bermain) senantiasa akan mengatakan “ingan kundul sierjabaten” (tempat duduk sierjabaten) atau “isap sierjabaten” (rokok sierjabaten), “nakan sierjabaten” (makanan sierjabaten). Hal ini dianggap sebagai perlakuan khusus (dari arti kata sierjabaten tersebut) karena para seniman yang mendukung suatu upacara adat tersebut akan mendapat upah (bayaran atau honor) berdasarkan kesepakatan yang telah merka buat sebelumnya dengan pangundang.

Dengan perlakuan khusus seperti yang telah disebutkan diatas, kedudukan seniman tradisional Karo dalam upacara adat tidak dapat murni dianggap sebagai pekerja seni profesional pada umumnya, walaupun sebenarnya dilihat dari jumlah upah yang diterima sierjabaten sekarang ini cukup memuaskan sebagai sebuah profesi. Sierjabaten berdasarkan keahliannya terdiri dari dua jenis, yaitu: pemain musik dan penyanyi (perkolong-kolong), namun untuk saat sekarang ini, istilah sierjabaten lebih

(24)

sering ditujukan kepada pemain musik, sedangkan untuk penyanyi tradisional Karo lebih sering menggunakan istilah perkolong-kolong dari pada kata seirjabaten itu sendiri.

Gendang Lima Sedalanen dalam Upacara Adat Karo

Secara umum, musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan tradisional pada setiap masyarakat berhubungan erat dengan aktivitas sosial masyarakatnya. M. Dove (1985: xv) mengatakan bahwa …kebudayaan tradisional terkait erat dengan, dan secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar. Dengan demikian merupakan suatu yang lumrah bahwa musik hadir dalam berbagai aktifitas suatu masyarakat. Musik hadir dalam upacara adat, seremonial hiburan maupun upacara religi.

Demikian pula halnya dengan musik tradisional Karo—dalam kasus ini adalah salah satu ensambel musiknya yaitu gendang lima sedalanen— memiliki keterkaitan atau hubungan yang penting dengan aktivitas masyarakat pendukungnya. Hubungan gendang lima sedalanen dengan aktivitas masyarakat pendukungnya disebut penting karena hampir semua kegiatan gendang lima sedalanen sangat berhubungan dengan upacara adat pada masyarakat pendukungnya., demikian pula sebaliknya, berbagai aktivitas masyarakat Karo biasanya melibatkan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya. Namun, perlu pula ditegaskan bahwa tidak setiap upacara atau seremonial pada masyarakat Karo wajib menyertakan musik tradisional, karena kehadiran gendang lima sedalanen dalam beberapa upacara tradisional memiliki keterkaian dengan tingkat dan bentuk suatu upacara yang mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen. Upacara adat dalam tingkat yang sederhana biasanya tidak menyertakan musik tradisional, sebaliknya upacara yang besar dan melibatkan banyak peserta biasanya mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen.

Selain itu, ada satu upacara atau seremonial tradisional Karo yang dalam pelaksanaannya musik tradisional sebagai bagian utama dari upacara tersebut, yakni gendang guro-guro aron Sampai saat ini gendang guro-guro aron merupakan suatu kesenian tradisional yang digemari oleh segala lapisan masayarakat Karo. Disamping itu, secara tradisional masih terdapat beberapa beberapa upacara yang tidak terpisahkan dari kehadiran musik tradisional, seperti muncang, perumah begu, namun, ritual tersebut jarang dilaksanakan berhubungan erat dengan kepercayaan lama tradisional masyarakat Karo (pemena/perbegu).

(25)

Di antara berbagai upacara adat yang ada pada masyarakat Karo, setidaknya ada 5 (lima) macam upacara adat yang biasanya menyertakan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya, yaitu: kerja perjabun, kerja erpangir ku lau, kerja mengket rumah mbaru, kerja nurun-nurun, dan gendang guro-guro aron.

Kerja Perjabun

Istilah kerja dalam bahasa Karo mengandung pengertian pesta/upacara/seremonial yang berkaitan dengan adat Karo. Kata kerja biasanya dirangkaikan dengan jenis ritual/upacara atau seremonial tertentu yang berkaitan dengan aktivitas adat istiadat masyarakat Karo. Contohnya: kerja tahun, adalah seremonial adat yang dilakukan berkaitan dengan aktivitas pertanian pada masyarakat Karo dalam kurun sekali setahun. Sedangkan untuk menyebutkan upacara adat atau seremonial adat secara umum (tanpa menjelaskan jenis upacara, disebut kerja-kerja. Selain istilah kerja atau kerja-kerja, sebagian masyarakat Karo—khususnya Karo Langkat atau Karo Jahe—menggunakan istilah lain, yaitu lakon atau lakon-lakon untuk menyebutkan pesta atau upacara adat di daerahnya. Makna dari kedua kata tersebut—kerja/kerja-kerja dan lakon/lakon-lakon adalah sama-sama menyatakan pesta/upacara/ seremonial adat di daerah masing-masing.

Perjabun berasal dari kata jabu yang artinya “tempat tinggal (satu keluarga)”, erjabu artinya “berumah tangga”, dan perjabun artinya “perkawinan”. Perkawinan dalam masyarakat Karo, seperti juga dalam suku batak lainnya, merupakan suatu upacara yang sangat penting, yang melibatkan hubunganan kekeluargaan kedua belah pihak, keluarga penganten laki-laki dan keluarga penganten perempuan.

Dalam upacara perkawinan Karo dikenal ada tiga tingkatan upacara, yaitu: kerja singuda, kerja sintengah dan kerja sintua. Kerja sintua merupakan upacara paling besar baik dari sisi kerabat yang diundang maupun jenis makanan yang disajikan dalam kerja perjabun itu sendiri. Kerja sintengah (upacara menengah) tidak boleh memotong hewan jenis kerbau tapi lembu, bahkan secara adat bisa juga tidak dengan memotong langsung tapi erbante (memesan daging lembu ke tempat pemotongan hewan dengan jumlah tertentu yang disepakati). Kerja singuda (upacara yang muda) merupakan upacara paling sederhana. Kekerabatan yang turut diundang pun yang terdekat saja, yaitu kuh sangkep nggeluh (“lengkap” senina, kalimbubu dan anak beru). Pengertian kuh (“lengkap”) dalam hal ini adalah harus ada setiap unsur rakut si telu yang hadir, walaupun jumlahnya

(26)

terbatas. Jenis makanan yang disajikan adalah babi atau beberapa ekor ayam.

Dari ketiga jenis tingkatan kerja (upacara) tersebut hanya tingkat kerja sintua yang wajib menyertakan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya adatnya. Dalam kerja sintengah memang dapat juga disertakan gendang lima sedalanen tetapi tidak merupakan suatu keharusan (wajib), sementara itu dalam kerja singuda secara adat tidak dibenarkan menyertakan gendang lima sedalanen.

Gendang lima sedalanen disertakan pada dua bagian dari satu kerja perjabun, pertama pada acara nganting manok dan kedua pada kerja adat perjabun itu sendiri.Nganting manok merupakan acara kilas balik atas segala perencanaan yang telah disepakati bersama dalam upacara maba belo selambar serta sekaligus membicarakan segala materi acara yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya dalam kerja perjabun. Selain itu, pada saat nganting manok, pihak anak beru sebagai kelompok pekerja (mempersiapkan segala urusan makanan para peserta upacara adat besoknya) akan tinggal dan bekerja semalam suntuk dalam jambur tersebut. Anak beru sebagai pekerja pada malam tersebut biasanya dibantu oleh singuda-nguda anak perana, yang merupakan teman atau rekan-rekan dari orang yang akan menikah secara adat besoknya. Oleh karena bekerja sampai dini hari, anak beru dan singuda-nguda anak perana biasanya mengadakan acara landek dan rende dengan iringan gendang lima sedalanen. Acara tersebut dinamakan gendang serayaan, yang artinya merupakan musik untuk para pekerja yang ada pada jambur tersebut. Gendang serayaan hanya akan ada jika gendang lima sedalanen digunakan pada keesokan harinya dalam upacara adat. Jika kerja tersebut tidak menggunakan gendang lima sedalanen pada pelaksanaan upacara adatnya, maka gendang serayaan tidak akan ada, karena yang menjadi sierjabaten pada gendang serayaan adalah musisi yang akan mendukung pelaksanaan kerja perjabun esok harinya.

Pada gendang serayaan, anak beru serta singuda-nguda anak perana akan bergantian landek secara berkelompok. Jika ada diantara mereka yang memiliki bakat rende (menyanyi), gendang serayaan adalah semacam tempat berlatih (uji coba) resmi karena selain anak beru dan singuda-nguda anak perana, gendang serayaan tersebut juga biasanya ditonton oleh pihak sukut, kalimbubu, senina dan beberapa kerabat yang telah datang pada acara nganting manok tersebut.

Kerja adat perjabun merupakan upacara inti dari perayaan perkawinan orang Karo. Gendang lima sedalanen pada acara ini berperan

(27)

dalam mengiringi peserta upacara menari (landek) dan juga sambil berbicara secara adat (ngerana). Yang pertama menari adalah sierjabu (kedua penganten) Sierjabu menari merupakan suatu simbol bahwa mereka telah sah secara adat mereka menikah. Kedua penganten menari bersama diiringi gendang lima sedalanen. Judul komposisi yang ditampilkan tidak ada suatu ketentuan. Seluruh peserta upacara berdiri bersama menyaksikan kedua pengantin menunjukkan kepandaiannya dalam landek.

Setelah kedua penganten selesai landek landek (menari), acara dilanjutkan dengan gendang adat sambil mere telah-telah (memberikan kata nasehat atau bimbingan secara adat Karo kepada kedua penganten) atau sering juga disebut ngerana. Landek dan mbere telah-telah dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan diiringi gendang lima sedalanen. Gendang adat adalah acara menari bersama yang dilakukan dalam dua kelompok secara berhadap-hadapan. Kelompok yang satu adalah sukut, pelaksana utama upacara dan yang lain adalah pihak kekerabatan sukut. Salah satu kelompok akan ngerana (“berbicara”) atau mbere telah-telah (memberikan kata nasehat) kepada kedua pengantin. Judul komposisi yang ditampilkan dalam setiap acara landek adat adalah gendang simalungen rayat. Dengan demikian gendang simalungen rayat akan senantiasa diulang-ulang pada setiap kelompok kerabat yang landek. Secara lengkap urutan kerabat yang landek beserta kelompok yang dihadapannya disebut si ngalo-ngalo (yang menyambut) serta tema ngerana yang dilakukan pada setiap acara landek adat pada perkawinan adat Karo akan diuraikan di bawah ini:

1. Landek Sukut, anak beru si ngalo-ngalo. Tema ngerana: Ucapan selamat datang serta permohonan maaf atas segala kekurangan penyambutan. Komposisi musik: Perang-perang dan Gendang simalungen rayat (GSR)

2. Landek Senina, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR 3. Landek Senina Siparibanen dan Senina Sipemeren, sukut si

ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

4. Landek Kalimbubu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

5. Landek Pengulu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

(28)

6. Landek Kalimbubu taneh, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

7. Landek kalimbubu simupus, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

8. Landek Kalimbubu sierkimbang, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

9. Landek Puang Kalimbubu, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

10. Landek Kalimbubu siempat merga, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

11. Landek teman meriah (sahabat karib kedua penganten) sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR

12. Landek Anak beru, sukut si ngalo-ngalo. Tema ngerana: bimbingan dan nasehat terhadap kedua pengantin. Komposisi musik GSR.

Setelah kelompok sukut si empo beserta unsur kekerabatannya selesai landek dan ngerana seperti yang diuraikan di atas, maka acara adat dilanjutkan dengan sukut si nereh juga melakukan landek dan ngerana dengan urutan dan komposisi musik yang sama.

Oleh karena kerja perjabun disertai dengan makan siang bersama seluruh perserta upacara, maka seandainya belum selesai acara gendang adat, maka acara tersebut akan dilanjutkan setelah selesai makan siang. Mengingat durasi waktu setiap kelompok yang landek dan ngerana tidak dibatasi maka sering terjadi upacara menjadi berakhir pada waktu sore hari, walaupun sebenarnya kerja perjabun dianggap selesai setelah makan siang. Untuk menghindari terjadinya kemunduran waktu yang demikian panjang maka beberapa dari kelompok yang landek dan ngerana disatukan dalam sekali landek, seperti kelompok kalimbubu singalo bere-bere dan kalimbubu simupus serta kalimbubu sierkimbang digabungkan dalam landek serta ngerana dalam satu kali GSR dimainkan, demikian pula dengan kelompok senina, senina siparibanen, senina sipemeren digabungkan dalam sekali landek. Walaupun kelompok tersebut digabungkan, setiap kelompok tetap

(29)

mendapat kesempatan masing-masing ngerana. Dengan demikian acara gendang adat dapat dilakukan dengan enam kali penampilan gendang simalungen rayat untuk kelompok sukut si empo dan juga enam kali untuk sukut si nereh.

Setelah seluruh acara landek selesai maka selesailah kerja perjabun tersebut. Sebelum sierjabaten pulang kerumah masing-masing atau kedesanya masing-masing, ada syarat yang harus dipenuhi oleh sukut si empo sebagai penghormatan kepada sierjabaten yaitu: pemulih sierjabaten (memberangkatkan musisi) yang dikenal dengan upah sierjabaten. Upah sierjabaten ini diserahkan oleh anak beru dari sukut si empo.

Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Mengket Rumah Mbaru

Mengket rumah mbaru berasal dari kata mengket, artinya “memasuki”, rumah, artinya rumah, dan mbaru artinya “baru.” Jadi mengket rumah mbaru berarti upacara memasuki rumah baru. Rumah dalam tradisi masyarakat Karo adalah sebuah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa jabu (rumah tangga). Rumah tersebut secara umum terdiri dari 8 (delapan) jabu, namun ada juga yang terdiri dari 4 (empat) atau 6 (enam) jabu, bahkan (walaupun jarang) ada pula yang terdiri dari 12 (dua belas) jabu. Rumah-rumah tersebut dinamakan rumah adat Karo. Selain di rumah adat Karo, banyak pula orang Karo yang tinggal di rumah biasa seperti rumah pada umumnya yang dihuni oleh satu keluarga.

Untuk setiap rumah (rumah adat dan rumah biasa) yang telah selesai dibangun, biasanya diadakan suatu upacara sebelum rumah tersebut ditempati. Upacara tersebut dinamakan kerja mengket rumah mbaru (upacara memasuki rumah baru). Kerja mengket rumah adat merupakan suatu upacara yang sangat besar karena melibatkan beberapa jabu (keluarga) bersama dengan kekerabatannya dilakukan secara serentak Oleh karena itu kehadiran gendang lima sedalanen merupakan suatu kewajiban, bahkan kerja ini membutuhkan waktu lebih dari satu hari. Lebih dari 40 tahun yang lalu (mulai dari tahun 1960 sampai saat ini) tidak pernah lagi ada pembuatan rumah adat yang mbaru, sehingga ritual mengket rumah adat Karo tidak pernah lagi dilaksanakan. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam penelitian kali ini, mengket rumah mbaru yang dimaksud atau yang diteliti adalah rumah biasa yang dihuni oleh satu keluarga orang Karo.

Ada tiga jenis tingkatan dalam hal mengket rumah mbaru, pertama mengket dapur (“peresmian dapur”), yaitu upacara memasuki rumah baru paling sederhana, oleh karena itu disebut peresmian dapur. Kedua, mengket rumah mbaru (“peresmian rumah baru”) yang merupakan tingkatan

(30)

menengah secara adat. Ketiga, mengket rumah mbaru erkata gendang yang berarti“peresmian rumah baru disertai musik tradisional”. Dengan tiga istilah ini dapat diketahui bahwa hanya pada tingkat ketiga yang disertai gendang lima sedalanen.

Kerja mengket rumah mbaru biasanya dilaksanakan di halaman/dalam rumah yang akan diupacarakan, namun terkadang kondisi halaman yang ada tidak memungkinkan untuk menampung para kerabat yang diundang maka dapat pula dilakukan di jambur.

Penampilan gendang lima sedalanen dalam kerja mengket rumah mbaru hampir sama dengan penampilan pada kerja perjabun, yaitu mengiringi landek dan ngerana ayang disebut sebagai gendang adat. Komposisi musik yang dimainkan gendang lima sedalanen juga sama, yaitu gendang simalungen rayat. Upacara ini dilakukan dengan makan siang bersama, dan setelah selesai seluruh kelompok kekerabatan landek dan ngerana maka selesai pula ritual mengket rumah baru tersebut. Sierjabaten juga akn mendapat upah, seperti dalam kerja perjabun.

Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Nurun-nurun

Nurun-nurun adalah ritual penguburan jenazah pada masyarakat Karo. Setiap orang Karo yang meninggal dunia, tidak langsung dikuburkan, tetapi akan dilakukan suatu upacara penguburan jenazah yang dikenal dengan istilah nurun-nurun.

Upacara nurun-nurun yang disertai dengan gendang lima sedalanen terdiri dari 3 (tiga) tingkatan atau kategori yaitu gendang mentas, erkata gendang, dan nangkih gendang. Gendang mentas merupakan ritual penguburan jenazah paling sederhana, yakni gendang lima sedalanen hanya ditampilkan pada acara gendang adat di tempat upacara. Ketika mengantarkan jenazah ke penguburan, gendang lima sedalanen tidak lagi diikutsertakan. Erkata gendang, tidak jauh perbedaannya dengan gendang mentas, hanya pada saat mengantarkan jenazah serta proses penguburannya, gendang lima sedalanen masih disertakan. Nangkih gendang merupakan penyertaan gendang lima sedalanen lebih lama yakni dimulai pada malam hari dan disambung keesokan harinya seperti erkata gendang. Gendang mentas dan erkata gendang boleh ditampilkan dalam setiap penguburan jenazah orang Karo, sedangkan nangkih gendang, secara adat hanya dilakukan dalam upacara penguburan jenazah orang-orang Karo tertentu saja yaitu: cawir metua (kematian orang yang telah berusia lanjut, atau semua anaknya telah berumah tangga), pande rumah adat (orang yang ahli membangun rumah adat Karo), dan guru mbelin (dukun terkenal).

(31)

Pada saat sekarang ini hanya ritual cawir metua yang masih dilaksanakan dengan menyertakan gendang lima sedalanen. Pelaksanaan musiknya juga lebih banyak hanya menampilkan gendang adat. Pada hal gendang cawir metua secara adat memiliki beberapa komposisi serta acara khsusus selain gendang adat pada umumnya. Gendang cawir metua dimulai pada waktu malam hari (setelah makan malam), yaitu gendang lima sedalanen memainkan komposisi Perang-perang empat kali diulang-ulang tanpa ada yang landek. Kemudian dilanjutkan dengan gendang adat (perang-perang dan simalungen rayat sebanyak lima kali. Yang menari adalah: sukut, senina, anak beru, senina sipemeren dan senina siparinanen, dan kalimbubu. Pada gendang adat ini tidak ada yang ngerana, namun hanya landek. Setiap kelompok kekerabatan yang landek, secara pelan-pelan akan bergerak mendekati jenazah.

Setelah selesai gendang adat, acara kemudian diserahkan kepada anak beru beserta singuda-nguda anak perana (pemuda dan pemudi). Acara ini hanyalah acara hiburan bagi anak beru dan muda-mudi yang bekerja di dapur agar tidak mengantuk. Kalau ada perende-ende (orang yang pintar menyanyi) di desa itu, dia akan dipanggil untuk menyanyi sambil menari. Biasanya keluarga yang berkemalangan juga ikut menonton dalam beberapa penampilan. Di sini mungkin timbul suatu pertanyaan bahwa mengapa justru timbul acara yang bersifat “hiburan” di dalam upacara kemalangan. Menurut orang-orang tua, upacara cawir metua adalah juga merupakan upacara kegembiraan karena orang diupacarakan, meninggal dalam usia yang lanjut dan semua anak-anaknya telah dewasa.

Esoknya, setelah semua keluarga selesai ngukati (sarapan pagi), upacara dimulai dari rumah tempat jenazah itu. Gendang lima sedalanen mulai memainkan komposisi gendang pengangkat. Gendang pengangkat mengandung pengertian sebagai komposisi untuk membawa jenazah dari rumah menuju ke jambur, tempat upacara. Yang membawa jenazah adalah anak beru yang diikuti oleh sukut, dan di belakang mereka sierjabaten memainkan gendang lima sedalanen sambil berdiri/berjalan. Sesampainya di jambur, gendang lima sedalanen berhenti sejenak, anak beru mengatur tempat duduk seluruh pendukung upacara termasuk tempat duduk sierjabaten.

Setelah semua kekerabatan lengkap berkumpul di jambur, dimulailah acara dengan menampilkan “semacam hiburan” lagi, yakni anak beru singerana memanggil cucu-cucu laki-laki dari yang meninggal tersebut untuk disuruh menari bersama impal-nya. Cucu-cucu yang menari tidak dibatasi umurnya, tidak hanya cucu yang telah anak perana (perjaka)

(32)

namun jika belum ada, cucu yang masih dalam usia sekolah dasar juga disuruh. Komposisi yang ditampilkan juga biasanya terdiri dari beberapa judul, diawali dengan gendang odak-odak. Jika ada cucu atau pasangannya yang menyanyi, maka sukut dan beberapa kerabat lainnya akan memberikan cokong-cokong (sumbangan) dalam bentuk uang. Acara menari ini menarik perhatian dari seluruh peserta upacara sehingga seolah-olah upacara kemalangan sejenak terlupakan.

Selanjutnya akan dilaksanakan gendang adat Pada gendang adat inilah, setiap kelompok kekerabatan yang landek akan ngerana, mengungkapkan isi hatinya berkaitan dengan kematian orang tersebut. Ada yang mengisahkan kebaikan orang tersebut, ada yang memberikan kata-kata penghiburan kepada keluaga yang ditinggalkan. Kebanyakan yang ngerana tersebut berbicara sambil menangis, sehingga sukut sebagai kelompok singalo-ngalo biasanya akan ikut juga menangis.

Setelah upacara di jambur selesai dilakukan maka jenazah dibawa ke tempat penguburan. Gendang Pengangkat kembali dimainkan gendang lima sedalanen untuk mengiringi jenezah dibawa ke kuburan. Di kuburan, gendang lima sedalanen memainkan gendang pendungi, yang merupakan bagian terakhir dari penguburan jenazah tersebut.

Setelah makan malam, gendang lima sedalanen kembali memainkan gendang simalungen rayat sebanyak empat kali. Esoknya, yang merupakan acara terakhir dari gendang cawir metua ini adalah gendang pendudu tendi (menenangkan jiwa) terhadap seluruh keluarga, Seluruh keluarga menari bersama, tanpa ada lagi yang ngerana, atau menangis. Makna dari gendang pendudu tendi ini adalah agar seluruh keluarga damai sejahtera, walaupun seorang dari keluarga telah tiada.

Gendang Lima Sedalanen dalam Kerja Erpangir Ku Lau

Kerja erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang didalam ritualnya terdapat aktivitas “berkeramas atau mandi bunga ke sungai’ (erpangir ku lau). Ritual erpangir ku lau sampai saat ini masih sering dilakukan terutama oleh kelompok guru sibaso pada waktu-waktu tertentu. Setiap guru sibaso akan melaksanakan erpangir ku lau secara rutin, dalam sebulan sekali atau setahun sekali sebagai penghormatan kepada jinujung (kekuatan supranatural menyertainya dalam melakukan kegiatan sebagai guru sibaso). Sebagian musisi tradisional yang mempercayai silengguri (kekuatan supranatural yang menyertainya dalam profesi sebagai seniman tradisional Karo juga akan melakukan erpangir ku lau pada waktu tertentu.

Gambar

Gambar 1: Bagian-bagian Sarune
Gambar 2: Sarune
Gambar 3: Gendang singanaki        Gambar 4: Gendang singindungi
Gambar 7: Penarune Sedang Memainkan Sarune
+7

Referensi

Dokumen terkait

PJA Andriani yang dikutip oleh (Mariana, 2018) mengemukakan bahwa pajak merupakan iuran rakyat atau masyarakat pada negara yang bisa dipaksakan dan terhutang bagi yang wajib

Mereka mengalami kesukaran untuk mencapai atau meletakkan sesuatu barang di tempat yang lebih tinggi seperti menyangkut atau mengambil pakaian dari dalam almari..

Kompleksitas pekerjaan serta frekuensi transaksi yang tinggi membuat manajemen perlu mengetahui tingkat efektivitas Sistem Informasi Akuntansi berbasis komputer

a) Disusun secara alfabetis, jika huruf awal sama maka huruf kedua dari nama penulis itu menjadi dasar urutan demikian seterusnya. b) Nama penulis, dengan cara menuliskan

Alasan lainnya adalah karena deret konsonan dalam BT tidak dijumpai pada posisi awal maupun posisi akhir sebagai kata dasar... Namun, di dalam pelafalan tersebut ada 2

olom adalah batang tekan &ertikal dari rangka struktur yang memikul beban dari balok" olom merupakan suatu elemen struktur tekan yang memegang peranan penting dari

Pengembangan varietas hibrida perlu didukung oleh ketersediaan benih yang bermutu. Kemurnian genetik merupakan salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk keberhasilan

Penelitian menyimpulkan bahwa pemberian 90% pakan hijauan beragam (rumput, gamal, dan waru) dengan 10% konsentrat ”Molamix” dapat menghasilkan peningkatan kecernaan