• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi dan Model-model Arus Pesan Media Massa

TINJAUAN TEORI MEDIA MASSA SEBAGAI MEDIA DAKWAH

A. Media Massa

2. Fungsi dan Model-model Arus Pesan Media Massa

Fungsi dari media massa tidak berbeda dengan fungsi pers. Media massa sering juga disebut dengan pers. Bahkan pers sering juga dipakaikan kepada wartawan. Padahal wartawan adalah satu dari sekian jumlah dan unsur pekerja pers itu sendiri. Secara garis besar fungsi adalah:

a. Menyiarkan informasi (to inform).

Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers pertama dan utama. “Disini pers bertindak sebagai mata dan telingan publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dangan netral dan tanpa perasangka.”17 Khalayak pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal dibumi ini, mengenai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan oleh orang lain, apa yang dikatakan oranglain, dan sebagainya.

b. Mendidik (to edicate).

Fungsi kedua dari fungsi pers ialah mendidik. Sebagai sarana pendidikan massa (mass education), surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah

16

Ibid, Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi,6th h. 52-53 17

Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Juenalisme Dasar,3th (Jakarta: PT Komps Media Nusantara, 2007), h. 7

40

pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana. Kadang-kadang cerita bersambung atau cerita berita bergambar juga mengadung aspek pendidikan.

d. Menghibur (to entertain).

Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga mengandung minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana. Meskipun pemuatan isi mengandung hiburan, itu semata-mata untuk melepaskan ketegangan pikiran setelah pembaca dihidangi berita and artikel yang berat. 18

Ada fungsi lain selain dari tiga fungsi tersebut seperti fungsi mempengaruhi (to influence), fungsi membimbing (to guide), fungsi mengkritik (to criticise). Tetapi itu hanya merupakan tambahan saja terhadap ketiga fungsi di awal. Seperti biasanya fungsi pers terbagi kepada 4 bagian. Selain yang tiga itu juga ada yang keempat yaitu fungsi mempengaruhi.19.

Orang mau membaca dan berlangganan media massa, karena pada dasarnya sifat manusia ingin mengetahui sesuatu yang telah,sedang dan akan terjadi. Selain berbentuk peristiwa, informasi juga disajikan dalam bentuk artikel

18

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek ,19th (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),h. 149-150

19

Mafri Amir, EtikaKomunikasi Massa Dalam Pandangan Islam,2th(Jakarta: Logos, 1999), h. 23

41

atau tulisan lainnya seperti komentar dan tajuk rencana. Semuanya itu dimaksudkan untuk mendidik dan mempeng ruhi orang lain. Bentuk lain dari fungsi mempengaruhi adalah dengan menyajikan berita atau tulisan yang bersifat kritik dalam rangka melakukan sosial kontrol. Artinya dengan mengkritik tersebut diharapkan para pelaku penyelewengan merubah perilaku ke arah yang baik. Lebih jauh dari itu, si pelaku penyelewengan diberikan sanksi dan hukum yang setimpal agar merasa jera dan pada waktu yang akan datang tidak mengulangi kesalahannya. “Konsep yang suadah disebutkan diatas adalah peran jaga (watchdog).”20

Tugas mulia media (komunikasi massa) adalah menyampaikan kebenaran.21 Sehingga yang menjadi ciri utama dari komunikasi massa adalah karena fungsinya melakukan sosial kontrol. Hal itu dilakukan dalam rangka menegakan kebenaran dan keadilan. Bukan untuk membeber-beberkan kejelekan dan aib orang lain. Mengelola pers atau media massa sesuai fungsi yang empat tersebut merupakan suatu dilema. Bila tidak melakukan sosial kontrol, maka dianggap fungsinya sebagai lembaga pers tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya apabila melakukan sosial kontrol sebagai idealnya suatu lembaga pers, maka rintangan dan tantangan sekaligus ancaman banyak dialami. Bagi wartawan, mati dan berhenti bekerja merupakan konsekuensi logis, bahkan dinilai terhormat, kalau penyebabnya adalah menegakan kebenaran dalam bentuk melakukan sosial

20

Ibid, Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, h. 8 21

42

kontrol. Karena aspek komersial adalah penting dan aspek sosial kontrol juga perlu, maka pengelola pers dan wartawan harus mempertimbangkan keduanya.

Fungsi sosial kontrol dari media massa, khususnya pers, semasa Orde Baru sama sekali tidak jalan, karena hantu pembrendelan pers. Akibatnya, pemerintah selama 32 tahun nyaris tanpa kontrol dan media massa.

Saat ini kondisi sudah terbalik, pemerintah telah memberi jaminan tidak akan ada lagi hantu pembrendelan pers. Pers dipersilahkan untuk melakukan fungsi sosial kontronya sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.22

Karena pesatnya teknologi di bidang komunikasi massa, komunikasi dengan menggunakan media massa mengalami perkembangan dari para pakar yang menghasilkan empat teori/model komunikasi massa sebagai berikut:

a. Model jarum hipodermik (hypodermic needle model), hipodermik artinya dibawah kulit yang diperluas pemahamannya dengan menganggap bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera dan langsung. Pemahaman ini sejalan dengan pengertian “perangsang tanggapan stimulus-respon”, sebagaimana yang dikenal di bidang ilmu jiwa sekitar tahun 1930-an. Jarum hipodermik yang besar laksana menusuk dan menerobos komunikan/khalayak yang pasif. Model tersebut mencakup dua faktor: sebagai media yang sangat ampuh yang mampu memasukan ide pada pikiran dan jiwa yang tidak berdaya; dan faktor kedua adalah massa

22

43

komunikan khalayak luas yang terpecah-pecah, yang terhubung dengan media massa, sedangkan komunikan itu tidak terhubung satu sama lain.

b. Model komunikasi satu tahap (One Step Flow Model) yang menyatakan bahwa saluran media massa berkomunikasi langsung dengan massa komunikan tanpa melalui orang lain, tetapi pesan tersebut tidak mencapai semua komunikan dan tidak menimbulkan efek yang sama pada semua komunikan. Model ini adalah juga model jarum hipodermik tetapi dimurnikan. Di sini diakui tiga ciri: pertama media tidak memiliki kekuatan yang hebat, kedua aspek pilihan dan penampilan, penerimaan, dan pemahaman dalam ingatan yang selektif mempengaruhi suatu pesan dan ketiga untuk setiap komunikan terjadi efek yang berbeda.

c. Model komunikasi dua tahap (Two Step Flow Model) menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) yang selanjutnya meneruskan kepada khalayak; tahap kedua dari pemuka pendapat dilanjutkan dilanjutkan ke pengikut-pengikutnya sekaligus menyebarkan pengaruhnya. Ini berbeda dengan model jarum hipodermik di mana massa sebagai tugu yang besar yang terdiri dari orang-orang tetapi terkait dengan media. Sedangkan model dua ahap melihat massa sebagai perorangan yang berinteraksi. Diperoleh dua keuntungan dari model dua tahap ini, pertama suatu pemusatan

44

kegiatan terhadap kepemimpinan opini dalam komunikasi massa, dan kedua terdapat beberapa perbaikan dari komunikasi dua tahap seperti komunikasi satu tahap dan komunikasi tahap ganda.

d. Model komunikasi tahap ganda (Multy Step Flow Model) yang menggabungkan semua model terlebih dahulu yang didasarkan kepada fungsi penyebaran yang berurutan yang terjadi pada kebanyakan situasi komunikasi. Dinyatakan juga bahwa laju komunikasi dari komunikator kepada komunikan dipengaruhi jumlah “relai” yang berganti-ganti di mana komunikan menerima pesan langsung melalui saluran dari komuikator apa yang lainnya terpindahkan dari sumbernya beberapa kali.23

Teori tentang fungsi dan model komunikasi di atas adalah pandangan dari aliran positivisme, yang memiliki kesimpulan bahwa media massa adalah sesuatu yang netral, dan tidak lebih dari “alat komunikasi” serta kosong dalam dirinya sendiri. Ia hanya berisi apabila diisi dengan pesan oleh komunikator kepada pihak tertentu.

Namun dalam pandangan aliran kritis berpendapat lain, seperti apa yang dikatakan Stuart Hall dalam tulisannya yang sudah menjadi klasik, The Rediscovery of Ideology: The Return of the Repressed in Media Studies, hal mengkritik kecendrungan studi media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian penting. Penelitian terhadap media sebagai kekuatan besar yang berperan

23

45

dalam memanipulasi kesadaran dan kenyataan. Media hanya dimiliki dan didominasi oleh kelompok dominan (berkuasa) dalam masyarakat, dan menjadi sarana untuk meneguhkan kelompok dominan sekaligus memarjinalkan kelompok minoritas (dikuasai). Karena media dikuasai oleh kelompok dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu.24

Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada di ruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Louis Althusser (1971, dalam Al-Azstrouw) menulis bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuan sebagai sarana legitimasi. Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideogical states apparatus).25

Hal ini karena sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menajdi kolompok penekan atau suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakan dalam konteks kehidupan yang empiris.

Kritikus dan editor, Sam Lipski, mengatakan

24

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,4th (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 25-26

25

46

“Media telah menjadi elite kekuasaan baru. Dia mengatakan wartawan tidak lagi menjadi Kelas Empat. Mereka merupakan Kelas Baru. Media ingin melihat diri mereka sebagai anjing penjaga. Tetapi sekarang ini mereka telah tumbuh menjadi anjing yang sangat besar dan menakutkan. Mereka juga semuanya sangat mudah menyebar, sangat kuat, dan meskipun demikian, di mana pengawas dan keseimbangan berada? Mereka sangat tidak berkembang, sangat embrio dan dalam banyak kasus, dan dalam banyak kasus sangat tidak berguna sehingga ada perasaan kegelisah yang berkembang ini” (Kelly, 1995 dalam Macnamara, 1999, h. 5)

Peristiwa-peristiwa yang dilaporkan oleh media massa, jelas bukan peristiwa sebenarnya. Proses persepsi selektif yang dilakukan wartawan dan editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita;ukuran huruf untuk judul; penempatan berita disurat kabar (apakah di halaman depan, dalam atau belakang) yang menandaka penting atau tidaknya berita; panjang atau pendeknya laporan; komentar mana yang akan ditampilkan dan akan dibuang, yang sedikit banyak akan menunjukan keberpihakan surat kabar itu sendiri; dan julukan apa yang dipilih surat kabar untuk mempromosikan pihak yang mereka bela atau menyudutkan pihak lain yang mereka benci.26

Dengan kata-kata Van Dijk (1991: 113-114),

“Banyak informasi dalam suatu teks tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi implisit. Kata, klausa, dan ekspresi tekstual lainnyaboleh jadi

26

Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,3th (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. xiii

47

mengisyaratkan konsep atau proposisi yang dapat diduga berdasarkan pengetahuan yang menjadi latar belakangnya. Ciri wacana dan komunikasi ini memiliki dimensi ideologi yang penting. Analisis atas apa yang tidak dikatakan terkadang lebih jelas daripada studi atas apa yang sebenarnya dikatakan teks.”

Sehingga, berita surat kabar merupakan suatu cara untuk menciptakan realitas yang diinginkan mengenai peristiwa atau (kelompok) orang yang dilaporkan. Oleh kerena telah melewati proses seleksi dan produksi, berita surat kabar sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artifisial, tetapi dapat diklaim sebagai objektif oleh surat kabar itu untuk mencapai tujuan-tujuan ideologis (dan bisnis) surat kabar tersebut. Dengan kata lain, berita surat kabar bukan sekedar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna.

Namun media sebenarnya membentuk kesadaran (manufactured consent). Akan tetapi Hall melanjutkan bahwa pandangan kritis yang melihat media seolah berperan secara langsung, media sebagai alat kelompok dominan (berkuasa) untuk menguasai kelompok yang tidak dominan (diberkuasai).Disini media seharusnya dilihat bukan sebagai “kekuatan jahat” yang memang didesain untuk memburukan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam pemberitaan, itu direpresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alami, memang demikian kenyataannya.27

27

48

Cara penyajian berita yang alami oleh media massa ini merupakan cara yang dikenal dengan Konstruksionisme. Konsep konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif , Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil dari produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal didalam masyarakat.28

Teori konstruksi sosial biasa disebut berada di antara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, struktur sosial yang eksis-lah yang penting. Manusia adalah produk masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Institusionalisasi, norma, struktrur dn lembaga sosial menentukan individu manusia. Sebaliknya adalah teori definisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom, melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada.

Teori konstruksi sosial berada di antara keduanya. Seperti dikatakan Margaret M. Poloma: “ Pemikiran Berger melihat realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen

28

RB Riyo Mursanto, Peter Beger: Realita Sosial Agama, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 227.

49

dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses ekternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhi melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Dalam mode yang dialektis, di mana terdapat tesa, antitesa, dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk produk masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdelektika di antara keduanya. Masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.29

Bagaimana kita menerapkan gagasan Berger mengenai konstruksi realitas ini dalam konteks berita? Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah copy dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda.

Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Manusia membentuk dunia mereka sendiri. Dalam kata-kata tekenal dari carey, realitas bukan sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi.30

Pandangan kritis terhadap media, melihat bahwa media bukanlah sesuatu yang netral, akan tetapi media adalah sesuatu yang memiliki ideologi serta mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Pandangan ini sangat bertentangan dari pandangan positivis.

29

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 308. 30

50

Dari sini kita dapat melihat sisi startegis dari posisi media yang mampu mengkostruk masyarakat sesuai dengan yang kita inginkan. Maka secara otomatis, media pun dapat digunakan sebagai alat yang sangat efektif untuk mendakwahkan Islam ketengah-tengah masyarakat untuk mengkonstruk masyarakat menjadi masyarakat yang Islami.

Dokumen terkait