BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. Fungsi Pajak
Secara umum pajak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi anggaran (sumber keuangan negara) dan fungsi mengatur. (Siti Resmi, 2014;3)
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), PajAK Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang Mewah (PPnBM),
2. Fungsi mengatur (Regularend)
Artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Selain mengemban fungsi penerimaan negara, pajak juga berfungsi sebagai alat kebijakan ekonomi-politik yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat.
Sistem pemungutan pajak yang baik, aturan perpajakan yang adil dan dukungan aparatur yang profesional adalah pilar agar pajak sebagai alat redtribusi pendapatan berdaya guna. Pajak yang dikelola dan dipertanggung jawabkan
dengan baik merupakan sarana menuju kebaikan dan kesejahteraan bersama.
E. Jenis-Jeni Pajak
Terdapat perbedaan atau penggolongan jenis-jenis pajak yang didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak, apakah beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, siapa yang memungut, serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Menurut Resmi (2017:
7), membagi Jenis-jenis pajak menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu sebagai berikut:
1) Menurut Golongannya
a) Pajak Langsung adalah pajak yang harus dipikul dan ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan dan dibebabankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b) Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pada akhirnya dibebankan atau dilimpahkan kepada orang atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat sesuatu kegiatan, prestiwa, atau pembuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa.
Contoh Pajak Perambahan Nilai (PPn).
2) Menurut Sifatnya
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Pajak Subjektif, pajak yang penggenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keaadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b) Pajak Objektif adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan objeknya baik berupa benda keadaanya, perbuatan, atau prestiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tingal.
3) Menurut Pemungutan
a) Pajak Pusat (Pajak Negara)
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN (PBB).
b) Pajak Daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan dikelolah oleh Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda). Hasil penerimaannya masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
F. Syarat –syarat Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016: 4-5) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Keadilan, dimana pemungutan pajak harus adil, sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan maka Undang-undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus adil, dengan memperhatikan Kondisi-kondisi tertentu.
b. Syarat Yuridis, dimana pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang untuk memberikan jaminan hukum dan menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warga negara. Selanjutnya dalam GBHN 1998 disebutkan bahwa “Semua jenis pemungutan pajak harus didasarkan pada peraturan Perundang-undangan“.
c. Syarat Ekonomis Pemungutan tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, dan jangan sampai menghalang-halangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan serta tidak merugikan kepentingan umum.
d. Syarat Efisien. Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Syarat Sederhana Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sehingga akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
G. Teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak
Untuk mendapat pembenaran pemungutan Pajak, beberapa teori berikut ini memberikan dasar menyatakan suatu keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dan rakyatnya yang termaksud dalam asas-asas menurut falsafah hukum yakni: i. Teori Asuransi ii. Teori Kepentingan iii. Teori Bakti atau Teori Kewajiban Pajak Mutlak iv. Teori Gaya Pikul v. Teori Gaya Pikul (Santoso, 1995:30-36), dan vi. Teori Pembangunan (Bathia, 1983 dan Nurmantu, 1994).
a. Teori asuransi
Menurut teori ini, salah satu tugas Negara adalah memberikan perlindungan kepada rakyatnya atas keselamatan jiwa dan hartanya dengan cara menjaga ketertiban dan keamanan.
b. Teori kepentingan
Teori ini mengatakan bahwa negara dan rakyatnya saling memiliki kepentingan. Rakyat membutuhkan negara sebagai pengayoman, pelindung, dan pengatur.
c. Teori daya pikul
Definisi Gaya Pikul merupakan besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhannya yang primer.
d. Teori Bakti atau Teori kewajiban Pajak Mutlak
Teori ini disebut juga teori pengorbanan (absolute belasting plicht) yang berlandaskan asas negara bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Individu-individu tidaklah mungkin berdiri sendiri tanpa adanya masyarakat tidaklah ada individu.
e. Teori Gaya Beli
Esensi justifikasi teori ini adalah bahwa pemungutan pajak hanya melihat kepada efeknya yang positif untuk kecukupan penerimaan Negara untuk membiayai pengeluaran umum negara, dan efek yang baik itulah sebagai dasar keadilan.
f. Teori Pembangunan
H.L Bathia dalam buku Public Finance, a Contemporary Apllication of Theory and Policy (Chicago: The Drayden Press, 1993) mengemukakan, bahwa pemungutan pajak seharusnya juga berpegang kepada Asas-asas Pembangunan, menghilangkan perbedaan-perbedaan dan kemajuan daerah.
H. Asas Pemungutan Pajak
Adam Smith menerbitkan bukunya yang sangat terkenal dengan nama: “An inquiry in to the nature and cause of the wealth of Nations”. Dalam buku tersebut Adam Smith mengemukakan bahwa pemungutan pajak hendaklah didasarkan atas 4 (empat) prinsip yang disebut dengan “Four comman of taxation” atau “The four maxims” yaitu:
1. Asas kesamaan atau keadilan (Equality)
Pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi atau subjek pajak sebanding dengan kemampuan untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut dan juga seimbang dengan manfaat atau penghasilan yang diterima atau dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah.
2. Asas kepastian (Certainty)
Pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenangnya yang dimaksudkan supaya pajak itu harus jelas bagi semua Wajib Pajak dan seluruh masyarakat dan pasti tidak dapat ditawar-tawar atau dimulur-mulur. Kepastian tersebut berarti:
a) Harus pasti-pasti, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak (Subjek Pajak).
b) Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengemukakan pajak kepada subjek pajak (Objek Pajak).
c) Harus pasti berupa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan tarif pajak (Tarif Pajak).
d) Harus pasti, bagaimana jumlah pajak yang terhutang tersebut harus dibayar (Prosedur Pajak).
3. Asas kenyamanan (Convenience)
Hendaknya memperhatikan saat-saat yang menyenangkan atau memudahkan Wajib Pajak. Contohnya: bagi petani sesudah menuai padinya, bagi karyawan setelah menerima gajinya atau penghasilan lain (bunga deposito, bonus, deviden, dan sebagainya).
4. Asas ekonomis (Economy)
Dalam melaksanakan pememungutan pajak, biaya pemungutan bagi kantor pajak dan biaya memenuhi pajak (Complience Cost). Bagi Wajib Pajak hendaklah sehemat mungkin jangan sampai biaya-biaya memungut pajak lebih besar dari pada pajak yang dipungut.
I. Tata Cara Pemungutan Pajak
Menurut Siti Resmi (2014:8), tata cara pemungutan pajak terdiri atas:
1) Stesel Pajak
Pemungutan pajk dapat dilakukan 3 (tiga) stesel yaitu:
a) Stesel Nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya harus dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni stelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
b) Stesel Anggapan (fictieve stelse) yang diatur oleh undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama setahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun.
Sedangkan kekurangannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c) Stelsel campuran. Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihutang berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya diminta kembali.
2) Sistem Pemungutan Pajak
Hingga saat ini ada 3 (tiga) sistem yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak.
a) Official Assesment Syestem
Sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
b) Self Assesment Syestem
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib
pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuranyang tinggi, serta menyadari akan hal arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1) Menghitung sendiri pajak yang terutang;
2) Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;
3) Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;
4) Melaporkan sendiri pajak yang terutang;
5) Mempertanggung jawabkan pajak yang terutang;
Berhasil atau tidaknya pelaksanan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak itu sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).
Sistem self assessment mulai diaplikasikan dengan reformasi perpajakan tahun 1993 setelah terbitnya undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984.
3) With Holding Syestem
Sistem pemunguta pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penujuk pihak
ketiga ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.
With Holding Syestem tercermin terhadap pelaksanaan pengenaan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Contohnya adalah pemotongan pajak penghasilan pasal 21 dan pajak penghasilan pasal 23 oleh pihak lain, pemungutan pajak penghasilan pasal 22 dan pajak pertambahan nilai.
Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan secara terintegrasi pada sistem pemungutan pajak di Indonesia. Self assessment system berlaku ketiga wajib pajak melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya (menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang). Pada saat yang bersamaan, jika posisi wajib pajak adalah pemungut atau pemotong karena kedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang berwenang memungut pajak, with holding tax system juga digunakan. Sedangkan official assesment system berlaku ketika fiskus melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atas laporan wajib pajak.
4) Asas Pemungutan Pajak
Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu:
a) Asas domisili atau tempat tinggal
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
b) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c) Asas kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan atau kebangsaan suatu Negara.
J. Pengertian Wajib Pajak
Wajib pajak merupakan peranan yang sangat penting dalam pembiayaan pembangunan, dimana Wajib Pajak merupakan bagian dari penerimaan pajak tersebut. Dengan kata lain tidak akan ada pajak apabila tidak ada Wajib Pajak.
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, yang termasuk pembayar
pajak, pemungut pajak dan pemotong pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan dan peraturan Perundang-undangan perpajakan. Undang-undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Wajib Pajak yaitu “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, yang meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
K. Dasar Hukum Penerimaan Pajak
Peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU No. 7 Tahun 1983, yang telah disempurnakan dengan UU No. 7 Tahun 1991, kemudian UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000, dan UU No. 36 Tahun 2008. Di lihat dari laju pembangunan nasional yang telah tercapai, sistem perpajakan di Indonesia yang lama sudah tidak sesuai dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
L. Pajak Penghasilan (PPh)
1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara lain penghasilan dari gaji,
penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadia, dan penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya dalam 1 (satu) tahun pajak.
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan merupakan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang pajak penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan merupakan pengganti UU Pajak Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU PBDR 1970.
Adapun pendapat menurut para ahli tentang pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Menurut Suandy (2006: 81)
Pajak penghasilan merupakan pungutan pajak yang dibebankan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang didapatkan atau diperoleh dalam priode tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam priode tahun pajak.
b. Menurut Subeki dan Asrori (Dalam Liswatin, 200 :40) pengertian Pajak Penghasilan merupakan pajak yang
dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun.
c. Menurut Mardiasmo (2011:135) Undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehannya dalam tahun pajak.
2. Subjek Pajak Dan Wajib Pajak
dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1983 Dijelaskan tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, bahwa pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap Orang Pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak, yang menjadi subjek pajak antar lain:
1. Orang pribadi.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
2. Badan
Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apa pun firma, kongsi, koperasi, dana
pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu:
1) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
2) Orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Bealanja Daerah.
3) Penerimaanya dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
2. Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, dalam hal ini setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib Pajak, meliputi penghasilan yang didapat dari dalam Indonesia maupun dari luar negeri, yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam bentuk apapun.
4. Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:9) ada 4 (empat) macam tarif pajak:
a) Tarif sebanding /proposional
Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap beberapapun jumlah yang dikenal pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak.
Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
b) Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun.
c) Tarif progresif
Presentasi tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikena pajak semakin besar.
Contoh: Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam.
Table 2.1
Tarif Pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri
No Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
1 Sampai dengan Rp.50.000.000,00 5%
2 Diatas Rp.50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000 15%
3 Diatas Rp.250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000 25%
4 Diatas Rp.500.000.000,00 30%
Sumber Mardiasmo, 2011
Menurut kenaikan presentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
a) Tarif progresif progresif : kenaikan presentase semakin besar
b) Tarif progresif tetap : kenaikan presentase tetap
c) Tarif progresif degresif : kenaikan presentase semakin kecil
d) Tarif degresif
Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
M. Orang Pribadi
Menurut Muda Maurs dan Lalu Hendry Yujana (2002 20-21) Pengertian orang pribadi adalah sebagai berikut: “Orang pribadi merupakan manusia yang terdiri dari daerah jadi, yang dimaksud dengan orang pribadi adalah manusia yang masih hidup. Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
Pengertian orang pribadi tidak merujuk pada usia kewarganegaraan, kedudukan, pekerjaan tempat tinggal.
Dengan demikian, yang dimaksud orang pribadi itu mulai dari bayi lahir sampai orang tua yang bermukim di Indonesia maupun di luar Indonesia.
N. Tujuan empiris
Sebelum penulis melakukan penelitian, penulis mempelajari dan membaca penelitian terlebih terdahulu yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya untuk menjaga keaslian penelitian, maka dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian-penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2
Ringkasan Penelitian Terdahulu No NAMA
Peneliti/Tahun
Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Yunita Wahyu
Secara Persial Efektivitas Sosialisasi Perpajakan dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap Realisasi Penerimaan Pajak
Secara Persial Kesadaran Wajib Pajak dan Kegiatan Sosialisasi Perpajakan berpengaruh terhadap
Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi.
Pajak dan Jumlah Pajak dan Jumlah Wajib Pajak Terdaftar tidak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak Penghailan Orang Pribadi.
Secara Persial Kesadaran Wajib Pajak berpengaruh secara negative terhadap
penerimaan pajak
penghasilan, sedangkan Kegiatan Sosialisasi Perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan pajak
penghasilan, dan
Pemeriksaan Pajak
berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Secara Simultan Kesadaran Wajib Pajak, Kegiatan Sosialisasi Perpajakan dan Pemeriksaan Pajak Secara Bersama-sama berpengaruh terhadap
penerimaan pajak
penghasilan.
4 Junardi dkk (2014)
Pengaruh
Kepatuhan Wajib Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Terhadap
Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi di KKP Pratama Makassar Utara.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan Surat Ketetapan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di KKP Pratama Makkasar Utara
5 Pajak di KKP Pratama Malang Selatan tahun 2012 termasuk dalam kriteria tidak efektif, 2013 termasuk dalam kriteria sangat efektif, 2014 termasuk dalam kriteria sangat efektif, dan tahun 21015 termasuk dalam kriteria. Faktor-faktor
yang mempengaruhi
efektivitas pemeriksaan pajak antara lain sikap Wajib Pajak.
Petugas pemeriksaan, waktu pemeriksaan yang singkat psikologis Wajib Pajak, fasilitas kantor, komunikasi, serta dukungan dari pimpinan dan kerjasama yang baik antar bagian.
Sang 21 yang dilaporkan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan 21 pada Kantor Pelayanan Pajak Surakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah WP OP terdaftar setiap tahunya di KKP Pratama Kapanjen. Melalui sumbangan yang diberikan oleh penerima dari WP OP Baru maka kontribusinya dapat diukur kontribusi yang ditunjukkan dari penerimaan PPh OP Baru pada total penerimaan PPh OP dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2012-2015) masih tergolong sangat kurang yaitu dengan rata-rata kontribusi 7,05%.
O. Kerangka Pikir
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk negara bagi sebesar-besarnya rakyat.
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk negara bagi sebesar-besarnya rakyat.