• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar dari Kitab Ayub menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Belajar dari Kitab Ayub menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP)"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

i

BELAJAR DARI KITAB AYUB:

MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL

SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Christine Yossy Meinarty

NIM: 081124016

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Sebagai wujud refleksi pribadi,

Saya persembahkan skripsi ini kepada

Seluruh keluarga besar saya, sahabat-sahabat saya, serta semua orang yang

mencari makna-makna penderitaan dalam hidupnya.

Secara istimewa kepada:

Tuhan yang Maha Cinta

Kedua orang tua yang sangat saya cinta: Bpk Sabianus S.Pd., M.Si & Ibu

Erminawati yang selalu mendoakan saya dan membesarkan saya dengan penuh

kasih sayang,

Adik-adik saya: Christian Dwi Fernando & Christy Tri Suhendro yang selalu

menghadirkan keceriaan dalam hidup saya

Teman dekat saya: Edy Pratomo S.Kep yang sabar mendengarkan keluh kesah

saya, dan juga tidak lelah memberikan dukungan kepada saya untuk

(5)

v MOTTO

Bukan kematian atau penderitaan yang harus ditakuti, melainkan rasa takut pada

penderitaan atau kematian itu sendiri.

Bukan apa yang terjadi pada anda, yang paling penting adalah bagaimana anda

bereaksi terhadap hal itu.

(Epictetus)

“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku

akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,

terpujilah nama Tuhan!”

(Ayub 1: 21)

Kemuliaan kita yang terbesar adalah bukan karena tidak pernah jatuh, tapi karena

bangun setiap kali kita jatuh

(Konfucius)

Jika anda mencintai sampai sakit, anda tidak akan menemukan luka lagi, hanya

ada cinta yang lebih. Jika anda tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah

makan satu orang saja

(Bunda Theresa)

Kebebasan adalah hak untuk hidup seperti yang kita inginkan

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Realitas penderitaan adalah pengalaman yang dekat dengan hidup manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia. oleh karena itu, manusia selalu mencari dan menemukan cara yang tepat untuk menanggapinya. Salah satunya adalah dengan cara memaknainya.

Usaha dalam memaknai penderitaan bukan hanya merupakan usaha untuk menyikapi penderitaan saja, tetapi juga untuk mengasah/mengembangkan kedewasaan iman kita dalam menanggapi atau menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidup kita secara lebih baik. Bertitik tolak dari hal tersebut, skripsi yang berjudul “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN

PRAXIS (SCP)” dapat dimanfaatkan sebagai salah satu usaha manusia sekarang

untuk bersikap dewasa dalam menanggapi permasalahan hidup, baik yang terjadi pada orang lain maupun diri sendiri, dalam artian manusia dapat membebaskan diri dari belenggu yang disebabkan oleh pengalaman penderitaan.

Ada tiga permasalahan yang hendak penulis kaji dalam penulisan skripsi ini. Pertama, bagaimana penderitaan dimaknai dalam Kitab Ayub? Kedua, bagaimana pengaplikasian makna penderitaan manusia dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)? Permasalahan ketiga, bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis dapat diterapkan dalam konteks actual kita?

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tadi, Kitab Ayub menjadi sumber utama refleksi ini. Mengapa? Karena Kitab Ayub sangat luas berbicara tentang tema penderitaan manusia yang hendak kita maknai, dan kita dapat belajar dari kitab penderitaan tersebut. Untuk memperkaya studi pustaka tersebut, terutama yang menyangkut Kitab Ayub, penderitaan manusia, dan katekese pembebasan, usaha tadi dapat menjadi landasan bagi katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai tindak lanjut.

(9)

ix ABSTRACT

A man is very close with the experience of misery. Since, it is a part of human being; a man cannot be separated from it. A man even always tries to find the right way in order to understand the meaning of it.

In the terms of understanding it, a man does not only try to face it but also attempt to develop the maturity in his faith or strive to solve his problem wisely. Considering this issue, this thesis, “BELAJAR DARI KITAB AYUB:

MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” can be used as the guidance or contemplation to

develop the maturity in order to face many problems in oneself or other. In this case, it is expected that a man can release himself from the shackle of misery.

Three are three problem formulations that the author wants to discuss in this study. First, how is the misery defined according to the book of Ayub? Second, how do the application of human misery in the context of liberation catechesis with a Shared Christian Praxis (SCP) work?, and the third is how can Shared Christian Praxis (SCP) be applied in the actual context?.

The book of Ayub is the primary source to answer those questions. It is because the book of Ayub has a wide significance to discuss about human misery and there are a lot of important explanations about it in this book. Furthermore, to complete the library studies about human misery, the book of Ayub, and the liberation catechesis, Shared Christian Praxis (SCP) can be used as the follow-up step.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa

memberkati dan melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul: “BELAJAR DARI KITAB AYUB:

MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN

APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED

CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” ini. Kisah Ayub memberi gambaran kepada kita

bahwa kesetiaan kepada Allah tidak tergantung pada apa yang diberikan Allah

kepada kita, melainkan hasil pilihan dan keputusan kita secara bebas sebagai

mkhluk yang bebas. Dari kisah Ayub ini, penulis mengajak para pembaca untuk

belajar dari Kitab Ayub, terutama dalam usaha menemukan makna penderitaan

hidupnya.

Skripsi yang difokuskan pada usaha memaknai penderitaan ini, tidak

terlepas dari keprihatinan dan kesadaran penulis akan realitas penderitaan

manusia, baik secara personal maupun komunal, secara langsung atau tidak

langsung penulis alami. Sebagai sumbangan praktis penulis berhubungan dengan

usaha pemaknaan ini, penulis menawarkan katekese pembebasan model Shared

Christian Praxis (SCP), yakni katekese yang bertujuan untuk menimbulkan

kembali kesadaran umat beriman akan perjuangan dan harapan akan kebebasan

dari pengalaman pahit yang membelenggu hidup umat beriman. Selain itu, skripsi

ini ditulis sebagaisalah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di

(11)

xi

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentu saja penulis sering mengalami

kesulitan. Atas kesadaran pribadi, penulis merasa bahwa skripsi ini tidak mungkin

terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh syukur, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. P. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., selaku Kaprodi

IPPAK-USD yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, terutama

dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. C.B. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu penuh

perhatian mendengarkan curhat penulis, serta sabar mendampingi, penulis

sejak awal masuk IPPAK sampai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi

ini.

3. P. Dr. A. Hari Kustono, Pr selaku dosen pembimbing utama yang bersedia

meluangkan waktunya, serta penuh perhatian dan tabah dalam membimbing

penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. P. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia

meluangkan waktu, perhatian dan memberikan masukan dan motivasi dalam

menimbulkan gagasan baru dalam penulisan skripsi ini.

5. Bpk. Drs. L. Bambang Hendarto Y, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah

menyediakan waktu dan perhatiannya kepada penulis

6. Kedua orang tua, serta keluarga besar saya yang selalu mendoakan dan

mendukung saya baik secara moril maupun materil.

7. Teman dekat saya yang selalu setia memotivasi saya dalam menyelesaikan

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….………….…. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…….…… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….……….…... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….………….……… iv

MOTTO ……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….………. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…….….……….… vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACT ……….…….… ix

KATA PENGANTAR ……….…….…... x

DAFTAR ISI ………... xiii

DAFTAR SINGKATAN ……….………….…... xxi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….…….…….…….. 1

B. Rumusan Permasalahan ……….….………….……….... 14

C. Tujuan Penulisan ……….…….……... 15

D. Manfaat Penulisan ……….……….…………. 15

E. Metode Penulisan ……….………... 16

F. Sistematika Penulisan ……….………….……….………... 16

BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB A. Identitas Kitab Ayub ……….…….……….………. 18

(14)

xiv

2. Pengarang Kitab Ayub ……….….….…….…….……….. 19

3. Waktu Penulisan ……….…….…... 22

B. Struktur Penulisan Kitab Ayub ………….……....……... 22

1. Prolog ……….……… 23

a. Allah di Awal Penderitaan Ayub ……….……..….…………. 24

b. Peran Iblis yang Tersembunyi ………..….….. 26

1) Musibah yang Pertama ……….….….………... 26

2) Musibah Kedua ………..……… 28

2. Dialog ……… 29

a. Lingkaran Pertama ………....………... 29

b. Lingkaran Kedua ……….…….…... 33

c. Lingkaran Ketiga ………..…….….. 34

3. Ellihu Masuk dalam Pembicaraan …….…….…….….….……… 34

4. Ayub Ingin Allah Bicara dan Jawaban Dari Allah …...…….…. 35

a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya ………...……… 35

b. Teofani: Jawaban Allah ………..………. 36

1) Jawaban Allah yang Pertama …………....….……… 37

2) Jawaban Allah yang Kedua ………..…….……… 38

5. Epilog ……….………… 39

C. Gaya Penulisan Kitab Ayub ……….….…….….…….………… 39

1. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Prosa .…..….…...….. 41

2. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Puisi …...……….… 43

D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan ….……...……..…….... 45

(15)

xv

2. Sikap Ayub dalam Penderitaan ………...…….……. 46

a. Kepasrahan Ayub ………..……….. 47

b. Ayub Mengeluh ……….….………. 47

c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub ………...….….… 48

d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub ………...……… 51

e. Tuduhan Ayub kepada Allah ………....…... 53

f. Pengharapan Ayub ………...……… 53

1) Pengharapan Implisit ………..….…….. 54

2) Pengharapan Eksplisit ………..….…….………… 55

BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT PANDANGAN IMAN KRISTIANI, BELAJAR DARI KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI ORANG KRISTIANI DI ZAMAN SEKARANG A. Memahami Penderitaan secara Umum ………...…….…….. 59

1. Pengertian Penderitaan ………...………... 59

2. Beberapa Contoh Penderitaan Manusia ………...…... 61

a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………...…. 61

b. Penderitaan yang Disebabkan Oleh Orang Lain ….…... 63

c. Penderitaan demi Orang Lain dan demi Tugas Perutusan .…. 64

d. Penderitaan Karena Penyakit ………...………… 65

e. Bencana Alam ……….……….… 66

3. Cara Mengatasi Penderitaan ………....….. 66

a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………... 67

(16)

xvi

c. Penderitaan demi Orang Lain ………....…….. 67

d. Penderitaan karena Bencana Alam ………...………. 68

e. Penderitaan karena Penyakit ………...…………... 68

B. Relevansi Penderitaan Ayub bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di

Zaman Sekarang ………...……… 71

1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan

Iman Kristiani ……….……….……….. 71

a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan

Yesus Kristus ………..……… 73

b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan .. ...… 74

1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia:

menjadikan manusia rendah hati ………...….. 75

2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi

penderitaan: solidaritas ………...….…….. 76

3) Kedewasaan iman ……….….……… 79

2. Makna Penderitaan Ayub ………..….….……….……. 80

a. Penderitaan Ayub Bukan Akibat Dosa

Atau Hukuman Dari Allah ………...……… 83

b. Penderitaan Ayub Membawa Pemahaman Baru

Mengenai Allah Dan Penderitaan Manusia …………..….….. 85

3. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Kita …….…... 88

a. Penderitaan, Dosa, dan Pertobatan ………….…………....…. 88

b. Penderitaan, Pengharapan, Perjuangan

(17)

xvii

c. Penderitaan dan Penerimaan Diri Sebagai

Makhluk yang Terbatas ………..…. 92

BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB DENGAN KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) A. Panggilan dan Pergulatan Orang Beriman dalam Menghadapi Penderitaan ………...… 95

1. Panggilan Manusia ……….….……….. 95

a. Manusia sebagai Pribadi ………....……….. 98

b. Manusia Mencari Allah ………...……… 99

c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama …...….…. 100

2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan ………...….….…. 100

a. Kesadaran ntuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan Martabat Manusia yang Menderita …... 103

b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman ………..….…... 105

B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita Di Zaman Sekarang ………...….….…….….. 106

1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis .………...…. 106

a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta ……...….…… 106

b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia ………...………….. 107

(18)

xviii

a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat

Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan …………..….… 108

b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup ……….…. 109

c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja ……… 111

1) Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia ………... 111

2) Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama ………... 111

C. Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Alternative dalam Menanggapi Penderitaan Orang Kristiani 1. Gambaran Katekese secara Umum ……….…….….. 113

a. Pengertian Katekese secara Umum ………...………… 115

b. Isi Katekese ………..…….….…….………. 115

c. Tujuan Katekese ……... 117

d. Prinsip Katekese ………..………… 118

e. Subjek Katekese ……….…………. 120

f. Objek Katekiese ……….………. 121

g. Fungsi Katekese ………..…………. 121

2. Katekese Pembebasan ………..……. 122

a. Isi Katekese Pembebasan .……….….…. 124

b. Tujuan dan Sasaran Katekese Pembebasan ……..…....…...… 125

c. Dasar-dasar Katekese Pembebasan ………...….…. 126

1) Dasar Teologi ……….……….…..….…... 127

2) Dasar Psikologis ……….….….….… 128

(19)

xix

3. Katekese Pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)

a. Alasan Pemilihan Model Katekese Pembebasan ….….….…. 132

b. Tiga Komponen Pokok……….………….…….…….. 132

1) Praksis .….….……….……….……….. 132

2) Kristiani ……….….….….…..….….……….…… 132

3) Shared ……….…….……….. 133

c. Langkah-langkah Model Shared Christian Praxis (SCP)... 135

1) Langkah I ………...….... 135

2) Langkah II ………....……... 135

3) Langkah III ………....…. 136

4) Langkah IV ………..….….…. 136

5) Langkah V ……….……...……. 137

4. Usulan Program Katekese Pembebasan dan Contoh Persiapan Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………. 138

a. Contoh Usulan Program . …..….…….……..……….…. 140

b. Contoh Persiapan Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………….….……….…. 144

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….……. 158

B. Saran ……….….……….…. 160

DAFTAR PUSTAKA ………..… 161

(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab. Jakarta:

Lembaga Alkitab Indonesia, 1997

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II tentang Penyelenggaraan Katekese Masa Kini.

16 Oktober 1979

LG : Lumen Gentium, konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, 12

November 1964.

GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Moderen, 7 Desember 1965.

KGK : Katekismus Gereja Katolik

KWI : Koferensi Waligereja Indonesia

SD : Salvifici Doloris, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus

II tentang arti Kristiani dari Penderitaan Manusia, 11

Februari 1984.

C. Singkatan Lain

ARDAS KAS : Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang

(21)

xxi

Ayb : Ayub

dll : dan lain-lain

Hal : Halaman.

KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme

PKI : Partai Komunis Indonesia

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

Sbb : sebagai berikut

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dunia ini, manusia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang

terjadi dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu seperti: kesedihan, kesukaran,

kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kegagalan. Ini merupakan fenomen

kehidupan yang dialami oleh manusia.

Penderitaan merupakan pengalaman yang dekat dengan manusia. Manusia

tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang

manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia (Timotheus,

1970: 23). Penderitaan adalah suatu fenomena yang kedudukannya sejajar dengan

peristiwa hidup lainnya, seperti kelahiran, kematian, kegembiraan, sakit dan

sebagainya (Haryanto, 2011 : 334).

Dalam diri manusia ada keharusan untuk mengerti segala hal yang terjadi

sepanjang sejarah hidupnya, termasuk masalah penderitaan yang dialaminya.

Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia tidak pernah berhenti

dipertanyakan. Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang

paling menonjol (Michael Polanyi, 2001: 15). Tidak mengherankan jika manusia

disebut makhluk yang berpikir atau “animale rationale” (Robini, 1998: 14,18).

Mungkin saja manusia akan berhenti bertanya jika berhenti menjadi manusia.

Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia yang mampu mengenal

dan mencintai ciptaan-Nya (GS 12,3). Manusia diciptaan Allah secitra

dengan-Nya. Karena hal inilah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan

(23)

membuat manusia saling menghargai, dan menghormati martabat hidup satu

dengan yang lain. Tetapi pada kenyataannya, di dunia ini masih sering terjadi

permusuhan, pertikaian antar bangsa, suku, agama, dan itu dipelopori oleh satu

orang atau suatu kelompok tertentu. Terkadang tidak jarang orang yang tidak

bersalah ikut jadi korban.

Manusia saling membunuh dan saling menghancurkan. Tentu kita masih

ingat peristiwa pembantaian anggota PKI yang terjadi pada tahun 1965. Peristiwa

ini mengingatkan kita pada sejarah bangsa Indonesia yang tak pernah lekang oleh

peristiwa tragis, pertikaian antarkelompok, pembalasan dendam lama,

pembunuhan, semua ini merupakan perbuatan tanpa penghargaan terhadap pribadi

manusia yang bermartabat. Tidak hanya orang-orang PKI, orang-orang yang tidak

termasuk di dalamnya juga menjadi korban pembantaian orang-orang bringas

(Majalah Tempo, 17 Oktober 2012). Kenyataan hingga saat ini, bangsa Indonesia

masih mengalami penderitaan kolektif, yang juga menimbulkan penderitaan secara

pribadi.

Kita diingatkan kembali pada sejumlah peristiwa mengerikan dalam sejarah

hidup manusia: pembantaian 6 juta orang Yahudi di kamp konsentrasi NAZI,

pembantaian rakyat Timor Leste dalam insiden Santa Cruz tahun 1991, perang

Afganistan dan Irak yang menelan ribuan nyawa manusia, peristiwa tsunami tahun

2004 Aceh dan Nias yang menelan banyak jiwa dan harta benda, gempa bumi

tektonik di Yogyakarta, meletusnya gunung merapi pada tahun 2010 juga menelan

begitu banyak korban (Emanuel Bria, 2007: 9).

Kita sekarang hidup dalam dunia yang tidak aman. Sampai saat ini, masih

banyak ditemukan kasus pembunuhan, ketidakadilan (KKN), pelecehan seksual,

(24)

di tanah airnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri, penderitaan adalah realita

yang sangat dekat dengan manusia, ada hubungan erat diantara keduanya: manusia

dan penderitaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapa Suci Paus Yohanes Paulus

II, dalam Salvifici Doloris (art. 3) : “…, dalam bentuk yang bagaimanapun,

penderitaan agaknya, dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia

di dunia ini”. Pernyataan ini semakin menegaskan dan meneguhkan keyakinan

kita, bahwa benar adanya relasi yang erat antara penderitaan sebagai realitas, dan

manusia sebagai entitas (keberadaan) yang terbatas dan tidak dapat diulang (SD

art. 8).

Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia, sering terjadi akibat adanya

kejahatan. Kejahatan itu sendiri berasal dari manusia; kurang harmonisnya

hubungan antara manusia dan dunia (Timotheus, 1970: 25). Mengutip pernyataan

dari Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai kejahatan:“Dapat dikatakan bahwa

manusia menderita bilamana ia mengalami tindakan kejahatan dalam bentuk

apapun” (SD art. 7). Kejahatan tersebut dapat berupa ketidakadilan, yang termasuk

di dalamnya ada unsur; keserakahan, kekuasaan, penindasan, kekerasan dan

kemiskinan. Tindakan kejahatan menimpa kaum lemah. Kenyataan yang terjadi,

orang kaya menindas yang lemah, orang pintar yang mengatur, orang yang punya

kuasa memonopoli. Namun belum tentu orang yang merasa lebih adalah orang

yang hidup benar dan bahagia. Ini adalah permasalahan yang terjadi antar manusia.

Semua ini terjadi karena kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia.

Realita penderitaan di atas membuat kita merasa takut dan cemas barangkali

bencana yang sama akan menimpa kita juga. Kita sungguh berhadapan dengan

pengalaman akan dunia yang absurd. Jika dunia diciptakan oleh Allah Maha

(25)

dipahami begitu tidak berkuasa? Jika Allah itu benar-benar ada, dari mana

datangnya penderitaan yang menimpa manusia? Dalam pengalaman buruk dan

sangat mengerikan, masih bermaknakah keyakinan kita bahwa Allah itu sungguh

ada? Kalau memang Allah sungguh ada, mengapa Dia tidak campur tangan dalam

peristiwa penderitaan? Mengapa Dia memilih untuk membiarkan penderitaan ada

di dunia? Apakah Allah tidak sayang pada mahkluk ciptaan-Nya? Atau mungkin

Allah hanya ada dalam dongeng? Kalaupun penderitaan bukan berasal dari Allah,

dan kalau memang benar Allah itu Mahakuasa dan mengasihi manusia, mengapa

Allah membiarkan penderitaan merajalela di dunia? Bukankah seharusnya Allah

melindungi makhluk ciptaan-Nya yang lemah dan kecil? Orang baik berhak

mendapat ganjaran yang setimpal dan orang yang jahat diberi hukuman (Robini,

1998: 34). Apa sesungguhnya yang Allah inginkan atas diri manusia yang

menderita?

Dari fenomen-fenomen singkat di atas, penulis melihat ada persoalan yang

menarik untuk dicari jawabannya, dan ini akan menjadi diskusi yang menarik dan

tidak akan ada habisnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mau tahu, dan

bertanya “mengapa” pada segala yang dialaminya. Terutama orang seringkali

bertanya-tanya ketika berhadapan dengan penderitaan, apalagi jika penderitaan

tersebut menimpa orang baik dan jujur. Ketika manusia berhadapan dengan situasi

yang tidak dia kehendaki, ia dapat saja berontak, marah, kecewa, dan frustasi. Kita

yang hanya melihat saja dapat berontak, marah dan kesal, apalagi mereka yang

mengalaminya. Pertanyaan yang muncul: “Di manakah Allah? Di manakah Allah

ketika Merapi Meletus, tsunami Mentawai terjadi, banjir Wasior, dan bencana

lainnya yang merenggut banyak nyawa manusia tak berdosa? Jika memang Allah

(26)

pertanyaan “mengapa” merupakan usaha manusia untuk menemukan jawaban dan

makna dari penderitaan yang menimpanya. Ini adalah reaksi yang manusiawi.

Hingga saat ini masih terdengar manusia mengeluh, menyalahkan Allah atas

masalah yang dialami, kecewa pada kegagalan dan penderitaan yang menimpa

dirinya. Merasa putus asa ketika dihadapkan pada suatu masalah yang berat, dan

bahkan membuat manusia harus mengakhiri hidupnya. Manusia sering

bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini hukuman atas dosa? Mungkin saya memang

pantas mendapatkan ini?. Semua pertanyaan itu, menggambarkan bahwa Allah

senang memberikan pelajaran dan hukuman setimpal atas dosa-dosa yang

diperbuat manusia, sehingga gambaran Allah yang sesungguhnya yakni Maha

pengasih dan pengampun hampir tidak ada. Lalu bagaimana dengan manusia yang

menderita tanpa melakukan perbuatan dosa? Apakah itu adil? Kredibilitas Allah

mulai dipertanyaan.

Melihat realitas di atas kembali kita perlu memahami bahwa Allah memberi

kebebasan kepada manusia untuk melakukan segala hal di dunia sesuai dengan

kehendak bebasnya. Menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas berarti:

membiarkan kemungkinan bahwa manusia akan salah pilih, dan jatuh dalam dosa

(Timotheus, 1965: 22). Ini bukan berarti Allah dengan sengaja menghendaki

manusia jatuh dalam dosa, namun Allah itu baik, tidak pernah memaksa manusia

untuk mencintai Dia, namun Allah tetap menunggu manusia benar-benar secara

bebas dan sadar mencintai Dia dengan memberikan jawaban iman dan cinta yang

tidak dapat diberikan makhluk lain sebagai penggantinya (KGK, 1993: 94).

Memaknai penderitaan adalah sebuah upaya reflektif yang sudah dilakukan

(27)

adanya manusia; sekurang-kurangnya sejak manusia menyadari dirinya sebagai

makhluk reflektif; makhluk yang berpikir dan memiliki akal budi.

Dalam menemukan makna penderitaan, penulis mengutip pernyataan dari

Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris, bahwa: “…dalam bentuk

yang bagaimanapun penderitaan agaknya dan memang hampir tak terpisahkan dari

eksistensi manusia di dunia ini” ( SD art. 3). Pernyataan ini menegaskan bahwa

ada keterikatan yang kuat antara penderitaan dan hidup manusia. Selama manusia

masih bernafas di dunia ini, maka permasalahan yang menimbulkan penderitaan

akan selalu datang silih berganti.

Kebanyakan orang, pasrah menghadapi penderitaan, tanpa mau berjuang dan

menemukan makna di balik penderitaan, sehingga penderitaan dilihat sebagai

pengalaman yang menakutkan. Pertanyaan reflektif bagi kita, bagaimana kita

menemukan makna dibalik penderitaan?. Sebagai wujud kesadaran sebagai

makhluk reflektif, penulis di sini turut mengambil bagian dalam memaknai

penderitaan manusia zaman sekarang.

Penderitaan merupakan misteri dalam hidup. Penderitaan tidak selalu dapat

dimengerti secara tuntas oleh manusia. Memaknai penderitaan adalah upaya

manusia menyadari dirinya yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan

dengan kejadian buruk, menakutkan dan menyakitkan.

Penderitaan manusia adalah realitas yang tidak terelakkan dari dunia ini.

Penderitaan yang dialami manusia hendaknya dimaknai. Iman kitalah yang mampu

memberi makna pada hal tersebut. Pertanyaannya, apakah iman kita sudah mampu

memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau, kita

membiarkan iman mati dan terkikis oleh kekhawatiran kita? (Haryatno, 2011:

(28)

Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya

bahwa Allah Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita

akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala

yang diciptakan di dunia ini? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah

dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi

jawaban atas semua ini (Atkinson, 1996: 31).

Dalam kesadaran sebagai orang beriman, tentunya kita dapat kembali

melihat ke dalam sumber wahyu tertulis kita, Kitab Suci. Mengikuti Bapa Suci

Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: “Kitab Suci merupakan sebuah buku

yang besar tentang penderitaan” (SD Art 6), Dalam rangka memaknai penderitaan,

akhirnya kita dapat belajar dari sana. Untuk tujuan inilah, maka penulis akhirnya

mengupas sebuah kitab yang secara istimewa mengungkapkan penderitaan yang

dialami oleh manusia. Isi cerita dari kitab ini sangat menarik dan juga inspiratif.

Kitab ini merupakan kitab yang banyak berbicara tentang penderitaan orang benar.

Kitab yang besar berbicara mengenai penderitaan manusia ini adalah Kitab Ayub.

Benarkah Allah itu Mahakasih dan Mahaadil? Kalau memang benar,

mengapa penderitaan masih merajalela di bumi? Mengapa manusia dibiarkan-Nya

saling menindas dan saling membunuh? Tragisnya lagi, tidak semua korban adalah

orang jahat. Di bumi ini masih banyak orang saleh jadi korban penindasan dan

keserakahan sesamanya. Ini sangat memprihatinkan. benarkah Allah itu adil? Tapi

mengapa orang-orang jahat diberi kehidupan yang layak, sementara orang saleh

harus berjuang keras untuk hidupnya. (Stanislaus, 2008: 51-52).

Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham

(29)

akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan

menghukum yang jahat.

Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di

bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan

segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam

buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal (Ams 10-22; 25-29) dan Yesus bin Sirakh.

Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi

seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah

satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang

yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat

dipertahankan lagi.

Penderitaan orang benar adalah tema yang menjadikan Kitab Ayub istimewa

dalam konteks sekarang. Kitab Ayub menghadirkan gagasan baru mengenai ajaran

tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub

mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan

dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan

dosa (Stanislaus, 2008: 55-58).

Segala sesuatu di bumi diciptakan Allah baik adanya, ini jelas menunjukan

bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik, termasuk penderitaan

(Kej 1: 31). Terkadang kitalah yang sulit memahami maksud Allah. Menjadi

pertanyaan; “apakah orang benar mampu menanggapi penderitaan yang

dialaminya secara benar atau tenggelam dalam penderitaan? Apakah penderitaan

merupakan hukuman dari Allah? Mungkin manusia dapat lebih merasakan

(30)

Orang benar atau orang beriman juga mengalami penderitaan dalam hidup.

Dengan iman yang teguh orang beriman mampu menerima, menggulati dan

memaknai penderitaan. Bagi orang benar memaknai penderitaan berarti dengan

iman membangun relasi dengan Allah. Orang benar menyerahkan hidupnya dalam

bimbingan dan penyelenggaraan Allah dan dengan sikap iman mengupayakan

sikap-sikap positif dalam menghadapi penderitaan. Orang benar akan menemukan

bahwa Allah itu penuh kasih meskipun mengalami penderitaan dalam hidup.

Orang benar memiliki harapan dalam menghadapi penderitaan. Orang benar

mengharapkan Allah yang senantiasa memberi kekuatan. Harapan tersebut

merupakan reaksi orang benar ketika menghadapi penderitaan seperti bencana

alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya. Harapan tersebut juga

merupakan ungkapan bahwa orang benar merasa lemah, tak berdaya, kecil

sehingga membutuhkan Allah dalam menghadapi penderitaan.

Dalam Kitab Ayub, yang menjadi permasalahan di dalamnya adalah

mengenai persoalan dan maksud Allah mengapa membiarkan orang baik

menderita. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah. Namun dia

menderita. Mengapa orang benar seperti Ayub harus menderita? Pertanyaan ini

seakan ingin menunjukan adanya ketidakadilan yang dialami oleh manusia.

Penderitaan Ayub disebabkan oleh iblis, dan dilakukannya (iblis) atas izin

dari Allah. Mari kita lihat Ayub 1:6-12, sbb:

(31)

dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. 11Tetapi ulurkanlah tanganMu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau dihadapan-Mu. 12Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.

Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, namun Allah tetap

mengasihi Ayub (ay 12). Dari bagian awal kisah Ayub, kita melihat bahwa

penderitaan Ayub bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas

dosa. Sesungguhnya apa maksud dari penderitaan Ayub orang saleh ini?

Dalam kisah digambarkan bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan

kepercayaannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang

menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena

kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan oleh Iblis di awal kisah (lih.

Ayb 1: 9) terbukti tidak benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala

kepunyaannya telah sirna. Dengan berseru penuh ketulusan hati Ayub berseru;

“Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang

juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang

mengambil, terpujilah nama Tuhan! (Ayb 1: 21)”. Bagi Ayub segala yang terjadi

di atas bumi ini, semua adalah kehendak Allah termasuk juga penderitaan yang

menimpa dirinya.

Di akhir kisah digambarkan bahwa karena kesetiaannya itu, Allah

mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang

dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 10-17). Dalam Kitab Ayub, penderitaan

dibicarakan secara dialektik oleh tokoh-tokohnya. Dengan adanya perdebatan atas

(32)

dan menarik. Karena itulah penulis dapat mengatakan bahwa kitab Ayub adalah

kitab penderitaan.

Secara manusiawi kita pasti berpikir bahwa Tuhan tidak adil jika memberi

hukuman penderitaan kepada orang benar, sedangkan orang-orang yang

melakukan penindasan, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya dibiarkan hidup

bahagia. Sebagai manusia biasa wajar saja bila Ayub mengeluh dengan

penderitaan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, yang bisa dikatakan orang baik

dan takut akan Allah. Inilah salah satu keluh kesah atau pertanyaan yang keluar

dari mulut Ayub “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku

keluar dari kandungan ?”(Ayub 3 : 11). Sungguh memilukan nasib Ayub, seorang

saleh dan patuh pada perintah Allah. Dia harus mengalami penderitaan yang begitu

berat. Sebenarnya apa yang ingin Allah tunjukan kepada manusia terutama melalui

kisah Ayub?

Belajar dari Kitab Ayub, kita dituntut semakin peka untuk lebih peduli dan

bersikap solider terhadap sesama yang menderita. Setidaknya solidaritas tersebut

dapat penulis wujudkan melalui jawaban yang tepat dari pertanyaan mengenai

makna sebuah penderitaan yang terjadi menimpa hidup manusia. Dalam bukunya,

Krispurwana Cahyadi (2011: 3) memaparkan pemikiran dari Paus Yohanes Paulus

II, demikian: “membela martabat dan hak asasi manusia merupakan salah satu

tugas Gereja”, beliau memandang manusia sebagai pribadi berharga dihadapan

Allah dan diciptakan secitra dengan-Nya. Dengan menghargai martabat manusia

kita mewujudkan sikap iman terhadap Allah. Pertanyaannya: “Apakah kita cukup

beriman untuk mewujudkan tugas tersebut?”.

Saat berada di kayu Salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama

(33)

Aku?”. Bahkan, Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Apakah

memang demikian? Apakah Allah tidak peduli terhadap manusia yang menderita?

Fenomena di atas menunjukan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa

penderitaan sehingga tidak ada tempat bagi Allah untuk memperjelas maksudnya,

Allah selalu bertindak sesuai dengan maksud-Nya sendiri (Atkinson, 2002: 55).

Dalam penderitaan-Nya, Yesus tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia

memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan.

Ungkapan “Eloi, Eloi Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus

mencari Allah meski penderitaan dialami begitu berat. Allah yang kita imani

adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan terjadi. Hanya saja

kita tidak menyadarinya. Begitu juga Allah hadir saat Yesus di salib dan wafat,

jika Allah tidak hadir maka Yesus tidak mungkin bangkit (Haryatno, 2011: 335).

Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah tetap menyertai umatnya dalam situasi

apapun, terutama dalam pengalaman penderitaan, sebab Allah sendiri juga

mengalami penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus Putera-Nya (Robini,

1998: 15).

Penderitaan Yesus adalah demi dan untuk umat yang dikasihi-Nya, demi kita

semua, manusia. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita bersama Dia,

seperti yang dilakukan oleh Paulus untuk Yesus Kristus yang tertulis dalam Kitab

Suci, II Tim: 10-12 sbb :

(34)

Sanggupkah kita menderita bersama Kristus seperti yang dilakukan Paulus?

Selama ini kita mempercayai penderitaan adalah ganjaran atas perbuatan dosa,

namun kisah Ayub memberi kita wajah lain dari penderitaan, yaitu penderitaan

tanpa dosa. Itulah sebabnya mengapa kisah Ayub penting untuk memahami arti

dan makna penderitaan orang benar, yaitu karena penderitaan Ayub adalah

penderitaan yang tidak biasa, penderitaan tanpa melakukan perbuatan dosa.

Menurut Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II: “…Penderitaan Ayub adalah

penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai

suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh manusia secara penuh berdasarkan

akal budinya…” (SD art. 11). Kalau bukan hukuman atas dosa, lantas apa maksud

Allah dibalik penderitaan orang benar? Memang benar bahwa penderitaan

mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu

kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan akibat dari dan

bentuk dari dosa.

Manusia yang menderita, harus dibebaskan. Gereja harus memerangi

ketidakadilan yang terjadi di dunia, apa yang harus dilakukan oleh Gereja dalam

menanggapi penderitaan sesama? Sejak dahulu sudah diusahakan suatu

pembebasan bagi kaum miskin, namun sampai sekarang belum tuntas juga. Negara

Indonesia ini memang banyak menyimpan sejarah hidup, penderitaan dan

perjuangan manusia. Ada juga manusia yang pasrah pada nasib, dan ada juga yang

terdorong untuk menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan oleh Marsinah,

seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, namun akhirnya ditemukan tewas

mengenaskan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa terusik

(35)

Menyadari hal di atas, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan

reflektif kritis guna memberi gambaran baru sebagai usaha untuk membantu orang

benar zaman sekarang menemukan makna dibalik penderitaannya. Selain itu,

beranjak dari situasi di mana seringkali terjadi vonis semena-mena atas

penderitaan orang lain, maka penderitaan harus dimaknai sungguh-sungguh

sehingga dapat menjauhkan kita dari penilaian subjektif yang malah semakin

menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana usaha

kita dalam menemukan makna dibalik penderitaan yang menimpa orang benar?

Dan apa yang harus kita lakukan sebagai usaha membantu mereka yang menderita

dapat memaknai penderitaannya?

Beranjak dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, akhirnya

dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengajak kita semua belajar bersama

untuk merefleksikan penderitaan yang terjadi di dalam hidup kita khususnya

belajar bersama Kitab Ayub, melalui kacamata iman Kristiani menemukan

bersama makna dibalik penderitaan orang benar serta penerapannya melalui

katekese pembebasan. Maka dari itu, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan

judul : BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK

PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE

PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan

dibahas dalam karya tulis ini dapat dirumuskan sbb:

(36)

2. Bagaimana orang benar jaman sekarang memaknai penderitaann yang

dihadapinya?

3. Apakah katekese pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) dapat

membantu umat Kristiani dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam

hidup secara konkret?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengungkapkan bagaimana penderitaan orang benar dimaknai dalam Kitab

Ayub sehingga dapat menjadi inspirasi bagi umat kristiani dalam menyikapi

penderitaan hidup.

2. Memaparkan bagaimana keteguhan iman, membantu orang benar jaman

sekarang menanggapi penderitaan hidup sehingga dapat semakin didewasakan

dalam iman

3. Memaparkan bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared

Christian Praxis masih sangat relevan digunakan sebagai alternative dalam

membantu peserta untuk mendalami dan menemukan makna dari pengalaman

hidupnya.

4. Memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Strata-1 Program

Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi penulis sendiri, penulis semakin peka dan termotivasi untuk menanggapi

penderitaan orang lain, serta penulis dapat semakin bertumbuh dewasa dalam

(37)

2. Bagi pembaca, pembaca menemukan makna penderitaan sebagai inspirasi

mereka terutama dalam menanggapi/menyikapi permasalahan yang mereka

alami.

3. Memberi gambaran kepada semua orang, sejauhmana iman, pengharapan dan

kasih pada Allah dapat membebaskan manusia dari belenggu penderitaan

yang terjadi dalam hidupnya, serta tidak melihat penderitaan sebagai sesuatu

yang mengerikan, melainkan dapat menyikapinya secara tepat dengan iman

yang dewasa.

E. Metode Penulisan

Metode penulisan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

analisis deskriptif terhadap kisah Ayub. Kisah Ayub menjadi sumber pokok dalam

penulisan karya ini. Penulis akan memaparkan hasil refleksi kritis terhadap kisah

Ayub dan diperkaya dengan studi pustaka.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II membahas tentang Identitas dari Kitab Ayub, struktur penulisan,

sistematika penulisan, gaya penulisan kitab Ayub dan sikap Ayub dalam

menghadapi penderitaan. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat benar-benar

(38)

mendasari usaha pemaknaan atas penderitaan yang terungkap dalam Kitab Ayub,

yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Bab III merupakan usaha memahami penderitaan secara umum, mulai dari

pengertian penderitaan, beberapa contoh penderitaan, dan cara mengatasinya.

Selanjutnya penulis akan membahas tentang relevansi penderitaan Ayub bagi

penderitaan manusia, umat Kristiani di zaman sekarang. Dalam bagian ini, penulis

akan menguraikannya seperti: makna penderitaan manusia menurut iman Kristiani,

makna penderitaan Ayub, dan relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan kita

Sebagai hasil dari usaha pemaknaan atas penderitaan itu, Pada Bab IV,

penulis akan menunjukan aplikasinya dalam katekese pembebasan model Shared

Christian Praxis (SCP) sebagai wujud praktis dari usaha menemukan makna

dibalik penderitaan orang benar zaman sekarang. Sebelumnya penulis akan

memaparkan panggilan dan pergulatan orang berimann dalam menghadapi

penderitaan, kemudian dilanjutkan dengan pokok-pokok gagasan berkatekese bagi

orang Kristiani yang menderita di Zaman sekarang.

Akhirnya Bab V merupakan penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini,

penulis akan mengungkapkan kembali inti pokok dari seluruh rangkaian

pembahasan karya tulis ini, yang berisi kesimpulan dan saran yang dapat semakin

meneguhkan iman pembaca. Terutama dalam memotivasi dan memberikan

inspirasi kepada mereka, sehingga mampu menanggapi pengalaman penderitaan

(39)

BAB II

BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB

Keistimewaan Kitab Ayub semakin jelas bila kita mendapat penjelasan lebih

lanjut mengenai Kitab tersebut. Pada bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar

memahami Kitab Ayub seperti: identitas Kitab Ayub, struktur penulisan Kitab

Ayub, genre Kitab Ayub, gambaran singkat kisah Ayub si penderita dan maksud

penderitaan Ayub.

A. Identitas Kitab Ayub

Kita diharapkan dapat memahami identitas Kitab Ayub secara menyeluruh.

Hal ini sebagai suatu usaha untuk memudahkan kita menemukan makna di balik

penderitaan orang benar yang di kisahkan dalam kitab tersebut. Ini juga menjadi

acuan kita dalam menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam

kehidupan umat kristiani di zaman sekarang.

1. Asal-Usul Kitab Ayub

Konon pada abad-abad yang silam, para sarjana yakin bahwa pernah ada

sejenis cerita rakyat berjenis fabel berisi ajaran-ajaran moral yang bertujuan

memperkuat perasaan religious masyarakat. Cerita ini lebih merupakan kisah

“konon di suatu masa” tentang seorang tokoh yang menderita. Tokoh tersebut

bernama Ayub yang memiliki pribadi yang baik dan begitu sempurna (Kushner,

1987: 46).

Sepanjang sejarah kehidupan di bumi, umat manusia tak lepas dari

(40)

menyadari bahwa penderitaan adalah akibat dari adanya kejahatan ataupun dosa si

penderita. Namun, yang menjadi persoalannya adalah mengapa masih ada orang

yang menderita bukan karena dosanya? (Robini, 1998: 38).

Beranjak dari pertanyaan itu, maka menjadi penting bagi kita untuk

membahas Kitab Ayub. Perlu diketahui bahwa Kitab Ayub merupakan hasil dari

refleksi mengenai problem penderitaan, terutama penderitaan orang saleh yang

takut akan Allah. Dalam pembahasan kita ini, kita akan menemukan komprehensif

kitab tersebut, perihal pengalaman penderitaan orang benar yang hendak kita bahas

dalam terang iman Kristiani. (Robini, 1998: 19).

Pada abad ke-6 sebelum masehi, pada zaman Nabi Yehezkiel Ayub dikenal

sebagai tokoh yang amat saleh dan juga baik, dapat dilihat dalam Yeh 14 : 14,20

selain Nuh dan Daniel. Pada abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi seorang penyair

anonim yang berbakat dan juga memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik,

mencoba mengkritisi pandangan para ahli dan guru kebijaksanaan mengenai

hubungan mutlak antara perbuatan manusia dan nasibnya (Weiden, 1995:

104-105).

Mempelajari Kitab Ayub sama halnya dengan menyingkap pengalaman

manusia, terutama dalam peristiwa penderitaan. Sepertinya si pengarang Kitab

Ayub ingin mencari jawaban atas penderitaan Ayub. Oleh sebab itu, tema

penderitaan Ayub merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia.

2. Pengarang Kitab Ayub

Heavenor menuliskan bahwa pengarang Kitab Ayub belum diketahui (1999:

67). Tampaknya pernyataan ini menjadi permulaan yang membuat kita pesimis

(41)

mengakui bahwa si pengarang adalah orang beriman yang mungkin memiliki

pengalaman yang sama dengan Ayub (tokoh dalam tulisannya).

Kushner menuliskan bahwa pengaramg kitab Ayub adalah seorang pria yang

hidup sekitar tahun 600-400 SM dan tidak ada satu tulisan sejarahpun yang

mengetahui nama pria tersebut. Sejak saat itu, pria tanpa kejelasan nama atau

identitas jelas ini telah menyuguhkan karya yang luar biasa bagi kehidupan umat

manusia (Kushner, 1987 : 45).

Banyak ahli melihat bahwa pengarang Kitab Ayub bukanlah orang Yahudi.

Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang berperan dalam keseluruhan kisah.

Seluruh kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita tidak terikat pada suatu budaya

Yahudi semata-mata. Para ahli mengambil kesimpulan bahwa kitab ini bukan

ditulis seorang Yahudi. Meskipun pernyataan di atas dapat diterima bahwa kitab

tersebut banyak terdapat unsur non-Yahudi, namun kitab ini telah diterima secara

umum ditulis oleh orang Yahudi dalam bahasa Ibrani (Robini, 1998: 28).

Pengarang kitab Ayub hanya kita kenal melalui karya unggul yang

dihasilkannya. Ia pasti seorang Israel yang sering merenungkan tulisan para nabi

dan ajaran para bijaksana. Mungkin sekali ia bertempat tinggal di Palestina. Tetapi

dia pasti membuat perjalanan-perjalanan atau malahan tinggal di luar negeri,

khususnya di negeri Mesir. Kita hanya dapat menerka-nerka di zaman mana

pengarang hidup. Bagian-bagian prosa sangat serupa dengan ceritera-ceritera

mengenai para bapa bangsa. Kesamaan itu menyebabkan orang di zaman dahulu

yakin, bahwa kitab Ayub sama seperti kitab Kejadian ditulis oleh Musa. Tetapi

dugaan itu paling-paling berlaku untuk rangka kitab Ayub saja. Kitab Ayub pasti

(42)

persamaan ungkapan dan gagasan dengan nabi-nabi itu. Bahasa yang dipakai kitab

sehabis masa pembuangan di Babel (Guinan, 2002: 403)

Kitab Ayub dipilih berdasarkan refleksi mengenai problem penderitaan,

terlebih hal yang menyangkut penderitaan orang benar (Robini, 1998: 18).

Pengarang Ayub merenungkan nasib orang benar yang menderita. Menurut

pendapat tentang pembalasan di bumi yang beredar di kalangan umum, nasib

semacam itu sangat absurd. Inilah yang pengarang refleksikan. Pengarang

sepertinya mempunyai kepekaan yang sangat besar terhadap penderitaan kaum

lemah miskin, tersingkir dan difabel yang ada di jamannya. Mungkin yang menjadi

pertanyaannya saat itu, mengapa orang yang sudah susah hidupnya harus semakin

menderita oleh penyakit dan akhirnya binasa, sedangkan orang congkak dengan

bebasnya menikmati hidup berkelimpahan harta dan uang? Ternyata para cendekia

dan orang yang dianggap cerdas berusaha memberikan kejelasan mengenai realitas

ini, tidak membuat hati si pengarang merasa puas (Kushner, 1987 : 45).

Dikarenakan ketidakpuasannya tersebut si pengarang yang mempunyai

kemampuan intelektual dan jiwa seni yang hebat ini akhirnya menulis sebuah sajak

filosofis yang panjang sesuai dengan pergulatan hatinya sendiri mengenai

persoalan mengapa Allah membiarkan hal-hal buruk menimpa orang-orang benar.

Sajak yang reflektif ini muncul dalam Alkitab bernama Kitab Ayub (Kushner,

1987 : 45).

Pengarang yang hidup antara abad ke-6 dan ke-4 sebelum M., bermaksud

untuk memperlihatkan kekeliruan kepercayaan tradisional, bahwa dalam dunia

inilah segala kebaikan dan kejahataan sudah mendapat ganjaran dari Allah

(43)

3. Waktu Penulisan

Sangat sulit menentukan kapan pastinya Kitab Ayub muncul. Beberapa ahli

menempatkannya dalam konteks pembuangan di Babel, ada juga ahli yang

mengaitkannya dengan peperangan dan kekacauan yang menimbulkan kehancuran

Yehuda dan Yerusalem sekitar tahun 587 SM. Ada yang mengatakan bahwa kitab

Ayub ditulis sekitar masa-masa Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku

ini diakui telah ditulis sekitar tahun 600-400 SM. Pendapat inilah yang sering

dijadikan suatu acuan, tetapi kepastiannya tidak ada (Robini, 1998: 29).

B. Struktur Penulisan Kitab Ayub

Struktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara sesuatu

disusun atau dibangun, atau berarti juga susunan atau bangunan yang dapat

memberikan petunjuk bagi kita untuk lebih dalam mempelajari keberadaan

sesuatu. Dalam hal ini penulis akan mengajak kita untuk melihat struktur kisah

dalam Kitab Ayub. Jadi pertanyaannya adalah seperti apakah struktur Kitab Ayub?

Dapat dikatakan struktur kitab adalah kerangka dari seluruh rangkaian yang

ada dalam kitab tersebut. Maka dengan melihat struktur kitab, setidaknya keutuhan

isi dapat diketahui. Mengenai struktur penulisan Kitab Ayub, Weiden menuliskan

bahwa prolog-epilog Ayub bukan suatu cerita rakyat saja, melainkan hasil karya

seorang pengarang yang melalui skematisasi itu ingin memberikan kesan “luar

biasa” kepada kisahnya. Ke-luar-biasa-an yang dimaksud adalah menunjukan

bagaimana Allah berkarya dalam diri Ayub atau peristiwa hidup manusia terutama

peristiwa penderitaan, dan ini diperlihatkan secara menyeluruh oleh Kitab Ayub

(44)

Secara garis besar, Kitab Ayub terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian

pertama yakni prolog (Ayb 1-2), bagian kedua adalah bagian dialog yang

memaparkan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya, termasuk Ellihu.

Dapat dikatakan ini merupakan bagian puisi yang didramakan (Ayb 3-42:7).

Sedangkan bagian ketiga dari kitab ini adalah bagian epilog ( Ayb 42: 8-17) yang

berbentuk prosa sama seperti pada prolog (Robini, 1998: 23). Penulis membuat

gambarnya, sbb:

Secara lebih mendetail, untuk semakin memberi kejelasan pada pembaca,

penulis memaparkan pemikiran Marvin H. Pope dalam buku yang disusun oleh

Robini.M., dan H. J. Suhendra, di mana dia membagi Kitab Ayub dalam 5 bagian

utama, berikut gambar dan uraiannya:

1. Prolog

Pada bagian prolog, tokoh Ayub diperkenalkan. Bisa jadi bagian ini adalah

bagian yang paling diketahui banyak orang dibandingkan dengan bagian-bagian

yang lain. Pada bagian prolog Ayub dikenal sebagai orang yang jujur, benar dan

takut akan Allah, dan ia menjauhkan diri dari segala hal yang tidak baik (Ayb 1:

10).

Kitab Ayub mengisahkan seorang yang bernama Ayub. Ia berasal dari Uz.

Ayub adalah seorang konglomerat pada zamannya, dia ayah dari tujuh anak

laki-Prolog Dialog Epilog

Kitab Ayub

Prolog 1-2

Dialog

3-31 38:1-42:6 Yahwe 42:7-17 Prolog Elihu

(45)

laki, dan tiga anak perempuan; angka-angka yang menggambarkan kesempurnaan

(Atkinson, 1974: 19). Ia adalah sosok orang yang setia, taat, saleh, jujur, benar,

takut akan Allah, sekaligus menjauh dari larangan Allah (Ayb 1: 1; 2: 3). Dia

sangat terkenal paling kaya diantara semua orang di sebelah timur (Ayb 1: 3).

Tiba-tiba ia dicobai iblis dengan sepengetahuan atau izin dari Allah (Ayb 1:12)

(Weiden: 199: 72). Percobaan tersebut menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya

musnah tak berbekas, anak-anaknya diambil oleh Allah dari dirinya (Ayb 1:

15-19).

a. Allah di Awal Penderitaan Ayub

Karakter Ayub pada bagian prolog adalah gambaran Ayub sebagai orang

saleh yang sabar dan bijaksana, cara hidup dan penghayatan imannya mendapat

perhatian khusus dari dewan surgawi dan Allah juga memuji kesalehan Ayub (Ayb

1: 8). Ada tiga percobaan yang dialami oleh Ayub. Percobaan pertama: Iblis yang

datang bersama-sama dengan dewan-dewan surgawi menantang iman Ayub di

hadapan Allah (Ayb 1: 9), “Apakah dia menyesali perbuatan baik yang telah dia

lakukan sebelumnya? Bagaimana motivasi Ayub menjadi hamba Allah? apakah

ada motif ingin mendapatkan timbal balik dari Allah? dan bagaimana sikap Ayub

dalam menanggapi penderitaan yang ditimpakan pada dirinya dan orang lain, bila

menurutnya kenyataan tidak sesuai dengan paradigmanya? Apakah Ayub cukup

sabar dengan penderitaan yang menimpa dirinya dan orang lain secara tidak adil?.

Percobaan kedua: atas sepengetahuan dan izin dari Allah, Iblis menimpakan

penderitaan pada Ayub dengan tujuan untuk menguji kesetiaan Ayub (Ayb 1: 12).

Kedua: Ayub yang telah kehilangan seluruh harta dan anak-anak yang

dikasihinya, tetap menunjukan kesetiaannya kepada Allah (Ayb 1: 20). Percobaan

(46)

kembali (Ayb 2:5), dan Allah pun meng-iya-kan. Namun demikian, Allah masih

berbelaskasih pada Ayub, Ia tidak mengizinkan Iblis mengambil nyawa Ayub

(Ayb 2:6).

Pada bagian ini kita diajak untuk melihat bagaimana sikap Ayub dalam

menanggapi cobaan atas dirinya. Tiga bentuk cobaan di atas, sekaligus menjadi

pertanyaan untuk mengantar kita untuk melihat lebih jelas bagaimana Ayub

menghadapi penderitaan yang menimpanya.

Ayub telah membuat penilaian bahwa Allah memberikan sejahtera pada

orang jahat dan menimpakan penderitaan pada orang yang benar seperti dirinya,

yang berkeyakinan kuat tidak melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membuat

Allah murka, menghujat Allahpun Ayub tidak pernah. Ayub tidak pernah

menyesali bahwa dia dulu adalah hamba Tuhan yang saleh dan berbelas kasih

kepada sesama terutama kaum miskin, lemah, dan tersingkir yang hidup

disekitarnya. Sehubungan dengan cobaan Ayub yang pertama, hal ini menunjukan

keberhasilan Ayub mengatasinya dengan baik (Robini, 1998: 49).

Sama halnya dengan cobaan yang kedua, Ayub juga berhasil mengatasinya.

Awalnya iblis beranggapan bahwa Ayub berbuat baik semata-mata hanya untuk

mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah. Setan meragukan Ayub adalah hamba

Allah yang setia, karena menurutnya Ayub akan meninggalkan Allah dan

mengutuk-Nya apabila Ayub tidak diberkati dan mendapatkan kelimpahan harta

dan kebahagiaan. Dan hal itu diperjelaskan oleh doktrin ortodoks “siapa yang

berbuat baik akan diberi ganjaran dari Tuhan”. Namun dalam kisah Ayub, dia

tetaplah orang benar, jujur, takut akan Allah dan menjauhi larangan Allah. Ayub

(47)

anaknya, harta musnah dan kesehatan memburuk, Ayub tidak pernah berpikir

untuk meninggalkan Allah (Ayb 1: 21-22).

Dalam dialog, Ayub tidak pernah berkata seperti ini: “Baiklah sebab

seseorang yang mengabdi kepada Tuhan tidak akan memperoleh apa-apa, maka

aku akan mengutuk Allah. Sekaligus tidak bersedia menjadi hamba-Nya lagi.”

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, tetap berpegang teguh pada imannya akan

Allah (Robini, 1998: 50).

b. Peran Iblis yang Tersembunyi

Penulis akan membagi penderitaan akibat iblis menjadi dua bagian.

Pembagian ini lebih dikarenakan oleh serangan iblis terhadap diri Ayub;

maksudnya karena Ayub diserang Iblis dua kali. Dari situ kita langsung dapat

mengatakan bahwa ada dua jenis musibah yang terjadi dan akan diuraikan secara

lebih jelas dalam pembahasan berikut:

1) Musibah yang Pertama

Musibah pertama adalah musibah yang menimpa Ayub pertama kali

dikarenakan oleh serangan Iblis (Ayb 1: 13 - 19). Dalam musibah ini, Ayub

mengalami peristiwa mengerikan yang menimpa hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu

adalah: serangan orang syeba yang merampas lembu, sapi, keledai-keledai dan

membunuh penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 14 - 15); api turun dari langit

membakar habis kambing domba dan penjaga-penjaganya (Ayb 1: 16 ); serbuan

orang-orang Kasdim yang membentuk tiga pasukan terhadap unta-unta dan

merampas serta memukul penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 17); dan tiupan

angin ribut dari seberang padang gurun ke rumah tempat anak-anak Ayub

(48)

Bila kita perhatikan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas, tidak secara

langsung menimpa diri Ayub secara pribadi. Dalam serangan ini Ayub hanya

mendengar berita dari para penjaga atau pembantunya saja. Dengan demikian

penderitaan Ayub akibat serangan Iblis ini menimpa Ayub tidak secara langsung.

Maksudnya, derita itu tidak terkena langsung pada diri Ayub namun tetap saja ia

merasa sedih karena mendengar berita tersebut.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas berlangsung secara berturut-turut.

Tidak ada jeda waktu di antara peristiwa yang satu dan yang lain. Hal ini

dinyatakan dengan ungkapan penjaga atau pembantunya. Seperti yang dituliskan

di sana: “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata:…”,

yang diulang tiga kali (Ayb 1: 16-18). Dengan demikian menjadi jelas bahwa

peristiwa itu terjadi sangat singkat. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana Ayub

seakan-akan tidak sempat menarik nafas sebelum peristiwa baru didengarkannya.

Musibah pertama oleh serangan Iblis ini sangat dahsyat; dalam waktu yang

singkat Iblis berhasil menghancurkan seluruh harta dan anak-anak yang

dikasihinya. Mengenai hal ini, Weiden mengatakannya sebagai kemalangan yang

tidak memberikan waktu untuk refleksi” (1995: 110). Dengan waktu singkat

seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana Ayub diam terpaku memandang kosong.

Dia tidak menyangka bahwa peristiwa tragis tersebut menimpa keluarganya

dengan waktu yang singkat tanpa jeda sedikitpun. Mungkin saja hal tersebut dapat

dihubungkan dengan reaksi spontan Ayub yang mengoyak pakaiannya dan

mencukur kepalanya, dst (Ayb. 1 : 20).

Dari seluruh peristiwa mengerikan karena serangan Iblis, Ayub mampu

bertahan pada keyakinannya akan kuasa Allah. Hal ini terlihat dalam ungkapan

(49)

pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang

mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Itu artinya Ayub tetap berpasrah

diri terhadap Allah. Seperti yang dituliskan dalam Ayub 1: 22: “Dalam

kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang

kurang patut”. Penulis melihat bahwa dalam penderitaan tersebut Ayub tetap setia

kepada Dia [Allah].

2) Musibah Kedua

Musibah yang kedua adalah musibah yang terjadi pada Ayub karena

serangan kedua dari Iblis. Musibah yang kedua ini secara langsung menimpa diri

Ayub yaitu serangan terhadap fisiknya. Di sana dituliskan bahwa setelah Iblis

pergi dari hadapan Tuhan Allah, maka dia menimpakan barah yang busuk dari

telapak kaki Ayub hingga batu kepalanya (Ayb 2: 7). Sejak saat itu, setelah

digaruknya dengan sekeping beling, Ayub mengalami penderitaan secara fisik

(Ayb. 2: 8).

Penderitaan fisik tersebut menyebabkan Ayub tidak dikenal lagi oleh para

sahabatnya karena penderitaan fisik Ayub sangat mengerikan dan mengubah

bentuk fisik dirinya (Ayb. 2: 12). Penderitaan fisik ini merupakan awal dari

penderitaan yang secara langsung berhubungan dengan diri Ayub sendiri. Lengkap

sudah penderitaan Ayub. Penderitaan tidak hanya menyerang harta dan

keluarganya, namun penderitaan akibat serangan Iblis tersebut telah melekat pada

dirinya. Sejak awal memang Ayub sasaran utama serangan dari Iblis, dan itu atas

sepengetahuan dan izin Allah.

Akibat serangan-serangan iblis itu, Ayub mengalami kesedihan karena

kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya. Inilah penderitaan jiwa Ayub yang

(50)

dikasihinya , tetapi juga melukai diri Ayub. Penderitaan semakin melekat pada diri

Ayub.

2. Dialog

Bagian dialog merupakan bagian terbesar dari Kitab Ayub, dan bagian ini

dapat terbagi menjadi tiga bagian lagi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Wilcox.

Perlu kita ketahui bahwa dialog yang dimaksud dalam kitab ini mempunyai

pengertian yang berbeda dari yang kita pahami saat ini. Pada kitab ini, yang

dimaksud “dialog” tidak terdapat proses saling menanggapi satu sama lain.

Maksudnya, setelah seorang berbicara tidak ada lagi yang memberi tanggapan,

namun setelah seseorang berbicara maka yang lainnya serta merta beralih pada

pembicaraan lain. Sepaham dengan Wilcox, Robini (1998: 24) membagi bagian

dialog menjadi tiga lingkaran.

a. Lingkaran Pertama

Lingkaran pertama terdiri dari Ayb 3-14. Pada bab ini ingin diperlihatkan

bagaimana bagian puisi dari kitab ini memiliki karakteristik dan bentuk “Mazmur”

yang berisi tentang pujian yang diiringi oleh keluh kesah. Dialog dimulai pada bab

3 yaitu pada saat Ayub mulai meratapi hari kelahirannya (Ayb 3: 1-16). Ayb 3:

20-26 Pada bagian puisi ini Ayub mulai meratapi nasibnya sehingga ia merasa bahwa

Allah tidak adil kepadanya (Robini, 1998: 25).

Berikut dinamika argumentasi Ayub melawan sahabt-sahabatnya:

• Ayb 3 keluh kesah Ayub, dia menyesali hari kelahirannya.

• Ayb 4-5 Elifas memberanikan diri berbicara untuk menanggapi ratapan

(51)

supaya lebih berpengharapan (4:6). Bukankah orang tidak

bersalah dan jujur dilindungi oleh Allah? (4:7). Elifas memberi

penghiburan pada Ayub sesuai dengan keyakinannya, bahwa

pada akhirnya orang yang tidak bersalah, tidak akan binasa.

Maksud Elifas yakni kita akan menuai apa yang kita tabur (4:

7-9). Pada bagian ini, Elifas mengingatkan Ayub, ia hidup di dunia

yang diatur secara moral, sehingga kesalehan akan mendapatkan

upah yang baik “pemikiran tradisional: prinsip pembalasan di

Bumi” (Atkinson, 2002: 53).

Pada bab 5, Elifas menyarankan Ayub supaya berhenti mengeluh

karena penderitaan yang dihadapinya, dan ia harus mengaku

bersalah kepada Allah yang transenden. Elifas tidak terbuka pada

kemungkinan lain yang terjadi pada masalah Ayub. Elifas terlalu

berpegang pada keyakinan tentang pemahaman tradisional

mengenai prinsip pembalasan di bumi (Atkinson., 2002: 57).

• Ayb 6 Ayub kecewa pada sahabat-sahabatnya, menurut Ayub mereka

terlalu skeptis dalam menanggapi kasus penderitaan yang

menimpa dirinya.

• Ayb 7 hidup itu berat. Pada bagian ini, Ayub meratapi nasibnya yang

malang, begitu berat dan mengerikan untuk disadari. Ratapan

Ayub seolah mengarah langsung pada Allah, dan berharap Allah

akan mendengarkan dan menjawab ratapan yang keluar dari

mulutnya.

• Ayb 8 Bildad membela keadilan hukuman Allah. Bildad adalah model

(52)

pembicaraannya dengan nada kesal: “Berapa lamakah lagi

engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti

angin yang menderu?” (8:2). Bildad seperti mempunyai

argumentasi bahwa anak-anak Ayub meninggal karena kesalahan

mereka sendiri (8:4). Jika Elifas memuliakan ke-Mahakudusan

Allah. Maka bildad lebih menekankan kekuatan dan keadilan

Allah (lih Ayb 8:3), disitu Bildad seperti bertanya tetapi ingin

menegaskan keyakinannya.

• Ayb 9 Jawab Ayub: tidak seorangpun dapat bertahan di hadapan Allah.

Pada bagian ini Ayub mau mengakui bahwa Allah mempunyai

kuasa penuh atas dunia dan seisinya, termasuk penderitaan yang

menimpa dirinya. Meski Ayub sangat menyadari bahwa dirinya

tidak bersalah, dan menurutnya tidak ada alasan yang tepat jika

Allah menimpakan penderitaan pada dirinya. Tetapi Ayub

mengakui, betapa kuat Allah dibanding dirinya yang tidak

berdaya karena tertimpa penderitaan, Ayub hanya bias pasrah

kendati hatinya bergumul akan keadilan Allah (9: 19-20).

• Ayb 10 Apakah maksud Allah dengan penderitaan? Ayub menyatakan

bahwa dirinya tidak mengerti dengan maksud Allah membiarkan

penderitaan terjadi pada dirinya. Padahal dia tidak pernah

melakukan kesalahan yang

Referensi

Dokumen terkait

PENDEKATAN SCP SHARED CHRISTIAN PRAXIS SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN UNTUK KATEKISASI REMAJA DI GEREJA TORAJA JEMAAT MARENDENG SANGATTA Oleh, Vania Ananda Massangka