• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Stroke II.1.1. Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga

disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau sampai

kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Defenisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),

perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan

beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

II.1.2. Epidemiologi

Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika

Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan

kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya

dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria)

meninggal akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk meninggal setiap

tahun oleh karena stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok

usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada

(2)

dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding

pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena

kelainan kongenital maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti

peradangan, aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 2011).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi

anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011).

1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya: a) Stroke iskemik

i) Transient Ischemic Attack (TIA)

ii) Trombosis serebri

iii) Emboli serebri

b) Stroke hemoragik

i) Perdarahan intraserebral

ii) Perdarahan subarachnoid

2) Berdasarkan stadium:

a) Transient Ischemic Attack (TIA)

b) Stroke in evolution

(3)

3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah): a) Tipe karotis

b) Tipe vertebrobasiler

II.1.4 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor

yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor

risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi : a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang

buah

(4)

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin,

pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

Pada Interstroke study melaporkan bahwa faktor resiko stroke: ( O’Donnell

,dkk.2010)

1. Riwayat hipertensi

2. Current smoking

3. Waist to hip ratio

4. Aktifitas fisik regular

(5)

6. Intake alkohol

7. Psikososial stress

8. Depresi

9. Gangguan jantung

10.Rasio Apolipoprotein B dan A1.

II.1.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli

dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh

berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang

mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik,

yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker dkk,

2010).

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan

hipoksia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir

dengan kematian sel sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. (Misbach, 2011).

Iskemia dapat dibagi lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis,

emboli, dan penurunan perfusi sistemik (Caplan, 2009).

1. Trombosis

Trombosis mengacu pada obstruksi aliran darah karena proses oklusi lokal

(6)

pembentukan bekuan. Jenis yang paling umum dari patologi vaskular adalah

aterosklerosis, di mana jaringan fibrous dan otot tumbuh terlalu cepat pada

subintima, dan materi lemak membentuk plak yang dapat mengganggu pada

lumen. Selanjutnya, platelet atau trombosit menempel ke celah-celah plak dan

membentuk yang berfungsi sebagai nidus untuk pengendapan fibrin, trombin, dan

clot. (Caplan, 2009).

2. Emboli

Pada emboli, materi terbentuk di tempat lain dalam sistem vaskular pada

arteri dan memblok aliran darah. Penyumbatan bisa bersifat sementara atau dapat

bertahan selama berjam-jam atau berhari-hari sebelum berpindah ke area yang

lebih distal. Berbeda dengan trombosis, blok emboli lumen tidak disebabkan oleh

proses lokal yang berasal pada arteri yang tersumbat. Materi yang muncul

proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri utama seperti aorta, karotis, dan

arteri vertebralis, dan dari vena sistemik. (Caplan,2000).

3. Penurunan Perfusi sistemik

Dalam penurunan perfusi sistemik, berkurangnya aliran ke jaringan otak

disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah. Penyebab yang paling

umum adalah kegagalan pompa jantung (paling sering karena infark miokard atau

(7)

kasus tersebut, berkurangnya perfusi adalah lebih umum daripada trombosis lokal

atau emboli dan mempengaruhi otak secara difus dan bilateral (Caplan, 2009).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti

(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan

menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core

iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan

pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan

menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin

ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah

hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah

penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya

dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung

pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat

berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2011) .

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

(8)

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah

infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di

Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan

stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%,

batang otak 2% dan subrakhnoid 4%. (Misbach, 2011)

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas

perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.Sedangkan berdasarkan

penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral

primer dan sekunder. (Misbach 2011)

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya

mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering

terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik

menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami

perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis,

nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan

(9)

yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan

pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah

juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Caplan, 2000)

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat

menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang

terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena

ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. (Caplan, 2000)

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam

otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh

yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi.

Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri

(arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma. (Misbach, 2011)

II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE

II.2.1. Definisi

Sampai saat ini belum terdapat definisi yang baku untuk chronic pain

syndrome paska stroke. Terdapat beberapa tipe nyeri kronis yang dapat terjadi

setelah stroke, yaitu: nyeri sentral paska stroke (CPSP), nyeri nosiseptif dan nyeri

kepala ( Widar dkk, 2002). Nyeri sentral paska stroke (Central post stroke pain/

CPSP) merupakan kondisi nyeri neuropatik spesifik dimana nyeri ini disebabkan

(10)

menghantarkan informasi dari stimulus noxious dan non-noxious dari perifer ke

otak (Klit dkk, 2011).

Nyeri nosiseptif sering mempengaruhi bahu dan berhubungan dengan

perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi yang terkena. Hal ini

dapat terjadi akibat subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan

lunak (Widar dkk, 2002).

Dikatakan nyeri kronik bila terdapat nyeri yang ditemukan konstan atau

timbul berlangsung lebih dari 3 bulan ( Klit dkk, 2011).

Bentuk chronic pain syndrome setelah stroke yang paling umum adalah

nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala (Klit dkk, 2009).

II.2.2 Epidemiologi

Studi epidemiologi mengenai chronic pain syndrome paska stroke saat ini

masih sedikit. Prevalensi dari nyeri setelah stroke bervariasi antara 19-74%

(Jonsson dkk, 2006). Pada satu studi di Denmark dilaporkan bahwa nyeri setelah

stroke dijumpai dalam 2 tahun dengan tipe: nyeri kepala, nyeri sendi bahu dan

sendi lainnya, nyeri karena spasme dan kaku otot, nyeri lainnya, dan nyeri

bersama lebih dari satu jenis (Klit dkk, 2011).

Pada studi PROFESS Trial ditemukan dari 15.754 pasien setelah stroke

dijumpai 1.665 orang (10,6%) menderita chronic pain syndrome setelah stroke,

dimana dari 10,6 % tersebut, terdapat 2,7 % dengan CPSP, dengan neuropati

(11)

subluxasi bahu (0,9%), dan dengan syndrome nyeri lainnya (4,7%). Terdapat 0,6

% dengan lebih dari 1 jenis nyeri (O’Donnell dkk, 2013).

Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome

Dikutip dari Klit H, Finnerup NB, Jensen TS. 2009. Central Post- Stroke pain:

Clinical Characteristics, Pathophysiology, and Management. Lancet Neurol.

Pada suatu studi epidemiologi dilaporkan prevalensi nyeri sentral setelah

stroke antara 1-12% (Klit dkk, 2009). Perkembangan CPSP dihubungkan dengan

gangguan sensorik, dan pada satu studi ditemukan prevalensi CPSP tinggi sampai

(12)

CPSP ditemukan pada 8% dari seluruh pasien setelah stroke (Anderson

dkk,1995).

Usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi bukan merupakan prediktor dari nyeri

sentral paska stroke (Klit dkk, 2009).

II.2.3. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya nyeri kronis pada penderita setelah stroke masih

belum sepenuhnya dipahami. Beberapa mekanisme yang diajukan antara lain

ialah sensitisasi sentral, perubahan fungsi traktus spinotalamikus, teori disinhibisi

dan perubahan thalamus (Klit dkk,2009).

Pada teori sensitisasi sentral dikemukakan bahwa lesi pada susunan saraf

pusat menghasilkan perubahan pada anatomis, neurokimiawi, eksitasi dan

inflamasi, dimana semua keadaan tersebut dapat mencetuskan peningkatan

eksitabilitas neuron. Kombinasi keadaan-keadaan tersebut dengan hilangnya

inhibisi dan peningkatan fasilitasi, akan meningkatkan eksitabilitas yang dapat

menyebabkan sensitisasi sentral, yang kemudian akan mengarah kepada

terjadinya nyeri kronis (Klit dkk , 2009).

Gangguan nyeri dan sensasi termal sering dijumpai pada pasien-pasien

nyeri setelah stroke. Lesi traktus spinothalamikus diduga berperan terhadap

berkembangnya gangguan tersebut. Hipersensitivitas terhadap tusukan dan

(13)

pasien-pasien dengan nyeri setelah stroke daripada pasien-pasien stroke tanpa nyeri. (Klit dkk,

2009, Kumar dkk, 2009)

Pada teori disinhibisi dikatakan bahwa ketidakseimbangan sistem fasilitasi

dan inhibisi terhadap input yang masuk ke sistem saraf pusat, termasuk interaksi

antara nukleus di batang otak dan korda spinalis dan sirkuit supraspinal

thalamocortical berperan menyebabkan terjadinya nyeri kronis setelah stroke.

Perubahan pada wilayah aliran darah serebral dapat divisualisasikan dengan

menggunakan tehnik MRI atau SPECT (Single photon emission computed

tomography). Peningkatan aliran darah pada regio serebral di talamus, area

somatosensori, parietal inferior, insula anterior, dan kortikal prefrontal medial

ditemukan selama stimulasi area allodynia. Studi ini mengindikasikan bahwa

perubahan somatosensori dan jalur nyeri terjadi setelah stroke diduga terjadi pada

sistem nyeri di bagian lateral (lateral discriminative pain system). Thalamus diduga

berperan penting dalam mekanisme terjadinya nyeri sentral, dan kejadian CPSP

sering terjadi setelah lesi thalamus. (Klit dkk, 2009, Kim dkk, 2007)

Thalamus diduga juga dapat berimplikasi pada nyeri sentral pada

pasien-pasien dimana lesi tidak langsung melibatkan thalamus. Studi sebelumnya telah

menunjukkan penurunan regio aliran darah serebral di thalamus dari pasien-pasien

CPSP yang mengalami nyeri spontan saat istirahat. Hiperaktivitas thalamus juga

telah ditunjukkan selama kejadian allodynia. Peningkatan aktivitas ditemukan pada

(14)

kontrol mikroglial juga diduga mendasari perubahan thalamus setelah lesi susunan

saraf pusat (Klit dkk, 2009).

Pada chronic pain syndrome paska stroke juga sering diakibatkan oleh nyeri

bahu misalnya subluksasi dari sendi glenohumeral dan cedera jaringan lunak

yang dapat diakibatkan kurang hati-hati saat latihan fisik dan spastisitas dari otot

bahu (Widar dkk, 2002). Penyebab lain nyeri bahu juga dapat diakibatkan

menurunnya kontrol postur dan keseimbangan yang memungkinkan tingginya

resiko terjatuh (Lindgren dkk, 2007).

Nyeri kepala kronis merupakan kejadian yang sering dialami pasien-pasien

stroke. Nyeri kepala terdapat pada sekitar seperenam pasien pada permulaan

transient ischemic attack, sekitar 25% pasien stroke iskemik akut, sekitar 50%

pasien perdarahan intraserebral, dan pada hampir semua pasien perdarahan

subarakhnoid. Beratnya nyeri kepala tidak berkaitan dengan ukuran besarnya lesi

stroke iskemik. Patofisiologi nyeri kepala mungkin diakibatkan oleh lepasnya zat

vasoaktif, seperti serotonin dan prostaglandin dari trombosit yang diaktivasi oleh

iskemia serebral kortikal (Lumbantobing, 2004). Beberapa studi melaporkan

prevalensi kejadian nyeri kepala paska stroke sebesar 10%. Nyeri kepala pada

pasien stroke berhubungan dengan kejadian patofisiologi dari stroke (Klit dkk,

2011).

(15)

II.3 FUNGSI KOGNITIF II.3.1 Definisi

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti

berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga

merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah,

serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan

melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).

Fungsi kognitif terdiri dari : (Kolegium Neurologi Indonesia,2008)

1. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu

stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal

maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.

Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat

awal pemeriksaan neurobehaviour karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya

sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.

Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi

kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama

ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak

(16)

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang

membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa

harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehaviour. Jika terdapat gangguan

bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan

mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.

Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus,

sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus

untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara

sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi

menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan

menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh

stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan

berbahasa.

3. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus

dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk

terjadinya pembelajaran baru.

Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan

(17)

a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam

interval waktu beberapa detik

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian

sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau

kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut

dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

c. Remote memory merupakan koleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun

yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien.

Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan untuk

mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia

anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult.

Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal

perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan

organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori.

Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada

pemeriksaan tidak dijumpai defek recent memory.

4. Visuospasial

(18)

lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam

kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai

peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining

kemampuan visuospasial dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan

parietal.

5. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan

kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus

frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait

engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan

fungsi kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang

berkelanjutan, beberapa dianggap masih dalam kategori gangguan ringan.

Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai

skrining untuk menilai fungsi eksekutif.

Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian

terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi

eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis

menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat

berkontribusi terhadap risiko penurunan fungsi kognitif (Plasman dkk, 2010).

Sebagai suatu pemeriksaan awal, pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE:

(19)

Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah uji yang paling sering dipakai

saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi

gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi

dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan

mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan

tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling

rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini

mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

Uji MMSE awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun

digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini

adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status

mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada

individu-individu dengan kecurigaan gangguan fungsi kognitif, namun tidak dapat

digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya

fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan

tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State

Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working

dan immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan

kalimat, pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah

verbal, perencanaan dan praksis. Tes tersebut direkomendasikan sebagai alat

(20)

Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari

15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di

Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan

sebagai berikut: (Sjahrir dkk, 2001).

Tabel 1. Skor Median MMSE

Dikutip dari :Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe AS, Lubis ID, Bhakti I.

2001. The Mini Mental Stage Examination in Healthy Individual in Medan,

Indonesia by Age and Education Level. Neurol J Southeast Asia; 6:19-22

II.4 Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome

Fungsional

Penyakit serebrovaskuler merupakan faktor resiko untuk terjadinya

kegagalan fungsi kognitif. Stroke telah banyak dihubungkan dengan gangguan

(21)

dari vaskuler merupakan hasil dari suatu volume kritis dari jaringan otak yang

infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia

setelah stroke telah dilaporkan berhubungan dengan pasien-pasien dengan lesi

subcortical white matter yang luas. Disrupsi dari subkortikofrontal dan

talamocortikal sekalipun kecil dan terisolasi dapat menyebabkan demensia. Lesi

white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan

konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan

cerebral microangiopathy, gangguan neurofisiologi berkorelasi dengan hipoperfusi

kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter.

Atrophy corpus calosum merupakan prediktor gangguan kognitif global pada

pasien dengan lesi white matter (Haring, 2002).

Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti

CPSP dilaporkan terjadi sekitar 8% penderita stroke. Nyeri nosiseptif yang

mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala

tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren

ataupun persisten telah dilaporkan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan

berhubungan dengan gangguan mood. Nyeri yang berlangsung lama dapat

memicu stres pada penderita dan keluarga yang berakibat berpengaruhnya

aktivitas kehidupan sehari-hari. Respon terhadap nyeri kronis ini bervariasi

diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik,

(22)

fisik; aspek psikologi berkaitan dengan fungsi kognitif, status emosional, kepuasan

hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan

interaksi. (Widar dkk, 2002).

Dalam suatu studi PRoFESS Trial dilaporkan terjadinya penurunan dalam

skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke

dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke.

Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale

≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan

dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013).

Pengaruh nyeri pada fungsi kognitif tidak langsung berhubungan dengan

gambaran diskriminasi sensoris. Secara spesifik dikatakan bahwa kegagalan

kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis berhubungan dengan perubahan

mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur,

kelelahan, dan kegagalan melakukan aktifitas sehari-hari. Studi sebelumnya telah

menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan

defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri

(23)

II.8 Kerangka Teori sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan lunak. Klit H, 2011: bentuk chronic pain

(24)

II.9 Kerangka Konsep

STROKE

CHRONIC PAIN

SYNDROME

GANGGUAN

KOGNITIF

OUTCOME

Gambar

Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome
Tabel 1. Skor Median MMSE

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menyebabkan siswa merasa senang dalam mengikuti pelajaran jarimatika, siswa dapat memahami konsep perkalian dengan baik, beberapa siswa masih merasa

 Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan5dan minum, !emas, gelisah,

Hubungan ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai rantai yaitu setelah pakan dari lambung masuk ke usus selanjutnya diikuti dengan produksi enzim protease dan pada

Ayam bekisar, kampung, bangkok, kate, dan G.varius memiliki waveform yang terdiri atas 2 elemen yaitu suara depan (I st waveform) dan suara belakang (2 nd waveform) yang

Proses ini merupakan proses di mana foton penembak berinteraksi dengan elektron bebas Proses ini merupakan proses di mana foton penembak berinteraksi dengan elektron bebas dan

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk membentuk model ini adalah setiap individu dapat terinfeksi oleh satu atau dua penyakit sekaligus, tidak terdapat kekebalan

Bertolak dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian yang akan dilaksanakan berbeda dengan penelitian tersebut, dari persfektif kajian maupun dari

Beban kerja rendah pada operator lini pengemasan pabrik Personal Care dikarenakan calory expenditure untuk aktivitas value added dan semi value added tidak lebih