• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG KONSEP PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

D. Gagasan Hawking Tentang Teori-M

Tak seorangpun yang tampaknya tahu apa arti “M”, tapi bisa saja “master” (majikan), “miracle” (mukjizat), atau “mystery” (misteri). Mungkin tiga-tiganya sekaligus. Orang-orang masih mencoba menguraikan hakikat teori-M, tapi boleh jadi itu juga mustahil. Bisa saja harapan tradisional ahli fisika akan suatu teori tunggal bagi alam tak dapat terwujud, dan tidak ada rumusan tunggal. Boleh jadi untuk menjabarkan alam semesta kita harus menggunakan teori yang berbeda-beda dalam berbagai situasi. Tiap teori mungkin punya realitas versi sendiri, yang bisa diterima sepanjang prediksi teori-teorinya seragam bila saling tumpang tindih, yaitu ketika beberapa teori bisa diterapkan sekaligus.54

Oleh karena itu, hukum-hukum teori-M memperkenankan adanya berbagai alam semesta dengan berbagai hukum yang bisa diketahui,

53

Agus Purwanto, D.Sc. Nalar Ayat-ayat Semesta. (Bandung: Mizan, 2012) h. 56 54

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 126-127

tergantung bagaimana kelengkungan ruang internal. Teori-M punya solusi yang memungkinkan berbagai ruang internal, barangkali sampai

alam semesta yang berbeda, masing-masing dengan hukum-hukumnya sendiri.55

Baik teori-M ada sebagai rumusan tunggal maupun sekedar jejaring, kita sudah tahu beberapa sifatnya. Pertama, teori-M punya sebelas dimensi ruang-waktu, bukan sepuluh. Para pemikir teori dawai sudah lama menduga bahwa prediksi sepuluh dimensi mungkin harus disesuaikan, dan penelitian terkini menunjukan bahwa satu dimensi memang selama ini terlewatkan. Selain itu, teori-M tak hanya bisa berisi dawai bergetar tapi juga zarah titik, lembar dua dimensi, gumpalan tiga dimensi, dan benda-benda lain yang lebih sukar dibayangkan dan menempati makin banyak dimensi ruang, sampai sembilan. Benda-benda itu disebut p-brane (dengan p berkisar antara nol sampai sembilan).56

Menurut teori-M, ruang-waktu punya sepuluh dimensi ruang dan dimensi waktu. Tujuh dimensi ruang dianggap tergulung amat kecil sehingga tak diperhatikan oleh kita, sehingga kita melihat ilusi bahwa yang ada hanya tiga dimensi besar yang akrab dengan kita. Satu pernyataan penting yang belum terjawab dalam teori-M adalah: Mengapa, di alam

55

untuk mendapat gambaran akan banyaknya, pikirkan begini: jika ada makhluk yang dapat menganalisis hukum-hukum yang diprediksi bagi tiap alam semesta dalam satu milidetik saja dan mulai bekerja pada saat Ledakan Besar, maka sekarang makhluk itu bakal barumenyelesaikan dan itu tanpa istirahat. (Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 128)

56

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 127

semesta kita, tidak ada lebih banyak dimensi besar, dan mengapa dimensi lainnya tergulung?57

Kosmologi dari atas ke bawah justru (top down)58 memprediksi bahwa jumlah dimensi ruang yang besar tidak ditetapkan kaidah fisika apapun. Akan ada amplitudo peluang kuantum untuk tiap jumlah dimensi ruang besar dari nol sampai sepuluh.

Jumlahan Feynman memperkenankan semua itu, untuk semua kemungkinan sejarah alam semesta, tapi pengamatan bahwa alam semesta kita punya tiga dimensi ruang besar memilih kelompok sejarah yang punya sifat seperti yang kita amati. Dengan kata lain, peluang kuantum alam semesta punya lebih banyak atau lebih sedikit daripada tiga dimensi ruang besar tak relevan karena kita sudah menentukan bahwa kita ada dalam alam semesta dengan tiga dimensi ruang besar. Jadi sepanjang amplitudo probabilitas59 tiga dimensi ruang besar tidak tepat nol, tidak penting seberapa kecilnya itu dibanding amplitudo probabilitas jumlah dimensi lain.60

Bagaimana dengan dimensi-dimensi yang tergulung? Ingat bahwa dalam teori-M bentuk persis dimensi-dimensi lain yang tergulung, ruang internal, menentukan nilai besaran fisik seperti muatan elektron dan hakikat interaksi antar zarah dasar, yaitu gaya-gaya di alam. Kiranya urusan kita lebih singkat jika teori-M hanya memperkenankan satu atau sedikit bentuk

57

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 150

58

Pendekatan dari atas ke bawah (top down) dalam kosmologi, pendekatan penelusuran

sejarah dari “atas ke bawah”, yaitu mundur dari zaman sekarang. 59

Amplitudo probabilitas (probability amplitude), dalam teori kuantum, angka kompleks yang kuadrat nilai absolutnya memberi nilai peluang.

60

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 151

untuk dimensi-dimensi tergulung, yang bisa disisihkan satu per satu sehingga tinggal tersisa satu kemungkinan hukum alam yang diketahui. Justru ada amplitudo probabilitas untuk mungkin hingga ruang

internal yang berbeda, masing-masing menghasilkan hukum-hukum dan nilai-nilai konstanta fisik yang berbeda.61

Asumsi biasa dalam kosmologi adalah bahwa alam semesta punya sejarah tunggal dan pasti. Hukum fisika bisa digunakan untuk menghitung bagaimana sejarah itu berjalan seiring waktu. Kita sebut itu pendekatan “bawah ke atas” (bottom up)62 terhadap kosmologi. Tapi karena kita harus pertimbangkan sifat kuantum alam semesta sebagaimana dinyatakan jumlahan sejarah Feynman, amplitudo probabilitas alam semesta berada dalam keadaan tertentu sekarang dicapai dengan menjumlahkan kontribusi semua sejarah yang memenuhi syarat kondisi tanpa perbatasan dan mencapai keadaan yang sedang dipertimbangkan. Tapi akan ada berbagai sejarah bagi berbagai kemungkinan keadaan alam semesta pada waktu sekarang. Akibatnya muncul pandangan yang amat beda atas kosmologi, serta hubungan antara sebab dan akibat. Semua sejarah yang berkontribusi kepada jumlahan Feynman bukan ada secara independen, melainkan bergantung kepada apa yang diukur. Kita menciptakan sejarah lewat pengamatan, bukan sejarah yang menciptakan kita.63

61

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 152

62

Pendekatan dari bawah ke atas (Bottom upproach ) dalam kosmologi, gagasan yang berdasar asumsi bahwa sejarah alam semesta itu tunggal dengan titik awal yang jelas dan keadaan alam semesta hari ini adalah hasil perkembangan dari titik awal itu.

63

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 149

Satu dampak penting pendekatan dari atas ke bawah (top down) adalah bahwa hukum-hukum alam yang diketahui bergantung kepada sejarah alam semesta. Banyak ilmuwan percaya bahwa ada teori tunggal yang menjelaskan hukum-hukum itu berikut berbagai konstanta fisik alam64, seperti massa elektron atau dimensi-dimensi ruang-waktu. Tapi kosmologi dari atas ke bawah menuntut bahwa hukum alam yang diketahui akan berbeda-beda untuk sejarah yang berbeda-beda.65

Jika sejarah dibangun dari bawah ke atas, maka tak ada alasan alam semesta harus memiliki ruang internal untuk interaksi zarah yang benar-benar kita amati, model standar (interaksi zarah dasar). Tapi pada pendekatan dari atas ke bawah kita menerima bahwa ada segala alam semesta dengan segala kemungkinan ruang internal. Di beberapa alam semesta, berat elektron setara dengan berat bola golf dan gaya gravitasi lebih kuat daripada magnetisme. Di alam semesta kita, berlaku model standar dengan segala parameternya. Bisa dihitung amplitudo probabilitas untuk ruang internal yang mengarah kepada model standar berdasarkan kondisi tanpa perbatasan. Sedangkan mengenai peluang adanya alam semesta dengan tiga dimensi ruang besar, tidak penting seberapa kecil amplitudo probabilitasnya dibanding kemungkinan-kemungkinan lain karena kita sudah mengamati bahwa model standar menjabarkan alam semesta kita.66

64

Konstanta kosmologis (cosmological constant) merupakan satu parameter dalam persamaan Einstein yang memberi kecenderungan inheren ruang-waktu untuk mengembang.

65

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h.150

66

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 152

Di alam semesta awal waktu alam semesta cukup kecil untuk bisa diatur relativitas umum dan teori kuantum sekaligus secara efektif ada empat dimensi ruang dan belum ada dimensi waktu. Artinya ketika kita bicara mengenai “awal” alam semesta, kita menghindari perkara sulit bahwa ketika kita menerawang balik menuju awal alam semesta, waktu sebagaimana kita ketahui belum ada! Harus kita terima bahwa gagasan biasa kita mengenai ruang dan waktu tak berlaku bagi alam semesta awal. Keadaan ketika itu berada di luar pengalaman kita, tapi tak di luar imajinasi atau matematika kita. Jika pada awal alam semesta keempat dimensi berperilaku seperti ruang, maka apa yang terjadi pada awal waktu?67

Kesadaran bahwa waktu bisa berperilaku seperti arah baru dalam ruang berarti bisa kita singkirkan masalah awal waktu sebagaimana kita menyingkirkan gagasan ujung dunia. Anggap awal alam semesta ibarat Kutub Selatan Bumi, dan derajat lintang berperan sebagai waktu. Selagi bergerak ke utara, lingkaran-lingkaran lintang, yang mewakili ukuran alam semesta, bakal melebar. Alam semesta bakal bermula sebagai titik di Kutub Selatan, tapi Kutub Selatan sama saja dengan semua titik lain. Menanyakan apa yang terjadi sebelum awal alam semesta jadi tak bermakna, karena tidak ada yang berada di sebelah selatan Kutub Selatan. Dalam gambaran itu ruang-waktu tak punya batas, hukum alam yang sama berlaku di Kutub Selatan dan semua tempat lain. Begitu pula, bila teori relativitas umum dipadukan dengan teori kuantum, pertanyaan apa yang terjadi sebelum permulaan alam semesta menjadi tak bermakna. Gagasan bahwa sejarah

67

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 144

mesti berupa permukaan tertutup tanpa batas disebut kondisi tanpa perbatasan (no-boundary condition). Kesadaran bahwa waktu berperilaku seperti ruang menyajikan alternatif baru. Gagasan itu menghilangkan penolakan lama terhadap awal alam semesta, tetapi juga berarti awal alam semesta diatur hukum-hukum sains dan tidak perlu diawali geraknya oleh suatu anggapan yang bersifat ilahi.68 Kesimpulan inilah yang membedakan Hawking dari kelompok fisikawan dalam tim mufassir Departemen Agama yang mendukung teori big bang sebagai penjabaran dari proses penciptaan alam semesta dari tiada menjadi ada.

Meskipun begitu, hal di atas menurut hemat penulis bukanlah penolakan terhadap teori big bang itu sendiri. Jadi, bukan seperti Hoyle yang menciptakan istilah big bang, tapi menolak teori ini menulis, “Saya tak percaya ilmuwan manapun yang memeriksa buktinya bakal tidak menyimpulkan bahwa hukum-hukum fisika nuklir sengaja dirancang dengan mempertimbangkan konsekuensi yang dihasilkannya dalam bintang-bintang.” Ketika itu belum ada orang yang cukup paham fisika nuklir untuk memahami banyaknya kebetulan yang menghasilkan hukum-hukum fisika yang tepat demikian. Tapi selagi menyelediki keabsahan kaidah antropik kuat, baru-baru ini para ahli fisika mulai bertanya kepada diri sendiri, seperti apa kiranya alam semesta jika hukum alam berbeda. Kini kita bisa membuat model komputer yang memberitahu kita bagaimana hubungan laju reaksi tripel alfa dengan kekuatan gaya-gaya dasar alam. Perhitungan menunjukkan bahwa perubahan sekecil 0,5 persen pada

68

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 144-145

kekuatan gaya nuklir kuat, atau 4 persen pada gaya listrik, bakal memusnahkan hampir semua karbon atau semua oksigen di semua bintang, sehingga musnah pula peluang adanya kehidupan sebagaimana kita kenal. Ubah aturan alam semesta kita sedikit saja, dan kondisi di mana kita bisa adapun sirna!69

Menurut hawking, kemunculan struktur-struktur rumit yang mampu menopang pengamat cerdas tampaknya sangat rapuh. Hukum alam membentuk sistem yang tersetel sangat pas, dan hanya sedikit hukum fisika yang bisa diotak-atik tanpa memusnahkan peluang perkembangan kehidupan sebagaimana kita ketahui. Tampaknya, andai bukan karena serangkaian kebetulan mengejutkan dalam rincian hukum fisika, manusia dan bentuk-bentuk kehidupan menyerupainya tak bakal ada.70

Penemuan penyetelan sangat pas dengan banyak sekali hukum alam bisa membuat setidaknya sebagain di antara kita kembali ke gagasan tua bahwa rancang agung ini merupakan karya suatu Perancang Agung. Di Amerika Serikat, karena Konstitusi melarang pengajaran agama di sekolah, tipe gagasan itu disebut rancangan cerdas (intelligent design), dengan pemahaman tak dinyatakan, namun tersirat bahwa sang perancang ialah Tuhan.71

Tapi, menurut Hawking, bukan itu jawaban sains modern. Bahwa alam semesta kita tampaknya hanya satu di antara banyak alam semesta

69

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 170

70

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 172

71

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 176

yang masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Gagasan banyak alam semesta bukan gagasan yang dibuat untuk menjelaskan mukjizat penyetelan pas. Gagasan tersebut merupakan konsekuensi kondisi tanpa perbatasan dan banyak teori kosmologi modern lain. Tapi jika gagasan banyak alam semesta itu benar, maka kaidah antropik kuat bisa dianggap efektif setara dengan kaidah antropik lemah, menyamakan penyetelan pas hukum fisika dengan faktor lingkungan, sehingga berarti habitat kosmik kita, seluruh alam semesta yang bisa diamati sekarang, hanyalah satu di antara banyak, sebagaimana tata surya kita hanyalah satu di antara banyak. Artinya sebagaimana kebetulan keadaan lingkungan tata surya kita jadi tak istimewa karena ada miliaran tata surya lain di luar sana, penyetelan pas pada hukum alam bisa dijelaskan dengan keberadaan banyak alam semesta. Banyak orang sepanjang zaman telah menghubungkan keindahan dan kerumitan alam, yang pada zaman mereka tampak tak punya penjelasan ilmiah, dengan Tuhan. Tapi sebagaimana Darwin dan Wallace menjelaskan bagaimana rancang bentuk kehidupan yang terlihat seperti mukjizat bisa muncul tanpa campur tangan sosok mahakuasa, konsep banyak alam semesta bisa menjelaskan penyetelan pas tanpa memerlukan Pencipta Maha Pengasih yang membuat alam semesta untuk kita.72

Sejak Newton, dan khususnya sejak Einstein, tujuan fisika adalah menemukan kaidah-kaidah matematis sederhana seperti yang dibayangkan Kepler, dan menggunakan kaidah-kaidah itu untuk menciptakan teori segalanya yang utuh dan bakal menjelaskan tiap perincian zat dan gaya

72

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 177

yang kita amati di alam. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Maxwell dan Einstein mempersatukan teori listrik, magnetisme, dan cahaya. Pada tahun 1970-an diciptakan model standar, teori tunggal gaya nuklir kuat, lemah, dan elektromagnetik. Teori dawai dan teori-M lantas muncul dalam upaya melibatkan gaya yang belum disatukan, gravitasi. Tujuannya bukan hanya menemukan satu teori yang menjelaskan segala gaya, tapi juga teori yang menjelaskan angka-angka fundamental yang telah kita bicarakan, seperti kekuatan masing-masing gaya dan massa serta muatan zarah dasar. Seperti kata Einstein, harapannya adalah supaya bisa menyatakan “alam tersusun sedemikian sehingga secara logis mungkin menetapkan hukum-hukum sangat terdeterminasi sehingga dalam hukum itu, hanya ada konstanta-konstanta yang sepenuhnya ditentukan secara rasional (artinya bukan konstanta yang nilainya bisa diubah tanpa menghancurkan teori).” Teori yang unik kiranya mustahil punya penyetelan pas yang memperkenankan kita ada. Tapi jika dengan mempertimbangkan kemajuan terkini kita tafsirkan impian Einstein sebagai teori unik yang menjelaskan alam semesta ini dan yang lainnya, dengan berbagai macam hukum, maka teori-M bisa menjadi teori itu. Tapi apakah teor-M unik, atau dituntut oleh kaidah logis sederhana apapun? Bisakah kita menjawab pertanyaan, mengapa teori-M?73

Perilaku benda-benda di Bumi amat rumit dan terkena banyak pengaruh sehingga peradaban-peradaban awal tak mampu menangkap pola atau hukum yang mengatur fenomenanya. Namun berangsur-angsur

73

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 178.

hukum-hukum baru ditemukan dibidang-bidang selain astronomi, dan akibatnya muncullah gagasan determinisme sains74. Hukum-hukum itu harus berlaku di mana saja dan kapan saja; kalau tidak, tak pantas disebut hukum. Tak mungkin ada pengecualian atau mukjizat. Dewa atau iblis tak dapat campur tangan dalam jalannya alam semesta. Waktu determinisme sains pertama kali diajukan, hukum yang sudah diketahui baru hukum gerak dan gravitasi Newton. Kemudian kedua hukum itu diperluas oleh Einstein dalam teori relativitas umumnya, dan bagaimana hukum-hukum lain ditemukan mengatur aspek lain alam semesta.75

Hukum-hukum alam memberitahu kita bagaimana alam semesta berperilaku, tapi tak menjawab pertanyaan-pertanyaan:

Mengapa ada sesuatu, bukan ketiadaan? Mengapa kita ada?

Mengapa ada set hukum alam tertentu, bukan yang lain?

Beberapa orang akan mengklaim bahwa jawaban pertanyaan-pertanyaan itu adalah keberadaan Tuhan yang memilih menciptakan alam semesta dengan cara demikian. Menanyakan siapa atau apa yang menciptakan alam semesta itu masuk akal, tapi jika jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya sekedar bergeser menjadi siapa yang menciptakan Tuhan. Dalam pandangan demikian diakui bahwa ada sesuatu yang tak perlu pencipta, dan sesuatu itu disebut Tuhan. Argumen demikian dikenal dengan argumen sebab pertama (first cause) yang mendukung

74

Determinisme sains maksudnya, pasti ada set hukum lengkap, yang dengan mengetahui keadaan alam semesta pada waktu tertentu, bakal menetapkan bagaimana alam semesta akan berjalan sesudah waktu itu.

75

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 181

keberadaan Tuhan. Tapi Hawking nyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu semuanya bisa dijawab dalam ranah sains saja, tanpa perlu membawa-bawa sosok Ilahi.76

Menurut gagasan realisme bergantung model,77 otak kita menafsirkan masukan dari organ indera dengan membuat model dunia luar. Kita membentuk konsep-konsep mental atas rumah kita, pepohonan, orang lain, listrik yang mengalir dari stop kontak di dinding, atom, molekul, dan alam-alam semesta lain. Konsep-konsep mental itulah satu-satunya realitas yang bisa kita ketahui. Tidak ada uji realitas yang bebas model. Artinya juga, suatu model yang dibangun dengan baik menciptakan realitasnya sendiri.78

Set hukum apa pun yang menjabarkan dunia sinambung seperti dunia kita akan punya konsep energi, yang merupakan besaran kekal, artinya tak berubah sepanjang waktu. Energi ruang hampa akan konstan, tanpa terpengaruh waktu dan posisi. Energi vakum yang konstan itu bisa disisihkan dengan mengukur energi volume ruang apapun relatif terhadap ruang hampa bervolume sama, jadi konstanta itu boleh dianggap nol. Satu syarat yang mesti dipenuhi hukum alam apa pun adalah bahwa energi badan terisolasi yang dikelilingi ruang hampa bersifat positif, artinya harus dilakukan kerja untuk menyusun badan tersebut. Itu karena jika energi

76

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 182

77

Realisme bergantung model (model-dependent realism): gagasan bahwa suatu teori fisika atau gambaran terhadap dunia adalah suatu model (biasanya bersifat matematis) dan set aturan yang menghubungkan unsur-unsur model dengan pengamatan. Pandangan itu memberi kerangka untuk menafsirkan sains modern. Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design...h. 45.

78

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 182-183

suatu badan terisolasi bersifat negatif, maka ia bisa diciptakan dalam keadaan bergerak sehingga energi negatifnya diimbangi energi positif dari gerak. Jika demikian, maka kiranya tak ada alasan benda tak bisa muncul di mana saja dan di mana-mana. Karena itu ruang hampa bakal tak stabil. Tapi jika untuk menciptakan badan terisolasi diperlukan energi, maka ketidakstabilan tak bisa terjadi, karena, seperti telah kita katakan, energi alam semesta harus tetap konstan. Itulah yang diperlukan agar alam semesta setabil pada tingkat lokal agar benda tidak mendadak muncul dari ketiadaan di mana-mana.79

Jika total energi alam semesta harus selalu tetap nol, dan diperlukan energi untuk menciptakan benda, maka bagaimana cara alam semesta tercipta dari ketiadaan? Itulah sebabnya mesti ada hukum seperti gravitasi. Karena gravitasi bersifat menarik, maka energi gravitasi itu negatif: Harus dilakukan kerja untuk memecah suatu sistem yang terikat gravitasi, seperti Bumi dan Bulan. Energi negatif itu bisa mengimbangi energi positif yang diperlukan untuk menciptakan zat, tapi tak sesederhana itu. Contohnya, energi gravitasi negatif Bumi kurang daripada sepersemiliar energi positif zarah zat yang menyusun Bumi. Benda seperti bintang akan punya energi gravitasi negatif lebih besar, dan makin kecil ukurannya (makin dekat berbagai bagiannya satu sama lain), maka akan makin besarlah energi gravitasi negatifnya. Tapi sebelum energi negatif itu bisa menjadi lebih besar daripada energi positif zat, bintang keburu runtuh menjadi lubang hitam, dan lubang hitam punya energi positif. Itulah sebabnya ruang hampa

79

Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. The Grand Design, terj. Zia Ansor. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010) h. 192

stabil. Benda seperti bintang atau lubang hitam tak bisa mendadak muncul dari ketiadaan. Tapi alam semesta utuh bisa.80

Karena gravitasi membentuk ruang dan waktu, maka gravitasi memperkenankan ruang-waktu stabil secara global. Pada skala keseluruhan alam semesta, energi positif zat bisa diimbangi oleh energi negatif gravitasi, jadi tak ada pembatasan pada penciptaan alam semesta utuh. Karena ada hukum seperti gravitasi, alam semesta bisa dan akan menciptakan dirinya