Ketentuan yang mengatur tentang fungsi dan sifat hak cipta tertuang dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Hak cipta yang berbunyi “Hak cipta merupakan hak esklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Arti hak khusus disini adalah bahwa hanya pencipta atau penerima hak ciptalah yang berhak memperbanyak atau mengumumkan dan memberi ijin untuk itu kepada orang lain. Hak khusus semacam ini disebut dengan hak ekonomi. Hak khusus bersifat ekonomi berarti bahwa pencipta dapat
12 Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, Ctk. Pertama, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990, hlm.7
melaksanakan sendiri hak-hak ekonomi atas karya ciptanya dan dapat melarang orang lain menikmati hak ekonomi atas karya ciptanya tanpa ijin tertulis dari penciptanya.
Pembatasan-pembatasan bagi hak khusus tersebut merupakan konsekuensi dari hak cipta sebagai hak milik perorangan. Dengan adanya pembatasan ini dimaksudnya agar hak cipta yang dimiliki oleh pencipta maupun pemegang hak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas dalam batas-batas dan syarat-syarat tertentu, juga untuk memberikan lisensi kepada pihak lain.
Sekiranya Negara memandang perlu atau menilai bahwa suatu ciptaan sangat penting bagi kehidupan masyarakat, maka Negara dapat mewajibkan kepada pemegang hak cipta untuk memberikan ijin kepada pihak lain untuk menterjemahkan atau memperbanyak ciptaannya di dalam wilayah Negara Republik Indonesia disertai dengan imbalan yang wajar. Hal demikian dikenal sebagai Compulsory Licensing. Dengan titik tolak pemikiran itu, maka perwujudan fungsi social tidak semata-mata bersifat normal tetapi dalam lebih operasional dan subtantif.13
Sedangkan mengenai sifat dari hak cipta dapat dilihat dalam Pasal 3 UU Hak Cipta, yang di dalamnya menyatakan bahwa Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, dengan demikian terhadapnya dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian. Hak cipta dapat beralih dengan cara :
1. Pewarisan
13 Ibid. hlm.63
Dalam hal meninggal atau salah seorang dari beberapa orang yang bersama-sama menciptakan suatu karya ciptaan,hasil ciptaannya menjadi milik ahli warisnya.
2. Hibah
Pencipta dapat menghibahkan hasil karya ciptaannya kepada penerima hibah dan harus dibuat dengan akta dibawah tangan atau akta otentik dihadapan notaries.
3. Wasiat
Wasiat dalam hal ini adalah suatu akta yang memuat pernyataan pencipta tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan olehnya dapat dicabut kembali.
4. Dijadikan milik Negara
Hak cipta dapat menjadi milik Negara dengan syarat yang telah diatur dalam Pasal 11 UU Hak Cipta, yaitu :
a. Jika suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
b. Jika suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, penerbit memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
c. Jika suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya dan/atu penerbitnya, Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut
untuk kepentingan penciptanya.
Selain yang tersebut diatas, persyaratan lainnya yaitu :
a. Pencipta suatu ciptaan meninggal dunia, tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta kekayaannya berupa hak cipta menjadi milik Negara b. Apabila pencipta telah berwasiat atau menulis surat wasiat bahwa
ciptaannya akan diserahkan pada Negara.
5. Perjanjian yang harus dilakukan dengan akta
Dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta itu. Perjanjian atau pengalihan hak cipta baik itu untuk sebagian ataupun seluruhnya, maka segala sesuatunya haruslah cermat dan jelas seperti yang tertuang dalam akta perjanjian itu (bisa dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan, tidak dapat secara lisan).14
Hal tersebut dimaksudkan agar mencapai kepastian bila terjadi pelanggaran atas suatu ciptaan. Perjanjian ini harus dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami oleh kedua belah pihak, agar jangan sampai diinterprestasikan lain. Dengan demikian perjanjian itu harus jelas mengenai wewenang, yang diberikan dan jangan sampai dikemudian hari terjadi perselisihan kedua belah pihak.
Hak cipta tidak dapat dialihkan secara lisan, mereka itulah yang disebut penerima hak, yaitu menerima warisan, hibah, wasiat, Negara serta mereka yang menerima wewenang melalui perjanjian dengan akta otentik atau akta di bawah tangan.Hak cipta sebagai hak tunggal pencipta atas ciptaannya
14 H. Rooseno, Mengenal Hak Cipta Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.23
dapat dialihkan dengan ijin penciptanya kepada pihak lain untuk melaksanakan dan memanfaatkan ciptaannya, misalnya mengumumkan dan memperbanyak ciptaan itu dalam bentuk apapun dan cara apapun.
Salah satu cara lain dalam pengalihan Hak cipta adalah dengan cara menjualnya. Contohnya yaitu seorang penulis mengalihkan hak ciptanya (copyright) kepada penerbit, yang kemudian penerbit mensuplay (segi teknis dan kewirausahaan) menyebarluaskan buku tersebut ke pasar. Hal ini sama dengan penulis lagu yang juga mengalihkan Hak cipta dalam bentuk musical work-nya kepada sebuah recording company.
Terhadap pengalihan hak ini, Undang-undang hak cipta memberikan khusus (Pasal 26 UU Hak Cipta), yaitu :
1. Hak cipta atas suatu ciptaan tetap berada di tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh hak cipta dari pencipta itu.
2. Hak cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
3. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli hak cipta yang sama atas suatu ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh hak cipta itu.
Hal ini berarti bahwa pembelian hasil ciptaan tidak berarti hak cipta dari ciptaan tersebut berpindah kepada pembeli (transferred), akan tetapi Hak cipta atas suatu ciptaan tersebut tetap ada di tangan penciptanya. Misalnya kaset, buku, dan lukisan. Penekanan dalam pasal 26 ini kepada perlindungan
hak moral atas hak cipta yang telah dialihkan kepada pencipta, karena bagaimanapun juga suatu karya cipta (ciptaan) melekat dengan penciptanya.15