• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dan kekuasaan di Nusantara diambil alih oleh Kerajaan Belanda, yang kemudian membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur jenderal pertama yang berkuasa di Hindia Belanda adalah Herman Wilhelm Daendels (1808-1811). Ia mendarat di Anyer tanggal 1 Januari 1808,

kemudian menuju ke Batavia (5 Januari 1808) yang di-jadikan sebagai ibu kota Hindia Belanda. Tanggal 14 Januari 1808, terjadi timbang terima kekuasaan dari Gubernur Jenderal Wiese, Gubernur Jenderal VOC terakhir, kepada Gubernur Jenderal H. W. Daendels.66

Gubernur Jenderal H. W. Daendels (1808-1811), dengan membawa semangat Revolusi Perancis, melakukan perubahan dalam bidang pemerintahan yang berkaitan dengan administrasi wilayah dan kekuasaan elite politik pribumi (sultan dan bupati). Daendels membagi Pulau Jawa menjadi sembilan prefektur yang dipimpin oleh seorang prefek, meskipun keberadaan kesultanan masih diakui oleh Deandels. Istilah ptrefek kemudian diubah menjadi landdrostambt.67

Konsepsi Daendels dalam pembagian Pulau Jawa, selain didasarkan pada sistem pemerintahan sentralistis, juga dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan berikut. Pertama, tugas utama Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa. Kedua, pejabat tinggi sipil dan militer pemerintah Hindia Belanda saat itu jumlahnya masih sedikit. Ketiga, keuangan pemerintah sangat minim. Dengan kondisi seperti ini, Daendels melakukan birokratisasi di kalangan pemerintahan

tradisional sehingga keinginannya untuk menerapkan sistem pemerintahan langsung (direct rule) dapat dilaksanakan.

Pada awal pemerintahan Daendels, Tatar Sunda dibagi menjadi dua bagian. Pembagian wilayah administrasi pemerintahan ini didasarkan pada ber-potensi tidaknya suatu daerah dalam membudidayakan kopi. Bagian pertama dinamai Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger-Reggentschappen yang meliputi Batavia, Tangerang, Krawang, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang. Daerah-daerah ini dipandang berpotensi menghasilkan kopi dalam jumlah besar. Bagian kedua dinamai Landdrostambt der Kesultanan en Cheribonsche Preanger-Reggentschappen yang meliputi daerah Kesultanan Cirebon dan Cirebon-Priangan. Daerah-daerah yang dimasukkan ke bagian kedua ini dipandang sebagai wilayah yang kurang berpotensi menghasilkan kopi.68

Khusus untuk Landdrostambt der Kesultanan en Cheribonsche Preanger-Reggentschappen, pada tanggal 2 Februari 1809, Daendels mengeluarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsche-landen (Peraturan Pemerin-tahan di Wilayah Cirebon). Berdasarkan reglement itu,

Kabupaten Galuh dimasukkan ke dalam Cheribonsche Preanger-landen (Daerah Priangan-Cirebon) bersama-sama dengan Kabupaten Limbangan dan Kabupaten Sukapura.69 Satu tahun kemudian, tepat tanggal 20 Juni 1810 Daendels menghapus prefektur Priangan-Cirebon. Sebagian wilayahnya digabungkan ke Jakarta menjadi Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger Bovenlanden. Sementara itu, Galuh dipinjamkan kepada Sultan Yogyakarta karena dianggap kurang berarti untuk penanaman kopi.70 Pada waktu itu, yang menjadi bupati di Galuh adalah R. Adipati Surapraja, dari Limbangan yang memerintah dari tahun 1806-1811.

Pada bulan Mei 1811, H. W. Daendels menyerahkan jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda kepada Jan Willem Jansens. Akan tetapi, Jansens tidak berkuasa lama karena ia tidak mampu mengatasi serbuan armada Inggris ke Pulau Jawa pada bulan Agustus 1811. Akibatnya, ia menyerah kepada pihak Inggris di daerah Salatiga pada tanggal 17 September 1811 melalui Kapitulasi Tutang.71

Sejak saat itu, kekuasaan di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford

Raffles. Kekuasaan Raffles berlangsung sampai tahun 1816 dan dinamai sebagai pemerintahan interregnum (penyelang). Selama lima tahun berkuasa di Pulau Jawa, Raffles melakukan perubahan administrasi pemerintahan. Prefektur diganti menjadi keresidenan dan istilah prefek/landdrostambt pun diganti menjadi residen. Selain itu, Raffles pun memperkenalkan jabatan baru dalam birokrasi pemerintahannya, yaitu asisten residen dan wedana yang mengepalai distrik.72 Pulau Jawa kemudian dibagi menjadi 16 keresidenan.73

Pada saat Raffles berkuasa di Pulau Jawa, di Kabupaten Galuh terjadi tiga kali suksesi kepemimpinan. Sepeninggalnya R. Adipati Surapraja tahun 1811, jabatan Bupati Galuh diserahkan kepada Rd. Tumenggung Jayengpati Kartanagara yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Bupati Cibatu. Bupati ini hanya memerintah beberapa bulan saja karena oleh Residen Cirebon dipandang tidak cakap. Penggantinya adalah Rd. Tumenggung Natanagara yang berasal dari Cirebon. Bupati ini mulai memerintah di Galuh pada tahun 1812. Akibat rencananya yang akan memindahkan ibu kota kabupaten ke Randegan dekat Banjar, pada tahun 1814 jabatannya dicopot dan diserahkan kepada Pangeran Sutajaya, yang

berasal dari Gabang. Ia didampingi oleh tiga orang patih yaitu R. Wiradikusuma (Imbanagara), R. Wiratmaka (Utama), dan R. Jayadikusuma (Cibatu/Ciamis).74

Pada masa pemerintahannya yang singkat, terjadi perubahan wilayah administrasi Kabupaten Galuh. Kabupaten Galuh harus menyerahkan daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan S. Citanduy, yaitu: Pasir Panjang (Manonjaya), Kawasen, Padaherang (Pamotan), Cikembulan, dan Cijulang kepada Kabupaten Sukapura. Demikian juga, daerah-daerah yang terletak di sebalah timur S. Citanduy, yakni Dayeuh Luhur, Madura, Banyumas, dan Nusa Kambangan diserahkan ke Keresidenan Banyumas. Wilayah Galuh Imbanagara kemudian digabungkan dengan Utama dan Cibatu.75 Penyerahan wilayah ini tidak terlepas dari kebijakan Raffles untuk mereorganisasi wilayah kekuasaannya (lihat peta 2.1)

Oleh karena ketidakharmonisan antara bupati dan para patihnya, Pangeran Sutajaya melepas jabatan Bupati Galuh dan kembali ke Cirebon. Pada tanggal 15 Januari 1815, R. Tumenggung Wiradikusuma menggantikan kedudukan Pangeran Sutajaya sebagai Bupati Galuh.76 Sementara itu, R. Wiratmaka dan R. Jayadikusuma masih memegang kedudukannya sebagai Patih Utama dan Patih Cibatu.

Berdasarkan kesepakatan dengan kedua patihnya, R. T. Wiradikusuma menetapkan bahwa kabupaten yang dipimpinnya tidak lagi bernama Kabupaten Imbanagara, tetapi bernama Kabupaten Galuh dengan ibu kotanya di Ciamis. Sejak saat itu, Imbanagara tidak lagi menjadi ibu kota Kabupaten Galuh dan eksistensi Kabupaten Imbanagara berakhir. Akan tetapi, kalau dilihat dari silsilah para bupati Kabupaten Galuh, mereka merupakan keturunan para Bupati Imbanagara sehingga tidaklah berlebihan jika Kabupaten Galuh dikatakan sebagai penerus Kabupaten Imbanagara. Dengan demikian, pada akhir pemerintahan Raffles, nama Kabupaten Galuh secara resmi dipakai dalam istilah pemerintahan di Hindia Belanda dan kembali dipimpin oleh keturunan Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh.77

Berdasarkan Traktat London yang ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah Inggris harus menyerahkan Pulau Jawa kepada pemerintah Belanda. Untuk menerima wilayah Hindia Belanda, Pemerintah Belanda mengangkat Mr. C. Th. Elout, G. A. G. Ph. Baron van Capellen, dan A. A. Buyskes sebagai Komisaris Jenderal Hindia Belanda untuk menerima mandat kekuasaan atas Pulau Jawa dari pihak Inggris. Pada tanggal 19 Agustus

1816, ketiganya menerima mandat kekuasaan atas Hindia Belanda di Batavia. Sejak saat itu, ketiga orang komisaris jenderal ini bertugas untuk mengatur jalannya pemerintahan di Hindia Belanda.78

Peta 2.1

Kabupaten Imbanagara (Galuh) pada Abad XVII-XVIII

Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Eco-nomy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.

Pada tanggal 5 Januari 1819 Komisaris Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No.23 yang menetapkan bahwa Kabupaten Galuh merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Cirebon. Selain Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon meliputi empat kanupaten lainnya, yaitu: Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bengawan Wetan, Kabupaten Maja, dan Kabupaten Kuningan.79 Untuk

informasi posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa, lihat peta 2.2.

Ketika Komisaris Jenderal mengakhiri kekuasaannya atas Hindia Belanda pada pertengahan Januari 1819, Kabupaten Galuh dipimpin oleh R. Adipati Adikusuma, anak R. A. Wiradikusuma, yang memerintah dari tahun 1819-1839. Wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi daerah Imbanagara, Utama, dan Cibatu, melainkan meliputi juga Panjalu dan Kawali.80 Wilayah kekuasaanya memang bertambah, tetapi tidak lebih luas kekuasaan Imbanagara (Galuh) pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18.

Peta 2.2

Posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa pada Abad XIX

Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and

Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne:

Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 31 Mei 1844 No.1, batas-batas wilayah Kabupaten Galuh sebagai berikut. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukapura; sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka; sebelah timur berbatasan dengan Keresidenan Banyumas; dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukapura.81 Luas wilayah Kabupaten Galuh kurang lebih 522 pal persegi (1.185,4 km²) atau sekitar 16,34% dari luas Keresidenan Cirebon. Dengan wilayah seluas ini, Kabupaten Galuh relatif kecil dibandingkan dengan kabupaten lainnya di wilayah Keresidenan Cirebon, kecuali dengan Kabupaten Kuningan.82 Pada tahun 1830-an, distrik di Kabupaten Galuh berjumlah empat, yaitu Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Keppel. Pada tahun 1840-an, Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah (lihat peta 2.3). Sementara itu, pada tahun 1837 jumlah desa di Kabupaten Galuh mencapai 91 desa.83 Pada tahun 1855 jumlah desa di Kabupaten Galuh meningkat menjadi 238 desa.84

Secara geografis Kabupaten Galuh terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah yang mempunyai ketinggian 0-100 m di atas permukaan air laut, 100-500 m di atas permukaan air laut, 500-1.000 m di atas permukaan air

laut, dan di atas 1.000 m di atas permukaan air laut. Wilayah pertama bagian tenggara Kabupaten Galuh; wi-layah kedua meliputi bagian timur dan selatan Kabupaten Galuh; wilayah ketiga meliputi bagian barat dan utara Kabupaten Galuh; dan wilayah keempat meliputi wilayah di lereng Gunung Sawal (1.764 m) dan Gunung Cakrabuana (1.720 m). Sementara itu, rata-rata curah hujan setiap tahunnya mencapai 2.901 mm dan rata-rata jumlah hari hujan per tahunnya selama 145,8 hari.85 Peta 2.4 memberikan informasi mengenai keadaan geografis Kabupaten Galuh pada abad ke-19.

Sementara itu, kondisi ekonomi Kerajaan Belanda pada tiga dekade pertama abad ke-19 mengalami kehancuran, salah satu penyebabnya adalah terjadinya Perang Jawa yang mengakibatkan Kerajaan Belanda menanggung utang sebesar ƒ 30.000.000.86 Untuk mengatasi masalah ekonomi ini, daerah Hindia Belanda dijadikan sebagai alternatif pemecahan yang diharapkan. Oleh karena itu, segala daya dicurahkan untuk mengelola wilayah ini agar segera menghasilkan keuntungan untuk menutup defisit anggaran pemerintah Kerajaan Belanda. Pada tahun 1829 Johannes van den Bosch menyampaikan kepada raja Belanda usulan-usulan yang kelak akan

disebut cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa). Raja Belanda menyetujui usulan-usulan van den Bosch itu yang kemudian mengangkatnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada bulan Januari 1830 menggantikan Du Bus de Gisignies.87

Konsep van den Bosch mengenai Sistem Tanam Paksa pada awalnya tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Sistem tersebut didasarkan pada suatu prinsip bahwa desa-desa di Jawa mempunyai utang pajak tanah (landrente) kepada pemerintah. Untuk membayar pajak tersebut setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komoditas ekspor untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya.

Pada dasarnya konsep Sistem Tanam Paksa adalah menggabungkan prinsip wajib atau paksa dengan prinsip monopoli.88 Prinsip yang pertama dipergunakan menurut model yang telah lama berjalan di Priangan yang dikenal dengan Preangerstelsel atau sistem yang dipakai oleh VOC yang dikenal dengan verplichte leveranties (penyerahan wajib). Diterapkannya prinsip yang pertama ini berkaitan dengan pemikiran van den Bosch yang

menganggap bahwa bila diterapkan sistem ekonomi bebas, masyarakat desa yang mayoritasnya adalah petani, akan enggan untuk diajak menanam tanaman ekspor yang menjadi bahan perdagangan utama untuk mengisi kas keuangan pemerintah. Oleh karena itu, petani sebaiknya diwajibkan dalam menanam tanaman ekspor itu.89

Peta 2.3

Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and

Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne:

Monash University.

Peta 2.4

Kondisi Geografis Kabupaten Galuh

Sumber: M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation

Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.

Prinsip kedua, yaitu monopoli, diberikan kepada perusahaan dagang Belanda NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) yang didirikan pada tahun 1824 atas prakarsa raja Belanda. NHM akan diberi hak monopoli untuk mengangkut dan memperdagangkan komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat pedesaan. Dengan demikian, NHM akan mematahkan dominasi pelayaran Inggris-Amerika di kawasan Malaya-Hindia Belanda dan dengan sendirinya akan mendatangkan pemasukan keuangan bagi pemerintah Belanda.90

Untuk menjalankan konsep tersebut, seperti yang dicatat dalam Staatsblad van Nederlandsch – Indië 1834 No. 22, pemerintah akan mengadakan perjanjian dengan penduduk desa mengenai penyerahan sebagian areal sawahnya untuk keperluan menanam tanaman yang dapat memproduksi komoditas bagi kepentingan pasar Eropa. Tanah yang akan diserahkan itu luasnya 20 % dari luas seluruh sawah sebuah desa dan tanah tersebut akan dibebaskan dari pajak tanah (landrente). Hasil tanaman harus diserahkan kepada pemerintah dan apabila harga yang ditaksir ternyata lebih tinggi dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Jika panen gagal, maka

risiko akan ditanggung oleh pemerintah, asalkan kegagalan itu tidak disebabkan karena kelalaian penduduk. Tenaga kerja yang akan menanam tanaman ekspor tidak boleh melebihi tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman padi. Mereka akan bekerja selama 66 hari per tahun dan akan bekerja dalam komunitas desanya di bawah pimpinan kepala-kepala mereka (kepala desa) dan akan diawasi oleh pejabat Eropa (residen dan bawahannya).91 Dengan demikian, Sistem Tanam Paksa akan menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal dengan menggunakan perantaraan struktur kekuasaan lama.

Tanaman utama untuk memproduksi komoditas ekspor yang akan ditanam di Jawa adalah indigo dan tebu, di samping kopi yang telah berjalan sebelumnya. Selain itu, tanaman lain yang ikut ditanam tetapi dalam skala kecil, antara lain tembakau, lada, teh, dan kayu manis.92 Tidak seperti kopi yang hasil panennya bisa langsung dipasarkan tanpa diolah terlebih dahulu di pabrik, hasil panen tanaman indigo dan tebu tidak dapat langsung dipasarkan, tetapi harus diolah dulu di pabrik sampai menghasilkan komoditas yang diinginkan. Tanaman indigo93 diolah menjadi bahan pewarna, sedangkan tanaman tebu diolah menjadi gula. Ketiga komoditas tersebut

merupakan komoditas yang sedang laku di pasar Eropa pada waktu itu.

Secara operasional tanggung jawab proses produksinya, sejak dari penanaman sampai pengolahannya di pabrik, berada di pundak para bupati dan pejabat di bawahnya, terutama para kepala desa yang langsung berkecimpung di lapangan. Dengan otoritas tradisional yang dimilikinya, mereka dapat mengerahkan rakyatnya untuk memproduksi indigo melalui lembaga tradisional pribumi, yaitu kerja wajib. Dengan demikian, maka di mata para petani tuntutan untuk memproduksi indigo ini dipandang sebagai hal yang biasa dan sah. Pada waktu penerapan Cultuurestelsel diberlakukan, Bupati Galuh dipegang oleh R. Adipati Adikusuma (1819-1839). Jabatan ini kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama R. A. A. Kusumadiningrat (1839-1886). Keduanya kemudian berkedudukan sebagai perantara antara masyarakat pribumi dan Pemerintah Hindia Belanda. Beberapa komoditi perdagangan yang wajib diserahkan oleh keduanya kepada Pemerintah Hindia Belanda antara lain kopi, indigo, gula, dan beras.

Salah satu jenis komoditi yang wajib diserahkan pada tahun-tahun awal pelaksanaan Tanam Paksa adalah

indigo yakni bahan pewarna kain. Dengan mempertimbangkan kondisi geografis, Pemerintah Hindia Belanda memerintah R. A. Adikusuma untuk menanam pohon tarum yang merupakan bahas dasar indigo. Di kabupaten yang dipimpinnya, pelaksanaan industri indigo dalam rangka Sistem Tanam Paksa dijalankan mulai tahun 1830.94 Koordinator produksi indigo diserahkan kepada Inspektur Perkebunan Indigo Karesidenan Cirebon, G.E. Teisseire, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada awal tahun 1830,95 bersama dengan Residen Cirebon, B.J. Elias. Untuk menyeragamkan pola industri indigo, pemerintah pusat mengeluarkan Resolutie Hooger Regeering tanggal 27 Februari 1832 No.4. Berdasarkan resolusi tersebut, mulai tahun 1833 Residen Cirebon menjalankan pola industri Elias dalam memproduksi indigo di Kabupaten Galuh. Konsep yang ditawarkan Elias adalah indigo diproduksi di pabrik-pabrik kecil yang didirikan di desa-desa oleh penduduk desanya dengan menggunakan teknik yang sederhana dan kemudian hasilnya dibeli oleh pemerintah. Penanaman tanaman indigo dilakukan di tanah-tanah sawah yang terletak di desa-desa. Ia beranggapan bahwa apabila pola industrinya dijalankan, maka hasilnya akan cepat diperoleh dan

penduduk desa tidak perlu meninggalkan desanya, sehingga mereka juga dapat menanam tanaman pangannya di seluruh Keresidenan Cirebon.96

Ketika industri indigo dijalankan di Kabupaten Galuh pada masa Sistem Tanam Paksa, tanaman indigo yang dibudidayakan diambil dari jenis Tarum Kembang yang sudah dikenal masyarakat pribumi. Jenis tanaman indigo ini banyak ditemukan di daerah Priangan sebelum dibudidayakan pada masa Sistem Tanam Paksa.97 Masyarakat daerah ini menyebutnya dengan nama Tarum Siki, sedangkan orang Jawa menyebutnya Tom Cantik.98 Alasan dipilihnya jenis Tarum Kembang, kemungkinan disebabkan jenis ini cepat pertumbuhannya, pohonnya kuat, dan hasilnya lebih banyak dibandingkan jenis lainnya, selain sudah dikenal secara luas oleh penduduk pribumi.99

Persiapan-persiapan pertama untuk memproduksi indigo di Kabupaten Galuh, dikoordinasikan oleh Inspektur Perkebunan Indigo Teisseire dan Residen Cirebon Elias. Tanah-tanah yang disiapkan untuk menanam Tarum Kembang bukan di sawah-sawah sekitar desa, tetapi di tanah-tanah yang tidak dipakai untuk menanam tanaman pangan penduduk yang letaknya jauh dari perkampungan.

Areal penanaman Tarum Kembang disiapkan di empat distrik yang ada di wilayah Kabupaten Galuh, yaitu: Distrik Ciamis, Kawali, Keppel100, dan Panjalu. Oleh karena itu, seluruh distril di Kabupaten Galuh merupakan penghasil indigo.

Areal penanaman Tarum Kembang pada masa awal industri indigo di Kabupaten Galuh luasnya mencapai 1.263,5 bau (896,6 ha). Areal seluas itu mencakup 29,95% dari areal penanaman Tarum Kembang di Keresidenan Cirebon. Untuk meningkatkan produksi, pada tahun 1832 pemerintah memperluas areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh menjadi 1.540 bau (1.092,9 ha) atau meningkat sekitar 21 %, dari tahun 1830. Perluasan areal penanaman Tarum Kembang itu dilakukan melalui pembukaan tanah baru, pemberdayaan tanah-tanah yang ada di sekitar pabrik indigo, dan penggantian tanaman ekspor lain dengan Tarum Kembang. Misalnya seperti yang dilakukan di Distrik Panjalu Kabupaten Galuh, seluas 120 rijnl morgen (144 bau/102,1 ha) tanaman kopi diganti dengan tanaman Tarum Kembang.101

Tabel 2.3

Areal Penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh, 1830 – 1832

Distrik Nama Pabrik

Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau)

1830 1831 1832 Ciamis Kauntungan 651,0 660,0 720,0 Kawali Kasukahan 355,0 360,0 432,0 Rancah Kaharapan 177,5 180,0 240,0 Panjalu Sukahati 80,0 81,0 148,0 Jumlah Total 1.263,5 1.281,0 1.540 Sumber: Opgave van de primo Januarij 1832 in de onder-scheidene

fabrieken gefabriceerde indigo, ADK 551, ANRI; Opgave der Werkzamheden en Opbrengsten der Indigo Cultuur van den tÿd dat die in de Residentie Cheribon is ingevoerd tot op ult. December 1832, ADK 569, ANRI.

Berdasarkan tabel 2.3, pada tahun 1830, areal terluas penanaman Tarum Kembang dilakukan di Distrik Ciamis yang mencapai 651,0 atau 51,52% dari areal keseluruhan. Sementara itu, yang terkecil di Distrik Panjalu yakni seluas 80,0 atau 6,33% dari luas keseluruhan. Pada tahun 1832, meskipun secara fisik areal penanaman Tarum Kembang di Distrik Ciamis meningkat sebesar 69 bau atau 10,6%, namun mengalami penurunan sekitar 4,77% dari areal keseluruhan penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh. Kondisi yang sama dialami oleh Distrik Kawali walaupun penurunannya tidak sedrastis di Distrik Ciamis, yakni

hanya 0,05%. Sementara itu, pada tahun 1832, Distrik Rancah dan Panjalu mengalami peningkatan areal penanaman Tarum Kembang masing-masing sebesar 1,54% dan 3,29% dari keseluruhan areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh.

Pada tahun 1833, pola industri indigo berubah dari pola Teisseire menjadi pola Elias. Pada awal pelaksanaan pola industri ini, luas areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh 1.541 bau (1.093,6 ha) atau naik 1 bau dari tahun 1832. Seperti yang tertera pada tabel 2.4, rata-rata areal persawahan yang digunakan untuk menanam Tarum Kembang pada tahun 1833 mencapai 29,825%. Pada perkembangan selanjutnya, areal untuk penanaman Tarum Kembang bertambah luas sampai mencapai puncaknya tahun 1840. Pada masa puncak ini luas areal penanaman Tarum Kembang mencapai 1.563 bau (1.109,2 ha) atau meningkat 1,4%. Meskipun demikian, areal persawahan yang dipergunakan mengalami penurunan sebesar 7,325%. Hal ini terjadi karena perluasan areal penanaman Tarum Kembang diiringi dengan perluasan areal persawahan dengan cara membuka tanah-tanah yang tidak digunakan dan kemudian mengubahnya menjadi areal persawahan, seperti yang ditampilkan pada tabel 2.5.

Sementara itu, desa yang terlibat dalam penanaman Tarum Kembang berjumlah 59 desa atau sekitar 64,8 % dari seluruh desanya.102

Tabel 2.4

Areal Penanaman Tarum Kembang dan Prosentase Areal Persawahan yang digunakan menanam Tarum Kembang

di Kabupaten Galuh, 1833 – 1840 Distrik Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau) Prosentase Areal Persawahan untuk Menanam Tarum Kembang 1833 1835 1840 1833 1835 1840 Ciamis 720 726 836 32,7 *) 21,4 Kawali 432 200 305 33,8 *) 21,0 Rancah 240 220 236 33,3 *) 28,6 Panjalu 149 144 186 19,5 *) 19,0 Jumlah Total 1.541 1.290 1.563 29,825 *) 22,5 Keterangan: *) Tidak ada data

Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare 1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Cultuur Verslag 1835, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI.

Tabel 2.5

Perluasan Areal Persawahan di Kabupaten Galuh, 1833 dan 1840

Distrik

Luas Areal Persawahan (dalam bau) 1833 1840 Kawali 1.277,0 1.451,0 Ciamis 2.199,0 3.907,0 Rancah 720,0 826,0 Panjalu 763,0 980,0 Jumlah 4.959 7.164

Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare

1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9,

Dokumen terkait