• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

1. Fungsi Legislasi

Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, rumusan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya tentang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang, telah menimbulkan persoalan mengenai siapakah sebenarnya yang memegang kekuasaan menyusun dan menetapkan Undang-undang. Ketentuan pasal tersebut bukan saja membingungkan tetapi mengandung anomali. Presiden adalah pemegang dan pelaksana kekuasaan

16 Sri Soemantri, “Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945”, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), h. 27

eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan demokratis umumnya kekuasaan menetapkan Undang-undang berada pada badan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.17

Selama periode orde baru, fungsi legislasi dipegang oleh Presiden sementara DPR hanya memberikan persetujuan. Dalam hal ini A. Hamid S. Attamimi berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPR memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berada pada presiden tersebut.18

Dengan menggunakan teori kekuasaan R. Kranenburg, A. Hamid S.

Attamimi menambahkan, “memegang kekuasaan” dalam ketentuan Pasal 5

Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 haruslah diartikan “memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung kewenangan membentuk undang-undang.19 Karena argumentasi itu, dengan

17 T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan

Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 81.

18 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan”, (Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 146. 19

Ibid. h. 151

menggunakan makna semantik, A. Hamid S. Attamimi menafsirkan

“bersama-sama” dalam melaksanakan legislative power, Presiden

melaksanakan kekuasaan pembentukannya dan DPR melaksanakan

(pemberian) persetujuan dengan berbarengan, serentak, bersama-sama.20 Dengan demikian menjadi jelas, tambah Attamimi, kewenangan pembentukan undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan memberikan persetujuan tetap pada DPR. Agar undang-undang dapat terbnetuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan secara berbarengan.21 2. Fungsi Anggaran

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, fungsi anggaran dari DPR tidak berjalan sebagaimana mestinya, sama seperti fungsi-fungsi DPR yang lainnya. Anggaran Negara yang dikehendaki pemerintah tidak mendapat reaksi apapun dari DPR. Mereka hanya memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Singkatnya fungsi anggaran DPR hanya sekedar formalitas.22

3. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan DPR selama orde baru dapat dilihat melalui tiga memorandum. Ketiga memorandum itu mencakup tentang masalah Taman

20 Ibid. h. 153 21 Ibid.

22 T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk ,

Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 82.

Mini Indonesia Indah dan hari depan generasi muda Indonesia, Penetapan harga gula hasil panenan pada tahun 1972 dan rencana ekspor gula pada tahun 1974, serta memorandum tentang masalah beras.23

Sempat muncul hak interpelasi DPR tentang penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah dan hak angket mengenai kasus korupsi di pertamina. Meskipun hak angket ini ditolak oleh Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI. Hanya sebatas itu lah potret fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintahan ORBA. Mengenai proses pengangkatan duta besar sebelum amandemen sama sekali tidak melibatkan peran DPR selaku lembaga legislatif. Pada masa itu pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif presiden yang mandiri. Sebagaimana yang termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 37

Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri “Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden Selaku Kepala Negara”.

B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif tidaklah dinyatakan secara tegas, hanya di sebutkan bahwa DPR memegang Kekuasaan membentuk Undang-undang (Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara

23

Opini@Net, Kumpulan Aspirasi Masyarakat, yang disampaikan melalui www.mpr.go.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 20014.

Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Pertama),24 kemudian dalam pasal 20A Ayat (1) muncul ketentuan mengenai fungsi-fungsi anggaran dan control disamping fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal ini Bagir Manan berpendapat bahwa ketentuan Pasal 20A Ayat (1) ini bukan saja overlapping tetapi juga menimbulkan kerancuan, dalam hal penyebutan legislasi tidak konsisten dengan kekuasaan membentuk Undang-undang.25 Pengertian (begrib) legislasi lebih luas dari pengertian Undang-undang, kekuasaan membentuk Undang-undang adalah satu-satunya fungsi DPR.

Perkembangan setelah Perubahan Undang-undang Tahun 1945, DPR sebagai lembaga legislatif, tetapi bisa juga disebut sebagai penasehat Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai penasehat Presiden, oleh karena Presiden dapat meminta pertimbangan DPR dalam hal-hal tertentu, seperti berikut:

a. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 Ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah

“memperhatikan pertimbangan”.

b. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 3 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada

penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

24

I do esia, UUD 1945 Perubahan Pertama”, Pasal 20 ayat 1

25 Bagir Manan, “ DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru” (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), h. 33

c. Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada

penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

1. Fungsi Legislasi

Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi supremasi hukum. Supremasi hukum dapat terwujud apabila didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi. Oleh karena itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi sangatlah penting.

Menurut ketentuan konstitusi, rancangan Undang-undang (RUU) yang akan dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari DPR sebagai RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU yang berasal dari inisiatif DPR diharapkan semakin banyak. Hal ini merupakan bagian penting dari komitmen reformasi hukum nasional dan pemberian peran yang lebih besar kepada DPR secara konstitusional dalam pembuatan Undang-undang.

Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945. Dalam naskah Undang-Undang-undang Tahun 1945 sebelum perubahan hak membuat Undang-undang berada pada tangan

Presiden, “ Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang ” (

bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut dituangkan dalam

Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan “DPR memegang kekuasaan membentuk

Undang-undang”.

Dokumen terkait