• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk membuktikan hipotesis bahwa asupan nikotin alkali cair dosis rendah peroral memiliki efek mekanisme hambat aterosklerosis pada monyet ekor panjang dewasa obes dan meningkatkan keberadaan HDL pada jaringan hati dan aorta, dalam penelitian ini dilakukan: (1) evaluasi terhadap formasi lesi aterosklerosis koroner, (2) evaluasi terhadap komponen seluler lesi aterosklerosis koroner yang meliputi kondisi sel-sel peradangan, lapisan endotelium, dan sel-sel otot polos, serta (3) evaluasi terhadap keberadaan HDL pada jaringan hati dan aorta.

Evaluasi terhadap formasi dan komponen seluler lesi aterosklerosis koroner tersebut dimaksudkan untuk menemukan adanya indikasi regresi aterosklerosis yang antara lain ditandai dengan perubahan arteri dari labil menjadi stabil (Pasterkamp 2000), dan penurunan tingkat kerapuhan lesi aterosklerosis (Vinn et al. 2010). Adapun evaluasi terhadap keberadaan HDL pada jaringan hati dan aorta dimaksudkan untuk menemukan peningkatan keberadaan HDL pada organ tersebut.

17A 17B

Gambar 17 Preparasi koroner Right Coroner Artery (RCA), Left Artery

Decending (LAD), dan Left Circumflex (LCX), (17A, panah), pada monyet ekor panjang dewasa obes pada umumnya ditutupi oleh timbunan lemak (17B, panah).

RCA

LAD

Pada Gambar 17 disajikan gambar hasil preparasi arteri koroner monyet ekor panjang dewasa obes. Preparasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan arteri Righ Coroner Artery (RCA), Left Decending Artery ( LAD), dan Left Circumflex (LCX) (Gambar 17A). Kegiatan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan seksama karena kedudukan arteri koroner tersebut pada umumnya ditutupi oleh timbunan lemak (Gambar 17B).

Pada Gambar 17B dapat dilihat bahwa ujung apeks jantung bentuknya tidak meruncing sebagaimana jantung normal, tetapi membulat sebagai tanda bahwa jantung monyet ekor panjang dewasa obes mengalami hipertrofi. Berdasarkan evaluasi secara visual terhadap seluruh material jantung semua hewan coba diperoleh gambaran bahwa hampir seluruh jantung hewan coba mengalami hipertrofi. Menurut Mehta et al. (2012) hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hiperthrophy) terutama yang bersifat konsentris mempunyai hubungan dengan aterosklerosis subklinis dan proses peradangan. Hubungan aterosklerosis subklinis ditandai dengan adanya peningkatan coronary artery calcium (CAC) dan proses peradangan ditandai dengan adanya serum C-reactive protein (CRP). Dari gambaran ini dapat dirumuskan bahwa berdasarkan temuan adanya bentuk apeks jantung yang membulat sebagai indikasi hipertrofi, maka monyet obes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki risiko yang tinggi untuk menderita aterosklerosis.

Evaluasi Formasi Lesi Aterosklerosis

Tingkat Keparahan dan Penyebaran Lesi Aterosklerosis

Stary et al (1995) menjelaskan bahwa menurut American Heart Association tingkat keparahan lesi aterosklerosis dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe. Dalam penelitian ini ditemukan adanya tiga tipe lesi aterosklorosis, yaitu tipe-I, tipe-II dan tipe-III sebagaimana disajikan pada Gambar 18.

Ciri lesi. Ciri-ciri masing-masing tipe keparahan lesi aterosklerosis tersebut adalah sebagai berikut: Tipe-I ditandai dengan munculnya sedikit garit lemak

yang direspon dan proses peradangan dengan perubahan minor arteri, berupa formasi seluler otot polos yang diikuti dengan penyesuaian ketebalan dinding arteri terutama pada tunika intima dan tunika media. Tipe-II, disebut sebagai tipe lesi yang ditandai dengan perubahan sebagaimana terjadi pada tipe-I ditambah dengan adanya akumulasi makrofag dan sel-sel busa. Tipe-III, disebut tipe pre- ateroma yang ditandai dengan perubahan sebagaimana terjadi pada tipe-II ditambah dengan adanya semacam kolam-kolam kecil yang berisi substansi lipid ekstraseluler. Adapun tipe-IV, tipe-V, dan tipe-VI, yang menggambarkan perkembangan tingkat keparahan lesi aterosklerosis lebih lanjut tidak ditemukan dalam penelitian ini.

(A) (B) (C)

Gambar 18 Lesi aterosklerosis tipe-I (A), tipe-II (B), dan tipe-III (C), yang ditemukan pada koroner monyet ekor panjang dewasa obes, kategori menurut American Heart Association (Stary et al. 1995).

Distribusi Lesi. Untuk mengetahui tingkat keparahan lesi aterosklerosis pada seluruh arteri koroner monyet ekor panjang dewasa obes (n=9), baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, dilakukan pengamatan mikroskopis pada arteri koroner jantung Left Arterial Decending (LAD), Left Circumflex (LCX), dan Right Coronary Ascending (RCA) yang masing-masing di potong melintang menjadi bagian proksimal (P), medial (M), dan distal (D), sehingga didapatkan 81 slide histologis dengan pewarnaan HE dan VVG. Hasil pengamatan tersebut dinyatakan dalam bentuk kategori tipe lesi aterosklerosis (Tabel 6).

Gambaran umum distribusi lesi. Berdasarkan analisis terhadap hasil pengamatan pada Tabel 6 tersebut diperoleh empat gambaran umum sebagai berikut. Kesatu, berdasarkan jumlah hewan (n=9) tanpa membedakan kelompok perlakuan dan kontrol sebanyak empat monyet masuk kategori tipe-I, dua ekor masuk kategori tipe-II, tiga ekor masuk kategori tipe-III. Kedua, berdasarkan jumlah arteri koroner yang diperiksa (n=81) tanpa membedakan kelompok perlakuan dan kontrol sebanyak 62 arteri masuk kategori tipe-I, dua arteri masuk kategori tipe-II, dan tiga arteri masuk kategori tipe-III, sedangkan dua arteri tidak dapat dibaca. Ketiga, berdasarkan tiga jenis arteri koroner maka urutan yang paling banyak memiliki tingkat keparahan lesi aterosklerosis tipe-II dan tipe-III adalah LCX (8 slide), disusul LAD (5 slide), dan RCA (3 slide). Keempat, berdasarkan potongan melintang arteri koroner maka urutan yang paling banyak memiliki tingkat keparahan lesi aterosklerosis tipe-II dan tipe-III adalah potongan proksimal (8 slide), disusul dengan potongan medial (5 slide) dan distal (3 slide).

Tabel 6 Hasil pengamatan tipe lesi aterosklerosis pada koroner LAD, LCX, dan RCA monyet ekor panjang dewasa obes dengan dan tanpa intervensi nikotin, berdasarkan kategori American Hearth Association (Stary et al. 1995). Kelompok No. M o n y et IMT

Tipe Lesi Aterosklerosis

LAD LCX RCA P M D P M D P M D Dengan Intervensi nikotin 1 31.11 II I I II II II II II I 2 33.53 III II I III III III - III III

3 24.70 I I I I I I I I I 4 23.04 I I I II I I I I I 5 25.63 I I I I I I I I I Tanpa Intervensi nikotin 1 27.99 I I I III I I I I I 2 27.96 III II I I I I I - - 3 34.57 I I I I I I I I I 4 23.79 I I I I I I I I I

Keterangan: P = bagian proksimal; M = bagian medial; D = bagian distal I = tingkat keparahan lesi aterosklerosis tipe-I

II = tingkat keparahan lesi aterosklerosis tipe-II III = tingkat keparahan lesi aterosklerosis tipe-III - = tidak dapat diamati

Predileksi lesi. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa untuk memperoleh gambaran tingkat keparahan lesi aterosklerosis pengevaluasian berdasarkan jenis koroner dan potongan melintang sangat membantu dalam memetakan distribusi tingkat keparahan lesi aterosklerosis tersebut. Adapun hasil yang dapat dirumuskan adalah ditemukannya predileksi lesi aterosklerosis yang cenderung menyerang arteri koroner yang berada pada jantung sebelah kiri (LCX dan LAD) dan pada potongan koroner bagian proksimal.

Akibat turbulensi. Ducker dan Bache (2008) menyebutkan bahwa potongan proksimal arteri koroner cenderung terkena lesi aterosklerosis karena erat hubungannya dengan besarnya turbulensi aliran darah dan stress hemodinamik pada bagian vaskuler tersebut. Secara umum turbulensi aliran darah dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur anatomi, fungsi fisiologis, besarnya kebutuhan darah dan energi jantung, serta sistem adaptasi arteri koroner yang dikendalikan oleh pengaruh ekstravaskuler, neurohormonal, metabolisme, endo- en-parakrin, endotelial dan sistem reseptor arteri koroner seperti reseptor: acetylcholine (ACh), muscarinic, norepinephrine, adrenergic,dan ß2-ß2- adrenergic.

Shanmugavelayudam (2010) melakukan simulasi turbulensi pada arteri koroner jantung dan menyimpulkan bahwa shear stress berperan besar dalam patogenesis aterosklerosis. Menurut Williams (2009) pergesekan aliran darah secara turbulens dan stress hemodinamik menyebabkan terjadinya erosi endotelium dan merangsang terjadinya mikro-trombosis. Dalam suasana dislipidemia, erosi endotelium menyebabkan akumulasi dan retensi lipid dalam dinding pembuluh darah lebih cepat, sehingga dapat menjadi cikal-bakal perkembangan lesi aterosklerosis. Menurut Valiyaveettil dan Podrez (2009) suasana sirkulasi patologis yang disertai dengan trombosis dapat menimbulkan aterotrombosis.

Dampak kinerja jantung. Aterosklerosis yang cenderung terjadi pada koroner jantung sebelah kiri (LCX dan LAD) diduga erat kaitannya dengan struktur dan fungsi jantung sebelah kiri, yaitu sebagai perangkat untuk menarik

darah kaya oksigen dari paru-paru kemudian memompa darah tersebut ke seluruh tubuh sesuai dengan kebutuhan (Mehta et al. 2012). Menurut Ducker dan Bache (2008) besarnya kebutuhan darah dan energi otot jantung sebelah kiri sangat berpengaruh terhadap sistem adaptasi mikrovaskuler koroner, pola vaskularisasi jantung, dan kemungkinan terbentuknya arteri kolateral. Menurut Mehta et al. (2012) hipertrofi ventrikel kiri merupakan penyakit jantung yang secara epidemiologis sering terjadi dan dapat menjadi predisposisi munculnya aterosklerosis. Hal ini ditandai dengan meningkatnya coronary artery calcium (CAC) dan serum C-reactive protein (CRP).

Ketebalan Lesi Aterosklerosis

Ketebalan lesi. Ketebalan lesi aterosklerosis merupakan salah satu basis yang diperlukan untuk melengkapi bahan evaluasi dalam menentukan lebih lanjut suatu plak aterosklerosis berpotensi menjadi lesi yang rapuh atau tidak (Pasterkamp & Falk 2000). Untuk memperoleh gambaran tentang ketebalan lesi aterosklerosis, maka dilakukan pengukuran terhadap ketebalan tunika intima (KI), ketebalan tunika media (KM), dan ketebalan dinding arteri (KI+KM). Pengukuran ini dilakukan dengan memilih arteri koroner LAD bagian proksimal, medial, dan distal yang intimanya paling tebal. Adapun untuk mengetahui besarnya risiko tingkat keparahan lesi aterosklerosis dilakukan penghitungan terhadap rasio antara ketebalan intima dan ketebalan dinding arteri KI/(KI+KM). Artinya, risiko perkembangan keparahan lesi aterosklerosis akan lebih besar, jika ketebalan intima melebihi setengah dari ketebalan dinding arteri (KI/(KI+KM)>0.5). Hasil pengukuran dan perhitungan tersebut disajikan pada Tabel 7.

Formasi kapsula fibrosa - plak ateroma. Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Debby Golden, senior research technician dari Primate Research Center the Wake Forest University NC USA dijelaskan bahwa lesi aterosklerosis yang ketebalan intimanya melebihi ketebalan media, atau rasio antara ketebalan intima dan ketebalan dinding arteri lebih besar atau sama dengan 0.5 dapat disebut sebagai plak ateroma (atheromatous plague), sedangkan jika lebih kecil disebut sebagai kapsula fibrosa (fibrous cap). Analisis terhadap Tabel 7 dengan ketentuan

ini menunjukkan bahwa dua ekor monyet obes masing-masing dari kelompok perlakuan dan dari kelompok kontrol memiliki lesi yang masuk katagori plak aterosklerosis, sedangkan tiga monyet obes dengan intervensi nikotin dan dua monyet obes tanpa intervensi nikotin memiliki lesi yang masuk kategori kapsula fibrosa.

Tabel 7 Hasil pengukuran ketebalan intima (KI), media (KM), dinding arteri (KI+KM), dan rasio intima/ketebalan dinding arteri (KI/(KI+KM)) berdasarkan pengukuran dari salah satu arteri koroner LAD proksimal, medial, atau distal yang paling tebal pada monyet ekor panjang dewasa obes dengan dan tanpa intervensi nikotin.

Perlakuan No. Monyet IMT Ketebalan Intima (KI) µm Ketebalan Media (KM) µm Ketebalan Arteri (KI+KM) µm Rasio KI/(KI+KM) µm Dengan Nikotin 1 31.11 67.33 50.33 117.66 0.572 2 35.53 137.15 56.10 193.25 0.710 3 24.70 12.08 28.17 40.25 0.300 4 23.04 7.22 10.26 17.48 0.413 5 25.63 19.97 43.65 63.62 0.314 Tanpa Nikotin 1 27.99 21.49 49.42 70.91 0.303 2 27.96 23.31 56.4 79.71 0.292 3 34.57 61.56 55.49 117.05 0.526 4 23.79 40.01 40.92 80.93 0.494

Formasi sentris-konsentris. Berdasarkan Tabel 7 juga diperoleh gambaran bahwa semakin besar rasio ketebalan tunika intima terhadap ketebalan dinding arteri, menyebabkan formasi lesi aterosklerosis tersebut mudah diamati apakah formasi lesi aterosklerosis bersifat sentris atau konsentris. Adapun jika rasio tersebut semakin kecil, maka formasi lesi aterosklerosis sulit ditentukan. Pengamatan terhadap empat monyet obes yang memiliki plak ateroma menunjukkan bahwa mereka cenderung memiliki lesi yang bersifat konsentris.

Lesi konsentris. Williams et al. (2008) menjelaskan bahwa lesi aterosklerosis yang bersifat konsentris memiliki peluang menjadi lebih rapuh dibandingkan dengan formasi lesi yang bersifat sentris. Akibat tekanan darah yang tinggi, lesi aterosklerosis yang rapuh tersebut akan mudah lepas dan menyebabkan penyumbatan pada ujung arteri koroner, sehingga timbul

komplikasi dengan munculnya penyakit jantung koroner. Menurut Finn et al. (2010), yang harus diwaspadai adalah lesi aterosklerosis yang bersifat fibro- ateroma dengan kapsula tipis (thin-cap fibroatheroma, TCFA) karena mudah pecah dan mengalami trombosis. Menurut Pasterkamp dan Falk (2000) dibandingkan stenosis koroner, lesi aterosklerosis yang bersifat fibroateroma lebih besar risikonya untuk menimbulkan trombosis karena sifatnya yang rapuh dan mudah lepas. Stone et al. (2011) menjelaskan bahwa lepasnya lesi aterosklerosis berupa ateroma kaya lipid dengan nekrosis di bagian intinya akan menyebabkan thrombotic coronary occlution dan dapat berkembang menjadi myocardial infarction (infark otot jantung). Hal ini secara klinis sering disertai dengan keluhan acute coronary syndrome dan umumnya berakhir dengan kematian pasien.

Lesi yang rapuh. Williams et al. (2008) juga mempermasalahkan ukuran

lesi yang “tanggung” yang sering menyebabkan acute coronary syndrome, sehingga timbul istilah angiographic paradox. Dikatakan bahwa lesi aterosklerosis yang rapuh pada umumnya berukuran kecil dan menyebabkan oklusi lumen koroner kurang dari 50%. Pada umumnya komponen lesi aterosklerosis tersebut penuh dengan intraseluler dan ekstraseluler lipid, kaya dengan beragam makrofag dan tissue factor, konsentrasi sel-sel otot polos yang rendah, dan biasanya hanya memiliki lapisan kapsula fibrosa yang tipis di bawah lapisan endotelium yang utuh. Pecahnya lesi yang rapuh akan menyebabkan terjadinya pembekuan darah, penyumbatan lumen arteri, dan infark yang bersifat akut. Dalam situasi seperti ini, penurunan konsentrasi lipid darah akan banyak membantu menurunkan tingkat kerapuhan lesi aterosklerosis dan mendorong terjadinya remodeling dan stabilisasi arteri. Pelajaran yang dipetik dari penjelasan ini adalah pentingnya keberadaan makrofag sebagai indikator ketidakstabilan lesi aterosklerosis. Di lain sisi, keberadaan lipoprotein yang menunjang stabilitas arteri sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan arteri yang lebih baik.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa monyet yang memiliki rasio antara ketebalan intima (KI) dan ketebalan dinding arteri (KI+KM) yang lebih besar atau sama dengan 0.5 berpotensi menjadi lesi

aterosklerosis yang sifatnya rapuh dan labil, sedangkan yang memiliki rasio lebih kecil belum dapat diprediksi perkembangannya (Shah 2002).

Hubungan Aterosklerosis dengan Obesitas

McGill et al. (2002) menjelaskan bahwa obesitas erat hubungannya dengan penyakit jantung koroner, dan dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis pada laki-laki muda. Salah satu cara yang cukup akurat menentukan obesitas adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT) (Racette et al. 2003).

Pendekatan kualitatif. Untuk melihat adanya hubungan antara obesitas dengan tingkat keparahan aterosklerosis dalam penelitian ini dilakukan evaluasi dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kualitatif dilakukan pengelompokan IMT monyet obes berdasarkan tipe lesi aterosklerosis menurut American Heart Association (Stary et al. 1995) yang disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19 Diagram profil indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang dewasa obes terhadap tipe keparahan lesi aterosklerosis menurut American Heart Association (Stary et al. 1995).

Berdasarkan Gambar 19 dapat didiskripsikan bahwa monyet obes dengan tipe lesi aterosklerosis yang tinggi (tipe-III) memiliki nilai IMT yang cenderung tinggi. Demikian pula monyet obes dengan tipe lesi aterosklerosis yang lebih rendah (tipe-I dan tipe-II) cenderung memiliki nilai IMT yang lebih rendah. Dari

20,00 22,00 24,00 26,00 28,00 30,00

Tipe I Tipe II Tipe III

gambaran ini kesan yang dapat dirumuskan adalah semakin tinggi tingkat obesitas (nilai IMT) monyet, tipe lesi aterosklerosis juga akan lebih tinggi keparahannya. Untuk memperkuat hasil analisis dengan pendekatan kualitatif ini dilakukan analisis dengan pendekatan kuantitatif.

Pendekatan kuantitatif. Untuk mengetahui secara kuantitatif hubungan antara tingkat obesitas dengan tingkat keparahan lesi aterosklerosis, terutama pada monyet obes dengan intervensi nikotin dan pada monyet obes tanpa intervensi nikotin dilakukan analisis korelasi. Analisis korelasi diterapkan terhadap peubah IMT dan peubah rasio antara ketebalan intima (KI) dengan ketebalan dinding arteri (KI+KM) (Gambar 20). Pada Gambar 20A menyajikan korelasi obesitas (IMT) dengan monyet obes, Gambar 20B menyajikan korelasi obesitas (IMT) dengan monyet obes dengan intervensi nikotin. Gambar 20C menyajikan korelasi obesitas (IMT) dengan monyet obes tanpa intervensi nikotin. Data menunjukkan bahwa pada umumnya terdapat kecenderungan hubungan linier yang positif antara obesitas dengan tingkat keparahan aterosklerosis (rp=0.67; dengan α=0.05). Analisis berdasarkan data monyet obes dengan intervensi nikotin menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat antara obesitas dengan tingkat keparahan aterosklerosis (rp=0.91; dengan α=0.05). Namun demikian, analisis berdasarkan data monyet obes tanpa intervensi nikotin menunjukkan adanya korelasi yang lemah antara obesitas dengan tingkat keparahan aterosklerosis (rp=0.25; dengan α=0.05).

20A 20B 20C

Gambar 20 Tebaran tingkat obesitas (IMT) dan rasio KI/(KI+KM) pada seluruh monyet obes (A) dengan intervensi nikotin (B) dan tanpa intervensi nikotin (C) 0 0,2 0,4 0,6 0,8 20 30 40 0 0,2 0,4 0,6 0,8 0 20 40 0 0,2 0,4 0,6 0 20 40 KI/(KI+KM) IMT

Berdasarkan hasil analisis korelasi ini dapat diketahui bahwa tingkat obesitas memiliki hubungan yang sangat positif dengan tingkat keparahan lesi aterosklerosis pada monyet yang diintervensi dengan nikotin. Meskipun secara statistik hubungan ini belum tentu menunjukkan hubungan sebab-akibat (Mattjik & Sumertajaya 2002), namun hubungan ini dapat dijadikan indikasi bahwa adanya perubahan tingkat obesitas dapat menyebabkan perubahan ketebalan intima atau sebaliknya.

Penjelasan tersebut di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Kesatu, pengembangan monyet ekor panjang sebagai hewan model obes memberi peluang terhadap terjadinya perkembangan lesi aterosklerosis. Kedua, perkembangan lesi aterosklerosis tersebut cenderung mempunyai hubungan dengan tingkat obesitas. Jika derajat obesitas ditingkatkan, maka derajat keparahan lesi aterosklerosis juga cenderung meningkat. Sebaliknya jika derajat obesitas diturunkan, maka peluang terjadinya penurunan derajat keparahan lesi aterosklerosis juga cenderung menurun. Rumusan ini memberikan gambaran baru bahwa dengan menurunkan obesitas terdapat peluang untuk terjadinya regresi aterosklerosis. Ketiga, secara tidak langsung penelitian ini memperkuat argumentasi Clarkson et al. (1994) bahwa monyet ekor panjang merupakan hewan model aterosklerosis yang handal.

Evaluasi Seluler Lesi Aterosklerosis

Kondisi Sel-sel Peradangan

Kehadiran sel-sel peradangan dalam akumulasi lipid pada lesi aterosklerosis yang bersifat fibroateroma merupakan penanda perkembangan aterosklerosis yang progresif (Williams et al. 2009). Evaluasi terhadap kondisi sel-sel peradangan sangat penting untuk menentukan status lesi aterosklerosis berada pada proses progresi atau pada proses regresi aterosklerosis. Berikut ini disajikan hasil pengamatan kondisi peradangan pada monyet obes kontrol dan pada monyet obes perlakuan, dilanjutkan hasil analisis perbedaan antara kedua kelompok tersebut.

Monyet kontrol. Untuk mengetahui kondisi umum sel-sel peradangan pada proses aterosklerosis disajikan arteri koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin (Gambar 21).

Gambar 21A

Profil koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin yang tidak memiliki lesi aterosklerosis; di sini tidak terlihat adanya sebaran sel-sel peradangan baik pada tunika intima, tunika media, dan tunika adventisia (HE, obyektif 10x)

Gambar 21B

Profil koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin dengan lesi aterosklerosis; terlihat adanya sebaran sel-sel peradangan (panah) baik pada tunika intima, tunika media dan tunika adventisia (HE, obyektif 40x).

Gambar 21C

Profil perbesaran gambar koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin dengan lesi aterosklerosis; terlihat adanya makrofag yang berubah menjadi sel-sel busa (panah) pada tunika intima. (HE, obyektif 100x).

Pada Gambar 21A disajikan koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin yang tidak memiliki lesi aterosklerosis dan tidak menunjukkan proses peradangan. Pada Gambar 21B disajikan koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin dengan lesi aterokslorosis dilengkapi proses peradangan. Pada gambar ini sel-sel peradangan ditemukan pada pada tunika intima yang memiliki lesi aterosklerosis dan pada tunika media dan tunika adventisia di bawah tunika intima tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan pada aterosklerosis bukan proses yang sederhana, tetapi saling berhubungan dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari sistem penyakit inflamasi (Hansson 2009). Pada Gambar 21C disajikan tunika intima koroner monyet obes tanpa intervensi nikotin yang mengalami lesi aterosklerosis. Pada gambar ini terlihat beberapa ragam sel-sel peradangan. Pertama makrofag yang berdekatan dengan endotelium, diduga hal ini merupakan monosit yang baru berubah menjadi makrofag. Kedua makrofag di dalam tunika intima, diduga sedang melakukan fagositosis LDL teroksidasi. Ketiga adanya sel busa yang terlihat sebagai sel yang memiliki sitoplasma yang membesar berisikan lipid (kolesterol) dari hasil fagositosis LDL teroksidasi. Dalam proses selanjutnya inti dari sel busa tersebut akan terdesak kearah tepi oleh akumulasi lipid (kolesterol) tersebut. Gambaran ini sesuai dengan Ross (1999).

Dikaitkan dengan Hansson (2008) bahwa aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi, keterlibatan scavanger receptor dalam transformasi monosit menjadi makrofag dan makrofag menjadi sel busa menjadi indikasi bahwa aterosklerosis merupakan proses imunologis. Sel busa yang terbentuk selain dapat disebut sebagai lipid-accumulating histiocytes, juga dapat disebut sebagai immunologically active cells. Konsep ini kemudian memacu pengembangan penelitian di bidang antibodi monoklonal untuk kepentingan diagnosis, termasuk pemetaan cluster of defferencial (CD) antibodi terhadap leukosit manusia. Dengan cara ini lokasi makrofag lebih mudah dipetakan, termasuk memetakan dan mengidentifikasi endotelium, sel-sel otot polos, sel T dan produknya seperti cytokines dan interferon gamma. Dalam hal ini interferon gamma selain menghambat sel-sel otot polos menghasilkan kolagen, juga berpartisipasi dalam riam (cascade) cytokines sehingga memperbesar terjadinya proses peradangan

pada dinding arteri. Komponen yang pro-peradangan yang terlibat dalam proses ini meliputi interleukin (IL)-1, tumor necrotic factor (TNF), IL-6, dan cytokines yang lain. Keterlibatan IL-6 tersebut dapat memicu produksi C-Reactive Protein (CRP) pada hati, yang ternyata dapat dijadikan penanda (marker) spesifik adanya aterosklerosis, termasuk jika terjadi infark otot jantung, stroke, dan sindrom metabolik.

Monyet perlakuan. Untuk mengetahui efek nikotin terhadap kondisi sel-sel peradangan dalam proses aterosklerosis pada Gambar 22 disajikan arteri koroner monyet obes dengan intervensi nikotin. Pada dasarnya, kondisi sel-sel peradangan pada monyet obes dengan intervensi nikotin memiliki kesamaan dengan proses yang terjadi pada monyet tanpa intervensi nikotin (Gambar 21), tetapi dengan beberapa perbedaan yang menonjol. Perbedaan tersebut terlihat pada proses regenerasi arteri dan sebaran sel-sel peradangan pada tunika intima. Jika pada monyet kontrol sel-sel peradangan terkesan tersebar merata, tetapi pada monyet obes dengan intervensi nikotin terkesan tersebar tidak merata. Gambar 22A memperlihatkan proses regenerasi pada tunika intima yang lengkap. Di salah satu segmen terlihat adanya akumulasi sel-sel peradangan, tetapi di segmen yang lain sel-sel peradangan tersebut mengalami sitolisis dan seperti “menghilang” dari tunika intima, sedangkan pada tunika adventisia, relatif tidak ditemukan sel-sel peradangan. Pada Gambar 22B disajikan segmentasi proses regenerasi tunika intima. Setidaknya terdapat 4 segmen gambar yang dapat menjelaskan proses regenerasi tersebut (Gambar 22C s.d. 22F).

Sebagai uraian dari segmentasi proses regenerasi tunika intima, mula-mula makrofag berubah menjadi sel-sel busa (Gambar 22C). Sel-sel busa tampak bervariasi, di antaranya dengan inti di tengah dan inti di tepi karena didesak oleh timbunan lemak. Pada segmen berikutnya (Gambar 22D) terlihat adanya sel-sel busa mengalami sitolisis atau diduga mengalami migrasi ke sistem pertahanan limfonodus. Akibatnya, kerangka bekas sel-sel busa yang mengalami lisis tersebut tampak kosong, dan diisi oleh jaringan ikat (Gambar 22E) dan juga sel-

Dokumen terkait