Hubungan
Chr oni c Pai n Syndr ome
Paska
Stroke dengan skor
Mi ni Ment al St at us
Exami nat i on
dan skor
modi fi ed Rank i n Scal e
TESIS
SUHERMAN A. TAMBUNAN
Nomor Register CHS : 20084
PROGRAM STUDI NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke
dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale
Nama : Suherman A. Tambunan
Nomor Register CHS : 20084
Program Studi : Neurologi
Menyetujui
Pembimbing III
dr. Haflin S. Hutagalung, SpS NIP. 198208202008012008
Pembimbing II
dr. Cut Aria Arina, Sp.S NIP. 197710202002122001
Pembimbing I
dr. Aldy S. Rambe,Sp.S(K)_ NIP. 198208202008012008
Mengetahui / Mengesahkan :
Ketua Departemen / SMF Neurologi FK USU/RSUPHAM Medan
dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) NIP. 19530916 198203 1 003
Ketua Program Studi/ SMF Neurologi FK USU/ RSUP HAM Medan
Tanggal Lulus : 30 Desember 2014 Telah diuji pada
Tanggal : 30 Desember 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)
2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)
3. dr. Darlan Djali Chan, SpS
4. dr. Yuneldi Anwar, SpS(K), (Penguji)
5. dr. Rusli Dhanu, SpS(K)
6. dr. Aldy S. Rambe, SpS (K)
7. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, SpS(K)
8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS
9. dr. Khairul P. Surbakti, SpS
10. dr. Cut Aria Arina, SpS
11. dr. Kiki M. Iqbal, SpS
12. dr. Alfansuri Kadri, SpS
13. dr. Aida Fitri, SpS
14. dr. Irina Kemala Nasution, SpS
15. dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS
16. dr. Fasihah Irfani Fitri, SpS, MKed. (Neu)
17. dr. Iskandar Nasution, Sp.S , FINS
18. dr. RA. Dwi Pujiastuti, SpS, MKed. (Neu)
PERNYATAAN
HUBUNGAN CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE
DENGAN SKOR MINI MENTAL STATUS EXAMINATION DAN SKOR
MODIFIED RANKIN SCALE
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 30 Desember 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat, karunia dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), (Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), (saat penulis diterima sebagai PPDS juga adalah Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K), dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dan dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.
Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, , yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya Alm.M.A. Tambunan, Alm.S.Br. Sirait, yang telah menjadi inspirasi dan motivasi saya. Juga kepada Bapak/ Ibu mertua saya Timbul Lumbantoruan dan S.br. Tambunan yang senantiasa memberi dukungan moril dan material, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai..
Teristimewa kepada istriku tercinta dr.Vera Madonna, M.Kes.,M.Ked(DV),Sp.DV, yang selalu dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih dalam suka dan duka, demikian juga ananda Naomi Christy Natasha, Deandra Audrey Philia, Hans Adriel yang memberi semangat dan inspirasi, saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.
Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan yang melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2014
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap :dr. Suherman A. Tambunan Tempat / tanggal lahir : Medan, 11 Agustus 1975 Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS
Nama Ayah : M. A. Tambuanan (Alm) Nama Ibu : S. Br. Sirait (Alm)
Nama Istri : dr. Vera Madonna ,M.Kes.,M.Ked (DV), Sp.DV
Nama Anak : Naomi Christy Tambunan
Deandra Audrey Tambunan Hans Adriel Tambunan
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD Negeri 060872 tamat tahun 1987.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Budi Murni -2, Medan tamat tahun 1990. 3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Medan, tamat tahun 1993.
4. Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2000.
5. Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2011.
Riwayat Pekerjaan
Tahun 2000-2002 :Dokter PTT di Puskesmas Ujoh Bilang, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur.
DAFTAR ISI
Halaman Lembar Pengesahan
Kata Pengantar Daftar Riwayat Hidup
I v
Daftar Isi vii
Daftar Singkatan Daftar Tabel
ix x Daftar Gambar
Daftar Lampiran Abstrak Abstract xi xii xiii xiv
BAB.I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Perumusan Masalah 3
I.3. Tujuan Penelitian 3
I.3.1. Tujuan Umum 4
I.3.2. Tujuan Khusus 4
I.4. Hipotesis 5
I.5. Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
II.1. Stroke Iskemik 7
II.1.1. Definisi 7
II.1.2. Epidemiologi 7
II.1.3. Klasifikasi Stroke 8
II.1.5. Patofisiologi 11 II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE
II.2.1. Definisi 16 16 II.2.2. Epidemiologi II.2.3. Patofisiologi 17 19 II.3. FUNGSI KOGNITIF
II.3.1. Definisi
II.4. Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome Fungsional II.5.Kerangka Teori II.5.Kerangka Konsep 22 22 28 31 32
BAB.III METODE PENELITIAN 33
III.1. Waktu dan tempat penelitian 33
III.2.Subjek Penelitian 33
III.2.1. Populasi Sasaran 33
III.2.2. Populasi terjangkau 33
III.2.3. Sampel 34
III.2.4. Besar Sampel 34
III.2.5. Kriteria inklusi III.2.6. Kroteria Eksklusi
35 35
III.3.Batasan Operasional 35
III.4. Instrumen Penelitian 38
III.5.Rancangan Penelitian III.6.Pelaksanaan Penelitian
39 39
III.6.1. Pengambilan Sampel 39
III.6.2. Kerangka Operasional III.7. Variabel yang Diamati
BAB IV
BAB V
III.8. Analisa Statistik
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Penelitian
IV.1.1. Karakteristik subyek penelitian
IV.1.2. Rerata skor VAS pada pria dan wanita IV.1.3. Hubungan skor VAS dengan skor MMSE,
skor mRS, lokasi lesi, volume lesi dan lama stroke
IV.2. Pembahasan
IV.2.1. Karakteristik demografik subyek penelitian IV.2.2. Karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian IV.2.3. Hubungan skor VAS dengan skor MMSE, skor
mRS, lokasi lesi, volume lesi, dan lama stroke KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan V.2. Saran 41 42 42 42 48 49 51 51 52 56 60 60 61
DAFTAR SINGKATAN
CPS : Chronic Pain Syndrome
CPSP : Central Post Stroke Pain
CT : Computed Tomography
CVD : Cerebro Vascular Disease
GABA : Gamma Amoino Butiric Acid
MMSE : Mini Mental Status Examination
MRI : Magnetic Resonance Imaging
mRS : modified RankinScale
PIS : Perdarahan Intra Serebral PSA : Perdarahan Sub Arachnoid
PRoFESS : Prevention Regimen for Effectively Second Stroke
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SPECT : Single Photon Emisson Tomography
TIA : Transient Ischemic Attack
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skor Median MMSE 27
Tabel 2 Karakteristik demografik subyek penelitian 43 Tabel 3 Gambaran karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian 45 Tabel 4 Nilai rerata skor VAS, skor MMSE dan skor mRS 48 Tabel 5 Rerata skor VAS pada pria dan wanita 48 Tabel 6 Hubungan skor VAS dengan skor MMSE, skor mRS,
Lokasi lesi, volume lesi dan lama stroke 49 Tabel 7 Hubungan skor mRS dengan skor MMSE dan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tipe Chronic pain syndrome 18
Gambar 2 Distribusi jenis kelamin penderita CPS paska stroke 44 Gambar 3 Distribusi tingkat pendidikan penderita CPS paska stroke 44 Gambar 4 Distribusi tipe strike penderita CPS paska stroke 46 Gambar 5 Distribusi lokasi lesi penderita CPS paska stroke 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2 Surat Persetujuan Ikut dalam Penelitian
Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data Lampiran 4 modified Rankin Scale (mRS)
Lampiran 5 Mini Mental State Examination (MMSE) Lampiran 6 Kuesioner Chronic post stroke pain
ABSTRAK
Latar belakang dan Tujuan: Chronic pain syndrome (CPS) merupakan komplikasi
yang secara umum dijumpai setelah stroke, misalnya central post stroke pain, nyeri bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya. Nyeri kronik yang ditemukan secara konstan lebih dari 3 bulan yang dikenal sebagai konsekuensi stroke akan mempengaruhi outcome penderita stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan CPS paska stroke dengan skor MMSE dan skor mRS .
Metodologi : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien paska stroke yang mengalami CPS. Setiap subyek dinilai intensitas nyeri dan diminta mengisi kuesioner untuk menilai karakteristik nyeri kronik yang muncul setelah stroke.
Hasil : Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan skor MMSE (r= 0.058 ; p= 0.776) juga antara skor VAS dan skor mRS (r= 0.175 ; p= 0.381). Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah antara skor VAS pada CPS dan lokasi lesi (r= 0.077; p= 0.704) juga antara skor VAS pada CPS dengan volume lesi (r= 0.037 ; p= 0.856). Terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan lama stroke (r= -0.125; p= 0.536). Terdapat korelasi negatif yang kuat dan signifikan antara fungsi kognitif dan outcome fungsional (r= - 0,686; p= 0.001)
Kesimpulan : Studi ini menunjukkan dijumpai korelasi positif yang sangat lemah serta tidak signifikan antara CPS dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale.
ABSTRACT
Background and Purpose: Chronic pain syndrome (CPS) is a general
complication found after stroke, for example central post stroke pain, shoulder pain
or other specific pain. Chronic pain constantly found more than 3 months known as
stroke consequences which will affect the stroke patient outcome. This research
aims for knowing the relationship of post stroke CPS with MMSE score dan mRS
score.
Method : This research is a cross sectional study of post stroke patients which has
CPS. Every subject graded for the pain intensity and asked to fill the questionairre
to measure the chronic pain characteristics after stroke.
Results : There is an insignificant very weak positive correlation between VAS
score in CPS and MMSE score (r= 0.058 ; p=0.776); an insignificant very weak
positive correlation between VAS score in CPS and mRS score (r=0.175 ; p=0.381)
and also an insignificant very weak positive correlation between VAS score in CPS
and location of the lesion. (r=0.077; p=0.704). There is an insignificant very weak
positive correlation between VAS score in CPS and volume of the lesion (r=0.037;
p=0.856). There is an insignificant very weak negative correlation between VAS
score in CPS and duration of stroke. (r= -0.125; p=0.536). There is a significant
strong negative correlation between MMSE score and mRS score ( r= -0.686;
p=0.001)
Conclusion: This study shows that there is positive very weak correlations and
insignificant between CPS with cognitive function and functional outcome.
Keywords : chronic pain syndrome-Mini Mental Status Examination- modified
ABSTRAK
Latar belakang dan Tujuan: Chronic pain syndrome (CPS) merupakan komplikasi
yang secara umum dijumpai setelah stroke, misalnya central post stroke pain, nyeri bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya. Nyeri kronik yang ditemukan secara konstan lebih dari 3 bulan yang dikenal sebagai konsekuensi stroke akan mempengaruhi outcome penderita stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan CPS paska stroke dengan skor MMSE dan skor mRS .
Metodologi : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien paska stroke yang mengalami CPS. Setiap subyek dinilai intensitas nyeri dan diminta mengisi kuesioner untuk menilai karakteristik nyeri kronik yang muncul setelah stroke.
Hasil : Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan skor MMSE (r= 0.058 ; p= 0.776) juga antara skor VAS dan skor mRS (r= 0.175 ; p= 0.381). Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah antara skor VAS pada CPS dan lokasi lesi (r= 0.077; p= 0.704) juga antara skor VAS pada CPS dengan volume lesi (r= 0.037 ; p= 0.856). Terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan lama stroke (r= -0.125; p= 0.536). Terdapat korelasi negatif yang kuat dan signifikan antara fungsi kognitif dan outcome fungsional (r= - 0,686; p= 0.001)
Kesimpulan : Studi ini menunjukkan dijumpai korelasi positif yang sangat lemah serta tidak signifikan antara CPS dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale.
ABSTRACT
Background and Purpose: Chronic pain syndrome (CPS) is a general
complication found after stroke, for example central post stroke pain, shoulder pain
or other specific pain. Chronic pain constantly found more than 3 months known as
stroke consequences which will affect the stroke patient outcome. This research
aims for knowing the relationship of post stroke CPS with MMSE score dan mRS
score.
Method : This research is a cross sectional study of post stroke patients which has
CPS. Every subject graded for the pain intensity and asked to fill the questionairre
to measure the chronic pain characteristics after stroke.
Results : There is an insignificant very weak positive correlation between VAS
score in CPS and MMSE score (r= 0.058 ; p=0.776); an insignificant very weak
positive correlation between VAS score in CPS and mRS score (r=0.175 ; p=0.381)
and also an insignificant very weak positive correlation between VAS score in CPS
and location of the lesion. (r=0.077; p=0.704). There is an insignificant very weak
positive correlation between VAS score in CPS and volume of the lesion (r=0.037;
p=0.856). There is an insignificant very weak negative correlation between VAS
score in CPS and duration of stroke. (r= -0.125; p=0.536). There is a significant
strong negative correlation between MMSE score and mRS score ( r= -0.686;
p=0.001)
Conclusion: This study shows that there is positive very weak correlations and
insignificant between CPS with cognitive function and functional outcome.
Keywords : chronic pain syndrome-Mini Mental Status Examination- modified
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Stroke sebagai penyebab kematian ketiga masih merupakan masalah
kesehatan di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker. Terhitung 1
dari 15 orang yang meninggal disebabkan oleh stroke. Pada saat ini di Amerika
terdapat 4 juta orang yang menderita stroke ( Bhardwaj dkk 2007). Di Indonesia,
dari data nasional stroke menunjukkan angka kematian tertinggi yaitu 15,4%
sebagai penyebab kematian (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas, 2007). Data di
Indonesia juga menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam
hal kejadian stroke,kematian maupun kecacatan akibat stroke. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45 – 54 tahun), 26,8% (umur 55 –
64 tahun) dan 23,5% (umur ≥ 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar
51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan didapati 1,6% tidak berubah, serta 4,3%
semakin memberat. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang
berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara
nasional di kemudian hari (Kelompok Studi Stroke PERDOSSI, 2011).
Penderita stroke mudah terjangkit banyak komplikasi. Penderita stroke
umumnya mempunyai komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung
atau penyakit lain yang meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama
akibat langsung dari kerusakan otak itu sendiri, dari akibat disabilitas dan
immobilitas yang menyertai penderita stroke ataupun akibat terapi stroke yang
diberikan. Hal-hal ini mempengaruhi secara substansial outcome akhir dari
penderita stroke dan sering menghalangi pemulihan neurologis (Kumar dkk,
2010).
Pada studi prospektif menemukan bahwa pada pasien paska stroke dengan
rehabilitasi ditemukan dari 232 pasien, 71,0% pasien memiliki minimal 1
komplikasi. Komplikasi paling sering yaitu nyeri muskuloskeletal (32,4%), disfungsi
pencernaan dan kemih (31,5%), infeksi (16,5%), depresi (13,8%), dan ansietas
(5,8%) (Kuptniratsaikul dkk, 2009).
Chronic pain syndrome dilaporkan merupakan komplikasi yang secara umum
dijumpai setelah stroke, yang dapat berupa central post-stroke pain (CPSP), nyeri
bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya (Jonssonn dkk, 2006). Nyeri paska stroke
merupakan salah satu komplikasi stroke dengan prevalensi 19-74 %. Nyeri kronik
meningkat yang dikenal sebagai konsekuensi dari stroke yang ditemukan secara
konstan atau merupakan nyeri yang kambuh selama lebih dari 3 bulan (Klit dkk,
2011). Suatu studi melaporkan, dari 16 pasien ditemukan onset nyeri muncul pada
bulan pertama setelah stroke (10 orang), satu sampai 6 bulan (3 orang) dan lebih
dari 6 bulan (3 orang) ( Klit, dkk.2009).
Demensia vaskuler merupakan sindroma demensia terbanyak di negara Barat
setelah demensia Alzheimer, yang secara klinik terdiri dari gangguan intelektual
otak, perdarahan atau hipoksia otak. Diagnosa demensia ditegakkan setelah 3
bulan paska stroke dengan gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia
(Lumempouw, 2011). Penelitian Tatemichi, dkk menemukan bahwa gangguan
kognitif sering terjadi setelah stroke dan sering menyebabkan memori, orientasi
bahasa dan atensi (Tatemichi ,dkk. 1994).
Pada studi PRoFESS (Prevention Regimen for Effectively avoiding Second
Stroke) dilaporkan bahwa chronic pain syndrome paska stroke berhubungan
dengan penurunan fungsi kognitif dan outcome fungsional. (O’Donnell dkk, 2013).
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut :
Apakah terdapat hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan gangguan
kognitif dan outcome fungsional.
I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
I.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan skor
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska
stroke dengan gangguan kognitif di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska
stroke dengan outcome fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska
stroke dengan lokasi lesi di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska
stroke dengan volume lesi di RSUP H. Adam Malik Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska
stroke dengan lama stroke di RSUP H. Adam Malik Medan.
6. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografik chronic pain syndrome
paska stroke di RSUP H. Adam Malik Medan.
I.4 Hipotesis
Terdapat hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan gangguan
kognitif dan outcome fungsional .
I.5. Manfaat Penelitian
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk llmu pengetahuan
Dengan mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan
pemahaman mengenai patogenesis stroke yang berkaitan dengan chronic pain
syndrome dan hubungannya dengan fungsi kognitif dan outcome pasien paska
stroke.
I.5.2.Manfaat penelitian untuk penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan teori bagi penelitian selanjutnya
mengenai kejadian chronic pain syndrome paska stroke dan hubungannya dengan
fungsi kognitif dan outcome fungsional.
I.5.3.Manfaat penelitian untuk masyarakat
Dengan mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan
gangguan fungsi kognitif dan outcome fungsional, maka penelitian ini dapat
menambah wawasan tentang pertimbangan pencegahan pada kejadian chronic
pain syndrome setelah stroke, gangguan kognitif dan memperbaiki outcome
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Stroke
II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga
disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau sampai
kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Defenisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),
perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan
beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).
II.1.2. Epidemiologi
Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika
Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan
kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya
dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria)
meninggal akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk meninggal setiap
tahun oleh karena stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).
Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok
usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada
sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen
dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding
pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena
kelainan kongenital maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti
peradangan, aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 2011).
II.1.3. Klasifikasi Stroke
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi
anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011).
1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a) Stroke iskemik
i) Transient Ischemic Attack (TIA)
ii) Trombosis serebri
iii) Emboli serebri
b) Stroke hemoragik
i) Perdarahan intraserebral
ii) Perdarahan subarachnoid
2) Berdasarkan stadium:
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
b) Stroke in evolution
3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
a) Tipe karotis
b) Tipe vertebrobasiler
II.1.4 Faktor Risiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor
yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor
risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor turunan
e. Berat badan lahir rendah
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Prilaku:
1. Merokok
2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang
buah
4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin,
pil kontrasepsi
5. Kurang gerak badan
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimtomatik
Pada Interstroke study melaporkan bahwa faktor resiko stroke: ( O’Donnell
,dkk.2010)
1. Riwayat hipertensi
2. Current smoking
3. Waist to hip ratio
4. Aktifitas fisik regular
6. Intake alkohol
7. Psikososial stress
8. Depresi
9. Gangguan jantung
10.Rasio Apolipoprotein B dan A1.
II.1.5 Patofisiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli
dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang
mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik,
yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker dkk,
2010).
Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir
dengan kematian sel sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. (Misbach, 2011).
Iskemia dapat dibagi lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis,
emboli, dan penurunan perfusi sistemik (Caplan, 2009).
1. Trombosis
Trombosis mengacu pada obstruksi aliran darah karena proses oklusi lokal
dalam satu atau lebih pembuluh darah. Lumen pembuluh darah yang menyempit
pembentukan bekuan. Jenis yang paling umum dari patologi vaskular adalah
aterosklerosis, di mana jaringan fibrous dan otot tumbuh terlalu cepat pada
subintima, dan materi lemak membentuk plak yang dapat mengganggu pada
lumen. Selanjutnya, platelet atau trombosit menempel ke celah-celah plak dan
membentuk yang berfungsi sebagai nidus untuk pengendapan fibrin, trombin, dan
clot. (Caplan, 2009).
2. Emboli
Pada emboli, materi terbentuk di tempat lain dalam sistem vaskular pada
arteri dan memblok aliran darah. Penyumbatan bisa bersifat sementara atau dapat
bertahan selama berjam-jam atau berhari-hari sebelum berpindah ke area yang
lebih distal. Berbeda dengan trombosis, blok emboli lumen tidak disebabkan oleh
proses lokal yang berasal pada arteri yang tersumbat. Materi yang muncul
proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri utama seperti aorta, karotis, dan
arteri vertebralis, dan dari vena sistemik. (Caplan,2000).
3. Penurunan Perfusi sistemik
Dalam penurunan perfusi sistemik, berkurangnya aliran ke jaringan otak
disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah. Penyebab yang paling
umum adalah kegagalan pompa jantung (paling sering karena infark miokard atau
kasus tersebut, berkurangnya perfusi adalah lebih umum daripada trombosis lokal
atau emboli dan mempengaruhi otak secara difus dan bilateral (Caplan, 2009).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan
menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core
iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan
pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan
menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin
ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah
hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah
penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya
dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung
pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat
berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2011) .
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah
infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di
Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan
stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%,
batang otak 2% dan subrakhnoid 4%. (Misbach, 2011)
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas
perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.Sedangkan berdasarkan
penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral
primer dan sekunder. (Misbach 2011)
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering
terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik
menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami
perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis,
nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan
yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan
pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Caplan, 2000)
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. (Caplan, 2000)
Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam
otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh
yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi.
Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri
(arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma. (Misbach, 2011)
II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE
II.2.1. Definisi
Sampai saat ini belum terdapat definisi yang baku untuk chronic pain
syndrome paska stroke. Terdapat beberapa tipe nyeri kronis yang dapat terjadi
setelah stroke, yaitu: nyeri sentral paska stroke (CPSP), nyeri nosiseptif dan nyeri
kepala ( Widar dkk, 2002). Nyeri sentral paska stroke (Central post stroke pain/
CPSP) merupakan kondisi nyeri neuropatik spesifik dimana nyeri ini disebabkan
menghantarkan informasi dari stimulus noxious dan non-noxious dari perifer ke
otak (Klit dkk, 2011).
Nyeri nosiseptif sering mempengaruhi bahu dan berhubungan dengan
perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi yang terkena. Hal ini
dapat terjadi akibat subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan
lunak (Widar dkk, 2002).
Dikatakan nyeri kronik bila terdapat nyeri yang ditemukan konstan atau
timbul berlangsung lebih dari 3 bulan ( Klit dkk, 2011).
Bentuk chronic pain syndrome setelah stroke yang paling umum adalah
nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala (Klit dkk, 2009).
II.2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi mengenai chronic pain syndrome paska stroke saat ini
masih sedikit. Prevalensi dari nyeri setelah stroke bervariasi antara 19-74%
(Jonsson dkk, 2006). Pada satu studi di Denmark dilaporkan bahwa nyeri setelah
stroke dijumpai dalam 2 tahun dengan tipe: nyeri kepala, nyeri sendi bahu dan
sendi lainnya, nyeri karena spasme dan kaku otot, nyeri lainnya, dan nyeri
bersama lebih dari satu jenis (Klit dkk, 2011).
Pada studi PROFESS Trial ditemukan dari 15.754 pasien setelah stroke
dijumpai 1.665 orang (10,6%) menderita chronic pain syndrome setelah stroke,
dimana dari 10,6 % tersebut, terdapat 2,7 % dengan CPSP, dengan neuropati
subluxasi bahu (0,9%), dan dengan syndrome nyeri lainnya (4,7%). Terdapat 0,6
[image:36.595.85.359.197.478.2]% dengan lebih dari 1 jenis nyeri (O’Donnell dkk, 2013).
Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome
Dikutip dari Klit H, Finnerup NB, Jensen TS. 2009. Central Post- Stroke pain:
Clinical Characteristics, Pathophysiology, and Management. Lancet Neurol.
Pada suatu studi epidemiologi dilaporkan prevalensi nyeri sentral setelah
stroke antara 1-12% (Klit dkk, 2009). Perkembangan CPSP dihubungkan dengan
gangguan sensorik, dan pada satu studi ditemukan prevalensi CPSP tinggi sampai
CPSP ditemukan pada 8% dari seluruh pasien setelah stroke (Anderson
dkk,1995).
Usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi bukan merupakan prediktor dari nyeri
sentral paska stroke (Klit dkk, 2009).
II.2.3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya nyeri kronis pada penderita setelah stroke masih
belum sepenuhnya dipahami. Beberapa mekanisme yang diajukan antara lain
ialah sensitisasi sentral, perubahan fungsi traktus spinotalamikus, teori disinhibisi
dan perubahan thalamus (Klit dkk,2009).
Pada teori sensitisasi sentral dikemukakan bahwa lesi pada susunan saraf
pusat menghasilkan perubahan pada anatomis, neurokimiawi, eksitasi dan
inflamasi, dimana semua keadaan tersebut dapat mencetuskan peningkatan
eksitabilitas neuron. Kombinasi keadaan-keadaan tersebut dengan hilangnya
inhibisi dan peningkatan fasilitasi, akan meningkatkan eksitabilitas yang dapat
menyebabkan sensitisasi sentral, yang kemudian akan mengarah kepada
terjadinya nyeri kronis (Klit dkk , 2009).
Gangguan nyeri dan sensasi termal sering dijumpai pada pasien-pasien
nyeri setelah stroke. Lesi traktus spinothalamikus diduga berperan terhadap
berkembangnya gangguan tersebut. Hipersensitivitas terhadap tusukan dan
pasien-pasien dengan nyeri setelah stroke daripada pasien-pasien stroke tanpa nyeri. (Klit dkk,
2009, Kumar dkk, 2009)
Pada teori disinhibisi dikatakan bahwa ketidakseimbangan sistem fasilitasi
dan inhibisi terhadap input yang masuk ke sistem saraf pusat, termasuk interaksi
antara nukleus di batang otak dan korda spinalis dan sirkuit supraspinal
thalamocortical berperan menyebabkan terjadinya nyeri kronis setelah stroke.
Perubahan pada wilayah aliran darah serebral dapat divisualisasikan dengan
menggunakan tehnik MRI atau SPECT (Single photon emission computed
tomography). Peningkatan aliran darah pada regio serebral di talamus, area
somatosensori, parietal inferior, insula anterior, dan kortikal prefrontal medial
ditemukan selama stimulasi area allodynia. Studi ini mengindikasikan bahwa
perubahan somatosensori dan jalur nyeri terjadi setelah stroke diduga terjadi pada
sistem nyeri di bagian lateral (lateral discriminative pain system). Thalamus diduga
berperan penting dalam mekanisme terjadinya nyeri sentral, dan kejadian CPSP
sering terjadi setelah lesi thalamus. (Klit dkk, 2009, Kim dkk, 2007)
Thalamus diduga juga dapat berimplikasi pada nyeri sentral pada
pasien-pasien dimana lesi tidak langsung melibatkan thalamus. Studi sebelumnya telah
menunjukkan penurunan regio aliran darah serebral di thalamus dari pasien-pasien
CPSP yang mengalami nyeri spontan saat istirahat. Hiperaktivitas thalamus juga
telah ditunjukkan selama kejadian allodynia. Peningkatan aktivitas ditemukan pada
nukleus kaudal ventral dari talamus pada pasien-pasien dengan nyeri sentral.
kontrol mikroglial juga diduga mendasari perubahan thalamus setelah lesi susunan
saraf pusat (Klit dkk, 2009).
Pada chronic pain syndrome paska stroke juga sering diakibatkan oleh nyeri
bahu misalnya subluksasi dari sendi glenohumeral dan cedera jaringan lunak
yang dapat diakibatkan kurang hati-hati saat latihan fisik dan spastisitas dari otot
bahu (Widar dkk, 2002). Penyebab lain nyeri bahu juga dapat diakibatkan
menurunnya kontrol postur dan keseimbangan yang memungkinkan tingginya
resiko terjatuh (Lindgren dkk, 2007).
Nyeri kepala kronis merupakan kejadian yang sering dialami pasien-pasien
stroke. Nyeri kepala terdapat pada sekitar seperenam pasien pada permulaan
transient ischemic attack, sekitar 25% pasien stroke iskemik akut, sekitar 50%
pasien perdarahan intraserebral, dan pada hampir semua pasien perdarahan
subarakhnoid. Beratnya nyeri kepala tidak berkaitan dengan ukuran besarnya lesi
stroke iskemik. Patofisiologi nyeri kepala mungkin diakibatkan oleh lepasnya zat
vasoaktif, seperti serotonin dan prostaglandin dari trombosit yang diaktivasi oleh
iskemia serebral kortikal (Lumbantobing, 2004). Beberapa studi melaporkan
prevalensi kejadian nyeri kepala paska stroke sebesar 10%. Nyeri kepala pada
pasien stroke berhubungan dengan kejadian patofisiologi dari stroke (Klit dkk,
2011).
II.3 FUNGSI KOGNITIF
II.3.1 Definisi
Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti
berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah,
serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan
melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).
Fungsi kognitif terdiri dari : (Kolegium Neurologi Indonesia,2008)
1. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal
maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.
Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat
awal pemeriksaan neurobehaviour karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya
sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.
Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi
kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama
ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak
atensi sama sekali, kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa
harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehaviour. Jika terdapat gangguan
bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan
mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus,
sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus
untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara
sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi
menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan
menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh
stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan
berbahasa.
3. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus
dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk
terjadinya pembelajaran baru.
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam
interval waktu beberapa detik
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian
sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau
kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut
dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan koleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun
yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien.
Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan untuk
mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia
anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult.
Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal
perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan
organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori.
Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada
pemeriksaan tidak dijumpai defek recent memory.
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan
lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam
kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai
peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining
kemampuan visuospasial dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan
parietal.
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus
frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait
engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan
fungsi kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang
berkelanjutan, beberapa dianggap masih dalam kategori gangguan ringan.
Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai
skrining untuk menilai fungsi eksekutif.
Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian
terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi
eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis
menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat
berkontribusi terhadap risiko penurunan fungsi kognitif (Plasman dkk, 2010).
Sebagai suatu pemeriksaan awal, pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE:
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah uji yang paling sering dipakai
saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi
dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan
mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan
tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Uji MMSE awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun
digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini
adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status
mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada
individu-individu dengan kecurigaan gangguan fungsi kognitif, namun tidak dapat
digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya
fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan
tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State
Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working
dan immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan
kalimat, pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah
verbal, perencanaan dan praksis. Tes tersebut direkomendasikan sebagai alat
skrining untuk penilaian kognitif global oleh American academy of Neurology
Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari
15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di
Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan
[image:45.595.121.425.274.521.2]sebagai berikut: (Sjahrir dkk, 2001).
Tabel 1. Skor Median MMSE
Lama Pendidikan ( tahun)
0-6 7-9 10-12 >12 Median 24 26 26 28 Usia (tahun) <20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Median 27 28 28 26 27 21
Dikutip dari :Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe AS, Lubis ID, Bhakti I. 2001. The Mini Mental Stage Examination in Healthy Individual in Medan, Indonesia by Age and Education Level. Neurol J Southeast Asia; 6:19-22
II.4 Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome
Fungsional
Penyakit serebrovaskuler merupakan faktor resiko untuk terjadinya
kegagalan fungsi kognitif. Stroke telah banyak dihubungkan dengan gangguan
dari vaskuler merupakan hasil dari suatu volume kritis dari jaringan otak yang
infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia
setelah stroke telah dilaporkan berhubungan dengan pasien-pasien dengan lesi
subcortical white matter yang luas. Disrupsi dari subkortikofrontal dan
talamocortikal sekalipun kecil dan terisolasi dapat menyebabkan demensia. Lesi
white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan
konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan
cerebral microangiopathy, gangguan neurofisiologi berkorelasi dengan hipoperfusi
kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter.
Atrophy corpus calosum merupakan prediktor gangguan kognitif global pada
pasien dengan lesi white matter (Haring, 2002).
Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti
CPSP dilaporkan terjadi sekitar 8% penderita stroke. Nyeri nosiseptif yang
mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala
tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren
ataupun persisten telah dilaporkan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan
berhubungan dengan gangguan mood. Nyeri yang berlangsung lama dapat
memicu stres pada penderita dan keluarga yang berakibat berpengaruhnya
aktivitas kehidupan sehari-hari. Respon terhadap nyeri kronis ini bervariasi
diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik,
fungsional, psikologi dan sosial. Dimana aspek fisik berkaitan dengan gejala dari
fisik; aspek psikologi berkaitan dengan fungsi kognitif, status emosional, kepuasan
hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan
interaksi. (Widar dkk, 2002).
Dalam suatu studi PRoFESS Trial dilaporkan terjadinya penurunan dalam
skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke
dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke.
Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale ≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan
dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013).
Pengaruh nyeri pada fungsi kognitif tidak langsung berhubungan dengan
gambaran diskriminasi sensoris. Secara spesifik dikatakan bahwa kegagalan
kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis berhubungan dengan perubahan
mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur,
kelelahan, dan kegagalan melakukan aktifitas sehari-hari. Studi sebelumnya telah
menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan
defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri
II.8 Kerangka Teori
Paska Stroke
Chronic pain Syndrome
Gangguan Fungsi kognitif
Outcome Fungsional O’Donnell MJ,dkk,2013: Chronic pain
syndrome merupakan komplikasi stroke iskemik.
Widar M,dkk:,2002 Nyeri bahu
berhubungan dengan
perubahan dinamis akibat paresis pada sisi terkena mengakibatkan subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan lunak.
Klit H, 2011: bentuk chronic pain syndrome paling umum nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala.
O’Donnell MJ.2013:spastisitas/
shoulder subluxation signifikan berhubungan dengan penurunan kognitif.
O’Donnell
MJ.2013:Penurunan
outcome( mRS >1 point) dijumpai 13,7 % pada Chronic pain syndrome setelah stroke
Widar dkk,2002: kondisi nyeri kronis, rekuren atau persisten dapat mempengaruhi fungsi fisik dan berhubungan dengan gangguan mood.
II.9 Kerangka Konsep
STROKE
CHRONIC PAIN
SYNDROME
GANGGUAN
KOGNITIF
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU/RSUP HAM Medan
dimulai bulan Juni 2014 s/d November 2014 atau sampai sampel yang diinginkan
terpenuhi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
III.2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian diambil dari populasi pasien stroke yang berobat jalan di
poliklinik neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Penentuan subyek penelitian
dilakukan menurut metode consecutivesampling yaitu semua subyek yang datang
dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah
subyek yang diperlukan terpenuhi.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua penderita chronic pain syndrome setelah stroke yang ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis dan CT-Scan kepala.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderita chronic pain syndrome setelah stroke yang ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis dan CT- Scan kepala yang berobat jalan di Poliklinik
neurologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan mulai bulan Juni 2014 sampai
III.2.3. Sampel
Sampel merupakan populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent.
III.2.4. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menurut rumus: (Sastroasmoro dkk, 2002)
2 2 ) 1 ( ) 2 / 1(
(
1
)
)
(
1
)
a o a a o o
P
P
P
P
Z
P
P
Z
n
Dimana : ) 2 / 1 (Z = deviat baku alpha. utk = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96
) 1 (
Z = deviat baku beta. utk = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282
0
P = proporsi kejadian CPS paska stroke = 0,08 (8 %) (O’Donnell dkk,
2013).
a
P = perkiraan proporsi kejadian CPS paska stroke yang diteliti sebesar =
0,33
a
P
P0 = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,25
Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 21 penderita chronic
pain syndrome paska stroke.
III.2.5. Kriteria inklusi
1. Penderita chronic pain syndrome paska stroke yang berobat jalan di
poliklinik neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Dapat berbahasa Indonesia.
3. Dapat membaca dan menulis.
III.2.6. Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan afasia.
2. Pasien dengan nyeri kronik sebelum stroke.
3. Penderita Alzheimer dan Parkinson.
4. Penderita gangguan jiwa.
III.3. Batasan Operasional
1. Stroke (Sacco,dkk,2013): adalah suatu episode disfungsi neurologis akut
yang diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam
atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan.
2. Afasia merupakan gangguan berbahasa yang disebabkan oleh disfungsi
otak (Lumempow, 2011).
3. Fungsi kognitif adalah aktifitas mental secara sadar seperti berfikir,
mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan
masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai,
mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).
4. Chronic Pain Syndrome paska stroke merupakan sindroma nyeri yang
terjadi setelah stroke yang dialami penderita secara menetap atau berulang
5. Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif yang bersifat
progresif yang mengenai gerakan atau kontrol terhadap gerakan termasuk
bicara dan memiliki onset yang bersifat insidious (tidak diketahui dengan
pasti kapan mulai sakit) (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008).
6. Demensia Alzheimer adalah sindroma penurunan kemampuan intelektual
yang menyebabkan deteorisasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari
yang dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan tes neuropsikologi
(Kolegium Neurologi Indonesia, 2008).
7. Gangguan Jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan
manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan
yang nyata dan kinerja buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis,
sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi (Zimmerman, 2005).
8. Outcome fungsional adalah kondisi keterbatasan fungsional paska stroke.
Hasil penilaiannya adalah secara umum, terdiri dari 5 angka, yaitu:
keterbatasan tak bermakna, keterbatasan ringan, keterbatasan sedang,
III.4. Instrumen Penelitian
III.4.1. Computed Tomography Scan (CT Scan)kepala. CT scan yang digunakan
adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450. Pembacaan hasil CT
scan dilakukan oleh seorang ahli radiologi.
III.4.2. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah suatu pengukuran fungsi
kognitif yang pertama kali digunakan oleh Folstein. Skor mulai dari 0 sampai
dengan 30. Skor dibawah 24 menunjukkan gangguan fungsi kognitif
(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
III.4.3 Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala yang menilai outcome
secara global dengan rentang nilai dari 0 - 6. Nilai mRS 1-2 dikategorikan
sebagai outcome baik dan nilai mRS 3-6 dikategorikan sebagai outcome
buruk (Millan dkk, 2007).
III.4.4. Kuesioner chronic post stroke pain yang diadaptasi dari penelitian
Henriette Klit, 2011 untuk nyeri kronik setelah stroke.
III.4.5. Visual Analoque Scale (VAS) adalah merupakan suatu garis lurus yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi kebebasan pasien untuk
keparahan yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap
titik. Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 (100mm) untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Pengukuran pada nilai 0 (tanpa nyeri), 0 -
<4= nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang, dan 7-10= nyeri berat (Meliala,
2001).
III.5. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study) yang
bersifat analitik .
III.6. Pelaksanaan Penelitian
III.6.1. Pengambilan Sampel
Semua penderita setelah minimal 3 bulan menderita stroke yang berobat
jalan di Poliklinik Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang
diambil secara consecutive yang memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan
wawancara untuk menilai skor VAS, MMSE dan mRS. Pada pasien yang
menderita nyeri setelah stroke diminta mengisi kuesioner untuk menilai
III.6.2. Kerangka Operasional
Penderita paska stroke
Chronic pain syndrome
Surat Persetujuan ikut dalam penelitian
Wawancara menilai MMSE dan mRS serta diminta
mengisi kuesioner
Inklusi Eksklusi
Nilai VAS
III.7. Variabel yang Diamati
Variabel bebas : chronic pain syndrome paska stroke
Variabel terikat : fungsi kognitif, outcome fungsional
III.8. Analisa Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan
program komputer Windows SPSS ( Statistical Product and Science and Service)
15. Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :
III.8.1.Gambaran karakteristik demografik, outcome fungsional, dan gangguan
kognitif pada penderita chronic pain syndrome paska stroke disajikan dalam
bentuk tabulasi dan dideskripsikan.
III.8.2. Untuk mengetahui distribusi data digunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
III.8.3. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke
dengan gangguan kognitif digunakan ujikorelasi Pearson.
III.8.4. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke
dengan outcome fungsional digunakan uji korelasi Pearson.
III.8.5. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke
dengan volume lesi digunakan uji korelasi Pearson.
III.8.6. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke
dengan lama stroke digunakan uji korelasi Pearson.
III.8.7. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari keseluruhan pasien paska stroke yang berobat jalan di Poliklinik
Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan pada periode Juni hingga November
2014, terdapat 27 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga
diikut sertakan pada penelitian ini. Pada semua subyek penelitian telah dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
IV.1. Hasil Penelitian
IV.1.1 Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi
kelompok usia, kelompok jenis kelamin, kelompok pendidikan serta kelompok
pekerjaan. Karakteristik demografik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan tabel 2 dari keseluruhan 27 orang subyek yang dianalisa,
terdiri dari 15 orang pria ( 55,6 %) dan 12 orang wanita ( 44,4%), dengan rerata
Tabel 2. Karakteristik demografik subyek penelitian
. Dari segi pendidikan, subyek penelitian paling banyak dengan tingkat
pendidikan SLTA yaitu 51,86%. Sementara tingkat pendidikan yang paling sedikit
yaitu SD, SLTP, dan S2 yang sama persentasinya (11,11%). Dari segi pekerjaan,
pegawai negeri sipil (PNS) merupakan jenis pekerjaan terbanyak 55,6 %.
Sementara pekerjaan paling sedikit sebagai ibu rumah tangga, yaitu 11,11%.
Variabel Chronic pain syndrome
Usia Mean±SD Rentang Jenis kelamin Pria Wanita Pendidikan SD SLTP SLTA S1 S2 Pekerjaan Petani
Ibu rumah tangga Swasta
PNS
61,11 ± 8,21 44 - 76
15 (55,6%) 12 (44,4%)
3 (11,11%) 3 (11,11%) 14 (51,86%)
4 (14,81%) 3 (11,11)
4 (14,8%) 3 (11,11%)
Gambar 2. Distribusi jenis kelamin penderita CPS paska stroke
Gambar 3. Distribusi tingkat pendidikan penderita CPS paska stroke
Pada tabel 3 dapat dilihat gambaran karakteristik stroke dan CPS dari
subyek penelitian.
55,6 %
44,45 %
Pria Wanit a
11,11 % 11,11 %
51,86 %
14,81 % 11,11 %
[image:60.595.84.461.375.552.2]Tabel 3. Gambaran karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian
Variabel Chronic pain syndrome
Jenis stroke
Stroke iskemik
Stroke hemoragik
Frekuensi stroke
1 kali > 1 kali
Lokasi lesi
Korteks Sub korteks Campuran
Volume lesi
Mean ± SD (cc)
Kekuatan motorik
Mean ± SD
Hemisfer Kanan Kiri Campuran Spastisitas Dijumpai Tidak dijumpai Tipe CPS