• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan

Chr oni c Pai n Syndr ome

Paska

Stroke dengan skor

Mi ni Ment al St at us

Exami nat i on

dan skor

modi fi ed Rank i n Scal e

TESIS

SUHERMAN A. TAMBUNAN

Nomor Register CHS : 20084

PROGRAM STUDI NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke

dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

Nama : Suherman A. Tambunan

Nomor Register CHS : 20084

Program Studi : Neurologi

Menyetujui

Pembimbing III

dr. Haflin S. Hutagalung, SpS NIP. 198208202008012008

Pembimbing II

dr. Cut Aria Arina, Sp.S NIP. 197710202002122001

Pembimbing I

dr. Aldy S. Rambe,Sp.S(K)_ NIP. 198208202008012008

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen / SMF Neurologi FK USU/RSUPHAM Medan

dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) NIP. 19530916 198203 1 003

Ketua Program Studi/ SMF Neurologi FK USU/ RSUP HAM Medan

(3)

Tanggal Lulus : 30 Desember 2014 Telah diuji pada

Tanggal : 30 Desember 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)

2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)

3. dr. Darlan Djali Chan, SpS

4. dr. Yuneldi Anwar, SpS(K), (Penguji)

5. dr. Rusli Dhanu, SpS(K)

6. dr. Aldy S. Rambe, SpS (K)

7. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, SpS(K)

8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS

9. dr. Khairul P. Surbakti, SpS

10. dr. Cut Aria Arina, SpS

11. dr. Kiki M. Iqbal, SpS

12. dr. Alfansuri Kadri, SpS

13. dr. Aida Fitri, SpS

14. dr. Irina Kemala Nasution, SpS

15. dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS

16. dr. Fasihah Irfani Fitri, SpS, MKed. (Neu)

17. dr. Iskandar Nasution, Sp.S , FINS

18. dr. RA. Dwi Pujiastuti, SpS, MKed. (Neu)

(4)

PERNYATAAN

HUBUNGAN CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE

DENGAN SKOR MINI MENTAL STATUS EXAMINATION DAN SKOR

MODIFIED RANKIN SCALE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 30 Desember 2014

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat, karunia dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), (Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

(6)

untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), (saat penulis diterima sebagai PPDS juga adalah Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K), dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dan dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

(7)

Kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, , yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya Alm.M.A. Tambunan, Alm.S.Br. Sirait, yang telah menjadi inspirasi dan motivasi saya. Juga kepada Bapak/ Ibu mertua saya Timbul Lumbantoruan dan S.br. Tambunan yang senantiasa memberi dukungan moril dan material, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai..

Teristimewa kepada istriku tercinta dr.Vera Madonna, M.Kes.,M.Ked(DV),Sp.DV, yang selalu dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih dalam suka dan duka, demikian juga ananda Naomi Christy Natasha, Deandra Audrey Philia, Hans Adriel yang memberi semangat dan inspirasi, saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

(8)

yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan yang melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014

Penulis

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap :dr. Suherman A. Tambunan Tempat / tanggal lahir : Medan, 11 Agustus 1975 Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : PNS

Nama Ayah : M. A. Tambuanan (Alm) Nama Ibu : S. Br. Sirait (Alm)

Nama Istri : dr. Vera Madonna ,M.Kes.,M.Ked (DV), Sp.DV

Nama Anak : Naomi Christy Tambunan

Deandra Audrey Tambunan Hans Adriel Tambunan

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Negeri 060872 tamat tahun 1987.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Budi Murni -2, Medan tamat tahun 1990. 3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Medan, tamat tahun 1993.

4. Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2000.

5. Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2011.

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2000-2002 :Dokter PTT di Puskesmas Ujoh Bilang, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Lembar Pengesahan

Kata Pengantar Daftar Riwayat Hidup

I v

Daftar Isi vii

Daftar Singkatan Daftar Tabel

ix x Daftar Gambar

Daftar Lampiran Abstrak Abstract xi xii xiii xiv

BAB.I PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Perumusan Masalah 3

I.3. Tujuan Penelitian 3

I.3.1. Tujuan Umum 4

I.3.2. Tujuan Khusus 4

I.4. Hipotesis 5

I.5. Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

II.1. Stroke Iskemik 7

II.1.1. Definisi 7

II.1.2. Epidemiologi 7

II.1.3. Klasifikasi Stroke 8

(11)

II.1.5. Patofisiologi 11 II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE

II.2.1. Definisi 16 16 II.2.2. Epidemiologi II.2.3. Patofisiologi 17 19 II.3. FUNGSI KOGNITIF

II.3.1. Definisi

II.4. Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome Fungsional II.5.Kerangka Teori II.5.Kerangka Konsep 22 22 28 31 32

BAB.III METODE PENELITIAN 33

III.1. Waktu dan tempat penelitian 33

III.2.Subjek Penelitian 33

III.2.1. Populasi Sasaran 33

III.2.2. Populasi terjangkau 33

III.2.3. Sampel 34

III.2.4. Besar Sampel 34

III.2.5. Kriteria inklusi III.2.6. Kroteria Eksklusi

35 35

III.3.Batasan Operasional 35

III.4. Instrumen Penelitian 38

III.5.Rancangan Penelitian III.6.Pelaksanaan Penelitian

39 39

III.6.1. Pengambilan Sampel 39

III.6.2. Kerangka Operasional III.7. Variabel yang Diamati

(12)

BAB IV

BAB V

III.8. Analisa Statistik

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Penelitian

IV.1.1. Karakteristik subyek penelitian

IV.1.2. Rerata skor VAS pada pria dan wanita IV.1.3. Hubungan skor VAS dengan skor MMSE,

skor mRS, lokasi lesi, volume lesi dan lama stroke

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Karakteristik demografik subyek penelitian IV.2.2. Karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian IV.2.3. Hubungan skor VAS dengan skor MMSE, skor

mRS, lokasi lesi, volume lesi, dan lama stroke KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan V.2. Saran 41 42 42 42 48 49 51 51 52 56 60 60 61

(13)

DAFTAR SINGKATAN

CPS : Chronic Pain Syndrome

CPSP : Central Post Stroke Pain

CT : Computed Tomography

CVD : Cerebro Vascular Disease

GABA : Gamma Amoino Butiric Acid

MMSE : Mini Mental Status Examination

MRI : Magnetic Resonance Imaging

mRS : modified RankinScale

PIS : Perdarahan Intra Serebral PSA : Perdarahan Sub Arachnoid

PRoFESS : Prevention Regimen for Effectively Second Stroke

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SPECT : Single Photon Emisson Tomography

TIA : Transient Ischemic Attack

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Median MMSE 27

Tabel 2 Karakteristik demografik subyek penelitian 43 Tabel 3 Gambaran karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian 45 Tabel 4 Nilai rerata skor VAS, skor MMSE dan skor mRS 48 Tabel 5 Rerata skor VAS pada pria dan wanita 48 Tabel 6 Hubungan skor VAS dengan skor MMSE, skor mRS,

Lokasi lesi, volume lesi dan lama stroke 49 Tabel 7 Hubungan skor mRS dengan skor MMSE dan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tipe Chronic pain syndrome 18

Gambar 2 Distribusi jenis kelamin penderita CPS paska stroke 44 Gambar 3 Distribusi tingkat pendidikan penderita CPS paska stroke 44 Gambar 4 Distribusi tipe strike penderita CPS paska stroke 46 Gambar 5 Distribusi lokasi lesi penderita CPS paska stroke 46

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2 Surat Persetujuan Ikut dalam Penelitian

Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data Lampiran 4 modified Rankin Scale (mRS)

Lampiran 5 Mini Mental State Examination (MMSE) Lampiran 6 Kuesioner Chronic post stroke pain

(17)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan: Chronic pain syndrome (CPS) merupakan komplikasi

yang secara umum dijumpai setelah stroke, misalnya central post stroke pain, nyeri bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya. Nyeri kronik yang ditemukan secara konstan lebih dari 3 bulan yang dikenal sebagai konsekuensi stroke akan mempengaruhi outcome penderita stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan CPS paska stroke dengan skor MMSE dan skor mRS .

Metodologi : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien paska stroke yang mengalami CPS. Setiap subyek dinilai intensitas nyeri dan diminta mengisi kuesioner untuk menilai karakteristik nyeri kronik yang muncul setelah stroke.

Hasil : Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan skor MMSE (r= 0.058 ; p= 0.776) juga antara skor VAS dan skor mRS (r= 0.175 ; p= 0.381). Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah antara skor VAS pada CPS dan lokasi lesi (r= 0.077; p= 0.704) juga antara skor VAS pada CPS dengan volume lesi (r= 0.037 ; p= 0.856). Terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan lama stroke (r= -0.125; p= 0.536). Terdapat korelasi negatif yang kuat dan signifikan antara fungsi kognitif dan outcome fungsional (r= - 0,686; p= 0.001)

Kesimpulan : Studi ini menunjukkan dijumpai korelasi positif yang sangat lemah serta tidak signifikan antara CPS dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale.

(18)

ABSTRACT

Background and Purpose: Chronic pain syndrome (CPS) is a general

complication found after stroke, for example central post stroke pain, shoulder pain

or other specific pain. Chronic pain constantly found more than 3 months known as

stroke consequences which will affect the stroke patient outcome. This research

aims for knowing the relationship of post stroke CPS with MMSE score dan mRS

score.

Method : This research is a cross sectional study of post stroke patients which has

CPS. Every subject graded for the pain intensity and asked to fill the questionairre

to measure the chronic pain characteristics after stroke.

Results : There is an insignificant very weak positive correlation between VAS

score in CPS and MMSE score (r= 0.058 ; p=0.776); an insignificant very weak

positive correlation between VAS score in CPS and mRS score (r=0.175 ; p=0.381)

and also an insignificant very weak positive correlation between VAS score in CPS

and location of the lesion. (r=0.077; p=0.704). There is an insignificant very weak

positive correlation between VAS score in CPS and volume of the lesion (r=0.037;

p=0.856). There is an insignificant very weak negative correlation between VAS

score in CPS and duration of stroke. (r= -0.125; p=0.536). There is a significant

strong negative correlation between MMSE score and mRS score ( r= -0.686;

p=0.001)

Conclusion: This study shows that there is positive very weak correlations and

insignificant between CPS with cognitive function and functional outcome.

Keywords : chronic pain syndrome-Mini Mental Status Examination- modified

(19)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan: Chronic pain syndrome (CPS) merupakan komplikasi

yang secara umum dijumpai setelah stroke, misalnya central post stroke pain, nyeri bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya. Nyeri kronik yang ditemukan secara konstan lebih dari 3 bulan yang dikenal sebagai konsekuensi stroke akan mempengaruhi outcome penderita stroke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan CPS paska stroke dengan skor MMSE dan skor mRS .

Metodologi : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien paska stroke yang mengalami CPS. Setiap subyek dinilai intensitas nyeri dan diminta mengisi kuesioner untuk menilai karakteristik nyeri kronik yang muncul setelah stroke.

Hasil : Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan skor MMSE (r= 0.058 ; p= 0.776) juga antara skor VAS dan skor mRS (r= 0.175 ; p= 0.381). Dijumpai korelasi positif yang sangat lemah antara skor VAS pada CPS dan lokasi lesi (r= 0.077; p= 0.704) juga antara skor VAS pada CPS dengan volume lesi (r= 0.037 ; p= 0.856). Terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara skor VAS pada CPS dan lama stroke (r= -0.125; p= 0.536). Terdapat korelasi negatif yang kuat dan signifikan antara fungsi kognitif dan outcome fungsional (r= - 0,686; p= 0.001)

Kesimpulan : Studi ini menunjukkan dijumpai korelasi positif yang sangat lemah serta tidak signifikan antara CPS dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale.

(20)

ABSTRACT

Background and Purpose: Chronic pain syndrome (CPS) is a general

complication found after stroke, for example central post stroke pain, shoulder pain

or other specific pain. Chronic pain constantly found more than 3 months known as

stroke consequences which will affect the stroke patient outcome. This research

aims for knowing the relationship of post stroke CPS with MMSE score dan mRS

score.

Method : This research is a cross sectional study of post stroke patients which has

CPS. Every subject graded for the pain intensity and asked to fill the questionairre

to measure the chronic pain characteristics after stroke.

Results : There is an insignificant very weak positive correlation between VAS

score in CPS and MMSE score (r= 0.058 ; p=0.776); an insignificant very weak

positive correlation between VAS score in CPS and mRS score (r=0.175 ; p=0.381)

and also an insignificant very weak positive correlation between VAS score in CPS

and location of the lesion. (r=0.077; p=0.704). There is an insignificant very weak

positive correlation between VAS score in CPS and volume of the lesion (r=0.037;

p=0.856). There is an insignificant very weak negative correlation between VAS

score in CPS and duration of stroke. (r= -0.125; p=0.536). There is a significant

strong negative correlation between MMSE score and mRS score ( r= -0.686;

p=0.001)

Conclusion: This study shows that there is positive very weak correlations and

insignificant between CPS with cognitive function and functional outcome.

Keywords : chronic pain syndrome-Mini Mental Status Examination- modified

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Stroke sebagai penyebab kematian ketiga masih merupakan masalah

kesehatan di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker. Terhitung 1

dari 15 orang yang meninggal disebabkan oleh stroke. Pada saat ini di Amerika

terdapat 4 juta orang yang menderita stroke ( Bhardwaj dkk 2007). Di Indonesia,

dari data nasional stroke menunjukkan angka kematian tertinggi yaitu 15,4%

sebagai penyebab kematian (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas, 2007). Data di

Indonesia juga menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam

hal kejadian stroke,kematian maupun kecacatan akibat stroke. Angka kematian

berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45 – 54 tahun), 26,8% (umur 55 –

64 tahun) dan 23,5% (umur ≥ 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar

51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan didapati 1,6% tidak berubah, serta 4,3%

semakin memberat. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang

berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara

nasional di kemudian hari (Kelompok Studi Stroke PERDOSSI, 2011).

Penderita stroke mudah terjangkit banyak komplikasi. Penderita stroke

umumnya mempunyai komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung

atau penyakit lain yang meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama

(22)

akibat langsung dari kerusakan otak itu sendiri, dari akibat disabilitas dan

immobilitas yang menyertai penderita stroke ataupun akibat terapi stroke yang

diberikan. Hal-hal ini mempengaruhi secara substansial outcome akhir dari

penderita stroke dan sering menghalangi pemulihan neurologis (Kumar dkk,

2010).

Pada studi prospektif menemukan bahwa pada pasien paska stroke dengan

rehabilitasi ditemukan dari 232 pasien, 71,0% pasien memiliki minimal 1

komplikasi. Komplikasi paling sering yaitu nyeri muskuloskeletal (32,4%), disfungsi

pencernaan dan kemih (31,5%), infeksi (16,5%), depresi (13,8%), dan ansietas

(5,8%) (Kuptniratsaikul dkk, 2009).

Chronic pain syndrome dilaporkan merupakan komplikasi yang secara umum

dijumpai setelah stroke, yang dapat berupa central post-stroke pain (CPSP), nyeri

bahu, atau nyeri tipe spesifik lainnya (Jonssonn dkk, 2006). Nyeri paska stroke

merupakan salah satu komplikasi stroke dengan prevalensi 19-74 %. Nyeri kronik

meningkat yang dikenal sebagai konsekuensi dari stroke yang ditemukan secara

konstan atau merupakan nyeri yang kambuh selama lebih dari 3 bulan (Klit dkk,

2011). Suatu studi melaporkan, dari 16 pasien ditemukan onset nyeri muncul pada

bulan pertama setelah stroke (10 orang), satu sampai 6 bulan (3 orang) dan lebih

dari 6 bulan (3 orang) ( Klit, dkk.2009).

Demensia vaskuler merupakan sindroma demensia terbanyak di negara Barat

setelah demensia Alzheimer, yang secara klinik terdiri dari gangguan intelektual

(23)

otak, perdarahan atau hipoksia otak. Diagnosa demensia ditegakkan setelah 3

bulan paska stroke dengan gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia

(Lumempouw, 2011). Penelitian Tatemichi, dkk menemukan bahwa gangguan

kognitif sering terjadi setelah stroke dan sering menyebabkan memori, orientasi

bahasa dan atensi (Tatemichi ,dkk. 1994).

Pada studi PRoFESS (Prevention Regimen for Effectively avoiding Second

Stroke) dilaporkan bahwa chronic pain syndrome paska stroke berhubungan

dengan penurunan fungsi kognitif dan outcome fungsional. (O’Donnell dkk, 2013).

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai

berikut :

Apakah terdapat hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan gangguan

kognitif dan outcome fungsional.

I.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

I.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan skor

(24)

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska

stroke dengan gangguan kognitif di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska

stroke dengan outcome fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska

stroke dengan lokasi lesi di RSUP H. Adam Malik Medan.

4. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska

stroke dengan volume lesi di RSUP H. Adam Malik Medan.

5. Untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska

stroke dengan lama stroke di RSUP H. Adam Malik Medan.

6. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografik chronic pain syndrome

paska stroke di RSUP H. Adam Malik Medan.

I.4 Hipotesis

Terdapat hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan gangguan

kognitif dan outcome fungsional .

I.5. Manfaat Penelitian

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk llmu pengetahuan

Dengan mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan

(25)

pemahaman mengenai patogenesis stroke yang berkaitan dengan chronic pain

syndrome dan hubungannya dengan fungsi kognitif dan outcome pasien paska

stroke.

I.5.2.Manfaat penelitian untuk penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan teori bagi penelitian selanjutnya

mengenai kejadian chronic pain syndrome paska stroke dan hubungannya dengan

fungsi kognitif dan outcome fungsional.

I.5.3.Manfaat penelitian untuk masyarakat

Dengan mengetahui hubungan chronic pain syndrome paska stroke dengan

gangguan fungsi kognitif dan outcome fungsional, maka penelitian ini dapat

menambah wawasan tentang pertimbangan pencegahan pada kejadian chronic

pain syndrome setelah stroke, gangguan kognitif dan memperbaiki outcome

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Stroke

II.1.1. Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga

disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau sampai

kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Defenisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),

perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan

beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

II.1.2. Epidemiologi

Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika

Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan

kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya

dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria)

meninggal akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk meninggal setiap

tahun oleh karena stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok

usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada

sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen

(27)

dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding

pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena

kelainan kongenital maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti

peradangan, aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 2011).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi

anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011).

1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

a) Stroke iskemik

i) Transient Ischemic Attack (TIA)

ii) Trombosis serebri

iii) Emboli serebri

b) Stroke hemoragik

i) Perdarahan intraserebral

ii) Perdarahan subarachnoid

2) Berdasarkan stadium:

a) Transient Ischemic Attack (TIA)

b) Stroke in evolution

(28)

3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):

a) Tipe karotis

b) Tipe vertebrobasiler

II.1.4 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor

yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor

risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang

buah

(29)

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin,

pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

Pada Interstroke study melaporkan bahwa faktor resiko stroke: ( O’Donnell

,dkk.2010)

1. Riwayat hipertensi

2. Current smoking

3. Waist to hip ratio

4. Aktifitas fisik regular

(30)

6. Intake alkohol

7. Psikososial stress

8. Depresi

9. Gangguan jantung

10.Rasio Apolipoprotein B dan A1.

II.1.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli

dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh

berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang

mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik,

yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker dkk,

2010).

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan

hipoksia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir

dengan kematian sel sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. (Misbach, 2011).

Iskemia dapat dibagi lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis,

emboli, dan penurunan perfusi sistemik (Caplan, 2009).

1. Trombosis

Trombosis mengacu pada obstruksi aliran darah karena proses oklusi lokal

dalam satu atau lebih pembuluh darah. Lumen pembuluh darah yang menyempit

(31)

pembentukan bekuan. Jenis yang paling umum dari patologi vaskular adalah

aterosklerosis, di mana jaringan fibrous dan otot tumbuh terlalu cepat pada

subintima, dan materi lemak membentuk plak yang dapat mengganggu pada

lumen. Selanjutnya, platelet atau trombosit menempel ke celah-celah plak dan

membentuk yang berfungsi sebagai nidus untuk pengendapan fibrin, trombin, dan

clot. (Caplan, 2009).

2. Emboli

Pada emboli, materi terbentuk di tempat lain dalam sistem vaskular pada

arteri dan memblok aliran darah. Penyumbatan bisa bersifat sementara atau dapat

bertahan selama berjam-jam atau berhari-hari sebelum berpindah ke area yang

lebih distal. Berbeda dengan trombosis, blok emboli lumen tidak disebabkan oleh

proses lokal yang berasal pada arteri yang tersumbat. Materi yang muncul

proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri utama seperti aorta, karotis, dan

arteri vertebralis, dan dari vena sistemik. (Caplan,2000).

3. Penurunan Perfusi sistemik

Dalam penurunan perfusi sistemik, berkurangnya aliran ke jaringan otak

disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah. Penyebab yang paling

umum adalah kegagalan pompa jantung (paling sering karena infark miokard atau

(32)

kasus tersebut, berkurangnya perfusi adalah lebih umum daripada trombosis lokal

atau emboli dan mempengaruhi otak secara difus dan bilateral (Caplan, 2009).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti

(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan

menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core

iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan

pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan

menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin

ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah

hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah

penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya

dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung

pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat

berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2011) .

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

(33)

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah

infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di

Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan

stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%,

batang otak 2% dan subrakhnoid 4%. (Misbach, 2011)

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas

perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.Sedangkan berdasarkan

penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral

primer dan sekunder. (Misbach 2011)

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya

mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering

terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik

menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami

perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis,

nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan

(34)

yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan

pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah

juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Caplan, 2000)

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat

menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang

terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena

ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. (Caplan, 2000)

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam

otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh

yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi.

Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri

(arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma. (Misbach, 2011)

II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE

II.2.1. Definisi

Sampai saat ini belum terdapat definisi yang baku untuk chronic pain

syndrome paska stroke. Terdapat beberapa tipe nyeri kronis yang dapat terjadi

setelah stroke, yaitu: nyeri sentral paska stroke (CPSP), nyeri nosiseptif dan nyeri

kepala ( Widar dkk, 2002). Nyeri sentral paska stroke (Central post stroke pain/

CPSP) merupakan kondisi nyeri neuropatik spesifik dimana nyeri ini disebabkan

(35)

menghantarkan informasi dari stimulus noxious dan non-noxious dari perifer ke

otak (Klit dkk, 2011).

Nyeri nosiseptif sering mempengaruhi bahu dan berhubungan dengan

perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi yang terkena. Hal ini

dapat terjadi akibat subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan

lunak (Widar dkk, 2002).

Dikatakan nyeri kronik bila terdapat nyeri yang ditemukan konstan atau

timbul berlangsung lebih dari 3 bulan ( Klit dkk, 2011).

Bentuk chronic pain syndrome setelah stroke yang paling umum adalah

nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala (Klit dkk, 2009).

II.2.2 Epidemiologi

Studi epidemiologi mengenai chronic pain syndrome paska stroke saat ini

masih sedikit. Prevalensi dari nyeri setelah stroke bervariasi antara 19-74%

(Jonsson dkk, 2006). Pada satu studi di Denmark dilaporkan bahwa nyeri setelah

stroke dijumpai dalam 2 tahun dengan tipe: nyeri kepala, nyeri sendi bahu dan

sendi lainnya, nyeri karena spasme dan kaku otot, nyeri lainnya, dan nyeri

bersama lebih dari satu jenis (Klit dkk, 2011).

Pada studi PROFESS Trial ditemukan dari 15.754 pasien setelah stroke

dijumpai 1.665 orang (10,6%) menderita chronic pain syndrome setelah stroke,

dimana dari 10,6 % tersebut, terdapat 2,7 % dengan CPSP, dengan neuropati

(36)

subluxasi bahu (0,9%), dan dengan syndrome nyeri lainnya (4,7%). Terdapat 0,6

[image:36.595.85.359.197.478.2]

% dengan lebih dari 1 jenis nyeri (O’Donnell dkk, 2013).

Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome

Dikutip dari Klit H, Finnerup NB, Jensen TS. 2009. Central Post- Stroke pain:

Clinical Characteristics, Pathophysiology, and Management. Lancet Neurol.

Pada suatu studi epidemiologi dilaporkan prevalensi nyeri sentral setelah

stroke antara 1-12% (Klit dkk, 2009). Perkembangan CPSP dihubungkan dengan

gangguan sensorik, dan pada satu studi ditemukan prevalensi CPSP tinggi sampai

(37)

CPSP ditemukan pada 8% dari seluruh pasien setelah stroke (Anderson

dkk,1995).

Usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi bukan merupakan prediktor dari nyeri

sentral paska stroke (Klit dkk, 2009).

II.2.3. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya nyeri kronis pada penderita setelah stroke masih

belum sepenuhnya dipahami. Beberapa mekanisme yang diajukan antara lain

ialah sensitisasi sentral, perubahan fungsi traktus spinotalamikus, teori disinhibisi

dan perubahan thalamus (Klit dkk,2009).

Pada teori sensitisasi sentral dikemukakan bahwa lesi pada susunan saraf

pusat menghasilkan perubahan pada anatomis, neurokimiawi, eksitasi dan

inflamasi, dimana semua keadaan tersebut dapat mencetuskan peningkatan

eksitabilitas neuron. Kombinasi keadaan-keadaan tersebut dengan hilangnya

inhibisi dan peningkatan fasilitasi, akan meningkatkan eksitabilitas yang dapat

menyebabkan sensitisasi sentral, yang kemudian akan mengarah kepada

terjadinya nyeri kronis (Klit dkk , 2009).

Gangguan nyeri dan sensasi termal sering dijumpai pada pasien-pasien

nyeri setelah stroke. Lesi traktus spinothalamikus diduga berperan terhadap

berkembangnya gangguan tersebut. Hipersensitivitas terhadap tusukan dan

(38)

pasien-pasien dengan nyeri setelah stroke daripada pasien-pasien stroke tanpa nyeri. (Klit dkk,

2009, Kumar dkk, 2009)

Pada teori disinhibisi dikatakan bahwa ketidakseimbangan sistem fasilitasi

dan inhibisi terhadap input yang masuk ke sistem saraf pusat, termasuk interaksi

antara nukleus di batang otak dan korda spinalis dan sirkuit supraspinal

thalamocortical berperan menyebabkan terjadinya nyeri kronis setelah stroke.

Perubahan pada wilayah aliran darah serebral dapat divisualisasikan dengan

menggunakan tehnik MRI atau SPECT (Single photon emission computed

tomography). Peningkatan aliran darah pada regio serebral di talamus, area

somatosensori, parietal inferior, insula anterior, dan kortikal prefrontal medial

ditemukan selama stimulasi area allodynia. Studi ini mengindikasikan bahwa

perubahan somatosensori dan jalur nyeri terjadi setelah stroke diduga terjadi pada

sistem nyeri di bagian lateral (lateral discriminative pain system). Thalamus diduga

berperan penting dalam mekanisme terjadinya nyeri sentral, dan kejadian CPSP

sering terjadi setelah lesi thalamus. (Klit dkk, 2009, Kim dkk, 2007)

Thalamus diduga juga dapat berimplikasi pada nyeri sentral pada

pasien-pasien dimana lesi tidak langsung melibatkan thalamus. Studi sebelumnya telah

menunjukkan penurunan regio aliran darah serebral di thalamus dari pasien-pasien

CPSP yang mengalami nyeri spontan saat istirahat. Hiperaktivitas thalamus juga

telah ditunjukkan selama kejadian allodynia. Peningkatan aktivitas ditemukan pada

nukleus kaudal ventral dari talamus pada pasien-pasien dengan nyeri sentral.

(39)

kontrol mikroglial juga diduga mendasari perubahan thalamus setelah lesi susunan

saraf pusat (Klit dkk, 2009).

Pada chronic pain syndrome paska stroke juga sering diakibatkan oleh nyeri

bahu misalnya subluksasi dari sendi glenohumeral dan cedera jaringan lunak

yang dapat diakibatkan kurang hati-hati saat latihan fisik dan spastisitas dari otot

bahu (Widar dkk, 2002). Penyebab lain nyeri bahu juga dapat diakibatkan

menurunnya kontrol postur dan keseimbangan yang memungkinkan tingginya

resiko terjatuh (Lindgren dkk, 2007).

Nyeri kepala kronis merupakan kejadian yang sering dialami pasien-pasien

stroke. Nyeri kepala terdapat pada sekitar seperenam pasien pada permulaan

transient ischemic attack, sekitar 25% pasien stroke iskemik akut, sekitar 50%

pasien perdarahan intraserebral, dan pada hampir semua pasien perdarahan

subarakhnoid. Beratnya nyeri kepala tidak berkaitan dengan ukuran besarnya lesi

stroke iskemik. Patofisiologi nyeri kepala mungkin diakibatkan oleh lepasnya zat

vasoaktif, seperti serotonin dan prostaglandin dari trombosit yang diaktivasi oleh

iskemia serebral kortikal (Lumbantobing, 2004). Beberapa studi melaporkan

prevalensi kejadian nyeri kepala paska stroke sebesar 10%. Nyeri kepala pada

pasien stroke berhubungan dengan kejadian patofisiologi dari stroke (Klit dkk,

2011).

(40)

II.3 FUNGSI KOGNITIF

II.3.1 Definisi

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti

berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga

merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah,

serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan

melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).

Fungsi kognitif terdiri dari : (Kolegium Neurologi Indonesia,2008)

1. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu

stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal

maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.

Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat

awal pemeriksaan neurobehaviour karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya

sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.

Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi

kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama

ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak

atensi sama sekali, kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi

(41)

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang

membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa

harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehaviour. Jika terdapat gangguan

bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan

mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.

Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus,

sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus

untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara

sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi

menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan

menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh

stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan

berbahasa.

3. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus

dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk

terjadinya pembelajaran baru.

Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan

(42)

a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam

interval waktu beberapa detik

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian

sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau

kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut

dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

c. Remote memory merupakan koleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun

yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien.

Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan untuk

mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia

anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult.

Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal

perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan

organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori.

Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada

pemeriksaan tidak dijumpai defek recent memory.

4. Visuospasial

Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan

(43)

lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam

kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai

peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining

kemampuan visuospasial dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan

parietal.

5. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan

kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus

frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait

engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan

fungsi kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang

berkelanjutan, beberapa dianggap masih dalam kategori gangguan ringan.

Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai

skrining untuk menilai fungsi eksekutif.

Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian

terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi

eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis

menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat

berkontribusi terhadap risiko penurunan fungsi kognitif (Plasman dkk, 2010).

Sebagai suatu pemeriksaan awal, pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE:

(44)

Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah uji yang paling sering dipakai

saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi

gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi

dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan

mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan

tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling

rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini

mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

Uji MMSE awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun

digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini

adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status

mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada

individu-individu dengan kecurigaan gangguan fungsi kognitif, namun tidak dapat

digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya

fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan

tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State

Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working

dan immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan

kalimat, pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah

verbal, perencanaan dan praksis. Tes tersebut direkomendasikan sebagai alat

skrining untuk penilaian kognitif global oleh American academy of Neurology

(45)

Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari

15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di

Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan

[image:45.595.121.425.274.521.2]

sebagai berikut: (Sjahrir dkk, 2001).

Tabel 1. Skor Median MMSE

Lama Pendidikan ( tahun)

0-6 7-9 10-12 >12 Median 24 26 26 28 Usia (tahun) <20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Median 27 28 28 26 27 21

Dikutip dari :Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe AS, Lubis ID, Bhakti I. 2001. The Mini Mental Stage Examination in Healthy Individual in Medan, Indonesia by Age and Education Level. Neurol J Southeast Asia; 6:19-22

II.4 Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome

Fungsional

Penyakit serebrovaskuler merupakan faktor resiko untuk terjadinya

kegagalan fungsi kognitif. Stroke telah banyak dihubungkan dengan gangguan

(46)

dari vaskuler merupakan hasil dari suatu volume kritis dari jaringan otak yang

infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia

setelah stroke telah dilaporkan berhubungan dengan pasien-pasien dengan lesi

subcortical white matter yang luas. Disrupsi dari subkortikofrontal dan

talamocortikal sekalipun kecil dan terisolasi dapat menyebabkan demensia. Lesi

white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan

konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan

cerebral microangiopathy, gangguan neurofisiologi berkorelasi dengan hipoperfusi

kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter.

Atrophy corpus calosum merupakan prediktor gangguan kognitif global pada

pasien dengan lesi white matter (Haring, 2002).

Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti

CPSP dilaporkan terjadi sekitar 8% penderita stroke. Nyeri nosiseptif yang

mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala

tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren

ataupun persisten telah dilaporkan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan

berhubungan dengan gangguan mood. Nyeri yang berlangsung lama dapat

memicu stres pada penderita dan keluarga yang berakibat berpengaruhnya

aktivitas kehidupan sehari-hari. Respon terhadap nyeri kronis ini bervariasi

diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik,

fungsional, psikologi dan sosial. Dimana aspek fisik berkaitan dengan gejala dari

(47)

fisik; aspek psikologi berkaitan dengan fungsi kognitif, status emosional, kepuasan

hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan

interaksi. (Widar dkk, 2002).

Dalam suatu studi PRoFESS Trial dilaporkan terjadinya penurunan dalam

skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke

dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke.

Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale ≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan

dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013).

Pengaruh nyeri pada fungsi kognitif tidak langsung berhubungan dengan

gambaran diskriminasi sensoris. Secara spesifik dikatakan bahwa kegagalan

kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis berhubungan dengan perubahan

mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur,

kelelahan, dan kegagalan melakukan aktifitas sehari-hari. Studi sebelumnya telah

menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan

defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri

(48)

II.8 Kerangka Teori

Paska Stroke

Chronic pain Syndrome

Gangguan Fungsi kognitif

Outcome Fungsional O’Donnell MJ,dkk,2013: Chronic pain

syndrome merupakan komplikasi stroke iskemik.

Widar M,dkk:,2002 Nyeri bahu

berhubungan dengan

perubahan dinamis akibat paresis pada sisi terkena mengakibatkan subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan lunak.

Klit H, 2011: bentuk chronic pain syndrome paling umum nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala.

O’Donnell MJ.2013:spastisitas/

shoulder subluxation signifikan berhubungan dengan penurunan kognitif.

O’Donnell

MJ.2013:Penurunan

outcome( mRS >1 point) dijumpai 13,7 % pada Chronic pain syndrome setelah stroke

Widar dkk,2002: kondisi nyeri kronis, rekuren atau persisten dapat mempengaruhi fungsi fisik dan berhubungan dengan gangguan mood.

(49)

II.9 Kerangka Konsep

STROKE

CHRONIC PAIN

SYNDROME

GANGGUAN

KOGNITIF

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU/RSUP HAM Medan

dimulai bulan Juni 2014 s/d November 2014 atau sampai sampel yang diinginkan

terpenuhi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

III.2. Subyek Penelitian

Subyek penelitian diambil dari populasi pasien stroke yang berobat jalan di

poliklinik neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Penentuan subyek penelitian

dilakukan menurut metode consecutivesampling yaitu semua subyek yang datang

dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah

subyek yang diperlukan terpenuhi.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua penderita chronic pain syndrome setelah stroke yang ditegakkan

dengan pemeriksaan klinis dan CT-Scan kepala.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderita chronic pain syndrome setelah stroke yang ditegakkan

dengan pemeriksaan klinis dan CT- Scan kepala yang berobat jalan di Poliklinik

neurologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan mulai bulan Juni 2014 sampai

(51)

III.2.3. Sampel

Sampel merupakan populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent.

III.2.4. Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus: (Sastroasmoro dkk, 2002)

2 2 ) 1 ( ) 2 / 1

(

(

1

)

)

(

1

)

a o a a o o

P

P

P

P

Z

P

P

Z

n

Dimana : ) 2 / 1 (

Z = deviat baku alpha. utk = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

) 1 (

Z = deviat baku beta. utk = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

0

P = proporsi kejadian CPS paska stroke = 0,08 (8 %) (O’Donnell dkk,

2013).

a

P = perkiraan proporsi kejadian CPS paska stroke yang diteliti sebesar =

0,33

a

P

P0  = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,25

Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 21 penderita chronic

pain syndrome paska stroke.

III.2.5. Kriteria inklusi

1. Penderita chronic pain syndrome paska stroke yang berobat jalan di

poliklinik neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Dapat berbahasa Indonesia.

3. Dapat membaca dan menulis.

(52)

III.2.6. Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan afasia.

2. Pasien dengan nyeri kronik sebelum stroke.

3. Penderita Alzheimer dan Parkinson.

4. Penderita gangguan jiwa.

III.3. Batasan Operasional

1. Stroke (Sacco,dkk,2013): adalah suatu episode disfungsi neurologis akut

yang diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam

atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan.

2. Afasia merupakan gangguan berbahasa yang disebabkan oleh disfungsi

otak (Lumempow, 2011).

3. Fungsi kognitif adalah aktifitas mental secara sadar seperti berfikir,

mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga

merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan

masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai,

mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).

4. Chronic Pain Syndrome paska stroke merupakan sindroma nyeri yang

terjadi setelah stroke yang dialami penderita secara menetap atau berulang

(53)

5. Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif yang bersifat

progresif yang mengenai gerakan atau kontrol terhadap gerakan termasuk

bicara dan memiliki onset yang bersifat insidious (tidak diketahui dengan

pasti kapan mulai sakit) (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008).

6. Demensia Alzheimer adalah sindroma penurunan kemampuan intelektual

yang menyebabkan deteorisasi kognisi dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari

yang dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan tes neuropsikologi

(Kolegium Neurologi Indonesia, 2008).

7. Gangguan Jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan

manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan

yang nyata dan kinerja buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis,

sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi (Zimmerman, 2005).

8. Outcome fungsional adalah kondisi keterbatasan fungsional paska stroke.

Hasil penilaiannya adalah secara umum, terdiri dari 5 angka, yaitu:

keterbatasan tak bermakna, keterbatasan ringan, keterbatasan sedang,

(54)

III.4. Instrumen Penelitian

III.4.1. Computed Tomography Scan (CT Scan)kepala. CT scan yang digunakan

adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450. Pembacaan hasil CT

scan dilakukan oleh seorang ahli radiologi.

III.4.2. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah suatu pengukuran fungsi

kognitif yang pertama kali digunakan oleh Folstein. Skor mulai dari 0 sampai

dengan 30. Skor dibawah 24 menunjukkan gangguan fungsi kognitif

(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

III.4.3 Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala yang menilai outcome

secara global dengan rentang nilai dari 0 - 6. Nilai mRS 1-2 dikategorikan

sebagai outcome baik dan nilai mRS 3-6 dikategorikan sebagai outcome

buruk (Millan dkk, 2007).

III.4.4. Kuesioner chronic post stroke pain yang diadaptasi dari penelitian

Henriette Klit, 2011 untuk nyeri kronik setelah stroke.

III.4.5. Visual Analoque Scale (VAS) adalah merupakan suatu garis lurus yang

mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi

verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi kebebasan pasien untuk

(55)

keparahan yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap

titik. Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 (100mm) untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Pengukuran pada nilai 0 (tanpa nyeri), 0 -

<4= nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang, dan 7-10= nyeri berat (Meliala,

2001).

III.5. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study) yang

bersifat analitik .

III.6. Pelaksanaan Penelitian

III.6.1. Pengambilan Sampel

Semua penderita setelah minimal 3 bulan menderita stroke yang berobat

jalan di Poliklinik Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang

diambil secara consecutive yang memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan

wawancara untuk menilai skor VAS, MMSE dan mRS. Pada pasien yang

menderita nyeri setelah stroke diminta mengisi kuesioner untuk menilai

(56)

III.6.2. Kerangka Operasional

Penderita paska stroke

Chronic pain syndrome

Surat Persetujuan ikut dalam penelitian

Wawancara menilai MMSE dan mRS serta diminta

mengisi kuesioner

Inklusi Eksklusi

Nilai VAS

(57)

III.7. Variabel yang Diamati

Variabel bebas : chronic pain syndrome paska stroke

Variabel terikat : fungsi kognitif, outcome fungsional

III.8. Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan

program komputer Windows SPSS ( Statistical Product and Science and Service)

15. Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

III.8.1.Gambaran karakteristik demografik, outcome fungsional, dan gangguan

kognitif pada penderita chronic pain syndrome paska stroke disajikan dalam

bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

III.8.2. Untuk mengetahui distribusi data digunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

III.8.3. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke

dengan gangguan kognitif digunakan ujikorelasi Pearson.

III.8.4. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke

dengan outcome fungsional digunakan uji korelasi Pearson.

III.8.5. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke

dengan volume lesi digunakan uji korelasi Pearson.

III.8.6. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke

dengan lama stroke digunakan uji korelasi Pearson.

III.8.7. Hubungan antara intensitas nyeri pada chronic pain syndrome paska stroke

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dari keseluruhan pasien paska stroke yang berobat jalan di Poliklinik

Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan pada periode Juni hingga November

2014, terdapat 27 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga

diikut sertakan pada penelitian ini. Pada semua subyek penelitian telah dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik.

IV.1. Hasil Penelitian

IV.1.1 Karakteristik subyek penelitian

Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi

kelompok usia, kelompok jenis kelamin, kelompok pendidikan serta kelompok

pekerjaan. Karakteristik demografik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 2.

Berdasarkan tabel 2 dari keseluruhan 27 orang subyek yang dianalisa,

terdiri dari 15 orang pria ( 55,6 %) dan 12 orang wanita ( 44,4%), dengan rerata

(59)

Tabel 2. Karakteristik demografik subyek penelitian

. Dari segi pendidikan, subyek penelitian paling banyak dengan tingkat

pendidikan SLTA yaitu 51,86%. Sementara tingkat pendidikan yang paling sedikit

yaitu SD, SLTP, dan S2 yang sama persentasinya (11,11%). Dari segi pekerjaan,

pegawai negeri sipil (PNS) merupakan jenis pekerjaan terbanyak 55,6 %.

Sementara pekerjaan paling sedikit sebagai ibu rumah tangga, yaitu 11,11%.

Variabel Chronic pain syndrome

Usia Mean±SD Rentang Jenis kelamin Pria Wanita Pendidikan SD SLTP SLTA S1 S2 Pekerjaan Petani

Ibu rumah tangga Swasta

PNS

61,11 ± 8,21 44 - 76

15 (55,6%) 12 (44,4%)

3 (11,11%) 3 (11,11%) 14 (51,86%)

4 (14,81%) 3 (11,11)

4 (14,8%) 3 (11,11%)

(60)
[image:60.595.84.471.141.313.2]

Gambar 2. Distribusi jenis kelamin penderita CPS paska stroke

Gambar 3. Distribusi tingkat pendidikan penderita CPS paska stroke

Pada tabel 3 dapat dilihat gambaran karakteristik stroke dan CPS dari

subyek penelitian.

55,6 %

44,45 %

Pria Wanit a

11,11 % 11,11 %

51,86 %

14,81 % 11,11 %

[image:60.595.84.461.375.552.2]
(61)

Tabel 3. Gambaran karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian

Variabel Chronic pain syndrome

Jenis stroke

Stroke iskemik

Stroke hemoragik

Frekuensi stroke

1 kali > 1 kali

Lokasi lesi

Korteks Sub korteks Campuran

Volume lesi

Mean ± SD (cc)

Kekuatan motorik

Mean ± SD

Hemisfer Kanan Kiri Campuran Spastisitas Dijumpai Tidak dijumpai Tipe CPS

Gambar

Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome
Tabel 1. Skor Median MMSE
Gambar 2. Distribusi jenis kelamin penderita CPS paska stroke
Tabel 3. Gambaran karakteristik stroke dan CPS subyek penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait