• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB

B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita

1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis

a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta

Penderitaan dapat menjadi sarana yang dipakai Allah untuk membuat manusia lebih dekat dan lebih mengenal Dia. Arus globalisasi saat ini semakin menyeret banyak orang terperosok ke dalam berbagai macam godaan yang menghantarkan manusia kepada kesengsaraan. Manusia adalah makhluk lemah yang mudah tergoda untuk jatuh dalam dosa. Namun, tidak jarang orang tidak menyadari kesalahan yang dilakukan, bahkan ada yang menyalahkan Allah, menantang Tuhan “kalau memang Tuhan sayang padaku, aku ingin Tuhan memperlihatkan mujizatnya kepadaku saat ini juga”, ada juga yang menanyakan keberadaan Tuhan “di mana Tuhan, saat bahaya menimpaku?”. inilah sisi dari kelemahan dan keterbatasan manusia.

Banyak sekali permasalahan yang terjadi dalam hidup manusia, dan penderitaan itu memang tidak dapat lepas dari peradaban hidup manusia. Ada penderitaan yang terjadi akibat orang lain, demi orang lain, karena diri sendiri, penyakit menular dan bencana alam. Tidak hanya manusia yang menderita, Allah juga menderita. Penderitaan Allah tampak jelas pada saat anak-Nya yang tunggal yakni Yesus Kristus wafat di kayu salib . Namun, penderitaan Allah ini memiliki Tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dosa. hal ini merupakan bentuk cinta-Nya kepada kita manusia. Kasih Allah [Bapa] kepada manusia [anak-Nya] tidak pernah berkesudahan. Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan yang tidak berarti, artinya walaupun seseorang menderita, ada makna yang tersirat dibalik penderitaannya itu terutama demi kedewasaan umat beriman, bagaimana mereka dapat melihat penderitaan tersebut sebagai rahmat dari Allah. Menyambut rahmat Allah dapat membebaskan kita dengan dorongan kuat untuk mendewasakan diri dari beban berat yang ditimbulkan oleh penderitaan (Van Breemen, 2000)

b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia

Gereja mempunyai tugas penting dalam menanggapi penderitaan yang terjadi di dunia. Untuk memahami sikap Gereja terhadap penderitaan dan mereka yang menderita, perlu dilihat dalam konteks asal usul Gereja sebagai seluruh peristiwa hidup Yesus: keprihatinan-Nya terutama berkaitan dengan Kerajaan Allah, kesadaran-Nya tentang peranan-Nya sendiri dalam perwujudan Kerajaan Allah, tindakan-tindakan-Nya, relasi-relasi-Nya dengan orang –orang pada jamannya, permasalahan yang dialaminya, dan akhirnya sampai pada apa yang disaksikan oleh para murid-Nya tentang kebangkitan-Nya.

Di dalam peristiwa Paskah, Yesus adalah realisasi dari Kerajaan Allah itu sendiri. Tuhan Yesus telah memulai Gereja-Nya dengan mewartakan Kabar Gembira yaitu tentang Kerajaan Allah. Peristiwa paskah melahirkan Gereja sebagai umat Allah dalam Kristus yang merupakan peristiwa dari penyerahan total Kristus (Wibowo Ardhi, 1993: 3).

Kerajaan Allah adalah suasana atau lingkup di mana Allah secara efektif menjadi yang paling menentukan hidup manusia dalam relasinya dengan sesamanya maupun dalam hidupnya sendiri. Kerajaan Allah mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri, sesama, dan Allah. Bagi Yesus, Kerajaan Allah adalah hal yang sangat penting dalam dunia. Yesus sendiri prihatin melihat situasi penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan bentuk kejahatan- kejahatan lainnya yang dialami oleh umat manusia. Penderitaan yang terjadi pada manusia bukan karena Allah, tetapi karena sikap manusia yang terlalu keras, egois, dan serakah. kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia menimbulkan keprihatinan bagi Allah, sehingga dengan kemahakuasaan-Nya, Allah mengutus putera-Nya Yesus Kristus untuk lahir ke dunia, menjelma sebagai manusia, dan menyelamatkan manusia melalui pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Yesus sendiri mempunyai pikiran bahwa dunia ini akan damai jika Allah meraja dalam hati seluruh umat manusia (Wibowo Ardhi, 1993: 3).

2. Gagasan dan Sikap yang Perlu Ditumbuhkan dalam Diri Peserta

a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat

Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan

Dalam upaya memahami arti dari penderitaan, maka dituntut suatu pemahaman manusia yang jernih mengenai hidup dan mengenai Allah. Karena

berhadapan dengan realitas kehidupan, sangat erat hubungannya dengan pertanyaan mengenai arti, maksud, dan tujuan hidup ini.

Dalam dunia ini, manusia mempertanyakan apa arti, maksud dan tujuan hidupnya. Di satu sisi, manusia mempunyai keinginginan akan: kesenangan, kebahagiaan, dan akan sesuatu yang lain. Namun disisi lain, manusia memiliki keterbatasan. Seandainya “ada sesuatu yang dicari”, apakah itu? Siapakah itu? Hidup bukan sesuatu yang dipahami, tetapi harus dijalani. Manusia lahir ke dunia, dari masa kanak-kanak menjadi tumbuh besar dan belajar. Dalam usaha mencapai keberhasilan, tidak jarang manusia mengalami kegagalan. Akhirnya, manusia menyadari dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan lemah: terancam dapat mengalami sakit, menderita dan berujung kematian. Hidup adalah realitas yang perlu dijalani, tidaknya direnungkan saja.

Penderitaan dan kebahagiaan merupakan bagian dari kehidupan manusia. oleh karena hal itu, manusia harus memiliki sikap yang tepat dalam menghadapinya. Apakah penderitaan manusia merupakan akhir dari segalanya? Tentu saja tidak, Allah tidak pernah menghendaki manusia menyerah pada penderitaan. Manusia yang menderita harus menyadari bahwa ada tujuan yang lain yang menjadi tujuan hidupnya, tentu saja hal itu adalah sesuatu yang lebih bermakna. Hidup di dunia ini dapat menjadi lahan bagi manusia untuk lebih mengenal dirinya, sesama dan Allah lewat penderitaan, kebahagiaan, kesuksesan, kegagalan, dst. Makna hidup, perlu dicari dari pengalaman-pengalaman hidup.

b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup

Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam penderitaan. Kalau realitas penderitaan senantiasa mengiringi kehidupan manusia, maka pertanyaan

yang mendasar adalah bagaimana sebaiknya sikap manusia terhadap realitas penderitaan? Menyerah atau menerima saja kenyataan yang tidak dapat dihindari? Atau bahkan mengajukan protes, memberontak atau menggugat hal tersebut?

Pada hakikatnya, pengalaman penderitaan itu tampak begitu kejam sehingga sukar untuk diterima, terlebih jika penderitaan yang menimpa orang itu kurang adil dan tidak pada tempatnya, apalagi jika tidak dapat dipahami secara rasional.

Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap penderitaan. Mengutip ucapan Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai hal berhadapan dengan penderitaan: “…’penderitaan agaknya secara khusus bersifat hakiki bagi kodrat manusia…,justru karena hal itu, menampakkan dengan caranya sendiri mengatasinya… “ (SD art 2). Penulis menangapi maksud pernyataan itu; setiap penderitaan manusia dapat diatasi dengan caranya sendiri, karena di dunia ini tidak ada masalah tanpa solusi, semua tergantung pada pribadi, sanggup atau tidak menerima segala konsekuensi yang akan terjadi sesudahnya.

Suatu ketika orang akan sampai pada pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan makna hidup manusia. Pertanyaan tentang hidup manusia dengan segala permasalahannya yang kompleks sebagai realitas dari peristiwa hidup. Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap penderitaan. Namun ternyata kesusahan menciptakan pemberontakan. Manusia tidak menghendaki pengalaman menderita, kalau saja bisa dilakukan, manusia akan membuang itu jauh-jauh. Tetapi, itu adalah tindakan yang sia-sia. Manusia berhadapan dengan kegagalan, kekosongan dan frustasi.

Sikap yang tepat adalah menyadari diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan, menyerahkan diri secara penuh kepada kehendak Tuhan (Tuhan yang mengatur, Tuhan yang memberi dan Tuhanlah yang mengambil),

artinya menerima bahwa apapun yang terjadi kepada manusia (pengalaman menyenangkan atau menyedihkan) adalah kehendak Tuhan. Sikap lain yang dapat dilakukan adalah menerima bahwa penderitaan merupakan bagian dari hidup manusia. Dalam hal ini perlawanan tetap mengambil peran dalam proses penyerahan, tetapi dalam artian perlawanan itu dapat membebaskan dan menyelamatkan oleh iman manusia akan Allah.

c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja