• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

C. Peran Tuhan dalam Penciptaan Alam Semesta

Stephen Hawking termasuk salah satu ilmuwan yang percaya bahwa jagat raya ini diciptakan dari suatu ketiadaan, yang ditandai dengan suatu peristiwa yang menakjubkan yang disebut sebagai Big Bang. Ia adalah seorang saintis yang paling kontemporer yang bisa disejajarkan dengan

52

Agus Mulyono dan Ahmad Abtokhi. Fisika dan Al-Qur’ān. (Malang: UIN Malang Press, 2006) h. 110

nama seperti Einstein maupun Newton, dalam tulisannya A Brief History of Time (1988) memberikan kesaksian mengenai hal itu.53 Hawking juga percaya dengan temuan terkini tentang pemuaiaan jagat raya yang dikemukakan oleh Hubble, yang sekaligus menggugurkan pandangan tentang jagat raya statis (Steady State Theory).

Secara logis, pertanyaan apakah waktu semesta ini memang ada titik awalnya tidaklah relevan dengan pertanyaan apakah semesta diciptakan, atau ada tanpa pencipta. Pertanyaan tetap sama, entah waktu memang punya titik awal atau waktu selalu ada. Pertanyaannya adalah, apa yang dapat menjelaskan keberadaan ruang dan waktu, atau tidak ada penjelasan sama sekali?

Stephen Hawking, tidak biasanya, agak naif ketika dia mengatakan,

“Sejauh semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta benar-benar sepenuhnya mencukupi pada dirinya sendiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki baik titik awal maupun akhir: semesta hanya sekedar ada. Kalau begitu di mana tempat

bagi Sang Pencipta?” Dia menyajikan gambaran tentang semesta tanpa ruang

bagi Tuhan, yang telah didepak ke luar dari alam semesta oleh hukum-hukum alam universal. Hawking kemudian menyarankan bahwa mungkin Tuhan memiliki pijakan kaki terakhir pada realitas: mungkin Dia dibutuhkan untuk memulai seluruh proses itu. Namun, kata Hawking, jika alam semesta tidak

53

Berdasarkan Hawking, A Brief History of Time. From Big Bang to Black Holes, London, Bantam Press, 1988, h. 50. Dalam keseluruhan tulisan yang menjadi best-seller itu Hawking dengan sangat meyakinkan menguraikan adanya awal dan akhir dari alam semesta, tetapi di sini Hawking tidak membahas implikasi filosofis dan metafisis realitas dalam sains tersebut, yaitu mengenai kemungkinan penciptaan dan eksistensi Allah. Agaknya dia secara ketat ingin tetap berdiri dalam posisinya sebagai seorang saintis.

memiliki titik awal, Tuhan sudah diusir dari tempat persembunyian-Nya yang terakhir, dan karena itu gagasan tentang Tuhan mubazir.54

Hawking mengambil posisi agnostik dalam masalah agama. Ia telah

menggunakan kata “Tuhan” (secara metaforis) untuk menggambarkan poin

dalam buku-buku dan pidatonya. Mantan istrinya, Jane, menyatakan saat proses perceraian bahwa Hawking adalah seorang ateis. Hawking menyatakan

bahwa ia “tidak religius secara akal sehat” dan ia percaya bahwa “alam

semesta diatur oleh hukum ilmu pengetahuan. Hukum tersebut mungkin dibuat oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak melakukan intervensi untuk melanggar

hukum.” Hawking membandingkan agama dan ilmu pengetahuan pada tahun

2010, menyatakan: “Terdapat perbedaan mendasar antara agama, yang

berdasarkan pada kewenangan, [dan] ilmu pengetahuan, yang berdasarkan pada observasi dan alasan. Ilmu pengetahuan akan menang karena memang

bekerja.”55

Bermula dari serangan terhadap teori Big Bang, yaitu adanya

singularitas. Dimana hukum fisika runtuh pada saat dentuman besar. Maka Hawking menerapkan teori Kuantum, untuk menjawab awal semesta. Sehingga muncul teorinya yang sangat fenomenal, yaitu Teori-M adalah teori gravitasi supersimetris yang paling umum dan merupakan satu-satunya kandidat teori alam semesta yang lengkap. Teori yang dipercaya menjadi model alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri, walaupun belum dibuktikan.

54

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 40

55

Namun, pernyataan Keith Ward terkait pada teori kuantum, yaitu bahwa ia tidak bermaksud menggantungkan realitas kebebasan pada ketidakpastian kuantum. Apa yang disyaratkan kebebasan adalah, sederhananya, bahwa tidak seluruh peristiwa fisik ditentukan secara memadai sebelumnya. Ada alasan-alasan lain selain ketidakpastian kuantum. Misalnya, karena banyak hukum fisika berlaku lebih sebagai batas-batas kendala ketimbang hukum-hukum yang secara memadai menentukan segalanya. Bisa juga karena tidak seluruh peristiwa fisik terjadi seturut proses-proses yang dapat diukur dan keteraturan universal, seperti yang digambarkan secara ideal dalam hukum-hukum fisika. Ada alasan yang baik bagi keberadaan ketidakpastian kuantum sehingga ketidak pastian itu tidak bertentangan dengan postulat ilmiah bahwa ada penjelasan mengapa segalanya ada seperti adanya sekarang.

Argumen ini menunjukan bahwa tidak ada alasan, misalnya, mengapa atom radium tertentu meluruh pada waktu tertentu, bukan pada waktu yang lain, itulah salah satu artikel ketidakpastian. Walau begitu, suatu penjelasan dapat diberikan mengapa ada proses-proses yang tak tentu, dan dibatasi oleh suatu himpunan probabilitas yang jelas dan tertentu. Ada alasan mengapa sesuatu itu seperti itu, walau ini tidak berarti ada alasan bagi setiap peristiwa tertentu. Itulah hakikat semesta yang penuh dengan kemungkinan, semesta yang tampaknya kita diami. Ini sama sekali berbeda dengan semesta yang sepenuhnya acak, atau semesta tempat tidak ada alasan sama sekali.56 Sains didasarkan pada postulat bahwa seseorang harus senantiasa mencari alasan

56

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 47

mengapa segala hal ada sebagaimana adanya. Seandainya, suatu waktu, sesuatu begitu saja terjadi tanpa alasan sama sekali, termasuk alasan-alasan probabilistik, sains akan mencapai titik akhirnya.57 Kaum theis akan berkebaratan pada penegasan bahwa segala sesuatu dapat dipahami oleh pikiran manusia. Realitas, seorang theis dapat mengatakan, secara intrinsik dapat dipahami, namun hanya dapat dipahami secara utuh oleh akal yang maha sempurna dari Tuhan. Boleh jadi pemahaman total atas segala sesuatu

terlalu berlebihan bagi otak manusia yang kecil.58

Sains modern berawal dari pemahaman bahwa seseorang dapat melakukan abstraksi dari rangkaian elemen-elemen partikular yang unik ini, dan mengonstruksikan rumusan umum yang mencerminkan relasi antara kelompok elemen-elemen yang dialami. Misalnya, rumus matematika sederhana, seperti E=m (energi setara dengan massa dikalikan kuadrat kecepatan cahaya) dapat menampilkan relasi abstrak yang berlaku bagi seluruh kasus yang tercakup dalam simbol E dan m (yakni, segala hal yang memiliki energi dan massa). Abstraksi seperti itu sangat penting bagi pemahaman manusia, dan telah membuka pemahaman atas proses-proses alamiah secara menakjubkan. Namun jangan lupa, itu hanyalah abstraksi. Artinya itu hanya benar sejauh seseorang dapat membedakan dan memisahkan secara persis elemen-elemen khusus dalam pengalaman, dan menemukan relasi-relasi umum di antara elemen-elemen itu.

57

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 49

58

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 53

Tugas ilmiah pertama adalah memisahkan elemen-elemen itu hingga dapat dikuantifikasi dan dihubung-hubungkan, dalam fisika Newton, elemen-elemennya adalah massa, posisi, dan waktu. Alam sangat baik pada kita, karena mengandung elemen-elemen yang saling terhubung dalam relasi-relasi konstan dan secara matematis dapat dikuantifikasikan. Ini memampukan kita mencapai kemampuan prediksi dan kontrol atas proses-proses fisik. Ketika seseorang menegaskan relasi-relasi seperti itu, misalnya dalam persamaan fundamental fisika, ia sesungguhnya sedang mengabstraksikan elemen-elemen

tertentu, demi tujuan tertentu pula (misalnya, “melihat bagaimana cara kerja sesuatu, lalu bagaimana memanipulasinya”). Khususnya dalam konstruksi

matematika canggih seperti teori medan kuantum, memang mungkin untuk mengonstruksikan skema-skema matematis yang benar-benar abstrak, yang memiliki nilai prediksi tinggi bagi situasi eksperimental yang sangat khusus dan dikontrol ketat. Namun, seorang filosof dan matematikawan, A. N. Whitehead menunjukkan, bahwa hal ini gampang tergelincir ke dalam apa yang disebutnya fallacy of misplaced concreteness.59 Ini ironi terbesar sains modern, yang bermula dari upaya untuk menjelaskan dan memahami dunia konkret yang kaya dan partikular seperti yang dialami manusia, namun berakhir dengan melihat dunia fenomenal itu sebagai ilusi. Realitas-sebenarnya lalu menjadi dunia entitas-entitas abstrak.60

59

Fallacy of misplaced concreteness, maksudnya yaitu seseorang dapat begitu terkesan dengan keanggunan matematis dan kemampuan prediksi konstruksinya sehingga ia memandang bahwa hal itu sebagai realitas yang sesungguhnya, sementara gejala-gejala pengalaman yang darinya konstruksi tersebut dibangun dipandang sebagai sekedar ilusi subjektif.

60

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 54-55

Pada model Hartle/Hawking, ruang-waktu klasik menjadi ranah semesta tempat banyak tiga-ruang dapat dengan halus disatukan, yakni kondisi

fungsi “Y” maksimal. Ada banyak ranah tempat waktu yang kita kenal tidak

ada. Namun, apakah ini berarti, seperti diklaim Hawking, “Semesta akan

sepenuhnya berisi dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh apapun di

luarnya. Semesta tidak akan pernah diciptakan atau dihancurkan?” jelas tidak.

Pertanyaannya tetap sama: apa yang menyebabkan himpunan kompleks tiga-ruang dan seluruh interelasinya ini, tempat tiga-ruang-waktu yang ada sekarang hanya menjadi bagiannya? Hanya karena Hawking mengasumsikan bahwa

“penciptaan” berarti “titik awal waktu” yang menyebabkan dia mengatakan

bahwa semesta tidak diciptakan. Hanya karena dia tidak bertanya mengapa hukum-hukum kuantum ada sebagaimana adanya sekarang, hingga dia dapat mengatakan bahwa semesta tidak dipengaruhi oleh apa pun di luar parameternya. Kita sama sekali tidak mungkin membayangkan berapa banyak dan masing-masing berbeda, himpunan hukum-hukum kuantum yang mungkin ada selain yang kita kenal sekarang. Dan bahkan dengan himpunan hukum-hukum kuantum yang telah kita kenal, eksistensi aktual ruang-waktu ini tampaknya mewujud bukan secara pasti, cepat atau lambat, tetapi tetap suatu kemungkinan. Eksistensi fisik semesta ini, sekalipun menurut teori gravitasi kuantum seperti yang diajukan Hawking yang masih hangat diperdebatkan, terjadi entah karena kebetulan yang luar biasa atau pilihan dari kemungkinan struktur-struktur matematis yang sangat persis. Keniscayaan kuasimatematis tidak dapat pada dirinya sendiri melahirkan semesta yang aktual. Hipotesis kebetulan membawa orang kembali pada hipotesis pertama

tentang asal-muasal semesta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sekali lagi, argumen yang ada sesungguhnya lebih menunjukkan pada pilihan yang cerdas ketimbang keniscayaan buta, pada keberadaan akal yang merancang semesta ketimbang realitas kuasimatematis yang entah bagaimana membentuk tubuh fisiknya. Hipotesis keniscayaan, sekali lagi, perlu ditambah dengan hipotesis teistik, tentang keberadaan wujud yang niscaya, Tuhan, yang dengan bebas menciptakan semesta bagi tujuan tertentu.61

Abstraksi merupakan kemampuan menakjubkan dari pikiran manusia, yang telah melahirkan bahasa dan sains modern. Namun, hal ini perlu diseimbangkan dengan perhatian pada partikularitas dan kekonkretan yang didorong oleh seni dan, yang paling baik, oleh agama. Jika tidak, abstraksi dapat menjadi penghalang dalam pencarian kebenaran utuh segala hal, dan dalam arti itu membatasi pikiran manusia.

Keterbatasan manusia yang sangat penting adalah bahwa intelek bekerja secara diskursif. Maksudnya, intelek tidak dapat menangkap hal-hal dalam satu pengalaman yang melingkupi segalanya. Intelek harus mempertimbangkan satu demi satu, membuat kaitan dengan menarik kesimpulan dan ekstrapolasi, serta bergerak secara teratur dari satu unsur ke unsur lainnya. Suatu intelek yang komprehensif, seperti milik Tuhan, mampu memahami segala hal dalam satu tindakan intuitif, non diskursif. Tuhan tidak perlu menarik kesimpulan atau membuat ekstrapolasi, karena Dia mengetahui segalanya dalam partikularitas penuhnya melalui pemahaman langsung. Pengetahuan seperti itu tidak mungkin bagi manusia. Jadi, inilah aspek lain

61

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 73-74

ketika pikiran manusia tidak akan pernah mampu memahami segalanya secara utuh, dalam seluruh kepenuhannya, seperti yang sesungguhnya.

Akhirnya tampak jelas bahwa mungkin ada banyak semesta, artinya ruang-waktu terbatas, dan bentuk-bentuk eksistensi selain yang ada dalam ruang-waktu ini. Jika Tuhan tidak terbatas, dapat ditebak ada banyak hal yang harus dipahami sebelum segalanya dapat dimengerti. Tak mungkin ada cara ketika kita dapat memperoleh pengetahuan tentang semesta lain (karena, per definisi, semesta lain itu tidak memiliki kaitan spesial maupun temporal dengan kita, yang berarti menutup segala bentuk pengetahuan), dan tidak mungkin ada cara ketika pikiran manusia yang terbatas mampu melingkupi sekelompok data yang tak terbatas (kecuali, kalau dapat diketahui bahwa itu merupakan pengulangan tak terbatas dari kelas data yang terbatas, yang memang tidak mungkin). Jadi, tampaknya setelah semua pertimbangan itu, jika segala hal mau dipahami, hanya Tuhan yang mampu memahaminya.62

Apabila penemu listrik telah berusaha agar seluruh dunia mengenal dirinya, nama, riwayat hidup, dan kisah penemuannya, apakah pencipta matahari lalai sehingga tidak memberitahukan kepada kita bahwa Dia-lah penciptanya? Dan apakah ada kekuatan lain (di luar manusia) yang menciptakannya, tidak logiskah apabila Dia mengumumkan tentang jati dirinya? Kenyataannya sampai sekarang tidak ada seorangpun (makhluk) yang mengaku sebagai pencipta langit, bumi, dan manusia, kecuali Allah Swt. Berikut ini firman Allah Swt dengan nada menentang:

62

Keith Ward. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu. Terj. Larasmoyo. (Bandung: Mizan, 2002) h. 60-61



























































“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Al-Hajj: 73)

Tantangan Allah ini akan terus dan tetap berlaku sampai hari kiamat. Meskipun pakar-pakar ilmiah seluruh dunia berkumpul dan bekerjasama, mereka tidak akan mampu untuk menciptakan seekor lalatpun. Manusia telah sampai ke bulan, Mars, dan beberapa waktu kemudian mungkin jauh melampauinya; akan tetapi mereka tetap tidak akan mampu untuk menciptakan seekor lalat. Firman Allah Swt:



















“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath-Thūr: 35).

Apabila segala sesuatu dalam ala mini ciptaan Allah Swt, maka secara otomatis hokum dan peraturan alam yang berlaku juga ketetapan Allah,

kecuali yang Allah berikan kuasa kepada manusia untuk dapat dilakukan pilihan.63

Al-Qur‟ān mengajak manusia untuk menyaksikan eksistensi Tuhan melalui ciptaan-Nya, menyingkap tabir kegaiban-Nya melalui perhatian mendalam akan realitas konkret yang terhampar luas di langit dan di bumi. Inilah apa yang seharusnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan, yakni melakukan observasi untuk kemudian menarik dan menemukan hukum-hukum alam yang diperoleh dari hasil observasi dan eksperimen. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dapat menggapai Sang Pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat tentang hukum-hukum yang mengatur fenomena alam itu. Dan dalam hal ini, Al-Qur‟ān menunjukkan adanya Realitas Intelektual Yang

Agung, yakni Allah Swt. Lewat penelitian yang cermat dan mendalam akan semua ciptaan-Nya.64

Semua proses penciptaan alam semesta ini sepenuhnya berada dalam kendali dan perintah Sang Khalik yang telah memberikannya sebuah bentuk yang sempurna. Hukum-hukum dan fenomenanya menunjukan keteraturan dan presisi yang meliputi baik ruang angkasa yang sedemikian luas maupun partikel-partikel renik dalam alam semesta. Semuanya diatur sedemikian tepat, cermat dan mengikuti sebuah susunan dan pola yang sama. Sungguh, Allah-lah yang menciptakan alam semesta ini dengan berjuta-juta galaksi yang terdiri atas bintang-bintang dan planet-planet yang tunduk pada aturan yang telah ditetapkan-Nya untuk mereka secara sempurna. Kestabilan dan

63

Prof. Dr. M. Mutawalli Asy-Sya‟rawi. Bukti-bukti Adanya Allah. (Jakarta: Gema Insani Press, 1993) h. 21

64

Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’ān: Rujukan Terlengkap Isyarat-isyarat Ilmiah dalam Al-Qur’ān. (Bandung: Mizan, 2007) hlm. 21-22

kesempurnaan ini, menurut al-Qur‟ān, merupakan refleksi dari sifat-sifat Allah seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:





























































“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah”. (Al-Mulk: 3-4).

Tidak sebatas menciptakan, namun Allah SWT jugalah yang memeliharanya, lihat firman-Nya:





















“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(Az-Zumar: 62)

Dari uraian di atas, dapat terlihat bagaimana kebenaran sains ternyata tidak tunggal, mutlak dan abadi. Kebenaran-kebenaran dalam sains ternyata terus berdialektis. Jika semua ini dilihat dalam perspektif historis maka tampak bahwa sejarah sains ternyata tidak statis, melainkan sangat dinamis. Dan yang tidak pernah sepi dalam sains adalah kandungan dan muatan

problematika filosofis yang ada di dalamnya. Maka ternyata sains merupakan sumber pikiran filosofis. Sains memang tidak membuktikan eksistensi Allah lewat metodologinya, namun sains dengan jelas mengorientasikan penegasan akan Allah. Perkembangan sains juga telah membantu kita untuk menempatkan Kitab Suci sebagai wahyu dalam proporsinya. Kitab suci tidak

berpretensi menjadi “buku pintar” yang hendak menjawab segala persoalan

yang ada di dunia ini. Kitab suci bukan sumber jawaban atas berbagai persoalan ilmu alam, sejarah, dan lingkungan masa sekarang. Kesadaran juga semakin tumbuh bahwa unsur wahyu Ilahi tentang Allah dan kehendak Allah mengenai manusia dalam Kitab Suci merupakan rimba mahalebat yang tidak akan dapat diketahui secara tuntas oleh manusia itu sendiri. Kemajuan sains memberikan arti positif dalam eksegese dengan mempertajam interpretasi Kitab Suci dalam tingkat signifikasi religius.65

65

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah penulis sampaikan pada bab-bab terdahulu maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil observasi para Ilmuwan kealaman menunjukan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan (creation ex nihilo), tidak ada ruang dan waktu, tidak ada energy dan materi. Karena goncangan kevakuman melahirkan singularitas yang kemudian meledak dalam ledakan yang sangat dahsyat yang disebut Big Bang. Singularitas, dimana hukum fisika runtuh pada saat dentuman besar. Maka diterapkanlah teori Kuantum, untuk menjawab awal semesta. Bermula dengan usaha menggabungkan empat partikel pembawa gaya (gravitasi, elektromagnetik, gaya nuklir lemah dan gaya nuklir kuat). Maka dihasilkan berturut-turut dimulai dari, teori elektrodinamika kuantum (quantum electrodynamics, QED), kromodinamika kuantum (quantum chromodynamics, QCD), teori terpadu agung (grand unified theory, GUT), teori dawai (string theory), hingga ditemukan Teori-M merupakan teori gravitasi supersimetris yang paling umum dan merupakan satu-satunya kandidat teori alam semesta yang lengkap. Teori yang dipercaya menjadi model alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri, walaupun belum dibuktikan. Maka Stephen Hawking dengan teori-Mnya ini, menganggap bermulanya alam semesta

dari ketiadaan, yang menciptakan dirinya sendiri tanpa menghadirkan Tuhan.

2. Al-Qur‟ān menjelaskan proses penciptaan alam semesta dengan

menjelaskan bahwa Allah menciptakan sesuatu yang padu, kemudian memisahkannya dan terjadilah ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ārdh) beserta alam-alam lainnya, yang kemudian memuai. Al-Qur‟ān secara

eksplisit membagi proses penciptaan alam semesta dengan enam tahapan atau periode: dua periode penciptaan bumi, dua periode penciptaan isi bumi dan dua periode penciptaan langit. Al-Qur‟ān juga menyebutkan

dalam penciptaan alam dilengkapi dengan hukum-hukumnya (sunnatullāh) yang tidak mengalami perubahan dan penyimpangan. Dan Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementrian Agama RI menganut teori kreasi, bahwa Allah Swt yang telah menciptakan semua kejadian di alam semesta ini.

3. Perbandingan antara teori-M Stephen Hawking dan Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya Kementrian Agama RI, sama-sama penganut creation exnihilo

yaitu menciptakan tanpa menggunakan sesuatu, menciptakan dari yang tidak ada. Dibuktikan dengan sama-sama mendukung teori Big Bang, yaitu bermulanya alam semesta ini dari ledakan yang sangat besar. Namun berbeda dalam hal siapa pencipta alam semesta, jika Tafsir Ilmi meyakini bahwa Allah SWT lah yang menciptakan alam semesta, sedangkan Hawking menganggap alam semesta menciptakan dirinya sendiri karna adanya hukum Fisika yang bekerja, yaitu dengan teori-Mnya yang dipercaya sebagai satu-satunya kandidat teori alam semesta yang lengkap.

Jika dilihat dari pembahasan dalam skripsi ini, konsep penciptaan alam semesta yang dihasilkan oleh sains tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur‟ān. Perlu digaris bawahi perbedaan antara siapa pencipta alam semesta dengan bermulanya alam semesta dan proses penciptaannya. Jika melihat siapa pencipta alam semesta pasti terdapat perbedaan, namun jika melihat bermulanya alam semesta dan proses penciptaannya terdapat kesesuaian antara informasi Tuhan dan penjelasan yang diberikan para ilmuwan melalui telaah dan penelitiannya. Keberhasilan sains tersebut tidak terlepas dari adanya hukum alam ciptaan Allah tanpa mengalami perubahan dan penyimpangan yang disebutkan dalam al-Qur‟ān. Keniscayaan hukum alam yang disebut al-Qur‟ān dengan

sunnatullah, dapat diketahui sains dengan menelitinya secara berulang-ulang.

B. SARAN

Dari pembahasan dan kesimpulan yang telah penulis uraikan di depan, maka penulis mengemukakan beberapa saran:

1. Mengkaji sains dari sudut pandang islam, bukan berarti „memaksa‟ untuk

mendapatkan hasil bahwa apa yang ditemukan sains ternyata telah dinyatakan dalam Al-Qur‟ān jauh sebelum sains dapat mengungkapnya.