i
BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL
SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Christine Yossy Meinarty
NIM: 081124016
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Sebagai wujud refleksi pribadi,
Saya persembahkan skripsi ini kepada
Seluruh keluarga besar saya, sahabat-sahabat saya, serta semua orang yang
mencari makna-makna penderitaan dalam hidupnya.
Secara istimewa kepada:
Tuhan yang Maha Cinta
Kedua orang tua yang sangat saya cinta: Bpk Sabianus S.Pd., M.Si & Ibu
Erminawati yang selalu mendoakan saya dan membesarkan saya dengan penuh
kasih sayang,
Adik-adik saya: Christian Dwi Fernando & Christy Tri Suhendro yang selalu
menghadirkan keceriaan dalam hidup saya
Teman dekat saya: Edy Pratomo S.Kep yang sabar mendengarkan keluh kesah
saya, dan juga tidak lelah memberikan dukungan kepada saya untuk
v MOTTO
Bukan kematian atau penderitaan yang harus ditakuti, melainkan rasa takut pada
penderitaan atau kematian itu sendiri.
Bukan apa yang terjadi pada anda, yang paling penting adalah bagaimana anda
bereaksi terhadap hal itu.
(Epictetus)
“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku
akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,
terpujilah nama Tuhan!”
(Ayub 1: 21)
Kemuliaan kita yang terbesar adalah bukan karena tidak pernah jatuh, tapi karena
bangun setiap kali kita jatuh
(Konfucius)
Jika anda mencintai sampai sakit, anda tidak akan menemukan luka lagi, hanya
ada cinta yang lebih. Jika anda tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah
makan satu orang saja
(Bunda Theresa)
Kebebasan adalah hak untuk hidup seperti yang kita inginkan
viii ABSTRAK
Realitas penderitaan adalah pengalaman yang dekat dengan hidup manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia. oleh karena itu, manusia selalu mencari dan menemukan cara yang tepat untuk menanggapinya. Salah satunya adalah dengan cara memaknainya.
Usaha dalam memaknai penderitaan bukan hanya merupakan usaha untuk menyikapi penderitaan saja, tetapi juga untuk mengasah/mengembangkan kedewasaan iman kita dalam menanggapi atau menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidup kita secara lebih baik. Bertitik tolak dari hal tersebut, skripsi yang berjudul “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN
PRAXIS (SCP)” dapat dimanfaatkan sebagai salah satu usaha manusia sekarang
untuk bersikap dewasa dalam menanggapi permasalahan hidup, baik yang terjadi pada orang lain maupun diri sendiri, dalam artian manusia dapat membebaskan diri dari belenggu yang disebabkan oleh pengalaman penderitaan.
Ada tiga permasalahan yang hendak penulis kaji dalam penulisan skripsi ini. Pertama, bagaimana penderitaan dimaknai dalam Kitab Ayub? Kedua, bagaimana pengaplikasian makna penderitaan manusia dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)? Permasalahan ketiga, bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis dapat diterapkan dalam konteks actual kita?
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tadi, Kitab Ayub menjadi sumber utama refleksi ini. Mengapa? Karena Kitab Ayub sangat luas berbicara tentang tema penderitaan manusia yang hendak kita maknai, dan kita dapat belajar dari kitab penderitaan tersebut. Untuk memperkaya studi pustaka tersebut, terutama yang menyangkut Kitab Ayub, penderitaan manusia, dan katekese pembebasan, usaha tadi dapat menjadi landasan bagi katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai tindak lanjut.
ix ABSTRACT
A man is very close with the experience of misery. Since, it is a part of human being; a man cannot be separated from it. A man even always tries to find the right way in order to understand the meaning of it.
In the terms of understanding it, a man does not only try to face it but also attempt to develop the maturity in his faith or strive to solve his problem wisely. Considering this issue, this thesis, “BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” can be used as the guidance or contemplation to
develop the maturity in order to face many problems in oneself or other. In this case, it is expected that a man can release himself from the shackle of misery.
Three are three problem formulations that the author wants to discuss in this study. First, how is the misery defined according to the book of Ayub? Second, how do the application of human misery in the context of liberation catechesis with a Shared Christian Praxis (SCP) work?, and the third is how can Shared Christian Praxis (SCP) be applied in the actual context?.
The book of Ayub is the primary source to answer those questions. It is because the book of Ayub has a wide significance to discuss about human misery and there are a lot of important explanations about it in this book. Furthermore, to complete the library studies about human misery, the book of Ayub, and the liberation catechesis, Shared Christian Praxis (SCP) can be used as the follow-up step.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa
memberkati dan melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: “BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN
APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” ini. Kisah Ayub memberi gambaran kepada kita
bahwa kesetiaan kepada Allah tidak tergantung pada apa yang diberikan Allah
kepada kita, melainkan hasil pilihan dan keputusan kita secara bebas sebagai
mkhluk yang bebas. Dari kisah Ayub ini, penulis mengajak para pembaca untuk
belajar dari Kitab Ayub, terutama dalam usaha menemukan makna penderitaan
hidupnya.
Skripsi yang difokuskan pada usaha memaknai penderitaan ini, tidak
terlepas dari keprihatinan dan kesadaran penulis akan realitas penderitaan
manusia, baik secara personal maupun komunal, secara langsung atau tidak
langsung penulis alami. Sebagai sumbangan praktis penulis berhubungan dengan
usaha pemaknaan ini, penulis menawarkan katekese pembebasan model Shared
Christian Praxis (SCP), yakni katekese yang bertujuan untuk menimbulkan
kembali kesadaran umat beriman akan perjuangan dan harapan akan kebebasan
dari pengalaman pahit yang membelenggu hidup umat beriman. Selain itu, skripsi
ini ditulis sebagaisalah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di
xi
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentu saja penulis sering mengalami
kesulitan. Atas kesadaran pribadi, penulis merasa bahwa skripsi ini tidak mungkin
terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh syukur, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. P. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., selaku Kaprodi
IPPAK-USD yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, terutama
dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. C.B. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu penuh
perhatian mendengarkan curhat penulis, serta sabar mendampingi, penulis
sejak awal masuk IPPAK sampai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi
ini.
3. P. Dr. A. Hari Kustono, Pr selaku dosen pembimbing utama yang bersedia
meluangkan waktunya, serta penuh perhatian dan tabah dalam membimbing
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. P. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu, perhatian dan memberikan masukan dan motivasi dalam
menimbulkan gagasan baru dalam penulisan skripsi ini.
5. Bpk. Drs. L. Bambang Hendarto Y, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah
menyediakan waktu dan perhatiannya kepada penulis
6. Kedua orang tua, serta keluarga besar saya yang selalu mendoakan dan
mendukung saya baik secara moril maupun materil.
7. Teman dekat saya yang selalu setia memotivasi saya dalam menyelesaikan
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….………….…. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…….…… ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….……….…... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….………….……… iv
MOTTO ……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….………. vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…….….……….… vii
ABSTRAK ……….. viii
ABSTRACT ……….…….… ix
KATA PENGANTAR ……….…….…... x
DAFTAR ISI ………... xiii
DAFTAR SINGKATAN ……….………….…... xxi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….…….…….…….. 1
B. Rumusan Permasalahan ……….….………….……….... 14
C. Tujuan Penulisan ……….…….……... 15
D. Manfaat Penulisan ……….……….…………. 15
E. Metode Penulisan ……….………... 16
F. Sistematika Penulisan ……….………….……….………... 16
BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB A. Identitas Kitab Ayub ……….…….……….………. 18
xiv
2. Pengarang Kitab Ayub ……….….….…….…….……….. 19
3. Waktu Penulisan ……….…….…... 22
B. Struktur Penulisan Kitab Ayub ………….……....……... 22
1. Prolog ……….……… 23
a. Allah di Awal Penderitaan Ayub ……….……..….…………. 24
b. Peran Iblis yang Tersembunyi ………..….….. 26
1) Musibah yang Pertama ……….….….………... 26
2) Musibah Kedua ………..……… 28
2. Dialog ……… 29
a. Lingkaran Pertama ………....………... 29
b. Lingkaran Kedua ……….…….…... 33
c. Lingkaran Ketiga ………..…….….. 34
3. Ellihu Masuk dalam Pembicaraan …….…….…….….….……… 34
4. Ayub Ingin Allah Bicara dan Jawaban Dari Allah …...…….…. 35
a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya ………...……… 35
b. Teofani: Jawaban Allah ………..………. 36
1) Jawaban Allah yang Pertama …………....….……… 37
2) Jawaban Allah yang Kedua ………..…….……… 38
5. Epilog ……….………… 39
C. Gaya Penulisan Kitab Ayub ……….….…….….…….………… 39
1. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Prosa .…..….…...….. 41
2. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Puisi …...……….… 43
D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan ….……...……..…….... 45
xv
2. Sikap Ayub dalam Penderitaan ………...…….……. 46
a. Kepasrahan Ayub ………..……….. 47
b. Ayub Mengeluh ……….….………. 47
c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub ………...….….… 48
d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub ………...……… 51
e. Tuduhan Ayub kepada Allah ………....…... 53
f. Pengharapan Ayub ………...……… 53
1) Pengharapan Implisit ………..….…….. 54
2) Pengharapan Eksplisit ………..….…….………… 55
BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT PANDANGAN IMAN KRISTIANI, BELAJAR DARI KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI ORANG KRISTIANI DI ZAMAN SEKARANG A. Memahami Penderitaan secara Umum ………...…….…….. 59
1. Pengertian Penderitaan ………...………... 59
2. Beberapa Contoh Penderitaan Manusia ………...…... 61
a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………...…. 61
b. Penderitaan yang Disebabkan Oleh Orang Lain ….…... 63
c. Penderitaan demi Orang Lain dan demi Tugas Perutusan .…. 64
d. Penderitaan Karena Penyakit ………...………… 65
e. Bencana Alam ……….……….… 66
3. Cara Mengatasi Penderitaan ………....….. 66
a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………... 67
xvi
c. Penderitaan demi Orang Lain ………....…….. 67
d. Penderitaan karena Bencana Alam ………...………. 68
e. Penderitaan karena Penyakit ………...…………... 68
B. Relevansi Penderitaan Ayub bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di
Zaman Sekarang ………...……… 71
1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan
Iman Kristiani ……….……….……….. 71
a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan
Yesus Kristus ………..……… 73
b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan .. ...… 74
1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia:
menjadikan manusia rendah hati ………...….. 75
2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi
penderitaan: solidaritas ………...….…….. 76
3) Kedewasaan iman ……….….……… 79
2. Makna Penderitaan Ayub ………..….….……….……. 80
a. Penderitaan Ayub Bukan Akibat Dosa
Atau Hukuman Dari Allah ………...……… 83
b. Penderitaan Ayub Membawa Pemahaman Baru
Mengenai Allah Dan Penderitaan Manusia …………..….….. 85
3. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Kita …….…... 88
a. Penderitaan, Dosa, dan Pertobatan ………….…………....…. 88
b. Penderitaan, Pengharapan, Perjuangan
xvii
c. Penderitaan dan Penerimaan Diri Sebagai
Makhluk yang Terbatas ………..…. 92
BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB DENGAN KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) A. Panggilan dan Pergulatan Orang Beriman dalam Menghadapi Penderitaan ………...… 95
1. Panggilan Manusia ……….….……….. 95
a. Manusia sebagai Pribadi ………....……….. 98
b. Manusia Mencari Allah ………...……… 99
c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama …...….…. 100
2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan ………...….….…. 100
a. Kesadaran ntuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan Martabat Manusia yang Menderita …... 103
b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman ………..….…... 105
B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita Di Zaman Sekarang ………...….….…….….. 106
1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis .………...…. 106
a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta ……...….…… 106
b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia ………...………….. 107
xviii
a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat
Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan …………..….… 108
b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup ……….…. 109
c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja ……… 111
1) Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia ………... 111
2) Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama ………... 111
C. Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Alternative dalam Menanggapi Penderitaan Orang Kristiani 1. Gambaran Katekese secara Umum ……….…….….. 113
a. Pengertian Katekese secara Umum ………...………… 115
b. Isi Katekese ………..…….….…….………. 115
c. Tujuan Katekese ……... 117
d. Prinsip Katekese ………..………… 118
e. Subjek Katekese ……….…………. 120
f. Objek Katekiese ……….………. 121
g. Fungsi Katekese ………..…………. 121
2. Katekese Pembebasan ………..……. 122
a. Isi Katekese Pembebasan .……….….…. 124
b. Tujuan dan Sasaran Katekese Pembebasan ……..…....…...… 125
c. Dasar-dasar Katekese Pembebasan ………...….…. 126
1) Dasar Teologi ……….……….…..….…... 127
2) Dasar Psikologis ……….….….….… 128
xix
3. Katekese Pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)
a. Alasan Pemilihan Model Katekese Pembebasan ….….….…. 132
b. Tiga Komponen Pokok……….………….…….…….. 132
1) Praksis .….….……….……….……….. 132
2) Kristiani ……….….….….…..….….……….…… 132
3) Shared ……….…….……….. 133
c. Langkah-langkah Model Shared Christian Praxis (SCP)... 135
1) Langkah I ………...….... 135
2) Langkah II ………....……... 135
3) Langkah III ………....…. 136
4) Langkah IV ………..….….…. 136
5) Langkah V ……….……...……. 137
4. Usulan Program Katekese Pembebasan dan Contoh Persiapan Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………. 138
a. Contoh Usulan Program . …..….…….……..……….…. 140
b. Contoh Persiapan Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………….….……….…. 144
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….……. 158
B. Saran ……….….……….…. 160
DAFTAR PUSTAKA ………..… 161
xx
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 1997
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes
Paulus II tentang Penyelenggaraan Katekese Masa Kini.
16 Oktober 1979
LG : Lumen Gentium, konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, 12
November 1964.
GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Moderen, 7 Desember 1965.
KGK : Katekismus Gereja Katolik
KWI : Koferensi Waligereja Indonesia
SD : Salvifici Doloris, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus
II tentang arti Kristiani dari Penderitaan Manusia, 11
Februari 1984.
C. Singkatan Lain
ARDAS KAS : Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang
xxi
Ayb : Ayub
dll : dan lain-lain
Hal : Halaman.
KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme
PKI : Partai Komunis Indonesia
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
Sbb : sebagai berikut
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dunia ini, manusia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang
terjadi dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu seperti: kesedihan, kesukaran,
kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kegagalan. Ini merupakan fenomen
kehidupan yang dialami oleh manusia.
Penderitaan merupakan pengalaman yang dekat dengan manusia. Manusia
tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang
manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia (Timotheus,
1970: 23). Penderitaan adalah suatu fenomena yang kedudukannya sejajar dengan
peristiwa hidup lainnya, seperti kelahiran, kematian, kegembiraan, sakit dan
sebagainya (Haryanto, 2011 : 334).
Dalam diri manusia ada keharusan untuk mengerti segala hal yang terjadi
sepanjang sejarah hidupnya, termasuk masalah penderitaan yang dialaminya.
Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia tidak pernah berhenti
dipertanyakan. Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang
paling menonjol (Michael Polanyi, 2001: 15). Tidak mengherankan jika manusia
disebut makhluk yang berpikir atau “animale rationale” (Robini, 1998: 14,18).
Mungkin saja manusia akan berhenti bertanya jika berhenti menjadi manusia.
Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia yang mampu mengenal
dan mencintai ciptaan-Nya (GS 12,3). Manusia diciptaan Allah secitra
dengan-Nya. Karena hal inilah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan
membuat manusia saling menghargai, dan menghormati martabat hidup satu
dengan yang lain. Tetapi pada kenyataannya, di dunia ini masih sering terjadi
permusuhan, pertikaian antar bangsa, suku, agama, dan itu dipelopori oleh satu
orang atau suatu kelompok tertentu. Terkadang tidak jarang orang yang tidak
bersalah ikut jadi korban.
Manusia saling membunuh dan saling menghancurkan. Tentu kita masih
ingat peristiwa pembantaian anggota PKI yang terjadi pada tahun 1965. Peristiwa
ini mengingatkan kita pada sejarah bangsa Indonesia yang tak pernah lekang oleh
peristiwa tragis, pertikaian antarkelompok, pembalasan dendam lama,
pembunuhan, semua ini merupakan perbuatan tanpa penghargaan terhadap pribadi
manusia yang bermartabat. Tidak hanya orang-orang PKI, orang-orang yang tidak
termasuk di dalamnya juga menjadi korban pembantaian orang-orang bringas
(Majalah Tempo, 17 Oktober 2012). Kenyataan hingga saat ini, bangsa Indonesia
masih mengalami penderitaan kolektif, yang juga menimbulkan penderitaan secara
pribadi.
Kita diingatkan kembali pada sejumlah peristiwa mengerikan dalam sejarah
hidup manusia: pembantaian 6 juta orang Yahudi di kamp konsentrasi NAZI,
pembantaian rakyat Timor Leste dalam insiden Santa Cruz tahun 1991, perang
Afganistan dan Irak yang menelan ribuan nyawa manusia, peristiwa tsunami tahun
2004 Aceh dan Nias yang menelan banyak jiwa dan harta benda, gempa bumi
tektonik di Yogyakarta, meletusnya gunung merapi pada tahun 2010 juga menelan
begitu banyak korban (Emanuel Bria, 2007: 9).
Kita sekarang hidup dalam dunia yang tidak aman. Sampai saat ini, masih
banyak ditemukan kasus pembunuhan, ketidakadilan (KKN), pelecehan seksual,
di tanah airnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri, penderitaan adalah realita
yang sangat dekat dengan manusia, ada hubungan erat diantara keduanya: manusia
dan penderitaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II, dalam Salvifici Doloris (art. 3) : “…, dalam bentuk yang bagaimanapun,
penderitaan agaknya, dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia
di dunia ini”. Pernyataan ini semakin menegaskan dan meneguhkan keyakinan
kita, bahwa benar adanya relasi yang erat antara penderitaan sebagai realitas, dan
manusia sebagai entitas (keberadaan) yang terbatas dan tidak dapat diulang (SD
art. 8).
Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia, sering terjadi akibat adanya
kejahatan. Kejahatan itu sendiri berasal dari manusia; kurang harmonisnya
hubungan antara manusia dan dunia (Timotheus, 1970: 25). Mengutip pernyataan
dari Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai kejahatan:“Dapat dikatakan bahwa
manusia menderita bilamana ia mengalami tindakan kejahatan dalam bentuk
apapun” (SD art. 7). Kejahatan tersebut dapat berupa ketidakadilan, yang termasuk
di dalamnya ada unsur; keserakahan, kekuasaan, penindasan, kekerasan dan
kemiskinan. Tindakan kejahatan menimpa kaum lemah. Kenyataan yang terjadi,
orang kaya menindas yang lemah, orang pintar yang mengatur, orang yang punya
kuasa memonopoli. Namun belum tentu orang yang merasa lebih adalah orang
yang hidup benar dan bahagia. Ini adalah permasalahan yang terjadi antar manusia.
Semua ini terjadi karena kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia.
Realita penderitaan di atas membuat kita merasa takut dan cemas barangkali
bencana yang sama akan menimpa kita juga. Kita sungguh berhadapan dengan
pengalaman akan dunia yang absurd. Jika dunia diciptakan oleh Allah Maha
dipahami begitu tidak berkuasa? Jika Allah itu benar-benar ada, dari mana
datangnya penderitaan yang menimpa manusia? Dalam pengalaman buruk dan
sangat mengerikan, masih bermaknakah keyakinan kita bahwa Allah itu sungguh
ada? Kalau memang Allah sungguh ada, mengapa Dia tidak campur tangan dalam
peristiwa penderitaan? Mengapa Dia memilih untuk membiarkan penderitaan ada
di dunia? Apakah Allah tidak sayang pada mahkluk ciptaan-Nya? Atau mungkin
Allah hanya ada dalam dongeng? Kalaupun penderitaan bukan berasal dari Allah,
dan kalau memang benar Allah itu Mahakuasa dan mengasihi manusia, mengapa
Allah membiarkan penderitaan merajalela di dunia? Bukankah seharusnya Allah
melindungi makhluk ciptaan-Nya yang lemah dan kecil? Orang baik berhak
mendapat ganjaran yang setimpal dan orang yang jahat diberi hukuman (Robini,
1998: 34). Apa sesungguhnya yang Allah inginkan atas diri manusia yang
menderita?
Dari fenomen-fenomen singkat di atas, penulis melihat ada persoalan yang
menarik untuk dicari jawabannya, dan ini akan menjadi diskusi yang menarik dan
tidak akan ada habisnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mau tahu, dan
bertanya “mengapa” pada segala yang dialaminya. Terutama orang seringkali
bertanya-tanya ketika berhadapan dengan penderitaan, apalagi jika penderitaan
tersebut menimpa orang baik dan jujur. Ketika manusia berhadapan dengan situasi
yang tidak dia kehendaki, ia dapat saja berontak, marah, kecewa, dan frustasi. Kita
yang hanya melihat saja dapat berontak, marah dan kesal, apalagi mereka yang
mengalaminya. Pertanyaan yang muncul: “Di manakah Allah? Di manakah Allah
ketika Merapi Meletus, tsunami Mentawai terjadi, banjir Wasior, dan bencana
lainnya yang merenggut banyak nyawa manusia tak berdosa? Jika memang Allah
pertanyaan “mengapa” merupakan usaha manusia untuk menemukan jawaban dan
makna dari penderitaan yang menimpanya. Ini adalah reaksi yang manusiawi.
Hingga saat ini masih terdengar manusia mengeluh, menyalahkan Allah atas
masalah yang dialami, kecewa pada kegagalan dan penderitaan yang menimpa
dirinya. Merasa putus asa ketika dihadapkan pada suatu masalah yang berat, dan
bahkan membuat manusia harus mengakhiri hidupnya. Manusia sering
bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini hukuman atas dosa? Mungkin saya memang
pantas mendapatkan ini?. Semua pertanyaan itu, menggambarkan bahwa Allah
senang memberikan pelajaran dan hukuman setimpal atas dosa-dosa yang
diperbuat manusia, sehingga gambaran Allah yang sesungguhnya yakni Maha
pengasih dan pengampun hampir tidak ada. Lalu bagaimana dengan manusia yang
menderita tanpa melakukan perbuatan dosa? Apakah itu adil? Kredibilitas Allah
mulai dipertanyaan.
Melihat realitas di atas kembali kita perlu memahami bahwa Allah memberi
kebebasan kepada manusia untuk melakukan segala hal di dunia sesuai dengan
kehendak bebasnya. Menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas berarti:
membiarkan kemungkinan bahwa manusia akan salah pilih, dan jatuh dalam dosa
(Timotheus, 1965: 22). Ini bukan berarti Allah dengan sengaja menghendaki
manusia jatuh dalam dosa, namun Allah itu baik, tidak pernah memaksa manusia
untuk mencintai Dia, namun Allah tetap menunggu manusia benar-benar secara
bebas dan sadar mencintai Dia dengan memberikan jawaban iman dan cinta yang
tidak dapat diberikan makhluk lain sebagai penggantinya (KGK, 1993: 94).
Memaknai penderitaan adalah sebuah upaya reflektif yang sudah dilakukan
adanya manusia; sekurang-kurangnya sejak manusia menyadari dirinya sebagai
makhluk reflektif; makhluk yang berpikir dan memiliki akal budi.
Dalam menemukan makna penderitaan, penulis mengutip pernyataan dari
Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris, bahwa: “…dalam bentuk
yang bagaimanapun penderitaan agaknya dan memang hampir tak terpisahkan dari
eksistensi manusia di dunia ini” ( SD art. 3). Pernyataan ini menegaskan bahwa
ada keterikatan yang kuat antara penderitaan dan hidup manusia. Selama manusia
masih bernafas di dunia ini, maka permasalahan yang menimbulkan penderitaan
akan selalu datang silih berganti.
Kebanyakan orang, pasrah menghadapi penderitaan, tanpa mau berjuang dan
menemukan makna di balik penderitaan, sehingga penderitaan dilihat sebagai
pengalaman yang menakutkan. Pertanyaan reflektif bagi kita, bagaimana kita
menemukan makna dibalik penderitaan?. Sebagai wujud kesadaran sebagai
makhluk reflektif, penulis di sini turut mengambil bagian dalam memaknai
penderitaan manusia zaman sekarang.
Penderitaan merupakan misteri dalam hidup. Penderitaan tidak selalu dapat
dimengerti secara tuntas oleh manusia. Memaknai penderitaan adalah upaya
manusia menyadari dirinya yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan
dengan kejadian buruk, menakutkan dan menyakitkan.
Penderitaan manusia adalah realitas yang tidak terelakkan dari dunia ini.
Penderitaan yang dialami manusia hendaknya dimaknai. Iman kitalah yang mampu
memberi makna pada hal tersebut. Pertanyaannya, apakah iman kita sudah mampu
memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau, kita
membiarkan iman mati dan terkikis oleh kekhawatiran kita? (Haryatno, 2011:
Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya
bahwa Allah Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita
akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala
yang diciptakan di dunia ini? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah
dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi
jawaban atas semua ini (Atkinson, 1996: 31).
Dalam kesadaran sebagai orang beriman, tentunya kita dapat kembali
melihat ke dalam sumber wahyu tertulis kita, Kitab Suci. Mengikuti Bapa Suci
Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: “Kitab Suci merupakan sebuah buku
yang besar tentang penderitaan” (SD Art 6), Dalam rangka memaknai penderitaan,
akhirnya kita dapat belajar dari sana. Untuk tujuan inilah, maka penulis akhirnya
mengupas sebuah kitab yang secara istimewa mengungkapkan penderitaan yang
dialami oleh manusia. Isi cerita dari kitab ini sangat menarik dan juga inspiratif.
Kitab ini merupakan kitab yang banyak berbicara tentang penderitaan orang benar.
Kitab yang besar berbicara mengenai penderitaan manusia ini adalah Kitab Ayub.
Benarkah Allah itu Mahakasih dan Mahaadil? Kalau memang benar,
mengapa penderitaan masih merajalela di bumi? Mengapa manusia dibiarkan-Nya
saling menindas dan saling membunuh? Tragisnya lagi, tidak semua korban adalah
orang jahat. Di bumi ini masih banyak orang saleh jadi korban penindasan dan
keserakahan sesamanya. Ini sangat memprihatinkan. benarkah Allah itu adil? Tapi
mengapa orang-orang jahat diberi kehidupan yang layak, sementara orang saleh
harus berjuang keras untuk hidupnya. (Stanislaus, 2008: 51-52).
Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham
akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan
menghukum yang jahat.
Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di
bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan
segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam
buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal (Ams 10-22; 25-29) dan Yesus bin Sirakh.
Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi
seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah
satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang
yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat
dipertahankan lagi.
Penderitaan orang benar adalah tema yang menjadikan Kitab Ayub istimewa
dalam konteks sekarang. Kitab Ayub menghadirkan gagasan baru mengenai ajaran
tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub
mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan
dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan
dosa (Stanislaus, 2008: 55-58).
Segala sesuatu di bumi diciptakan Allah baik adanya, ini jelas menunjukan
bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik, termasuk penderitaan
(Kej 1: 31). Terkadang kitalah yang sulit memahami maksud Allah. Menjadi
pertanyaan; “apakah orang benar mampu menanggapi penderitaan yang
dialaminya secara benar atau tenggelam dalam penderitaan? Apakah penderitaan
merupakan hukuman dari Allah? Mungkin manusia dapat lebih merasakan
Orang benar atau orang beriman juga mengalami penderitaan dalam hidup.
Dengan iman yang teguh orang beriman mampu menerima, menggulati dan
memaknai penderitaan. Bagi orang benar memaknai penderitaan berarti dengan
iman membangun relasi dengan Allah. Orang benar menyerahkan hidupnya dalam
bimbingan dan penyelenggaraan Allah dan dengan sikap iman mengupayakan
sikap-sikap positif dalam menghadapi penderitaan. Orang benar akan menemukan
bahwa Allah itu penuh kasih meskipun mengalami penderitaan dalam hidup.
Orang benar memiliki harapan dalam menghadapi penderitaan. Orang benar
mengharapkan Allah yang senantiasa memberi kekuatan. Harapan tersebut
merupakan reaksi orang benar ketika menghadapi penderitaan seperti bencana
alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya. Harapan tersebut juga
merupakan ungkapan bahwa orang benar merasa lemah, tak berdaya, kecil
sehingga membutuhkan Allah dalam menghadapi penderitaan.
Dalam Kitab Ayub, yang menjadi permasalahan di dalamnya adalah
mengenai persoalan dan maksud Allah mengapa membiarkan orang baik
menderita. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah. Namun dia
menderita. Mengapa orang benar seperti Ayub harus menderita? Pertanyaan ini
seakan ingin menunjukan adanya ketidakadilan yang dialami oleh manusia.
Penderitaan Ayub disebabkan oleh iblis, dan dilakukannya (iblis) atas izin
dari Allah. Mari kita lihat Ayub 1:6-12, sbb:
dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. 11Tetapi ulurkanlah tanganMu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau dihadapan-Mu. 12Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.
Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, namun Allah tetap
mengasihi Ayub (ay 12). Dari bagian awal kisah Ayub, kita melihat bahwa
penderitaan Ayub bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas
dosa. Sesungguhnya apa maksud dari penderitaan Ayub orang saleh ini?
Dalam kisah digambarkan bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan
kepercayaannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang
menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena
kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan oleh Iblis di awal kisah (lih.
Ayb 1: 9) terbukti tidak benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala
kepunyaannya telah sirna. Dengan berseru penuh ketulusan hati Ayub berseru;
“Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang
juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang
mengambil, terpujilah nama Tuhan! (Ayb 1: 21)”. Bagi Ayub segala yang terjadi
di atas bumi ini, semua adalah kehendak Allah termasuk juga penderitaan yang
menimpa dirinya.
Di akhir kisah digambarkan bahwa karena kesetiaannya itu, Allah
mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang
dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 10-17). Dalam Kitab Ayub, penderitaan
dibicarakan secara dialektik oleh tokoh-tokohnya. Dengan adanya perdebatan atas
dan menarik. Karena itulah penulis dapat mengatakan bahwa kitab Ayub adalah
kitab penderitaan.
Secara manusiawi kita pasti berpikir bahwa Tuhan tidak adil jika memberi
hukuman penderitaan kepada orang benar, sedangkan orang-orang yang
melakukan penindasan, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya dibiarkan hidup
bahagia. Sebagai manusia biasa wajar saja bila Ayub mengeluh dengan
penderitaan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, yang bisa dikatakan orang baik
dan takut akan Allah. Inilah salah satu keluh kesah atau pertanyaan yang keluar
dari mulut Ayub “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku
keluar dari kandungan ?”(Ayub 3 : 11). Sungguh memilukan nasib Ayub, seorang
saleh dan patuh pada perintah Allah. Dia harus mengalami penderitaan yang begitu
berat. Sebenarnya apa yang ingin Allah tunjukan kepada manusia terutama melalui
kisah Ayub?
Belajar dari Kitab Ayub, kita dituntut semakin peka untuk lebih peduli dan
bersikap solider terhadap sesama yang menderita. Setidaknya solidaritas tersebut
dapat penulis wujudkan melalui jawaban yang tepat dari pertanyaan mengenai
makna sebuah penderitaan yang terjadi menimpa hidup manusia. Dalam bukunya,
Krispurwana Cahyadi (2011: 3) memaparkan pemikiran dari Paus Yohanes Paulus
II, demikian: “membela martabat dan hak asasi manusia merupakan salah satu
tugas Gereja”, beliau memandang manusia sebagai pribadi berharga dihadapan
Allah dan diciptakan secitra dengan-Nya. Dengan menghargai martabat manusia
kita mewujudkan sikap iman terhadap Allah. Pertanyaannya: “Apakah kita cukup
beriman untuk mewujudkan tugas tersebut?”.
Saat berada di kayu Salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama
Aku?”. Bahkan, Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Apakah
memang demikian? Apakah Allah tidak peduli terhadap manusia yang menderita?
Fenomena di atas menunjukan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa
penderitaan sehingga tidak ada tempat bagi Allah untuk memperjelas maksudnya,
Allah selalu bertindak sesuai dengan maksud-Nya sendiri (Atkinson, 2002: 55).
Dalam penderitaan-Nya, Yesus tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia
memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan.
Ungkapan “Eloi, Eloi Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus
mencari Allah meski penderitaan dialami begitu berat. Allah yang kita imani
adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan terjadi. Hanya saja
kita tidak menyadarinya. Begitu juga Allah hadir saat Yesus di salib dan wafat,
jika Allah tidak hadir maka Yesus tidak mungkin bangkit (Haryatno, 2011: 335).
Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah tetap menyertai umatnya dalam situasi
apapun, terutama dalam pengalaman penderitaan, sebab Allah sendiri juga
mengalami penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus Putera-Nya (Robini,
1998: 15).
Penderitaan Yesus adalah demi dan untuk umat yang dikasihi-Nya, demi kita
semua, manusia. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita bersama Dia,
seperti yang dilakukan oleh Paulus untuk Yesus Kristus yang tertulis dalam Kitab
Suci, II Tim: 10-12 sbb :
Sanggupkah kita menderita bersama Kristus seperti yang dilakukan Paulus?
Selama ini kita mempercayai penderitaan adalah ganjaran atas perbuatan dosa,
namun kisah Ayub memberi kita wajah lain dari penderitaan, yaitu penderitaan
tanpa dosa. Itulah sebabnya mengapa kisah Ayub penting untuk memahami arti
dan makna penderitaan orang benar, yaitu karena penderitaan Ayub adalah
penderitaan yang tidak biasa, penderitaan tanpa melakukan perbuatan dosa.
Menurut Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II: “…Penderitaan Ayub adalah
penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai
suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh manusia secara penuh berdasarkan
akal budinya…” (SD art. 11). Kalau bukan hukuman atas dosa, lantas apa maksud
Allah dibalik penderitaan orang benar? Memang benar bahwa penderitaan
mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu
kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan akibat dari dan
bentuk dari dosa.
Manusia yang menderita, harus dibebaskan. Gereja harus memerangi
ketidakadilan yang terjadi di dunia, apa yang harus dilakukan oleh Gereja dalam
menanggapi penderitaan sesama? Sejak dahulu sudah diusahakan suatu
pembebasan bagi kaum miskin, namun sampai sekarang belum tuntas juga. Negara
Indonesia ini memang banyak menyimpan sejarah hidup, penderitaan dan
perjuangan manusia. Ada juga manusia yang pasrah pada nasib, dan ada juga yang
terdorong untuk menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan oleh Marsinah,
seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, namun akhirnya ditemukan tewas
mengenaskan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa terusik
Menyadari hal di atas, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan
reflektif kritis guna memberi gambaran baru sebagai usaha untuk membantu orang
benar zaman sekarang menemukan makna dibalik penderitaannya. Selain itu,
beranjak dari situasi di mana seringkali terjadi vonis semena-mena atas
penderitaan orang lain, maka penderitaan harus dimaknai sungguh-sungguh
sehingga dapat menjauhkan kita dari penilaian subjektif yang malah semakin
menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana usaha
kita dalam menemukan makna dibalik penderitaan yang menimpa orang benar?
Dan apa yang harus kita lakukan sebagai usaha membantu mereka yang menderita
dapat memaknai penderitaannya?
Beranjak dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, akhirnya
dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengajak kita semua belajar bersama
untuk merefleksikan penderitaan yang terjadi di dalam hidup kita khususnya
belajar bersama Kitab Ayub, melalui kacamata iman Kristiani menemukan
bersama makna dibalik penderitaan orang benar serta penerapannya melalui
katekese pembebasan. Maka dari itu, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan
judul : BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK
PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE
PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan
dibahas dalam karya tulis ini dapat dirumuskan sbb:
2. Bagaimana orang benar jaman sekarang memaknai penderitaann yang
dihadapinya?
3. Apakah katekese pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) dapat
membantu umat Kristiani dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam
hidup secara konkret?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengungkapkan bagaimana penderitaan orang benar dimaknai dalam Kitab
Ayub sehingga dapat menjadi inspirasi bagi umat kristiani dalam menyikapi
penderitaan hidup.
2. Memaparkan bagaimana keteguhan iman, membantu orang benar jaman
sekarang menanggapi penderitaan hidup sehingga dapat semakin didewasakan
dalam iman
3. Memaparkan bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared
Christian Praxis masih sangat relevan digunakan sebagai alternative dalam
membantu peserta untuk mendalami dan menemukan makna dari pengalaman
hidupnya.
4. Memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Strata-1 Program
Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis sendiri, penulis semakin peka dan termotivasi untuk menanggapi
penderitaan orang lain, serta penulis dapat semakin bertumbuh dewasa dalam
2. Bagi pembaca, pembaca menemukan makna penderitaan sebagai inspirasi
mereka terutama dalam menanggapi/menyikapi permasalahan yang mereka
alami.
3. Memberi gambaran kepada semua orang, sejauhmana iman, pengharapan dan
kasih pada Allah dapat membebaskan manusia dari belenggu penderitaan
yang terjadi dalam hidupnya, serta tidak melihat penderitaan sebagai sesuatu
yang mengerikan, melainkan dapat menyikapinya secara tepat dengan iman
yang dewasa.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
analisis deskriptif terhadap kisah Ayub. Kisah Ayub menjadi sumber pokok dalam
penulisan karya ini. Penulis akan memaparkan hasil refleksi kritis terhadap kisah
Ayub dan diperkaya dengan studi pustaka.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II membahas tentang Identitas dari Kitab Ayub, struktur penulisan,
sistematika penulisan, gaya penulisan kitab Ayub dan sikap Ayub dalam
menghadapi penderitaan. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat benar-benar
mendasari usaha pemaknaan atas penderitaan yang terungkap dalam Kitab Ayub,
yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Bab III merupakan usaha memahami penderitaan secara umum, mulai dari
pengertian penderitaan, beberapa contoh penderitaan, dan cara mengatasinya.
Selanjutnya penulis akan membahas tentang relevansi penderitaan Ayub bagi
penderitaan manusia, umat Kristiani di zaman sekarang. Dalam bagian ini, penulis
akan menguraikannya seperti: makna penderitaan manusia menurut iman Kristiani,
makna penderitaan Ayub, dan relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan kita
Sebagai hasil dari usaha pemaknaan atas penderitaan itu, Pada Bab IV,
penulis akan menunjukan aplikasinya dalam katekese pembebasan model Shared
Christian Praxis (SCP) sebagai wujud praktis dari usaha menemukan makna
dibalik penderitaan orang benar zaman sekarang. Sebelumnya penulis akan
memaparkan panggilan dan pergulatan orang berimann dalam menghadapi
penderitaan, kemudian dilanjutkan dengan pokok-pokok gagasan berkatekese bagi
orang Kristiani yang menderita di Zaman sekarang.
Akhirnya Bab V merupakan penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini,
penulis akan mengungkapkan kembali inti pokok dari seluruh rangkaian
pembahasan karya tulis ini, yang berisi kesimpulan dan saran yang dapat semakin
meneguhkan iman pembaca. Terutama dalam memotivasi dan memberikan
inspirasi kepada mereka, sehingga mampu menanggapi pengalaman penderitaan
BAB II
BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB
Keistimewaan Kitab Ayub semakin jelas bila kita mendapat penjelasan lebih
lanjut mengenai Kitab tersebut. Pada bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar
memahami Kitab Ayub seperti: identitas Kitab Ayub, struktur penulisan Kitab
Ayub, genre Kitab Ayub, gambaran singkat kisah Ayub si penderita dan maksud
penderitaan Ayub.
A. Identitas Kitab Ayub
Kita diharapkan dapat memahami identitas Kitab Ayub secara menyeluruh.
Hal ini sebagai suatu usaha untuk memudahkan kita menemukan makna di balik
penderitaan orang benar yang di kisahkan dalam kitab tersebut. Ini juga menjadi
acuan kita dalam menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam
kehidupan umat kristiani di zaman sekarang.
1. Asal-Usul Kitab Ayub
Konon pada abad-abad yang silam, para sarjana yakin bahwa pernah ada
sejenis cerita rakyat berjenis fabel berisi ajaran-ajaran moral yang bertujuan
memperkuat perasaan religious masyarakat. Cerita ini lebih merupakan kisah
“konon di suatu masa” tentang seorang tokoh yang menderita. Tokoh tersebut
bernama Ayub yang memiliki pribadi yang baik dan begitu sempurna (Kushner,
1987: 46).
Sepanjang sejarah kehidupan di bumi, umat manusia tak lepas dari
menyadari bahwa penderitaan adalah akibat dari adanya kejahatan ataupun dosa si
penderita. Namun, yang menjadi persoalannya adalah mengapa masih ada orang
yang menderita bukan karena dosanya? (Robini, 1998: 38).
Beranjak dari pertanyaan itu, maka menjadi penting bagi kita untuk
membahas Kitab Ayub. Perlu diketahui bahwa Kitab Ayub merupakan hasil dari
refleksi mengenai problem penderitaan, terutama penderitaan orang saleh yang
takut akan Allah. Dalam pembahasan kita ini, kita akan menemukan komprehensif
kitab tersebut, perihal pengalaman penderitaan orang benar yang hendak kita bahas
dalam terang iman Kristiani. (Robini, 1998: 19).
Pada abad ke-6 sebelum masehi, pada zaman Nabi Yehezkiel Ayub dikenal
sebagai tokoh yang amat saleh dan juga baik, dapat dilihat dalam Yeh 14 : 14,20
selain Nuh dan Daniel. Pada abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi seorang penyair
anonim yang berbakat dan juga memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik,
mencoba mengkritisi pandangan para ahli dan guru kebijaksanaan mengenai
hubungan mutlak antara perbuatan manusia dan nasibnya (Weiden, 1995:
104-105).
Mempelajari Kitab Ayub sama halnya dengan menyingkap pengalaman
manusia, terutama dalam peristiwa penderitaan. Sepertinya si pengarang Kitab
Ayub ingin mencari jawaban atas penderitaan Ayub. Oleh sebab itu, tema
penderitaan Ayub merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia.
2. Pengarang Kitab Ayub
Heavenor menuliskan bahwa pengarang Kitab Ayub belum diketahui (1999:
67). Tampaknya pernyataan ini menjadi permulaan yang membuat kita pesimis
mengakui bahwa si pengarang adalah orang beriman yang mungkin memiliki
pengalaman yang sama dengan Ayub (tokoh dalam tulisannya).
Kushner menuliskan bahwa pengaramg kitab Ayub adalah seorang pria yang
hidup sekitar tahun 600-400 SM dan tidak ada satu tulisan sejarahpun yang
mengetahui nama pria tersebut. Sejak saat itu, pria tanpa kejelasan nama atau
identitas jelas ini telah menyuguhkan karya yang luar biasa bagi kehidupan umat
manusia (Kushner, 1987 : 45).
Banyak ahli melihat bahwa pengarang Kitab Ayub bukanlah orang Yahudi.
Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang berperan dalam keseluruhan kisah.
Seluruh kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita tidak terikat pada suatu budaya
Yahudi semata-mata. Para ahli mengambil kesimpulan bahwa kitab ini bukan
ditulis seorang Yahudi. Meskipun pernyataan di atas dapat diterima bahwa kitab
tersebut banyak terdapat unsur non-Yahudi, namun kitab ini telah diterima secara
umum ditulis oleh orang Yahudi dalam bahasa Ibrani (Robini, 1998: 28).
Pengarang kitab Ayub hanya kita kenal melalui karya unggul yang
dihasilkannya. Ia pasti seorang Israel yang sering merenungkan tulisan para nabi
dan ajaran para bijaksana. Mungkin sekali ia bertempat tinggal di Palestina. Tetapi
dia pasti membuat perjalanan-perjalanan atau malahan tinggal di luar negeri,
khususnya di negeri Mesir. Kita hanya dapat menerka-nerka di zaman mana
pengarang hidup. Bagian-bagian prosa sangat serupa dengan ceritera-ceritera
mengenai para bapa bangsa. Kesamaan itu menyebabkan orang di zaman dahulu
yakin, bahwa kitab Ayub sama seperti kitab Kejadian ditulis oleh Musa. Tetapi
dugaan itu paling-paling berlaku untuk rangka kitab Ayub saja. Kitab Ayub pasti
persamaan ungkapan dan gagasan dengan nabi-nabi itu. Bahasa yang dipakai kitab
sehabis masa pembuangan di Babel (Guinan, 2002: 403)
Kitab Ayub dipilih berdasarkan refleksi mengenai problem penderitaan,
terlebih hal yang menyangkut penderitaan orang benar (Robini, 1998: 18).
Pengarang Ayub merenungkan nasib orang benar yang menderita. Menurut
pendapat tentang pembalasan di bumi yang beredar di kalangan umum, nasib
semacam itu sangat absurd. Inilah yang pengarang refleksikan. Pengarang
sepertinya mempunyai kepekaan yang sangat besar terhadap penderitaan kaum
lemah miskin, tersingkir dan difabel yang ada di jamannya. Mungkin yang menjadi
pertanyaannya saat itu, mengapa orang yang sudah susah hidupnya harus semakin
menderita oleh penyakit dan akhirnya binasa, sedangkan orang congkak dengan
bebasnya menikmati hidup berkelimpahan harta dan uang? Ternyata para cendekia
dan orang yang dianggap cerdas berusaha memberikan kejelasan mengenai realitas
ini, tidak membuat hati si pengarang merasa puas (Kushner, 1987 : 45).
Dikarenakan ketidakpuasannya tersebut si pengarang yang mempunyai
kemampuan intelektual dan jiwa seni yang hebat ini akhirnya menulis sebuah sajak
filosofis yang panjang sesuai dengan pergulatan hatinya sendiri mengenai
persoalan mengapa Allah membiarkan hal-hal buruk menimpa orang-orang benar.
Sajak yang reflektif ini muncul dalam Alkitab bernama Kitab Ayub (Kushner,
1987 : 45).
Pengarang yang hidup antara abad ke-6 dan ke-4 sebelum M., bermaksud
untuk memperlihatkan kekeliruan kepercayaan tradisional, bahwa dalam dunia
inilah segala kebaikan dan kejahataan sudah mendapat ganjaran dari Allah
3. Waktu Penulisan
Sangat sulit menentukan kapan pastinya Kitab Ayub muncul. Beberapa ahli
menempatkannya dalam konteks pembuangan di Babel, ada juga ahli yang
mengaitkannya dengan peperangan dan kekacauan yang menimbulkan kehancuran
Yehuda dan Yerusalem sekitar tahun 587 SM. Ada yang mengatakan bahwa kitab
Ayub ditulis sekitar masa-masa Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku
ini diakui telah ditulis sekitar tahun 600-400 SM. Pendapat inilah yang sering
dijadikan suatu acuan, tetapi kepastiannya tidak ada (Robini, 1998: 29).
B. Struktur Penulisan Kitab Ayub
Struktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara sesuatu
disusun atau dibangun, atau berarti juga susunan atau bangunan yang dapat
memberikan petunjuk bagi kita untuk lebih dalam mempelajari keberadaan
sesuatu. Dalam hal ini penulis akan mengajak kita untuk melihat struktur kisah
dalam Kitab Ayub. Jadi pertanyaannya adalah seperti apakah struktur Kitab Ayub?
Dapat dikatakan struktur kitab adalah kerangka dari seluruh rangkaian yang
ada dalam kitab tersebut. Maka dengan melihat struktur kitab, setidaknya keutuhan
isi dapat diketahui. Mengenai struktur penulisan Kitab Ayub, Weiden menuliskan
bahwa prolog-epilog Ayub bukan suatu cerita rakyat saja, melainkan hasil karya
seorang pengarang yang melalui skematisasi itu ingin memberikan kesan “luar
biasa” kepada kisahnya. Ke-luar-biasa-an yang dimaksud adalah menunjukan
bagaimana Allah berkarya dalam diri Ayub atau peristiwa hidup manusia terutama
peristiwa penderitaan, dan ini diperlihatkan secara menyeluruh oleh Kitab Ayub
Secara garis besar, Kitab Ayub terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian
pertama yakni prolog (Ayb 1-2), bagian kedua adalah bagian dialog yang
memaparkan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya, termasuk Ellihu.
Dapat dikatakan ini merupakan bagian puisi yang didramakan (Ayb 3-42:7).
Sedangkan bagian ketiga dari kitab ini adalah bagian epilog ( Ayb 42: 8-17) yang
berbentuk prosa sama seperti pada prolog (Robini, 1998: 23). Penulis membuat
gambarnya, sbb:
Secara lebih mendetail, untuk semakin memberi kejelasan pada pembaca,
penulis memaparkan pemikiran Marvin H. Pope dalam buku yang disusun oleh
Robini.M., dan H. J. Suhendra, di mana dia membagi Kitab Ayub dalam 5 bagian
utama, berikut gambar dan uraiannya:
1. Prolog
Pada bagian prolog, tokoh Ayub diperkenalkan. Bisa jadi bagian ini adalah
bagian yang paling diketahui banyak orang dibandingkan dengan bagian-bagian
yang lain. Pada bagian prolog Ayub dikenal sebagai orang yang jujur, benar dan
takut akan Allah, dan ia menjauhkan diri dari segala hal yang tidak baik (Ayb 1:
10).
Kitab Ayub mengisahkan seorang yang bernama Ayub. Ia berasal dari Uz.
Ayub adalah seorang konglomerat pada zamannya, dia ayah dari tujuh anak
laki-Prolog Dialog Epilog
Kitab Ayub
Prolog 1-2
Dialog
3-31 38:1-42:6 Yahwe 42:7-17 Prolog Elihu
laki, dan tiga anak perempuan; angka-angka yang menggambarkan kesempurnaan
(Atkinson, 1974: 19). Ia adalah sosok orang yang setia, taat, saleh, jujur, benar,
takut akan Allah, sekaligus menjauh dari larangan Allah (Ayb 1: 1; 2: 3). Dia
sangat terkenal paling kaya diantara semua orang di sebelah timur (Ayb 1: 3).
Tiba-tiba ia dicobai iblis dengan sepengetahuan atau izin dari Allah (Ayb 1:12)
(Weiden: 199: 72). Percobaan tersebut menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya
musnah tak berbekas, anak-anaknya diambil oleh Allah dari dirinya (Ayb 1:
15-19).
a. Allah di Awal Penderitaan Ayub
Karakter Ayub pada bagian prolog adalah gambaran Ayub sebagai orang
saleh yang sabar dan bijaksana, cara hidup dan penghayatan imannya mendapat
perhatian khusus dari dewan surgawi dan Allah juga memuji kesalehan Ayub (Ayb
1: 8). Ada tiga percobaan yang dialami oleh Ayub. Percobaan pertama: Iblis yang
datang bersama-sama dengan dewan-dewan surgawi menantang iman Ayub di
hadapan Allah (Ayb 1: 9), “Apakah dia menyesali perbuatan baik yang telah dia
lakukan sebelumnya? Bagaimana motivasi Ayub menjadi hamba Allah? apakah
ada motif ingin mendapatkan timbal balik dari Allah? dan bagaimana sikap Ayub
dalam menanggapi penderitaan yang ditimpakan pada dirinya dan orang lain, bila
menurutnya kenyataan tidak sesuai dengan paradigmanya? Apakah Ayub cukup
sabar dengan penderitaan yang menimpa dirinya dan orang lain secara tidak adil?.
Percobaan kedua: atas sepengetahuan dan izin dari Allah, Iblis menimpakan
penderitaan pada Ayub dengan tujuan untuk menguji kesetiaan Ayub (Ayb 1: 12).
Kedua: Ayub yang telah kehilangan seluruh harta dan anak-anak yang
dikasihinya, tetap menunjukan kesetiaannya kepada Allah (Ayb 1: 20). Percobaan
kembali (Ayb 2:5), dan Allah pun meng-iya-kan. Namun demikian, Allah masih
berbelaskasih pada Ayub, Ia tidak mengizinkan Iblis mengambil nyawa Ayub
(Ayb 2:6).
Pada bagian ini kita diajak untuk melihat bagaimana sikap Ayub dalam
menanggapi cobaan atas dirinya. Tiga bentuk cobaan di atas, sekaligus menjadi
pertanyaan untuk mengantar kita untuk melihat lebih jelas bagaimana Ayub
menghadapi penderitaan yang menimpanya.
Ayub telah membuat penilaian bahwa Allah memberikan sejahtera pada
orang jahat dan menimpakan penderitaan pada orang yang benar seperti dirinya,
yang berkeyakinan kuat tidak melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membuat
Allah murka, menghujat Allahpun Ayub tidak pernah. Ayub tidak pernah
menyesali bahwa dia dulu adalah hamba Tuhan yang saleh dan berbelas kasih
kepada sesama terutama kaum miskin, lemah, dan tersingkir yang hidup
disekitarnya. Sehubungan dengan cobaan Ayub yang pertama, hal ini menunjukan
keberhasilan Ayub mengatasinya dengan baik (Robini, 1998: 49).
Sama halnya dengan cobaan yang kedua, Ayub juga berhasil mengatasinya.
Awalnya iblis beranggapan bahwa Ayub berbuat baik semata-mata hanya untuk
mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah. Setan meragukan Ayub adalah hamba
Allah yang setia, karena menurutnya Ayub akan meninggalkan Allah dan
mengutuk-Nya apabila Ayub tidak diberkati dan mendapatkan kelimpahan harta
dan kebahagiaan. Dan hal itu diperjelaskan oleh doktrin ortodoks “siapa yang
berbuat baik akan diberi ganjaran dari Tuhan”. Namun dalam kisah Ayub, dia
tetaplah orang benar, jujur, takut akan Allah dan menjauhi larangan Allah. Ayub
anaknya, harta musnah dan kesehatan memburuk, Ayub tidak pernah berpikir
untuk meninggalkan Allah (Ayb 1: 21-22).
Dalam dialog, Ayub tidak pernah berkata seperti ini: “Baiklah sebab
seseorang yang mengabdi kepada Tuhan tidak akan memperoleh apa-apa, maka
aku akan mengutuk Allah. Sekaligus tidak bersedia menjadi hamba-Nya lagi.”
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, tetap berpegang teguh pada imannya akan
Allah (Robini, 1998: 50).
b. Peran Iblis yang Tersembunyi
Penulis akan membagi penderitaan akibat iblis menjadi dua bagian.
Pembagian ini lebih dikarenakan oleh serangan iblis terhadap diri Ayub;
maksudnya karena Ayub diserang Iblis dua kali. Dari situ kita langsung dapat
mengatakan bahwa ada dua jenis musibah yang terjadi dan akan diuraikan secara
lebih jelas dalam pembahasan berikut:
1) Musibah yang Pertama
Musibah pertama adalah musibah yang menimpa Ayub pertama kali
dikarenakan oleh serangan Iblis (Ayb 1: 13 - 19). Dalam musibah ini, Ayub
mengalami peristiwa mengerikan yang menimpa hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu
adalah: serangan orang syeba yang merampas lembu, sapi, keledai-keledai dan
membunuh penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 14 - 15); api turun dari langit
membakar habis kambing domba dan penjaga-penjaganya (Ayb 1: 16 ); serbuan
orang-orang Kasdim yang membentuk tiga pasukan terhadap unta-unta dan
merampas serta memukul penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 17); dan tiupan
angin ribut dari seberang padang gurun ke rumah tempat anak-anak Ayub
Bila kita perhatikan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas, tidak secara
langsung menimpa diri Ayub secara pribadi. Dalam serangan ini Ayub hanya
mendengar berita dari para penjaga atau pembantunya saja. Dengan demikian
penderitaan Ayub akibat serangan Iblis ini menimpa Ayub tidak secara langsung.
Maksudnya, derita itu tidak terkena langsung pada diri Ayub namun tetap saja ia
merasa sedih karena mendengar berita tersebut.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas berlangsung secara berturut-turut.
Tidak ada jeda waktu di antara peristiwa yang satu dan yang lain. Hal ini
dinyatakan dengan ungkapan penjaga atau pembantunya. Seperti yang dituliskan
di sana: “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata:…”,
yang diulang tiga kali (Ayb 1: 16-18). Dengan demikian menjadi jelas bahwa
peristiwa itu terjadi sangat singkat. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana Ayub
seakan-akan tidak sempat menarik nafas sebelum peristiwa baru didengarkannya.
Musibah pertama oleh serangan Iblis ini sangat dahsyat; dalam waktu yang
singkat Iblis berhasil menghancurkan seluruh harta dan anak-anak yang
dikasihinya. Mengenai hal ini, Weiden mengatakannya sebagai kemalangan yang
tidak memberikan waktu untuk refleksi” (1995: 110). Dengan waktu singkat
seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana Ayub diam terpaku memandang kosong.
Dia tidak menyangka bahwa peristiwa tragis tersebut menimpa keluarganya
dengan waktu yang singkat tanpa jeda sedikitpun. Mungkin saja hal tersebut dapat
dihubungkan dengan reaksi spontan Ayub yang mengoyak pakaiannya dan
mencukur kepalanya, dst (Ayb. 1 : 20).
Dari seluruh peristiwa mengerikan karena serangan Iblis, Ayub mampu
bertahan pada keyakinannya akan kuasa Allah. Hal ini terlihat dalam ungkapan
pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang
mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Itu artinya Ayub tetap berpasrah
diri terhadap Allah. Seperti yang dituliskan dalam Ayub 1: 22: “Dalam
kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang
kurang patut”. Penulis melihat bahwa dalam penderitaan tersebut Ayub tetap setia
kepada Dia [Allah].
2) Musibah Kedua
Musibah yang kedua adalah musibah yang terjadi pada Ayub karena
serangan kedua dari Iblis. Musibah yang kedua ini secara langsung menimpa diri
Ayub yaitu serangan terhadap fisiknya. Di sana dituliskan bahwa setelah Iblis
pergi dari hadapan Tuhan Allah, maka dia menimpakan barah yang busuk dari
telapak kaki Ayub hingga batu kepalanya (Ayb 2: 7). Sejak saat itu, setelah
digaruknya dengan sekeping beling, Ayub mengalami penderitaan secara fisik
(Ayb. 2: 8).
Penderitaan fisik tersebut menyebabkan Ayub tidak dikenal lagi oleh para
sahabatnya karena penderitaan fisik Ayub sangat mengerikan dan mengubah
bentuk fisik dirinya (Ayb. 2: 12). Penderitaan fisik ini merupakan awal dari
penderitaan yang secara langsung berhubungan dengan diri Ayub sendiri. Lengkap
sudah penderitaan Ayub. Penderitaan tidak hanya menyerang harta dan
keluarganya, namun penderitaan akibat serangan Iblis tersebut telah melekat pada
dirinya. Sejak awal memang Ayub sasaran utama serangan dari Iblis, dan itu atas
sepengetahuan dan izin Allah.
Akibat serangan-serangan iblis itu, Ayub mengalami kesedihan karena
kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya. Inilah penderitaan jiwa Ayub yang
dikasihinya , tetapi juga melukai diri Ayub. Penderitaan semakin melekat pada diri
Ayub.
2. Dialog
Bagian dialog merupakan bagian terbesar dari Kitab Ayub, dan bagian ini
dapat terbagi menjadi tiga bagian lagi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Wilcox.
Perlu kita ketahui bahwa dialog yang dimaksud dalam kitab ini mempunyai
pengertian yang berbeda dari yang kita pahami saat ini. Pada kitab ini, yang
dimaksud “dialog” tidak terdapat proses saling menanggapi satu sama lain.
Maksudnya, setelah seorang berbicara tidak ada lagi yang memberi tanggapan,
namun setelah seseorang berbicara maka yang lainnya serta merta beralih pada
pembicaraan lain. Sepaham dengan Wilcox, Robini (1998: 24) membagi bagian
dialog menjadi tiga lingkaran.
a. Lingkaran Pertama
Lingkaran pertama terdiri dari Ayb 3-14. Pada bab ini ingin diperlihatkan
bagaimana bagian puisi dari kitab ini memiliki karakteristik dan bentuk “Mazmur”
yang berisi tentang pujian yang diiringi oleh keluh kesah. Dialog dimulai pada bab
3 yaitu pada saat Ayub mulai meratapi hari kelahirannya (Ayb 3: 1-16). Ayb 3:
20-26 Pada bagian puisi ini Ayub mulai meratapi nasibnya sehingga ia merasa bahwa
Allah tidak adil kepadanya (Robini, 1998: 25).
Berikut dinamika argumentasi Ayub melawan sahabt-sahabatnya:
• Ayb 3 keluh kesah Ayub, dia menyesali hari kelahirannya.
• Ayb 4-5 Elifas memberanikan diri berbicara untuk menanggapi ratapan
supaya lebih berpengharapan (4:6). Bukankah orang tidak
bersalah dan jujur dilindungi oleh Allah? (4:7). Elifas memberi
penghiburan pada Ayub sesuai dengan keyakinannya, bahwa
pada akhirnya orang yang tidak bersalah, tidak akan binasa.
Maksud Elifas yakni kita akan menuai apa yang kita tabur (4:
7-9). Pada bagian ini, Elifas mengingatkan Ayub, ia hidup di dunia
yang diatur secara moral, sehingga kesalehan akan mendapatkan
upah yang baik “pemikiran tradisional: prinsip pembalasan di
Bumi” (Atkinson, 2002: 53).
Pada bab 5, Elifas menyarankan Ayub supaya berhenti mengeluh
karena penderitaan yang dihadapinya, dan ia harus mengaku
bersalah kepada Allah yang transenden. Elifas tidak terbuka pada
kemungkinan lain yang terjadi pada masalah Ayub. Elifas terlalu
berpegang pada keyakinan tentang pemahaman tradisional
mengenai prinsip pembalasan di bumi (Atkinson., 2002: 57).
• Ayb 6 Ayub kecewa pada sahabat-sahabatnya, menurut Ayub mereka
terlalu skeptis dalam menanggapi kasus penderitaan yang
menimpa dirinya.
• Ayb 7 hidup itu berat. Pada bagian ini, Ayub meratapi nasibnya yang
malang, begitu berat dan mengerikan untuk disadari. Ratapan
Ayub seolah mengarah langsung pada Allah, dan berharap Allah
akan mendengarkan dan menjawab ratapan yang keluar dari
mulutnya.
• Ayb 8 Bildad membela keadilan hukuman Allah. Bildad adalah model
pembicaraannya dengan nada kesal: “Berapa lamakah lagi
engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti
angin yang menderu?” (8:2). Bildad seperti mempunyai
argumentasi bahwa anak-anak Ayub meninggal karena kesalahan
mereka sendiri (8:4). Jika Elifas memuliakan ke-Mahakudusan
Allah. Maka bildad lebih menekankan kekuatan dan keadilan
Allah (lih Ayb 8:3), disitu Bildad seperti bertanya tetapi ingin
menegaskan keyakinannya.
• Ayb 9 Jawab Ayub: tidak seorangpun dapat bertahan di hadapan Allah.
Pada bagian ini Ayub mau mengakui bahwa Allah mempunyai
kuasa penuh atas dunia dan seisinya, termasuk penderitaan yang
menimpa dirinya. Meski Ayub sangat menyadari bahwa dirinya
tidak bersalah, dan menurutnya tidak ada alasan yang tepat jika
Allah menimpakan penderitaan pada dirinya. Tetapi Ayub
mengakui, betapa kuat Allah dibanding dirinya yang tidak
berdaya karena tertimpa penderitaan, Ayub hanya bias pasrah
kendati hatinya bergumul akan keadilan Allah (9: 19-20).
• Ayb 10 Apakah maksud Allah dengan penderitaan? Ayub menyatakan
bahwa dirinya tidak mengerti dengan maksud Allah membiarkan
penderitaan terjadi pada dirinya. Padahal dia tidak pernah
melakukan kesalahan yang