• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

VI. MODEL EMPIRIS FUNGSI PRODUKSI FRONTIER JAGUNG DAN BAWANG MERAH

6.3.2. Fungsi Produksi Bawang Merah Dataran Tingg

Dengan adanya pemisahan data dataran rendah dengan dataran tinggi, kemampuan model fungsi produksi bawang merah dataran tinggi menjadi meningkat, diindikasikan oleh lebih banyak variabel yang menjadi signifikan, dibanding dengan profil model sebelum dilakukan pemisahan. Variabel benih, obat tanaman, dan variabel tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yang ketika data digabung adalah tidak signifikan, menjadi signifikan setelah data dipisah. Hasil estimasi parameter fungsi produksi bawang merah dataran tinggi disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Hasil Estimasi Parameter Fungsi Produksi Bawang Merah Dataran Tinggi Lahan Kering Lombok Timur, 2011.

Variabel Model 1 Model 2 Parameter estimate Pr > |t| Variance Inflation Parameter Estimate Pr > |t| Variance Inflation Intercept 1.7226 0.0101 0.0000 1.8680 0.0040 0.0000 LnAIR 0.2976 <.0001 1.6616 0.2980 <.0001 1.6731 LnBENIH 0.2290 0.0008 1.4584 0.2310 0.0008 1.4567 LnUREA 0.0484 0.5593 1.3231 0.0404 0.6017 LnOBAT 0.1703 0.0392 1.5791 0.1791 0.0284 LnTKDK 0.1733 0.0669 1.3644 - - 1.1426 LnTKLK 0.1833 0.0011 1.5511 - - 1.5217 LnTK - - - 0.2598 0.0020 1.2411 Model 1 Model 2 Adj R-Sq 0.7565 0.7536 N-Observasi 50 50

Dalam model yang terpilih, variabel tenaga kerja (TK) dipisahkan antara tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dengan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Hal ini sengaja dilakukan untuk mengetahu respon variabel tenaga kerja luar keluarga terhadap produktivitas. Informasi ini penting sehubungan dengan instrumen kebijakan kelak, yang berkaitan dengan biaya tunai usahatani, karena biaya sering kali menjadi kendala pada level petani. Ditambahkan bahwa variabel tenaga kerja yang tidak dipisahkan seperti di atas sudah diperiksa keberadaannya dalam model fungsi produksi, namun hasilnya tidak lebih disukai, terutama karena tidak lebih informatif walaupun statistik lainnya tidak banyak beda antara data

yang dipisah (Model 1) dengan yang tidak dipisah (Model 2) seperti terlihat pada Tabel 23.

Selain keenam input kuantitatif yang dimasukkan dalam fungsi produksi, petani juga menggunakan input lain, seperti herbisida roundup, pupuk organik dan lain lain, namun karena tidak banyak petani yang melakukannya, maka penggunaan input lain tidak dimunculkan sebagai variabel kuantitatif tersendiri. Sebagai gantinya, digunakan variabel kualitatif dummy input lain, yang ternyata pengaruhnya tidak signifikan. Demikian juga dengan variabel dummy yang lain seperti dummy operator (DOPR), dummy status kepemilikan lahan (DSM), dummy pekerjaan lain (DPL), dummy lahan luar skim (DLLS), semuanya tidak siginifikan.

Seperti sudah dikatakan bahwa parameter estimasi fungsi produksi Cobb Douglass langsung menunjukkan elastisitas produksi dari masing-masing input yang bersangkutan, yang dipaparkan lebih rinci pada sesi berikut.

6.4. Elastisitas Input

Pada sesi ini disajikan gambaran peranan air irigasi dalam meningkatkan produksi menggunakan indikator elastisitas produksi dari masing input. Secara relatif, angka ini membandingkan peran masing-masing input yang bersangkutan terhadap perubahan produksi. Dengan mengetahui elastisitas produksi masing- masing input, maka bisa ditentukan input mana yang paling besar mendapatkan respon produksi. Elastisitas produksi dalam kajian ini ditunjukkan langsung oleh nilai parameter estimasi untuk masing-masing variabel, sebagai salah satu keunggulan dari penggunaan model fungsi Cobb Douglass. Hasilnya dirangkum dalam Tabel 24 berikut.

Secara umum, elastisitas produksi untuk masing-masing input dari usahatani jagung, bawang merah dataran rendah dan bawang merah dataran tinggi semuanya bertanda positif kecuali input pupuk urea yang digunakan untuk tanaman bawang merah dataran rendah yang bertanda negatif. Sesuai dengan dugaan awal, peranan air dalam meningkatkan produksi pada usahatani lahan kering mendominasi input lain, baik dilihat dari nilai elastisitas masing-masing input, maupun dilihat dari share elastisitas. Rata rata nilai elastisitas produksi ketiga komoditas yang dikaji

terhadap penggunaan air adalah sebesar 0.3321, tanaman jagung menempati urutan terendah (0.1157), sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh tanaman bawang merah dataran rendah (0.5829).

Tabel 24 Elastisitas Produksi dan Share Elastisitas dari Tanaman Jagung, Bawang Merah Dataran Rendah dan Bawang Merah Dataran Tinggi, Usahatani Lahan Kering Pengguna Air Artesis di Lombok Timur, 2011.

Variabel Elastisitas Jagung BMDR BMDT Rataan LnAIR 0.1157 0.5829 0.2976 0.3321 LnBENIH 0.1617 0.0192 0.2290 0.1366 LnUREA 0.1573 -0.1058 0.0484 0.0333 LnOBAT 0.1811 0.1257 0.1703 0.1590 LnTKDK 0.0976 0.0105 0.1733 0.0938 LnTKLK 0.2492 0.4581 0.1833 0.2969 Total 0.9626 1.0906 1.1019 1.0517 N Obs 59 50 137 246

Sumber: dirangkum dari nilai parameter estimasi fungsi produksi.

Elastisitas produksi dari penggunaan air pada usahatani jagung lebih rendah dari elastisitas produksi dari penggunaan benih, pupuk urea, obat tanaman serta tenaga kerja (Tabel 24). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh air terhadap produksi jagung tidak lebih tinggi dari pengaruh input lain, kecuali tenaga kerja dalam keluarga yang nilai elastisitasnya lebih rendah yaitu 0.0976. Rendahnya elastisitas produksi jagung terhadap air irigasi mengindikasikan bahwa tanaman jagung merupakan tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan, tidak responsif terhadap air. Implikasi praktisnya adalah bahwa penggunaan irigasi air artesis perlu dipertimbangkan agar tidak digunakan untuk usahatani tanaman pangan seperti tanaman jagung. Ide ini perlu dielaborasi lebih lanjut karena ada indikasi bahwa pendapatan yang diperoleh dari usahatani jagung justru lebih tinggi dari pendapatan dari usahatani bawang merah, seperti yang dipaparkan pada Bab V sesi pendapatan responden.

Selanjutnya, untuk usahatani bawang merah, baik bawang merah dataran rendah maupun bawang merah dataran tinggi, pengaruh input air terhadap produksi mendominasi pengaruh input lain, mengggunakan indikator elstisitas produksi. Elastisitas produksi bawang merah dataran rendah terhadap air adalah 0.5829, tertinggi dari semua input yang dimasukkan dalam model. Demikian juga

dengan elastisitas produksi bawang merah dataran tinggi terhadap air, menempati urutan tertinggi (Tabel 23). Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa, penggunaan air akan lebih terasa gunanya kalau yang diusahakan adalah tanaman yang respon terhadap air, seperti tanaman bawang merah.

Mencermati tingginya nilai elastisitas produksi bawang merah dataran rendah terhadap air, sepintas sulit dipahami mengingat sifat tanah dataran rendah yang mengandung lebih banyak pasir. Mestinya penambahan air dengan persentase yang sama akan diikuti oleh persentase peningkatan produksi yang lebih sedikit di lahan dataran rendah dibanding lahan dataran tinggi, karena sebagian air pada lahan dataran rendah mengalir ke bawah (run off). Terlihatnya, pengaruh sifat tanah yang berpasir ini dinetralkan oleh pengaruh kecocokan alam dataran rendah untuk tanaman bawang merah, sehingga menyebabkan nilai elastisitas produksi bawang merah dataran rendah menjadi tinggi. Selain itu, petani mengatasi sifat porositas tanah berpasirnya dengan mengairi tanamannya lebih sering tetapi dalam jumlah yang sedikit per kalinya.

Sebaliknya, elastisitas produksi pupuk urea menempati urutan terendah, rata rata 0.0333 untuk ketiga tanaman yang dikaji, bahkan bertanda negatif untuk tanaman bawang merah dataran rendah. Angka tersebut tidak nyata pada taraf nyata 5 persen ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi tidak responsif terhadap penggunaan urea. Muncul pertanyaan yang menuntut kajian lebih lanjut, jangan jangan rendahnya respon urea terhadap produksi ada kaitannya dengan aplikasi irigasi. Seperti diketahui, pupuk urea memerlukan media larut (air) agar bisa diserap akar tanaman, artinya walaupun dosis pupuk urea ditambah, namun ketidak tersediaan air untuk melarutkannya menyebabkan pupuk urea tersebut tidak bisa diserap akar tanaman, sehingga tidak terjadi kenaikan produksi.

Peranan air tersebut bisa juga diketahui menggunakan indikator share elastisitas. Dalam kajian ini, share elastisitas produksi untuk masing-masing input memiliki pola distribusi yang mirip dengan sebaran nilai elastisitas produksi input yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan oleh total nilai elastisitas produksi yang berkisar sekitar satu, sedangkan share elastisitas dihitung dengan membagikan elastisitas masing-masing input dengan total nilai elastisitas, sehingga kalau nilai

share masing-masing input tersebut ditotalkan maka besarnya dalah satu, mendekati total nilai elastisitas masing-masing input dalam model yang dikaji ini. Karena itu sebaran angka elastisitas produksi memiliki banyak kesamaan dengan sebaran angka share elastisitas produksi.

Sebagaimana sudah diutarakan bahwa total nilai elastisitas produksi mengindikasikan skala usaha (return to scale): lebih besar, sama dengan atau lebih kecil dari satu, berturut turut mengindikasikan skala usaha yang menaik, tetap dan turun. Dalam kajian ini, total nilai elastisitas produksi tanaman jagung adalah lebih kecil dari satu, berarti usaha tersebut berada pada skala usaha dengan kenaikan hasil yang menurun, artinya kalau penggunaan semua input produksi dinaikan secara proporsional, maka akan diikuti oleh kenaikan produksi yang makin berkurang, bahkan negatif. Hal ini didukung oleh hasil kajian parsial dari penggunaan input air menggunakan pendekatan efisiensi skala, dimana terdapat 23 dari 137 responden penggunaan airnya melampaui (penggunaan lebih) penggunaan optimum (Tabel 26), artinya 23 responden tersebut beroperasi pada daerah III fungsi produksi klasik, dicirikan oleh tidak lagi terjadi kenaikan produksi walaupun dilakukan penambahan penggunaan input (kenaikan hasil berkurang).

Kajian ini juga memperkuat pernyataan bahwa tanaman yang berbeda memberikan respon yang berbeda atas air yang diberikan kepada tanaman tersebut. Dalam kajian ini, bawang merah lebih responsif atas penggunaan air dibanding dengan jagung, menggunakan indikator elastisitas produksi. Ini berimplikasi pada perlunya dilakukan pemilihan jenis tanaman yang diusahakan menggunakan irigasi air pompa, agar diperoleh hasil yang lebih tinggi.

Sebagai intisari, paparan pada sesi ini menggambarkan besarnya pengaruh irigasi terhadap peningkatan produksi, yaitu bahwa secara rata rata air mempunyai pengaruh yang lebih besar dari input lainnya. Temuan ini sekaligus menjawab pertanyaan apakah petani memerlukan air suplesi untuk penyelenggaraan usahatani di lahan kering? Jawabannya adalah perlu. Setidaknya ada tiga alasan yang diramu berdasarkan kajian yang dilakukan: (1) nilai elastisitas produksi tanaman terhadap input air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang nilai elastisitas yang dimiliki input lain, seperti yang baru saja dipaparkan di atas;

selain magnitudenya yang relatif lebih besar dibanding dengan input lain, tanda elstisitas produksi yang dimaksud adalah positif, artinya penambahan penggunaan input air akan diikuti oleh peningkatan produktivitas tanaman baik usahatani jagung maupun usahatani bawang merah; dengan kata lain, input air lebih elastis dibanding input benih, urea, obat tanaman dan tenaga kerja; (2) dengan adanya irigasi air suplesi tersebut, terjadi peningkatan intensitas pertanaman dari 100 persen menjadi 261 persen per tahun, bahkan berpotensi untuk mencapai 400 persen per tahun, jika dianggap tidak ada kendala biaya dan kendala lainnya, sehingga semua petani mampu menggunakan semua lahan yang dikuasainya untuk bercocok tanam dengan frekuensi empat kali setahun; Pemikiran intensitas penggunaan tanah 400 persen per tahun perlu dielaborasi lebih lanjut memasukkan pertimbangan degradasi kesuburan tanah karena tingkat penggunaan

tersebut mungkin „over loading’. Bahwa petani mengalami kendala biaya dalam penyelenggaraan usahatani, diindikasikan oleh tingkat penggunaan air yang rendah ditilik dari efisiensi skala, artinya, dalam kondisi dana dan informasi tersedia dengan cukup, petani berpotensi meningkatkan produksi dengan menaikan volume air yang digunakan. Mengetahui tingkat ekonomi rumahtangga petani yang diteliti lemah, didukung oleh profil rumahtangga dan kehidupan mereka yang sederhana, maka cukup dasar untuk menyimpulkan bahwa petani mengalami kendala biaya dalam memanfaatkan air. Hal ini tidak sama artinya dengan pernyataan bahwa air pompa tidak bermanfaat; (3) Pada tahun 2004, petani yang mengusahakan lahan dalam skim pompa, melakukan protes dan demonstrasi ke kantor Kimpraswil Nusa Tenggara Barat agar pemerintah daerah membatalkan rencananya untuk menghentikan proyek air tanah; hal ini searah dan ditunjukkan juga oleh sikap antusias petani yang terlihat dari cara penyambutan positif mereka pada saat kedatangan petugas dan peneliti air tanah, suatu keadaan yang mencerminkan bahwa petani mendapatkan manfaat dari proyek tersebut.

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa irigasi pompa air artesis adalah bermanfaat sebagai sumber utama air suplesi bagi petani lahan kering di kawasan yang diteliti, dan sumur pompa itu sudah dibangun di Pulau Lombok secara bertahap sejak tahun 1991 dan masih berlangsung hingga sekarang. Pemikiran

selanjutnya adalah bagaimana tingkat efisiensi penggunaan air irigasi tersebut, dan jika rendah, maka bagaimana cara meningkatkannya. Untuk itu perlu dikaji efisiensi irigasi sebagaimana dilakukan pada Bab VII berikut ini.

VII.

EFISIENSI IRIGASI DAN SUMBER EFISIENSI

Dokumen terkait