TINJAUAN PUSTAKA
II.3 FUNGSI KOGNITIF 1 Definis
Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).
Fungsi kognitif terdiri dari : (Kolegium Neurologi Indonesia,2008) 1. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.
Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehaviour karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.
Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali, kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehaviour. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan berbahasa.
3. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru.
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall.
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari- hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan koleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek recent memory.
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal :
lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan fungsi kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang berkelanjutan, beberapa dianggap masih dalam kategori gangguan ringan. Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai skrining untuk menilai fungsi eksekutif.
Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi terhadap risiko penurunan fungsi kognitif (Plasman dkk, 2010).
Sebagai suatu pemeriksaan awal, pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE: Mini Mental State Examination) adalah penilaian yang paling banyak dipakai.
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah uji yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Uji MMSE awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada individu-individu dengan kecurigaan gangguan fungsi kognitif, namun tidak dapat digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working dan immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Tes tersebut direkomendasikan sebagai alat skrining untuk penilaian kognitif global oleh American academy of Neurology (Kochhan dkk, 2010).
Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut: (Sjahrir dkk, 2001).
Tabel 1. Skor Median MMSE
Lama Pendidikan ( tahun)
0-6 7-9 10-12 >12 Median 24 26 26 28 Usia (tahun) <20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Median 27 28 28 26 27 21
Dikutip dari :Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe AS, Lubis ID, Bhakti I. 2001. The Mini Mental Stage Examination in Healthy Individual in Medan, Indonesia by Age and Education Level. Neurol J Southeast Asia; 6:19-22
II.4 Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome
Fungsional
Penyakit serebrovaskuler merupakan faktor resiko untuk terjadinya kegagalan fungsi kognitif. Stroke telah banyak dihubungkan dengan gangguan fungsi kognitif. Konsep klasik mengimplikasikan bahwa demensia yang berasal
dari vaskuler merupakan hasil dari suatu volume kritis dari jaringan otak yang infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia setelah stroke telah dilaporkan berhubungan dengan pasien-pasien dengan lesi subcortical white matter yang luas. Disrupsi dari subkortikofrontal dan talamocortikal sekalipun kecil dan terisolasi dapat menyebabkan demensia. Lesi white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan cerebral microangiopathy, gangguan neurofisiologi berkorelasi dengan hipoperfusi kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter. Atrophy corpus calosum merupakan prediktor gangguan kognitif global pada pasien dengan lesi white matter (Haring, 2002).
Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti CPSP dilaporkan terjadi sekitar 8% penderita stroke. Nyeri nosiseptif yang mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren ataupun persisten telah dilaporkan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan berhubungan dengan gangguan mood. Nyeri yang berlangsung lama dapat memicu stres pada penderita dan keluarga yang berakibat berpengaruhnya aktivitas kehidupan sehari-hari. Respon terhadap nyeri kronis ini bervariasi diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik, fungsional, psikologi dan sosial. Dimana aspek fisik berkaitan dengan gejala dari penyakit; aspek fungsional berkaitan dengan perawatan diri dan tingkat aktifitas
fisik; aspek psikologi berkaitan dengan fungsi kognitif, status emosional, kepuasan hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan interaksi. (Widar dkk, 2002).
Dalam suatu studi PRoFESS Trial dilaporkan terjadinya penurunan dalam skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke. Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale ≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013). Pengaruh nyeri pada fungsi kognitif tidak langsung berhubungan dengan gambaran diskriminasi sensoris. Secara spesifik dikatakan bahwa kegagalan kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis berhubungan dengan perubahan mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur, kelelahan, dan kegagalan melakukan aktifitas sehari-hari. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri (Hart dkk, 2003).