• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB

1. Panggilan Manusia

Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan cirinya yang khas (Michael Polanyi, 2001: 15). Ada dua maksud panggilan manusia, yakni panggilan sebagai sapaan dari Allah (gratio operans), dan panggilan sebagai jawaban manusia (gratia cooperans). Sapaan Allah datang kepada manusia melalui perjumpaannya dengan Allah. Allah sendiri yang mempunyai inisiatif untuk memanggil manusia (Mardi Prasetya. 1992: 14).

Tanda-tanda sapaan Allah dapat direnungkan dari pribadi Kristus dan pewahyuan-Nya, ajaran-ajaran Kristus yang secara nyata sampai pada kita melalui wahyu Kitab Suci, ajaran Gereja, serta kesaksian-kesaksian hidup panggilan dalam keluarga, pergaulan dengan teman, dan pergaulan dengan umat sekitar tempat tinggal. Allah menyatakan diri kepada manusia melalui pertemuan pribadi. Dalam

pertemuan itu, Allah tidak memperkenalkan diri-Nya saja, tetapi juga memperlihatkan rencana keselamatan-Nya. Wahyu Allah bukan sekedar informasi, melainkan cara Allah berkomunikasi dengan manusia. Ini merupakan cara Allah mengundang partisipasi manusia untuk ambil bagian dalam rencana penyelamatan Allah. Manusia diajak bertemu dengan Allah dan hidup dalam kesatuan dengan- Nya (KWI, 1996: 124). Pada akhir zaman Allah akan menghapus segala air mata: maut tidak akan ada lagi; perkabungan, ratap tangis dan dukacita akan berlalu.’; (Why 21: 4). Allah terus-menerus mewahyukan diri di dalam Gereja, komunitas, dan orang-orang beriman: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18: 20). Kutipan injil itu mau menunjukkan kepada kita bahwa Allah hadir melalui orang-orang yang ada di sekitar kita. Ketika kita dirundung masalah entah itu berat atau ringan, Allah senantiasa membantu kita menghadapinya. Bagaimana cara Allah membantu kita? Tentu saja melalui saudara-saudari yang ada di sekitar kita. Perlu kita sadari bahwa “pola hidup yang ditawarkan oleh injil adalah suatu usaha untuk mengartikan hidup ini” (Setyakarjana, 1997: 11).

Untuk menjawab sapaan Allah, kita perlu mendengarkan dan terbuka terhadap sapaan cinta Allah yang hadir melalui banyak cara. Dengan bersikap terbuka, kita mampu melihat dan mengalami betapa Allah mencintai manusia, dan menjadikan hidup manusia lantas lebih berarti, meski dalam situasi menderita sekalipun. Melalui keterbukaan atas sapaan Allah, manusia semakin memahami bahwa dengan beriman kepada Allah, dia dapat menemukan makna dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidupnya (Setyakarjana, 1997: 11). .

Allah hadir lewat orang-orang yang miskin dan menderita. Mengapa? Karena Allah sendiri adalah Allah yang menderita dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus

(Robini, 1998: 15). Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa Sang Pencipta sejak semula ikut ‘bersedih’ atas penderitaan yang tidak dapat dihindari-Nya. Tentu saja ‘kesedihan illahi’ itu tidak sama seperti kesedihan manusia. Maka dalam arti tertentu terdapat suatu solidaritas menderita antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya. Solidaritas ini memuncak dalam pengorbanan nyawa yang diterima Yesus Kristus secara sukarela demi manusia yang dikasihi, dan itu bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala penderitaan (Heuken, 2005: 169).

Pengalaman pribadi mengenai hubungan kita dengan Allah dapat melalui banyak hal, salah satunya dari refleksi atas pengalaman hidup (Mardi Prasetya. 1992: 14). Manusia dianugerahi rahmat untuk bekerjasama menjawab sapaan Allah, dan ini jelas dalam disposisi manusia secara maksimal diarahkan untuk mencari kehendak Allah. Hasil akhir dari usaha mencari Allah adalah penyerahan diri secara total kepada Allah, dengan melakukan kehendak-Nya yang penuh kasih (Merino, 1989: 7).

Disposisi tersebut berupa kebebasan manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan-Nya, dengan kebebasan tersebut manusia dapat secara aktif memilih dan bekerjasama dengan Allah atau bahkan menolak Allah. Bekerjasama dengan Allah berarti manusia ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya. Caranya adalah bersikap terbuka pada sesama, dan sanggup mewujudkan cinta kasih di tengah dunia.

Manusia memiliki kemampuan-kemampuan berupa; kemampuan psiko-fisik, kemampuan psiko-sosial, dan kemampuan spiritualitas-rasional. Kemampuan- kemampuan itu berkaitan dengan taraf kedewasaan pribadi manusia yang akan menentukan kualitas jawabannya terhadap Allah. Hal ini disebabkan adanya pengaruh disposisi intelektual, afektif, dan volutif. Orang dapat beriman dan

mengetahui banyak tentang iman, tetapi tidak tergerak untuk mencintai hal yang diketahuinya, itu tidak ada artinya. Ini disebabkan oleh disposisi afektifnya tidak dewasa, dan sebagainya; lebih-lebih bila integritas diri atau keutuhan pribadi tidak tercapai dalam pertumbuhan hidupnya maka hal ini akan sangat menentukan mutu jawaban. Selain itu, disposisi manusia menyangkut pada tindakan hidup sehari- hari, di mana seseorang mampu mewujudkan kesaksian hidup iman, bekerja secara efektif terlibat dalam tugas Gereja membangun Kerajaan Allah di tengah dunia (Mardi Prasetya, 1992: 15).

Dalam sejarah hidup manusia, baik secara profan maupun yang berdimensi sejarah keselamatan, terjadi dialektika antara kecenderungan manusia yang didorong oleh rahmat dan kecenderungan kepada dosa; sebuah medan hidup yang terbentang antara kuasa Iblis dan Kuasa Allah.

Uraian di atas cukup memperlihatkan kepada kita bahwa manusia selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan dalam hidup. Suka atau tidak suka, manusia memang harus menentukan pilihan, jalan mana yang harus di tempuh. Mengikuti kuasa setan atau kuasa Allah? Sebagai anggota Gereja, apa yang harus dilakukan umat beriman dalam menanggapi panggilan hidupnya terutama ketika berhadapan dengan penderitaan, bagaimana umat beriman menyikapi hal tersebut?

a. Manusia sebagai Pribadi

Manusia adalah pribadi. Setiap pribadi unik dan dipanggil Allah menuju kesucian sebagai murid Yesus (Yes 14: 4). Manusia sebagai pribadi, dipanggil Allah untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Secara personal, manusia dicintai oleh Allah dan dipanggil untuk membangun relasi dengan Allah (Banawiratma, 1994: 140).

Panggilan menjadi murid Yesus Kristus menyangkut seluruh pribadi. Iman menjiwai seluruh aspek kemanusiaannya. Panggilan itu tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga berciri kebersamaan atau komunitas. Semua pengikut Kristus disatukan dalam Tubuh Mistik Kristus, yakni dalam Gereja-Nya (Rukiyanto, 2012: 77).

b. Manusia Mencari Allah

Paulus dari Salib menggambarkan Allah sebagai seorang Bapa yang mengulurkan tangan-Nya bagi manusia. Dalam peziarahan hidup ini manusia mencari-cari Allah. Di mana Allah ketika gunung Merapi meletus dan menewaskan banyak orang? Di mana Allah ketika Ayub menderita? Apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi permasalahan hidup ini? Pertanyaan ini sangat sering diucapkan manusia yang mencari Allah. “Manusia mencari Allah dan Allah mencari manusia”, manusia ibaratkan anak yang hilang dan Allah adalah Bapa yang penuh belaskasih (Luk 15: 11-32). Seorang anak sering melakukan kesalahan, tidak patuh, dan sering mengecewakan orang tua, tetapi “orang tua tidak meninggalkan anaknya, sahabat tidak mengkhianati sahabatnya, dan Allah itu Bapaku sekaligus sahabatku” (Carretto, 1989: 23).

Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan Allah dan manusia seperti “Ibu dan anak”, kerinduan manusia akan Allah sudah terukir dalam hati manusia (KGK, 2007: 19). Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicari secara terus- menerus: “Martabat paling luhur manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah…” (KGK, 2007: 19). Sejak dahulu, manusia

berusaha menemukan Allah dengan cara pandang iman dan pola hidup rohani seperti berdoa, kurban, upacara dan meditasi.

c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama

Kebebasan adalah ciri manusia yang membuatnya melampaui makhluk ciptaan lain. Kebebasan ini terungkap di dalam kesanggupan berpikir maupun dalam kemampuan berkehendak. Untuk menjamin kebebasan itu, dibutuhkan kemahakuasaan Allah (Budi Kleden, 1998: 247). Kemahakuasaan Allah sangat dibutuhkan, karena tanpa kekuasaan Allah kekuasaan manusia menjadi absolute dan tidak ada batasnya, dan orang yang tidak punya kuasa akan semakin menderita (Budi Kleden, 1998: 249).

Dalam tindakan kasih kepada sesama, kasih kepada Allah menjadi nyata (lih Mat 22: 37-39). Allah mengharapkan manusia dengan kehendak bebas yang Dia berikan, manusia dapat secara bebas dan sadar saling mengasihi satu sama lain, saling meneguhkan dalam setiap perkara hidup. Inilah salah satu panggilan manusia, dan cara manusia menjawab panggilan Allah yakni dapat mencinta Allah dan mencintai sesama. Mencintai sesama berarti juga mencintai Allah. Perlu diketahui bahwa kasih kepada sesama bukan hanya sebatas relasi yang baik antara satu sama lain, melainkan lebih dari itu yakni melalui pengalaman pribadi hidupnya yang penuh misteri, manusia dapat menyadari keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Dalam kasih manusia mau menerima kenyataan itu juga di dalam diri sesama (KWI, 1996: 191).