• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V MAKNA DAN FUNGSI DONGENG ORONG AGU KODE BAG

5.3 Fungsi Dongeng Orong Agu Kode

William R. Bascom. Pertama, sebagai sistem proyeksi. Kedua, sebagai alat pengesaan pranata-pranata dan lembaga-lembaga. Ketiga, sebagai alat pendidik anak. Keempat, sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat,

dan juga sebagai penghibur. Dari kelima fungsi folklor lisan, terdapat dua fungsi folklor lisan yang sesuai dengan tujuan dongeng Orong Agu Kode, yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pendidik anak, dan sebagai penghibur. Hal itu disebabkan karena tujuan utama sastra lisan untuk menghibur, sebagai ekspresi estetis, dan salah satu sumber kepuasaan estetis bagi khalayaknya (Amir, 2013:168). Sebagai alat pengesaan pranata-pranata dan sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat tidak termasuk dalam fungsi dongeng Orong Agu Kode dikarenakan dongeng tersebut diciptakan bukan untuk menjadi suatu ajaran yang harus ditaati masyarakatnya dan dilarang untuk melanggarnya, tetapi untuk dijadikan suatu ajaran yang dapat dikhayati oleh masyarakat.

Menurut penulis, selain berfungsi sebagai pendidik dan sebagai hiburan, dongeng Orong Agu Kode juga memiliki fungsi kepercayaan. Berikut penjelasan fungsi-fungsi dongeng OAK bagi masyarakat Manggarai Barat.

5.3.1 Fungsi Pendidik

Menurut Koenjaraningrat, pendidikan dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mempertebal keyakinan kepada warga masyarakat akan kebaikan adat istiadat kelompoknya. Selanjutnya cara yang lain untuk mempertebal keyakinannya anggota masyarakat akan kebaikan adat istiadat kelompoknya itu, ialah dengan apa yang disebut sugesti sosial atau social sugestion. Dalam hal ini kebaikan adat istiadat ditunjukan kepada warga masyarakatnya melalui cerita- cerita rakyat, yaitu dongeng-dongeng, cerita-cerita tentang karya orang-orang besar, cerita tentang pahlawan-pahlawan yang dikisahkan dapat berhasil meraih

kebesaran dan keberhasilan berkat kepatuhannya terhadap adat istiadat. Dikatakan oleh Koenjaraningrat, bahwa cara semacam ini memang lazim dalam hampir semua masyarakat di dunia (Supanto dkk, 1981:49-50).

Pada zaman nenek moyang, masyarakat Manggarai Barat belum menganut agama manapun. Mereka masih mempercayai hal-hal yang mistik atau mempercayai kekuatan alam, sehingga mereka menyembah batu, pepohanan tua, dan lain-lain. Karena belum menganut agama manapun, masyarakat Manggarai Barat menggunakan dongeng untuk mengajarkan atau menasehati anak-anak agar gampang dipahami. Selain itu dongeng difungsikan oleh masyarakat Manggarai Barat untuk melatih imajinasi anak-anak.

Melalui dongeng Orong Agu Kode orang tua mengajarkan tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk kepada anak-anak, yaitu “da’at pande da’at ita, di’a pande di’a ita” yang artinya “perbuatan jahat akan dibalas dengan kejahatan, perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan”. Mereka mengajarkan bahwa suatu perbuatan baik maupun buruk akan mendapatkan balasannya, seperti yang dilakukan oleh tokoh Orong dan tokoh Kode. Tokoh Orong diceritakan memiliki sifat yang baik hati, tetapi juga pendendam. Hal itu terjadi dikarenakan kebaikannya dibalas dengan kejahatan. Orong membantu Kode mengeluarkan ulat

mbahong dari dalam hidung Kode, sesuai perjanjian Kode akan membiarkan Orong memakan mbahong tersebut. Setelah Kode mengetahui ulatnya di makan, ia langsung mencabuti bulu-bulu Orong sampai habis. Karena Orong memiliki hati yang baik, doanya kepada Matahari pun terkabul sehingga bulu-bulunya tumbuh kembali. Tokoh Kode diceritakan memiliki sifat yang buruk. Ia seekor

monyet yang egois, penipu, dan juga pengikar janji. Karena ia telah melakukan tindakan kejahatan ia mendapatkan ganjaran dari perbuatannya itu, dimana Orong membalas dendam kepada Kode dan Kode pada akhirnya mati tenggelam.

Dengan jalan cerita seperti ini dapat membuka pikiran anak-anak bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan balasannya. Orang tua juga berharap dengan mendengarkan cerita ini anak-anak dapat melakukan perbuatan baik, seperti yang dilakukan Orong dan menghindari perbuatan jahat, seperti yang dilakukan Kode.

Dongeng ini mengajarkan anak-anak untuk selalu menepati janji dan berkata jujur sehingga orang dapat mempercayai kita. Selain itu, mengajarkan pada anak-anak untuk selalu berbuat baik dan selalu menolong orang yang sedang kesusahan tanpa pamrih.

5.3.2 Fungsi Hiburan

Dongeng Manggarai Barat selain berfungsi sebagai pendidik, dongeng juga sebagai penghibur untuk anak-anak. Menurut Bapak Paulus Meso (69 tahun), dahulunya daerah Manggarai belum ada media, seperti media cetak dan media elektronik. Untuk menghilangkan rasa jenuh di malam hari orang tua mendongengkan anak-anak. Selain itu, dongeng juga bermanfaat untuk menenangkan anak-anak yang sedang menangis. Apalagi yang paling disuka anak-anak pada dongeng Orong Agu Kode ialah nyanyiannya, yaitu Weda Wangka yang dinyanyikan oleh Orong. Anak-anak secara bersamaan akan menyanyikan lagu tersebut.

Menurut Ibu Bernadetha Liun (52 tahun), fungsi dongeng Orong Agu Kode sebagai hiburan bagi masyarakat Manggarai Barat ialah menghibur anak- anak saat sedang belajar di sekolah. Dahulunya guru-guru akan bercerita, baik itu dongeng maupun legenda kepada murid-muridnya agar tidak merasa bosan dan ngantuk pada saat jam mata pelajaran. Pada zaman sekarang, khususnya anak- anak yang tinggal di kota, jika diceritakan dongeng mereka mulai kurang tertarik. Hal ini diakibatkan perubahan zaman yang semunya serba instan. Walaupun demikian, anak-anak yang tinggal di pedesaan masih antusias mendengarkan dongeng setiap kali orang tua mereka bercerita.

5.3.3 Fungsi Kepercayaan (F olk Believe)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kepercayaan merupakan anggapan atau keyakinan bahwa yang dipercayai atau nyata. Kepercayaan juga merupakan sebutan bagi sistem religi masyarakat Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari kelima agama yang resmi. Masyarakat Manggarai Barat juga merupakan masyarakat animistik, yaitu mempercayai roh-roh yang mendiami semua benda (batu, pohon, sungai, gunung, dsb).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat Manggarai Barat dahulunya belum menganut agama, tetapi mereka percaya bahwa Tuhan itu ada. Menurut Ibu Bernadetha Liun (52 tahun), Masyarakat Manggarai dahulunya percaya bahwa Tuhan itu ada, yang biasa mereka sebut Mori. Karena mereka tidak mendapatkan ajaran agama manapun mereka pun percaya bahwa Mori

juga memberi sesajian sebagai bentuk ucapan syukur jika hasil panen mereka berhasil dan memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit. Mereka juga mengadakan upacara-upacara untuk menyembah benda-benda tersebut, seperti upacara Teing Hang, yaitu memberikan makan roh-roh nenek moyang yang mendiami sebuah benda. Sehingga mereka bukannya memuji Tuhan yang sebenarnya tetapi malah menyembah berhala.

Pada dongeng Orong Agu Kode terdapat kepercayaan masyarakat Manggarai Barat akan kekuatan alam, yaitu Matahari atau Leso. Mereka menganggap Matahari adalah bentuk kuasa dari Tuhan atau Mori. Mereka percaya bahwa sinar matahari merupakan bentuk dari kekuatan Mori. Di dalam cerita, si Kode mencabuti semua bulu Orong (burung Bangau) sampai habis. Karena tidak memiliki bulu lagi, si Orong pun berdoa kepada Mori sambil menghadap ke arah

Leso (Matahari) agar bulu-bulunya yang indah dapat tumbuh kembali. Ia berdiri menghadap Leso sambil bernyanyi. Lagunya ialah Paro Leso Mai Sale Mai Leso Todo Taung Wulu Gaku atau E par lau mai todo suan wulu gaku yang terdapat pada keempat transkripsi dongeng Orong Agu Kode. Kedua lagu ini memiliki arti yang sama, yaitu si Orong memohon kepada Leso karena dipercaya bahwa Leso

adalah bentuk dari kekuatan Mori agar bulu-bulunya ditumbuhkan kembali. Lagu ini dipercaya bukan hanya sebuah doa tetapi dapat dikatakan sebuah mantra. Setelah si Orong menyanyikan lagu tersebut, bulu-bulunya pun tumbuh kembali.

Selain kepercayaan secara mistik, masyarakat Manggarai Barat juga mempercayai akan mitos. Mereka percaya bahwa seorang ibu hamil memiliki firasat yang kuat. Hal itu di karenakan mereka percaya bahwa bayi yang ada

dalam kandungan masih suci sehingga memiliki firasat yang kuat akan bahaya yang akan menimpa keluarganya. Firasatnya itu akan dirasakan oleh ibunya. Biasanya melalui mimpi. Dalam dongeng Orong Agu Kode kepercayaan mitos tersebut tergambar dalam tokoh monyet betina yang sedang bunting. Diceritakan ketika Orong berniat untuk membalas dendam terhadap Kode, malam sebelum kejadian itu si monyet betina bermimpi akan niat balas dendam Orong. Karena si monyet betina ini mengetahui niat jahat Orong, ia memperingati Kode dan monyet lainnya untuk tidak mengikuti perintah Orong, yaitu memetik buah kenanek di pulau Dima. Peringatan monyet betina ini tidak dihiraukan oleh Kode dan monyet lainnya. Mereka lebih tergiur dengan ajakan Orong. Sehingga si Kode dan teman- temannya mati tenggelam, sedangkan monyet betina satu-satunya monyet yang hidup. Dipercaya bahwa monyet betina inilah yang kemudian berkembang biak sehingga monyet tetap ada di Manggarai Barat.

5.4 Rangkuman

Makna dongeng Orong Agu Kode bagi masyarakat Manggarai Barat ialah makna sindiran, makna pendidikan, makna religius, dan makna moral. Makna sindiran menjelaskan tujuan dongeng ini ialah untuk menyindir orang-orang yang memiliki sifat buruk, seperti penipu, egois, dan pengingkar janji yang kemudian digambarkan pada tokoh hewan, yaitu Monyet atau Kode. Makna pendidikan menjelaskan bahwa dongeng Orong Agu Kode mengajarkan kepada anak-anak untuk tidak bersikap egois, menipu, dan mengingkari janji. Makna religius menjelaskan dongeng OAK mengandung sistem kepercayaan masyarakat

Manggarai Barat secara mistis. Makna moral menjelaskan manfaat dongeng OAK bagi masyarakat Manggarai Barat, khususnya anak-anak.

Fungsi yang terdapat pada dongeng Orong Agu Kode ialah fungsi pendidik, fungsi hiburan, dan fungsi kepercayaan. Fungsi sebagai alat pendidik anak, dongeng ini bermanfaat untuk memberi nasehat kepada anak-anak agar tidak melakukan perbuatan jahat, melainkan melakukan perbuatan baik. Fungsi sebagai hiburan, dongeng ini biasa diceritakan kepada anak-anak pada malam hari agar tidak merasa jenuh. Fungsi kepercayaan, masyarakat Manggarai Barat merupakan masyarakat animistik, yaitu mempercayai roh-roh yang mendiami benda-benda, seperti bebatuan, pepohonan, gunung, dan lain-lain. Karena mereka percaya bahwa Tuhan atau Mori mendiami benda-benda seperti itu. Kepercayaan semacam itu tergambar dalam dongeng Orong Agu Kode ialah kepercayaan kekuatan alam. Kepercayaan kekuatan alam ini merupakan kepercayaan akan kekuatan Matahari atau Leso, yang dianggap sebagai sebagai bentuk dari kekuatanTuhan atau Mori.

115

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Penelitian yang berjudul “Dongeng Orong Agu Kode Masyarakat Manggarai Barat: Transkripsi, Kajian Struktur, Makna dan Fungsi” ini memaparkan tiga masalah utama, yaitu: (1) mentranskripsikan dan menganaslisis perbandingan teks dongeng Orong Agu Kode; (2) menganaslisis struktur morfologi dan identifikasi pelaku dongeng Orong Agu Kode; (3) menganalisis makna dan fungsi dongeng Orong Agu Kode bagi masyarakat Manggarai Barat.

Dari tiga permasalahan utama tersebut, kesimpulan yang didapat penulis di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Masalah pertama berkaitan dengan varian dongeng Orong Agu Kode yang kemudian ditranskripsikan, yaitu pengubahan dari bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis. Karena terdapat empat varian dongeng Orong Agu Kode, maka dilakukan perbandingan teks antarvarian. Perbandingan yang dilakukan adalah perbandingan struktur dan perbandingan naskah. Perbandingan struktur antarvarian dongeng tersebut ialah tema, tokoh/penokohan, setting, alur, dan sudut pandang. Tema dari teks A-D dongeng Orong Agu Kode memiliki kesamaan, yaitu pembalasan dendam. Tokoh dari keempat varian dongeng

Orong, Kode, monyet betina, tetua para monyet, dan para monyet; teks B ialah Orong, Kode, monyet betina, dan para monyet; teks C ialah Orong, Kode, monyet betina, dan para monyet; teks D ialah Orong, Kode, Raja, dan para monyet. Setting dari keempat varian dongeng Orong Agu Kode juga berbeda. Setting meliputi tempat dan waktu, yakni latar/setting dongeng teks A ialah sebuah batu, di atas pohon, pulau Dima, tengah laut, dan beberapa hari kemudian; teks B ialah di hutan, sebuah batu, pulau Komodo, pulau seberang, tengah laut, dan pagi; teks C ialah di bawah pohon, di pinggir sungai, pulau seberang; teks D ialah pulau Dima, di sungai, tengah laut, dan berbulan-bulan. Alur yang terdapat dalam keempat varian dongeng Orong Agu Kode memiliki kesamaan, yaitu alur maju. Begitu pun sudut pandang dari keempat varian dongeng tersebut memiliki kesamaan, yaitu sudut pandang orang ketiga. Untuk perbandingan naskah, keempat varian dongeng Orong Agu Kode memiliki perbedaan dari cara penceritaan setiap narasumber, tetapi dari awal cerita, isi cerita, dan akhir cerita tetap pada inti cerita yang sama.

2. Pada permasalahan kedua, yaitu menganalisis struktur morfologi dan identifikasi pelaku dongeng Orong Agu Kode. Terdapat 9 fungsi pelaku dari 31 fungsi pelaku dalam dongeng Orong Agu Kode. Lingkaran pertama, larangan dan pelanggaran terhadap larangan, penyampaian, dan penipuan; Lingkaran kedua, kejahatan dan aksi balasan dimulai; Lingkaran ketiga, resep benda magis; Lingkaran keempat, kemenangan dan perubahan penampilan. Terdapat 4 jenis pelaku dari 7 identifikasi pelaku dongeng Orong Agu Kode, yaitu the

villain, the megical helper, the dispatcher, dan the hero. Disini disimpulkan bahwa teori morfologi Vladimir Propp dapat diterapkan dalam menganalisis dongeng rakyat nusantara. Karena setiap dongeng memiliki struktur morfologi.

3. Permasalahan ketiga, yaitu menganalisis makna dan fungsi pelaku dongeng

Orong Agu Kode bagi masyarakat Manggarai Barat. Dalam studi ini, yang dimaksud dalam makna arti intrinsik dongeng, sedangkan fungsi adalah makna ekstrinsiknya. Makna dongeng Orong Agu Kode bagi masyarakat Manggarai Barat ialah makna sindiran, makna pendidikan, makna religius, dan makna moral. Makna sindiran, dongeng Orong Agu Kode ditujukan kepada orang- orang yang memiliki sifat egois, penipu, dan pengingkar janji, dengan maksud menyindir. Makna pendidikan, makna ini menjelaskan bahwa dongeng OAK mengajarkan kepada anak-anak untuk tidak bersikap egois, penipu, dan pengingkar janji seperti yang dilakukan Kode terhadap Orong. Makna religius, makna ini menjelaskan dongeng OAK mengandung sistem kepercayaan masyarakat secara mistik, yaitu mempercayai kekuatan Matahari atau Leso, yang dipercayai Leso merupakan bentuk kuasa dari Tuhan atau Mori. Makna moral, makna ini menjelaskan dongeng Orong Agu Kode memberi nasehat yang baik kepada anak-anak, yaitu bersikap baik kepada sesama dan menjauhi sikap yang seperti Kode, yaitu egois, penipu, dan pengingkar janji. Fungsi dongeng Orong Agu Kode bagi Masyarakat Manggarai Barat ialah fungsi pendidik, fungsi hiburan, dan fungsi kepercayaan (folk believe). Fungsi sebagai pendidik, dongeng ini bermanfaat untuk memberi nasehat kepada anak-anak

agar tidak melakukan perbuatan jahat seperti yang dilakukan Kode yaitu egois, menipu, dan mengingkari janjinya, melainkan melakukan perbuatan baik seperti yang dilakukan Orong, yaitu menolong Kode . Fungsi hiburan, dongeng ini biasa diceritakan kepada anak-anak pada malam hari agar tidak merasa jenuh. Fungsi kepercayaan (folk believe), masyarakat Manggarai Barat merupakan masyarakat animistik, yaitu mempercayai roh-roh yang mendiami benda-benda, seperti bebatuan, pepohonan, gunung, dan lain-lain. Kepercayaan semacam itu tergambar dalam dongeng Orong Agu Kode ialah kepercayaan kekuatan alam. Kepercayaan kekuatan alam ini merupakan kepercayaan akan kekuatan Matahari atau Leso, yang dianggap sebagai bentuk dari kekuatan Tuhan atau Mori.

6.2 Saran

Setelah semua permasalahan dijawab, ada dua saran yang bisa diajukan untuk penelitian lebih lanjut. Dari dua saran ini dimungkinkan dilanjutkan penelitian lain,

1. Perlu dikaji secara lingustik dongeng Orong Agu Kode karena belum ada penelitian tentang metode penelitian bahasa dongeng OAK.

2. Perlu dikaji kepercayaan mistik yang terdapat pada dongeng-dongeng daerah Manggarai Barat karena selain dongeng Orong Agu Kode terdapat pula dongeng-dongeng yang menggambarkan situasi masyarakat zaman dahulu yang mempercayai kekuatan-kekuatan gaib.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yokyakarta: ANDI Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Danandjaja, James. 1984. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-

Lain. Jakarta: PT Grafiti Pers.

---. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Menunggal. Jakarta: Pustaka Utama Gratifi.

Data Demografis Kabupaten Manggarai Barat. 2013. Didownload dari:

http://manggaraibaratkab.go.id

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Djamaris, Edwar. 2001. Cerita Rakyat Minagkabau: Dongeng Jenaka, Dongeng berisi Nasihat, Serta Dongeng Berisi Pendidikan Moral, dan Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Karolus, Meika Lusye. 2013. Feminisme dalam Dongeng. Yogyakarta: Graha Ilmu

Priyono, Kusumo. 2006. Terampil Mendongeng. Jakarta: PT Grasindo.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Supanto, dkk.1981. Sejarah dan Budaya: Folklore. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan

Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera. Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

LAMPIRAN

Data Informan

1. Nama : Adrianus Hamut Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 57 tahun

Tempat Tinggal : Golo Koe, Kec. Komodo, Kabupaten Manggarai Barat Pekerjaan : Pengawas TK/SD

2. Nama : Ngampu Mikael Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 60 tahun

Tempat Tinggal : Rekas, Kec. Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat Pekerjaan : Guru

3. Nama : Paulus Meso Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 69 tahun

Tempat Tinggal : Tembel, Kec. Sanonggoang, Manggarai Barat Pekerjaan : Petani

4. Nama : Kristina Imas Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 60 tahun

Tempat Tinggal : Tenda, Kec. , Kabupaten Manggarai Barat Pekerjaan : Petani

5. Nama : Petrus Pesau

Usia : 77 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tinggal : Cecer, Kec. Mbeliling, Manggarai Barat Pekerjaan : Petani

6. Nama : Teodorus Matung

Usia : 72 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tinggal : Noa, Kec. Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat Pekerjaan : Petani

Peta Kabupaten Manggarai Barat

Demografis

Secara astronomis, posisi Kabupaten Manggarai Barat terletak antara

08°14’ LS - 09°00’ LS dan antara 119°21’ BT - 120°20’ BT. Batas-batas wilayah administrative adalah sebelah Selatan dengan laut Sawu, sebelah Utara dengan Laut Flores, sebelah Barat dengan Selat Sape dan sebelah Timur dengan wilayah Kabupaten Manggarai.

Wilayah Kabupaten Manggarai Barat merupakan daerah kepulauan dengan luas daratan 2.947,50 km2 atau hanya sekitar 6,22 persen dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan

beberapa pulau besar seperti Pulau Komodo, Rinca, Longos, serta beberapa buah pulau-pulau kecil lainnya.

Penduduk Kabupaten Manggarai Barat terbagi dalam beberapa agama yang tersebar di semua kecamatan. Jumlah pemeluk agama menurut golongan agama pada tahun 2011 adalah Katolik sebanyak 179.760 jiwa, Protestan sebanyak 1.878 jiwa, Islam sebanyak 45.525 jiwa, Hindu sebanyak 181 jiwa, Budha sebanyak 21 jiwa dan lainnya sebanyak 230 jiwa. Jumlah sarana ibadah di Kabupaten Manggarai Barat, yaitu 21 Gereja Katolik, 139 Kapela, 8 Gereja Protestan, 125 Mesjid, 7 Mushola dan 1 Pura.

Khusus untuk jamaan haji di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2011 telah memberangkatkan 320 jemaah dengan penyebarannya terdapat di Kecamatan Komodo 282 orang, Kecamatan Boleng 12 orang, Kecamatan Sano Nggoang 3 orang, Kecamatan Lembor 17 orang dan Kecamatan Macang Pacar 6 orang (http://manggaraibaratkab.go.id/ diunduh pada tanggal 16 April 2014).

BIOGRAFI

Metildis Ruth Sahu, lahir di

Labuan Bajo, Manggarai Barat,

NTT,

01

September

1992.

Pendidikan SDI Waemata (1998-

2004)

dan

pendidikan

SMPK

Arnoldus Yansen (2004-2007) di

Labuan

Bajo,

kemudian

melanjutkan ke SMAK St. Ignatius

Loyola (2007-2010).

Pada tanggal 15 Desember 2014 menyelesaikan pendidikan

sarjana di Universitas Sanata Dharma, dengan skripsi berjudul

“Dongeng

Orong Agu Kode Masyarakat Manggarai Barat:

Transkripsi, Kajian Struktur Morfologi Makna, dan Fungsi”.

Menjadi anggota Bengkel Sastra dan menjadi pemain teater

Matahari Setengah Mati. Selama masa perkuliahan juga mengikuti

Dokumen terkait