• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pola Kemitraan dan Manajemen Rantai Pasokan

5. Fungsi nilai tambah

5.1 R dan D -Fungsi silang kelompok 1 2 3 4 5 - Portofolio penelitian dan pemgembangan 1 2 3 4 5 - Analisis keberhasilan/ kebangkrutan 1 2 3 4 5

Tabel 1. Daftar Pemeriksaan dalam Audit TAM (Khalil 2000) (lanjutan)

Wilayah Penaksiran Elemen Peringkatan

5.2 Operasi - Perbaikan variabel penting dari proses 1 2 3 4 5 5.3 Teknologi

peduli lingkungan

- Proses dan produk hijau 1 2 3 4 5 - Analisis siklus hidup produk 1 2 3 4 5

6. Akuisisi dan eksploitasi

teknologi 6.1 Akuisisi

Teknologi

- Metode akuisisi 1 2 3 4 5 - Ketepatan modal investasi 1 2 3 4 5 6.2 Transfer

teknologi

- Prosedur transfer 1 2 3 4 5 - Transfer tenaga kerja 1 2 3 4 5 6.3 Eksploitasi

untuk keuntungan

- Eksploitasi untuk keuntungan sesuai strategi

teknologi dan klasifikasi teknologi 1 2 3 4 5 6.4 Proteksi -Proteksi inovasi proses 1 2 3 4 5

Menurut Hunger dan Wheelen (2001), usaha patungan dari dua atau lebih organisasi secara terpisah adalah untuk tujuan-tujuan strategis berikut: 1) menciptakan kesatuan bisnis yang independen dan mengalokasi kepemilikan; 2) tanggungjawab operasional; 3) tanggungjawab atas risiko yang timbul; dan 4) imbalan finansial bagi tiap-tiap anggota, disertai perlindungan otonominya. Usaha patungan memberikan cara sementara untuk menggabungkan kekuatan-kekuatan mitra kerja sehingga dapat dicapai hasil bernilai lebih tinggi bagi kedua belah pihak.

Perencanaan pengembangan agroindustri berbasis ayam broiler yang berdaya saing di pasar global memerlukan koordinasi vertikal antar setiap tingkatan usaha di sepanjang rantai agroindustri ayam broiler. Melalui koordinasi vertikal setiap tantangan yang mungkin timbul, antara lain sebagai akibat dari fluktuasi harga bahan baku dan harga daging ayam di pasaran, maka keberlanjutan pasokan, jumlah pasokan, mutu produk, dan keterbatasan

dikurangi, dan biaya produksi ternak, serta harga produk olahan lebih rendah (USDA 2003).

Koordinasi vertikal tersebut akan membentuk manajemen rantai pasokan (supply chain management atau SCM) ayam broiler, didefinisikan sebagai konsepsi manajemen yang secara terus-menerus mencari sumber-sumber fungsi bisnis yang memiliki kompetensi baik dari dalam maupun luar perusahaan untuk digabungkan menjadi satu rantai pasokan. Tujuannya adalah untuk memasuki sistem pasokan yang berdaya saing tinggi dan memperhatikan kebutuhan pelanggan, yang berfokus pada pengembangan solusi inovatif dan sinkronisasi aliran produk, jasa dan informasi. Dengan demikian tercipta sumber nilai pelanggan yang bersifat spesifik (Miranda & Widjaja-Tunggal 2003).

Jaringan manajemen rantai pasokan melibatkan banyak perusahaan yang bersifat independen, namun sepakat untuk bekerja sama jangka panjang tanpa harus bersaing secara tidak sehat, sebagai dasar pengembangan keunggulan kompetitif kelompok. Pendekatannya ditekankan pada pengembangan kepercayaan, informasi dan minat bersama antar anggota kelompok (Gattorna & Walters 1996, diacu dalam Herman 2002). Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam SCM diharapkan dapat memperoleh manfaat nilai tambah secara adil sebagai akibat kegiatan bisnis melalui kemitraan tersebut. Definisi nilai tambah produk menurut Gumbira-Sa’id dan Intan (2000), adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian, atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Dalam pendekatan SCM dapat diidentifikasi pekerjaan kunci

dalam bisnis dan tahap berikutnya identifikasi lokasi yang tepat agar setiap pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Menurut Lee et al. (2011), pembaharuan teknologi informasi merupakan hal penting untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan rantai pasokan, namun tidak selalu diadopsi oleh para pihak yang bekerjasama, tergantung tingkat pengaruh keamanan terhadap efisiensi. Jika keamanan tidak cukup kuat pengaruhnya terhadap peningkatan efisiensi, kendala yang mungkin timbul adalah insentif yang tidak cukup untuk berinvestasi, sehingga diperlukan sekurang-kurangnya satu stakeholder

Ditinjau dari aspek sistem, agribisnis terdiri dari beberapa subsistem antara lain : 1) Subsistem Pengadaan dan penyaluran sarana produksi, 2) Subsistem produksi primer, 3) Subsistem pengolahan, 4) Sub-sistem pemasaran dan dilengkapi lembaga penunjang (Gumbira-Sa’id dan Intan 2001). Peternakan ayam ras sebagai suatu sistem agribisnis meliputi industri hulu hingga ke hilir. Agroindustri hulu peternakan berfungsi untuk memasok sarana produksi dalam budidaya ternak, yakni industri pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan/vaksin, dan industri peralatan peternakan, serta kegiatan perdagangannya. Kegiatan agroindustri hilir adalah kegiatan pengolahan hasil ayam ras, beserta kegiatan perdagangannya. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antar komponen dalam konsep sistem agribisnis

berinvestasi. Namun, jika keamanan cukup kuat pengaruhnya, sanksi terhadap pelanggaran keamanan akan lebih efektif tanpa pengadaan teknologi baru untuk mengendalikan ketidakpastian akibat intervensi eksternal.

Kemitraan memiliki ciri dan karakteristik dasar yang berbeda berdasarkan jenis dan ukuran bisnis yang dikelola. Faktor-faktor kunci dalam kemitraan adalah : 1) Perpaduan antara berbagai pihak yang bermitra dengan proses-proses pasokan pelanggan; 2) Tingkat kerjasama yang tinggi di antara pihak yang bermitra; 3) Keterlibatan para pihak yang bermitra dalam tahap awal proyek; 4) Hubungan yang luas dari setiap pihak yang bermitra dengan para pelanggan yang berbeda; dan 5) Hubungan jangka panjang antara produsen dalam kemitraan dengan para pelanggan (Hermawati et al. 2002).

Keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan para pihak terhadap pelaksanaan kegiatan dan etika bisnis (Hafsah 2000). Menurut Mariotti (1993) yang diacu Hafsah (2000), terdapat enam dasar etika bisnis yaitu : 1) Karakter, integritas, dan kejujuran; 2) Kepercayaan; 3) Komunikasi

Subsistem agribisnis hulu ayam ras (produksi dan penyaluran sapronak) - Industri pembibitan - Industri pakan - Industri obat-obatan/ vaksin - Industri peralatan Subsistem agribisnis budidaya ayam ras

Usaha ternak ayam ras

Subsistem agribisnis hilir ayam ras

- Industri pengolahan - Kegiatan perdagangan

Gambar 3. Konsep Sistem Agribisnis Ayam Ras (Saragih 1998)

Subsistem jasa penunjang agribisnis ayam ras - Transportasi - Perkreditan - Asuransi - Penelitian dan pengembangan - Kebijakan Pemerintah

yang terbuka; 4) Adil; 5) Keinginan pribadi dari pihak yang bermitra; dan 6) Keseimbangan antara insentif dan risiko. Jika enam dasar etika bisnis tersebut dapat dilaksanakan dalam kemitraan, maka keberhasilan dalam bermitra akan dapat dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Kemitraan dapat dikembangkan secara lebih luas dan berhasil, sesuai kriteria-kriteria yang disarankan oleh Gattorna dan Walters (1996) dalam Herman (2002), sebagai unsur penting dalam hubungan antar organisasi, meliputi hal-hal berikut :

1) Keunggulan individu : setiap mitra harus mempunyai kemampuan untuk dapat berkontribusi pada nilai hubungan dalam kemitraan.

2) Kepentingan : hubungan antar mitra harus sesuai dengan tujuan strategis setiap mitra.

3) Saling ketergantungan : harus ada kebutuhan dari setiap anggota kemitraan terhadap mitra lainnya. Secara ideal masing-masing sebaiknya mempunyai aset dan keahlian yang bersifat komplementer.

4) Penanaman modal : apabila masing-masing anggota menanam modal di perusahaan mitranya, maka diperlukan komitmen jangka panjang.

5) Informasi : informasi bersama merupakan bagian penting dari berhasil suatu kemitraan. Informasi meliputi tujuan spesifik dan individual, data teknis, data kinerja dan informasi tentang perubahan lingkungan.

6) Integrasi : setiap mitra mengembangkan hubungan dan fasilitas untuk mempermudah kerjasama, pada berbagai tingkatan organisasi sesuai

7) Institusionalisasi : hubungan diformalkan dengan tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan yang jelas.

8) Integritas : setiap anggota harus memperlakukan mitranya dengan saling menghargai, jujur, dan saling mempercayai.

Menurut Gumbira-Sa’id (2001), prinsip-prinsip kemitraan sebagai pedoman dalam pembentukan dan operasi kemitraan, adalah : 1) saling ketergantungan dan saling membutuhkan; 2) saling menguntungkan antar para partisipan kemitraan; 3) transparansi; 4) kemitraan dibentuk berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama dari semua partisipan; 5) alih pengetahuan dan pengalaman terutama untuk pembinaan; 6) pertukaran informasi; 7) berkeadilan; 8) kemitraan yang terbentuk harus dapat menjadi sarana untuk saling memperkuat dan saling melengkapi antar para partisipan kemitraan; 9) pemahaman harus mampu memberikan dorongan agar masing- masing partisipan memahami wewenang dan tanggung jawabnya; 10) para partisipan harus mampu dan mau melakukan proses belajar; 11) kemitraan yang terbentuk harus dilembagakan; dan 12) kemitraan yang terbentuk harus dapat dikelola dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen yang meliput i perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, evaluasi, dan pengendalian. Menurut point pemesanan kembali adalah dua tantangan utama dalam manajemen rantai pasokan persediaan, dapat melalui kredit bagi anggota hilir sehingga para pihak memiliki insentif untuk berpartisipasi berdasarkan daya tawar mereka, meningkatkan keuntungan jaringan secara keseluruhan serta profitabilitas masing-masing anggota.

Menurut Hermawati et al. (2002), tingkat efektifitas kemitraan sangat ditentukan oleh besarnya tingkat interaksi antar unit yang bermitra. Interaksi tersebut umumnya mencakup unsur-unsur yang berhubungan dengan pasokan, antara lain : 1) Bahan baku; 2) Teknologi; 3) Modal kerja; 4) Bahan pendukung; dan 5) Tenaga kerja. Selanjutnya, aktifitas kemitraan dalam berbagai bentuk interaksi tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, di bawah ini (Hermawati et al. 2002):

1) Elemen Produk, meliputi mutu, daya guna, isi produk, asesori, struktur, ecolabel, sanitary and hygiene, phytosanitary dan kontinuitas,

2) Elemen Pemasaran, meliputi distribusi, harga, cara menyerahkan, cara pembayaran, lokasi dan waktu transaksi, lokasi dan waktu penyerahan, alat transportasi, alat promosi,

3) Elemen Budaya atau Etik, meliputi kepercayaan, tanggung jawab, dan pemenuhan komitmen,

4) Elemen Pelayanan, meliputi kecepatan dan ketepatan layanan, serta layanan purna-jual.

Womack et al. (1990) melakukan penelitian untuk mengukur potensi kemitraan mencapai keberhasilan pada industri alat angkut (vehicle) Jepang, menggunakan faktor-faktor kunci ke dalam tujuh belas faktor kunci seperti terlihat pada Tabel 2. Potensi keberhasilan kemitraan untuk dapat berhasil diukur berdasarkan jumlah nilai dari ketujuh belas faktor kunci tersebut. Nilai dibuat lima kategori (sangat kurang, kurang, rata-rata, baik, sangat baik) bagi setiap faktor kunci dan dikumpulkan melalui wawancara responden. Jika

dengan 50 berarti ada masalah dalam kemitraan, nilai di atas 50 sampai dengan 70 adalah kemitraan potensial, dan nilai di atas 70 adalah kemitraan yang baik.

Tabel 2. Faktor-faktor kunci keberhasilan kemitraan Industri Alat Transportasi (Womack et al. 1990)

No. Faktor-faktor keberhasilan Nilai

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Memilih mitra

Keinginan untuk menjadi mitra Kepercayaan

Karakter dan etika Impian strategis Kecocokan budaya Arah yang konsisten Informasi bersama Tujuan dan minat bersama

Risiko ditanggung bersama secara adil Keuntungan dinikmati bersama secara adil Sumber daya cukup sesuai

Waktu kerjasama disepakati dan cukup panjang Disponsori oleh manajemen puncak

Keterikatan pada ketentuan

Pengertian dasar yang sama tentang nilai yang dibawa oleh mitra ke dalam kemitraan

Aturan, kebijaksanaan dan pengukuran kinerja yang mendukung kemitraan

Data dikumpulkan melalui wawancara, dan kelayakan untuk setiap faktor dinilai dengan tingkat skor : 1 = sangat kurang 2 = kurang 3 = rata-rata 4 = baik 5 = sangat baik Jumlah JF

Catatan : JF < 30 = tidak ada kemitraan, 30 < JF < 50 = ada masalah dalam kemitraan, 50 < JF < 70 = kemitraan potensial, JF > 70 = kemitraan yang baik.

Penerapan kemitraan di Indonesia selama ini meliputi berbagai pola, salah satu di antaranya adalah Pola-Inti-Plasma. Kemitraan dengan pola Inti- Plasma adalah pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra (Hafsah 2000; Gumbira-Sa’id 2001). Klausul-klausul dalam ikatan perjanjian antara plasma dan inti sebaiknya merupakan hasil pembicaraan kedua pihak hingga tercipta sebuah solusi. Menurut Craig dan Grant (2002), dalam beberapa hal, hubungan kemitraan dirumuskan dalam kontrak tertulis yang memuat sifat dan tanggung jawab hubungan kemitraan.

Dokumen terkait