• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 3 Aterogenesis yang menggambarkan segmentasi terbentuknya plak

DAFTAR SINGKATAN

Gambar 3 Aterogenesis yang menggambarkan segmentasi terbentuknya plak

aterosklerosis, mulai dari arteri normal, muncul garit lemak, menjadi plak fibrosa (ateroma), dan berkembang menjadi komplikasi lesi aterosklerosis (adaptasi dari Ross 1999b)

Mekanisme aterosklerosis. Pada intinya, mekanisme aterosklerosis menjelaskan proses terjadinya dan berkembangnya lesi aterosklerosis sampai timbul komplikasi dan kematian. Menurut Hansson (2009), aterosklerosis bermula dari akumulasi LDL, pengaktifan endotelium, serta perekrutan sel-T dan monosit. Monosit mengalami diferensiasi menjadi makrofag agar dapat melakukan fagositosis lipoprotein termodifikasi dan berkembang menjadi sel busa. Sel-T bertugas mengenal adanya antigen lokal, kemudian mengundang respons sel Helper-1 agar terlibat dalam peradangan lokal dan pertumbuhan lesi aterosklerosis. Sejalan dengan itu sinyal yang bersifat anti-peradangan muncul, sehingga terjadi pengaturan sistem kekebalan. Aktivasi peradangan secara intensif mengakibatkan terjadinya komplikasi berupa proteolisis lokal, kerusakan plak, formasi trombus, iskhemia, dan infark.

Hipotesis aterosklerosis. Penjelasan Hansson (2009) tersebut secara tidak langsung merangkum beberapa teori penyebab aterosklerosis seperti teori lipid, teori peradangan, teori kepekaan mesenkim, teori perlukaan, ataupun disfungsi

endotel. Teori-teori ini menghasilkan beberapa hipotesis, tentang timbulnya plak aterosklerosis dan komplikasinya. Williams & Tabas (1995) menjelaskan bahwa pengembangan hipotesis ini umumnya berdasarkan pada temuan komponen plak aterosklerosis seperti komponen seluler (sel otot polos, makrofag, lekosit), komponen jaringan matriks (elastin dan kolagen), komponen lipid (kolesterol, intra dan ektraseluler lipid), dan komponen kalsifikasi. Adapun hipotesis yang sering digunakan untuk menjelaskan mekanisme aterosklerosis meliputi hipotesis disfungsi endotelium, hipotesis respon peradangan kronis, hipotesis migrasi sel otot polos (dari media ke intima), hipotesis proliferasi sel otot polos (dalam rangka menghasilkan matriks elastin dan kolagen pada intima), serta hipotesis terjadinya akumulasi lipid. Berdasarkan hipotesis proliferasi sel otot polos, growth factor, cytokines, vasoaktif, prostaglandins, leukotrienes, dan matriks ekstraseluler yang ikut memengaruhi aktivitas sel-sel otot polos disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Growth factor, cytokines, vasoaktif, prostaglandins, leukotrienes, dan matriks ekstraseluler yang ikut memengaruhi aktivitas sel-sel otot polos (diadaptasi dari Reines & Ross 1993).

Growth factors dan cytokines Agen Vasoaktif, prostaglandins, dan leukotrienes Matriks Extraselular Epidermal growth factor (EGF)

Basic fibroblast growth factor (bFGF)

Heparin-binding EGF-like growth factor (HB-EGF)  Insulin growth factor-I (IGF-I)  Interferon- (IFN-)

Interleukin-1 (IL-1)  Interleukin-6 (IL-6)

Platelet-derived growth factor (PDGF)

Thrombin

Transforming growth factor a (TGF-a)

Transforming growth factor-fl (TGF-fl)

Tumour necrosis factor-a (TNF-a)

Angiotensin II (A-II)  Atrial natriuretic

polypeptide (ANP)  Endothelial-derived

relaxing factor-nitric oxide (EDRF-NO)  Endothelin (ET-1)  Adrenaline/noradrenaline 1 2-hydroxy- eicosatetraenoic acid (1 2-HETE)  Leukotriene B4 (LTB4)  Prostacyclin (PGI)  Prostaglandin E (PGE)  Serotonin Substance VasopressinFibronectin (FN)  Heparin Laminin Osteonectin (SPARC)  Tenascin (TN)  Thrombospondin (TSP)

Teori disfungsi endotel. Berdasarkan teori disfungsi endotel (Gambar 4), dijelaskan bahwa hiperlipidemia, toksin, hipertensi, merokok, faktor hemodinamik, reaksi imun, dan virus menyebabkan perlukaan pada sel endotel, sehingga sel endotel melepaskan cytokines seperti Interluekin1 (IL-1), MCP-1, dan M-CSF untuk memicu adesi monosit pada endotel bermigrasi sebagai makrofag pada tunika intima, dan melakukan fagositosis LDL, kemudian teroksidasi menjadi sel busa. Bersamaan dengan proses ini, sel-sel otot polos bermigrasi menembus elatin lamina interna dan berprolifrasi pada tunika intima untuk menyusun matriks elastin, kolagen, dan proteoglikan menggantikan ekstraseluler dan intraseluler lipid yang terdeposit pada tunika intima.

Gambar 4 Mekanisme aterosklerosis berdasarkan teori disfungsi/perlukaan endotel (adaptasi dari Ross 1999a)

Modulasi makrofag. Das et al. (2011) menjelaskan bahwa dalam proses perkembangan lesi dari garit lemak sampai terbentuk plak, plasminogen berperan sebagai prekursor bagi serine protease plasmin serta sebagai modulator bagi makrofag dalam pembentukan sel-sel busa. Dalam hal ini, plasminogen yang

memiliki kemampuan memecah matriks protein selama proses fibrinolisis dan migrasi sel, berperan menjadi perantara antara permukaan makrofag dengan aktivitas katalisis. Secara teknis, plasminogen memengaruhi ekspresi CD36 dengan mematangkan ikatan oksidasi dengan cara mengatur sekresi leukotiene B4 oleh makrofag.

Penamaan lesi aterosklerosis. Menurut Finn et al. (2010), penamaan lesi aterosklerosis dari sejak awal sampai terjadi komplikasi adalah sebagai berikut. Garit lemak (fatty streak) adalah lesi yang pertama kali terlihat dalam perkembangan aterosklerosis. Ateroma (atheroma) adalah akumulasi sel atau runtuhan sel yang berisikan lipid, kalsium, dan jaringan ikat fibrosa yang terlihat di antara deretan endotelium dan dinding arteri yang dipadati sel-sel otot polos. Plak (plague) adalah deposit lemak di dalam dinding pembuluh darah. Ada pula istilah fibroateroma dengan kapsula tipis (thin-cap fibroatheroma, TCFA), yaitu kapsula fibrosa yang mengalami infiltrasi makrofag dan limfosit, dengan sel-sel otot polos yang jarang dan mengalami nekrosis pada inti deposit lipid. Dijelaskan oleh Finn et al. (2010) bahwa TCFA merupakan lesi aterosklerosis yang mudah pecah dan mengalami trombosis.

Kerapuhan lesi aterosklerosis. Menurut Finn et al. (2010) konsep tentang kerapuhan aterosklerosis berkembang dari masa ke masa. Konsep ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1844 dengan ditemukannya pecahan plak pada arteri yang mengalami aterosklerosis. Pada tahun 1858 istilah ateroma diperkenalkan sebagai masa lipid yang diseliputi kapsula fibrosa. Pada tahun 1970-an diperkenalkan istilah intramural atheromatous abcess. Pada masa ini diperkenalkan peran intraplaque angiogenesis and hemorrhrage sebagai plak yang tidak stabil. Pada tahun 1985 diperkenalkan peran pecahan plak sebagai penyebab trombosis koroner. Pada masa ini disusun konsensus American Hearth Association (AHA) yang berkaitan dengan skema klasifikasi untuk awalan dan perkembangan lesi aterosklerosis. Pada tahun 1987 diperkenalkan konsep remodeling arteri sejalan dengan perkembangan lesi aterosklerosis. Pada tahun 1989 dilakukan pengelompokkan kondisi hemodinamik yang secara nyata berisiko terhadap munculnya plak yang rapuh. Pada tahun 1994-1999 dilaporkan proses penyempitan lumen arteri akibat silih berganti pemulihan pecahan plak dengan

proses peradangan. Pada masa ini dilaporkan peran sitokin dan proteolisis pada mekanisme pecahnya kapsula fibrosa maupun peran keping darah dan koagulasi pada mekanisme trombosis. Pada masa ini juga dilaporkan definisi lesi yang rapuh berdasarkan ketebalan kapsula fibrosa (<65 µm). Pada tahun 2000 diperkenalkan istilah thin-cap fibroatheroma (TCFA) sebagai konsensus AHA berkenaan dengan lesi yang rapuh dan mekanisme trombosis. Sampai pada tahun 2003 dilaporkan adanya ciri-ciri morfologi, kejadian, dan tepatnya lokasi TCFA. Pada masa ini juga dijelaskan tentang konsep erythrocyte-derived cholesterol and necrotic core expansion sebagai mekanisme kerapuhan lesi aterosklerosis.

Aterosklerosis koroner. Aterosklerosis dapat berkembang pada arteri koroner seperti LAD, LCX, dan RCA (Gambar 5), serta dapat menimbulkan komplikasi penyakit jantung koroner seperti thrombotic coronary occlusion, myocardial infarctions, keluhan acute coronary syndrome, dan umumnya pasien berakhir dengan kematian (Stone et al. 2011).

Gambar 5 Jantung dengan arteri koroner LAD, LCX, dan RCA yang merupakan tempat terjadinya aterosklerosis

Grading Aterosklerosis Koroner. American Heart Association mengembangkan tahap-tahap (grading) perkembangan aterosklerosis menjadi enam tipe plak aterosklerosis (Stary et al. 1995). Tipe-I ditandai dengan munculnya garit lemak, perubahan minor formasi otot polos, dan penyesuaian ketebalan dinding arteri baik pada intima maupun media. Tipe-II atau tipe lesi

ditandai dengan tanda-tanda seperti pada tipe-I, akumulasi makrofag, dan adanya sel busa. Tipe-III atau tipe preateroma memiliki tanda seperti yang ditemukan pada tipe-II, dan juga ditandai dengan adanya kolam-kolam kecil yang berisi lipid ekstraseluler. Pada tipe-IV atau tipe ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti pada tipe-III, terdapat pula pusat lipid ekstraseluler. Pada tipe-V atau tipe fibro- ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti pada tipe-IV juga ditandai dengan adanya penebalan fibrosa. Pada tipe-VI atau tipe lesi komplikasi, selain ditemukan tanda-tanda seperti pada tipe-V, ditemukan juga adanya komplikasi lesi berupa trombus, fisura, dan hematoma (Gambar 6).

Gambar 6 Grading formasi enam tipe aterosklerosis menurut American Heart Association (Stary et al. 1995)

Faktor Risiko Aterosklerosis

Umum. Menurut Maas & Boger (2003) faktor risiko aterosklerosis terdiri dari dua kelompok faktor, yaitu yang berpeluang untuk dimodifikasi atau tidak, dan yang tergolong tradisional atau moderen.

1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes melitus, peningkatan homocysteine, faktor hemostasis dan

trombosis, infeksi virus herpes dan Chlamydia pneumoniae, kegemukan, serta pola hidup dan stress.

2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi umur, jenis kelamin, dan sejarah keluarga.

3. Faktor risiko yang masuk kategori tradisional meliputi umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, sejarah keluarga, merokok, konsentrasi kolesterol dalam LDL dan HDL, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, dan inaktivitas fisik.

4. Faktor risiko yang masuk ketagori new and emerging risk factor, yaitu C- reactive protein, homocysteine, oxidative stress, dan lipoprotein(a).

Obesitas/kegemukan. Obesitas dimengerti sebagai kondisi gemuknya badan akibat asupan kalori yang melebihi keperluan tubuh. Istilah ini juga digunakan untuk seseorang yang bobot badannya lebih berat 30% atau lebih dari bobot badan normal (D’Alessio 2003). Terdapat dua kriteria obesitas, yaitu kelebihan bobot badan dan obes. Disebut obes jika sudah menderita sakit dan memiliki dampak patologis. Sebagaimana disinyalir oleh WHO (2005), pada tahun 2015 diperkirakan 2.3 miliar orang dewasa mengalami kelebihan bobot badan dan 700 juta di antaranya menderita obes.

Faktor pengendali obesitas meliputi faktor genetik, tingkah laku, lingkungan, fisiologi, sosial, dan budaya (Racette et al. 2003). Dalam dua dekade terakhir, obesitas lebih banyak disebabkan oleh faktor tingkah laku dan lingkungan (WHO 2005). Faktor genetik diperkirakan memberikan kontribusi perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebanyak 50%-90% (Racette et al. 2003). Menurut WHO (2005), seseorang disebut kelebihan bobot badan jika IMT-nya lebih dari 25 dan disebut menderita obesitas jika IMT-nya lebih dari 30.

Diperkirakan terdapat lebih dari 200 gen faktor genetik obesitas. Gen-gen faktor genetik obesitas tersebut meliputi Melanocortin 4 Receptor (MC4R), Proopiomelanocortin (POMC), leptin dan reseptor leptin, Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPARϒ), Uncoupling Proteins (UCP1, UCP2, UCP3), Fatty Acid Binding Protein 2 (FABP2), melanocortin receptors (MC3R, MC4R, MC5R), neuropeptide Y (NPY), hormone sensitive lipase (HSL),

lipoprotein lipase (LPL), insulin responsive substrate-1 (IRS-1), membrane glycoprotein/plasma cell differentiation factor (PC-1), dan skeletal muscle glycogen synthase.

Sindrom metabolik. Sindrom metabolik adalah kumpulan gejala atau tanda klinis yang mengarah pada terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner di kemudian hari. Selain terdapat resistensi insulin dan hiperinsulinemia, terdapat tambahan empat sampai lima gejala atau tanda klinis yang menjadi prasyarat untuk disebut adanya sindrom metabolik. Hal yang menarik adalah adanya perbedaan prasyarat gejala klinis antara WHO dan National Institutes of Health (NIH) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Prasyarat sindrom metabolik menurut WHO dan NIH Amerika Serikat

World Health Organization

1. Rasio pinggang-pinggul > 0.85 pada wanita dan > 0.9 pada pria atau indeks masa tubuh > 30 kg/m2

2. Trigliserida > 150 mg% dan/atau HDL-cholesterol < 35 mg% (pria) atau < 40 mg% (wanita)

3. Tekanan Darah > 140/90 mm Hg

4. Peningkatan sekresi albumin dalam urin

National Institutes of Health

1. Obesitas abdominal: lingkar pinggang > 35 inci pada wanita atau 40 inci pada pria

2. Trigliserida > 150 mg%

3. HDL-cholesterol < 50 mg% pada wanita atau < 40 mg% pada pria 4. Tekanan darah > 130/85 mm Hg

5. Plasma glukosa puasa > 110 mg%

Perspektif sindrom metabolik mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awalnya (sebelum tahun 1980), sindrom metabolik hanya menjelaskan hubungan antara resistensi insulin dengan diabetus melitus tipe-2. Sepuluh tahun kemudian (sekitar tahun 1990-an), perspektif ini berkembang ke arah faktor risiko obesitas, yaitu berdasarkan ukuran tubuh dan IMT, dihubungkan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia maupun faktor risiko penyakit jantung koroner. Secara rinci, faktor risiko tersebut meliputi dislipidemia, gangguan metabolisme glukosa, gangguan metabolisme asam urat, gangguan

hemodinamik, dan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan C-reactive protein (CRP), plasminogen activator inhibitor–1 (PAI-1) dan fibrinogen. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa untuk setiap peningkatan bobot badan sebesar 1 kg, risiko penyakit jantung kardiovaskuler meningkat sebesar 3.1%. Perspektif sindrom metabolik tersebut digambarkan oleh Reaven (2001) sebagaimana Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir perspektif sindrom metabolik dengan pemicu obesitas dengan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (modifikasi dari Reaven 2001)

Untuk mengatasi sindrom metabolik, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Membangun gaya hidup yang sehat seperti latihan fisik, perbaikan diet, maupun penggunaan obat seperti penurun lipid, antidiabetik, antiobesitas atau antihipertensi, menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Kelebihan asam lemak bebas (FFAs) dan gula darah (hiperglisemia) yang menyebabkan resistensi insulin dan munculnya lipotoksisitas dan glukotoksisitas sedapat mungkin dihindarkan (Grundy 2006).

Remodeling Arteri

Remodeling arteri didefinisikan oleh Groot & Veldhuizen (2006) sebagai kemampuan homeostasis arteri dalam mengompensasi stenosis plak aterosklerosis

dan menjaga diameter lumen, sehingga sistem vaskuler tetap berfungsi dengan baik. Dengan kata lain, remodeling arteri merupakan kompensasi arteri terhadap perkembangan aterogenesis baik karena adanya mekanisme homeostasis tubuh maupun karena adanya upaya untuk menekan faktor-faktor risiko aterosklerosis.

Gambar 8 menyajikan bentuk remodeling LCX yang mengalami pembesaran (Ectasia) karena aterosklerosis yang bersifat konsentris.

Gambar 8 Contoh remodeling arteri koroner LCX pada manusia yang berusaha melakukan kompensasi berupa pembesaran arteri karena dorongan aterosklerosis (Williams et al. 2008)

Spektrum remodeling arteri. Sebagai proses perkembangan, remodeling arteri menghasilkan formasi arteri yang beragam, tergantung pada besarnya pengaruh tekanan (pressure), pengaruh aliran (flow), pengaruh perlukaan endotel (injury), dan pengaruh timbunan plak dan komplikasi plak (Groot & Veldhuizen 2006). Formasi arteri tersebut menghasilkan spektrum remodeling arteri sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Pengaruh tekanan darah menghasilkan perbesaran arteri yang bersifat radial dan remodeling geometris yang bersifat sentris maupun konsentris. Pengaruh aliran darah menghasilkan remodeling ekspansif (lumen membesar) dan remodeling konstriktif (lumen menyempit).

Spektrum remodeling arteri

tekanan aliran luka

Gambar 9 Spektrum remodeling arteri sebagai kompensasi proses aterosklerosis (adaptasi Groot & Veldhuizen 2006)

Remodeling arteri koroner. Remodeling arteri koroner dipelajari oleh Clarkson et al. (1994) dengan melakukan studi retrospektif pada 100 jantung pria dan wanita usia lebih dari 25 tahun serta pada 328 jantung monyet ekor panjang dan 88 monyet rhesus jantan. Satwa primata ini secara eksperimental diinduksi diet tinggi kolesterol, sehingga mengalami jantung koroner. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran lumen tidak dipengaruhi oleh ukuran plak semata. Ukuran lumen bervariasi dan tidak dapat diprediksi sebagai faktor risiko (tradisional) untuk menentukan penyakit jantung koroner. Namun, dengan menempatkan ukuran plak dan ukuran lumen bersama-sama sebagai faktor yang menggambarkan tidak adanya kompensasi arteri, ukuran lumen berkorelasi tinggi dengan sejarah terjadinya penyakit jantung koroner. Ketiadaan kompensasi ini menunjukkan adanya komplikasi aterosklerosis. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa manusia dan satwa primata memiliki respon remodeling arteri yang sama.

Pendeteksian remodeling arteri. Pendeteksian remodeling arteri dapat dilakukan dengan beberapa metode yang sifatnya invasif dan non-invasif. Metode invasif umumnya dilakukan pada hewan model atau pospartum dengan pendekatan patologis, histoteknik, maupun imunohistokimia.

Di lain sisi, metode non-invasif dilakukan dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan bantuan biomarker makrofag. Biomarker ini dikarakterisasi dengan Fluorodeoxyglucose (FDG) dan diamati dengan Positron Emission Tomography (PET) (Worthley et al. 2008). Untuk dapat diaplikasikan

pada manusia, sejarah pendeteksian remodeling arteri dimulai dengan menggunakan hewan model kelinci (New Zealand white rabbit) dalam keadaan puasa dan terbius. Penelitian ini menunjukkan bahwa MRI dapat dijadikan sebagai alat untuk mendata dinding arteri secara seri dan non-invasive, sehingga dapat menjelaskan secara utuh remodeling arteri. MRI juga digunakan untuk meneliti remodeling arteri pada aterosklerosis alami setelah intervensi perkutaneous koroner.

Selain makrofag, biomarker remodeling arteri dapat diperankan oleh enzim yang berfungsi dalam perkembangan matriks ekstraseluler aterosklerosis. Romero et al. (2008) menemukan dua jenis enzim yang konsentrasinya dapat diukur, yaitu Matrix Metallo Proteinases (MMPs) dan Tissue Inhibitor MMPs (TIMPs). Berdasarkan pemeriksaan arteri karotid diketahui bahwa Matrix Metallo Protein-9 (MMP-9), Tissue Inhibitor MMP-1 (TIMP-1), dan Protocollagen-III n-Terminal Propeptide (PIIINP) dapat mengekspresikan perbedaan keparahan aterosklerosis. Tingginya biomarker remodeling arteri pada penelitian Farmingham menunjukkan bahwa umur menengah tua ternyata memiliki hubungan dengan kejadian stenosis pada arteri karotid dan kejadian aterosklerosis sub-klinis pada karotid interna.

Pendeteksian remodeling arteri metode invasif pada preparat histologis hewan model maupun pasien post partum dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan grading aterosklerosis seperti yang telah dijelaskan pada paragraf terdahulu. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengukur ketebalan intima maupun dengan mengukur luas lumen, luas plak, dan luas dinding arteri. Pengukuran ketebalan intima secara tidak langsung menggambarkan ketebalan plak dan keparahan aterosklerosis. Perubahan ketebalan tersebut dapat dilakukan dengan melihat lapisan-lapisan jaringan elastin pada tunika intima atau Interna Elastin Lamina (IEL) dan jaringan elastin pada tunika media atau Externa Elastin Lamina (EEL). Lapisan-lapisan ini membuktikan bahwa dinding arteri melakukan perbaikan secara berkelanjutan (continuous improvement) dalam rangka menjaga keutuhan formasi lumen arteri, yaitu sebagai kompensasi terhadap pengaruh tekanan, aliran, perlukaan maupun pengaruh timbunan plak dan komplikasi plak yang sifatnya saling berinteraksi.

Model matematika remodeling arteri. Model matematika remodeling arteri dikembangkan oleh Groot & Veldhuizen (2006) dengan menjelaskan perubahan dimensi dinding melalui komponen pendukung arteri koroner manusia mulai dari awal sampai akhir terjadinya aterosklerosis. Sebelum diwarnai dan diperiksa dengan menggunakan komputer, sebanyak 83 sampel pospartum difiksasi kemudian diproses dengan parafin untuk mendapatkan sudut pemotongan 5 mikron yang proporsional. Analisis dilakukan secara acak terhadap garis radial yang menghubungkan titik pusat lumen ke titik-titik paling jelas pada intima, media, dan penebalan jaringan ikat sepanjang keliling arteri. Analisis tersebut menunjukkan bahwa pada dimensi intima, ditemukan adanya indikasi pra-aterosklerosis berupa proses perluasan radius arteri dalam bentuk tahapan- tahapan waktu pelebaran dan peningkatan luas vaskuler secara utuh.

Pertama-tama intima mengalami peningkatan secara stabil, kemudian terjadi pengurangan proporsi luas arteri karena peningkatan diameter. Media juga menunjukkan perkembangan sebagaimana intima, yang mula-mula mengalami fase stabilisasi, kemudian fase mendatar, lalu meningkat pada fase ketiga. Jaringan ikat arteri mengalami peningkatan pada fase pertama, lebih meningkat pada fase kedua, dan dipercepat pada fase ketiga. Keseluruhan proses remodeling arteri terjadi secara sistematis yang terdistribusi dengan jelas pada semua pembuluh darah dan secara lokal diikuti dengan perkembangan lesi intima.

Regresi Aterosklerosis

Regresi aterosklerosis digambarkan sebagai hasil dari berbagai intervensi baik diet maupun obat-obatan untuk menghambat progresi aterosklerosis. Ciri yang mudah dijadikan indikator regresi aterosklerosis adalah adanya perubahan stabilitas arteri yang dicerminkan oleh formasi seluler maupun komposisi biokimiawi arteri tersebut. Ternyata untuk mencapai keberhasilan regresi aterosklerosis, dibutuhkan perjalanan riset dan praktik yang panjang.

Sejarah konsep regresi aterosklerosis. Konsep regresi aterosklerosis dikemukakan oleh Anitschkow pada tahun 1920-an ketika melakukan penelitian eksperimental aterosklerosis pada kelinci. Penelitian tersebut diperdalam pada tahun 1950-1960 dengan ditemukannya fenomena regresi aterosklerosis

menggunakan hewan model kelinci, tikus, anjing, dan ayam. Tidak semua penelitian menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, pada tahun 1970-an dan 1980-an, penelitian tersebut dikembangkan dengan menggunakan hewan model kelinci, anjing, burung dara (pigeon), babi, dan satwa primata. Hasilnya cukup menggembirakan dengan ditemukannya ciri morfologis dan ciri biokimiawi sebagai penanda regresi aterosklerosis. Pada tahun 1980-an, konsep regresi aterosklerosis dan remodeling arteri dapat diterima oleh kalangan peneliti dan praktisi dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan pengobatan aterosklerosis (Williams et al. 2008).

St Clair et al. (1972) mempelajari efek regresi aterosklerosis pada lesi ateroma dan estrifikasi kolesterol pada aorta burung dara. Small et al. (1982) mempelajari perubahan fisikokimia dan histologis dinding arteri pada satwa primata selama progresi dan regresi aterosklerosis. Wagner et al. (1980) mempelajari perubahan kimia pada arteri Macaca mulata yang diinduksi dengan diet aterogenik selama sembilan belas bulan, kemudian diregresi selama empat puluh delapan bulan dengan memelihara konsentrasi total plasma kolesterol 300 mg/dL atau 200 mg/dL. Dalam catatan kuliah yang disampaikan St Clair (2003), disebutkan bahwa penginduksian progresi aterosklerosis monyet rhesus dengan diet aterogenik selama tujuh belas bulan menghasilkan Total Plasma Cholesterol (TPC) 700 mg/dL dan penyempitan arteri koroner kiri 60%±4% dan arteri koroner kanan 57%±7%. Setelah intervensi dengan diet dan asupan skuestrasi asam empedu, yaitu cholestiramine selama empat puluh bulan, TPC kembali menjadi 140mg/dL. Semasa induksi, penyempitan arteri koroner kiri dan kanan adalah sebesar 25%±5% dan 26%±3%, sedangkan setelah intervensi diet, penyempitan arteri koroner kiri dan kanan menjadi 17%±4% dan 14%±3%. St Clair juga memberikan catatan bahwa tidak semua komponen biokimia pada regresi aterosklerosis kembali normal secara total. Komponen-komponen biokimia yang tidak dapat kembali normal secara total adalah lipid, jaringan ikat, mineral, dan seluler. Perbaikan permukaan dinding arteri dan penebalan intima relatif lebih sulit kembali normal dibandingkan dengan perbaikan jaringan media, jaringan adventesia, maupun lemak intraseluler dan ekstraseluler. Pada Tabel 3 disajikan

Perubahan parameter biokimiawi dan morfologis dalam induksi maupun regresi aterosklerosis (Williams at al. 2008).

Tabel 3 Perubahan parameter biokimiawi dan morfologis dalam induksi maupun regresi aterosklerosis (Williams at al. 2008)

Komponen Induksi Regresi Lipid Total Kolesterol Kolesterol Bebas Kolesterol Ester Fosfolipid Trigliserida Kolesterol esterifikasi

Kolesterol ester hidrolisis ? Jaringan Ikat

Kolagen Elastin

Total sintesis protein Total GAG Mineral Ca PO4 Seluler Sel busa Proliferasi sel Paramater Morfologis Keterlibatan permukaan Ketebalan intima Kerusakan media Adventisial RXN Lipid Intraseluler Lipid Ekstraseluler

Williams et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk mendorong terjadinya regresi aterosklerosis, diperlukan beberapa persyaratan minimal, di antaranya adalah adanya profil lipid yang kondusif, yang ditandai dengan peningkatan HDL- C maupun penurunan konsentrasi serum lipid pro-aterosklerosis seperti total serum kolesterol, Low Density Lipoprotein-Cholesterol (LDL-C) dan ApoB; berkurangnya deposit lemak dan respon peradangan pada dinding arteri; peningkatan pembersihan lipid pada plak aterosklerosis, seperti reverse lipid transport dari plak aterosklerosis ke hati; serta terjaganya stabilitas komponen arteri dari aterosklerosis, dari kerapuhan dan kelabilan.

Dokumen terkait