• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. DAFTAR PUSTAKA

12. Gambar Denah Percobaan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

S2T3B0 S1T0B0 S2T3B1 S1T0B0 S2T1B1 S1T1B1 S2T0B1 S1T2B0 S2T0B0 S1T0B1 S2T2B1 S1T0B1 S1T2B0 S2T0B1 S2T0B0 S2T3B0 S2T2B1 S2T0B1 S1T3B0 S2T0B0 S2T3B1 S2T2B0 S2T3B1 S1T0B1 S1T1B1 S2T1B1 S1T3B1 S2T1B1 S1T0B1 S1T2B1 S1T1B0 S1T3B1 S2T1B0 S1T3B1 S1T1B0 S2T0B1 S2T2B1 S1T3B1 S2T2B0 S2T1B1 S1T2B1 S2T2B0 S2T3B0 S1T1B1 S1T1B0 S2T1B0 S2T1B0 S1T0B0 S2T3B1 S1T1B0 S2T2B0 S1T2B0 S2T3B0 S2T0B0 S1T3B0 S1T1B1 S1T2B0 S1T3B0 S1T2B1 S2T1B0 S1T0B0 S1T3B0 S2T2B1 S1T2B1

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Peningkatan dosis terak baja pada jenis terak S1 (convertor Jepang) menurunkan N-total tanah, sedangkan pada jenis terak S2 (electric furnace Indonesia) tidak berbeda. Nilai pH meningkat seiring dengan peningkatan dosis terak, dan pengaruh jenis terak menunjukkan efek yang sama terhadap pH. Pengaruh dosis terak pada jenis terak S1 meningkatkan Ca-dd dan Mg-dd, namun kadar P-tersedia tidak berbeda, sedangkan pada jenis terak S2 meningkatkan kadar P tersedia, Ca-dd dan Mg-dd.

Penambahan bahan organik meningkatkan pH, P-tersedia, dan Ca-dd tanah dan tidak dipengaruhi oleh jenis dan dosis terak. Selanjutnya, kadar N-total, K-dd, dan Mg-dd tanah meningkat dengan penambahan bahan organik dan dipengaruhi oleh dosis terak. Peningkatan dosis terak baik pada tanpa (B0) bahan organik dan dengan (B1) bahan organik pada interaksi antara dosis terak dan bahan organik meningkatkan Mg-dd, namun menurunkan K-dd tanah.

Terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya menurunkan Pb dan Hg terlarut, akan tetapi pada beberapa kombinasi perlakuan, Cd terlarut, As terlarut dan Sn terlarut berturut turut meningkat sebesar 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm dan 0.08-0.15 ppm dari kadar yang tidak terdeteksi pada tanah tanpa perlakuan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan untuk mengetahui pengaruh terak baja jika diaplikasikan secara langsung dalam skala yang lebih luas.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam kawasan iklim tropis dengan suhu dan curah hujan tahunan yang tinggi, sehingga kebanyakan tanah di Indonesia berada pada tingkat pelapukan lanjut. Curah hujan tahunan yang tinggi mengakibatkan aktivitas pencucian hara dalam tanah berlangsung sangat intensif sehingga tanah kehilangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, tingkat pelapukan yang lanjut mengakibatkan bahan organik tanah juga menjadi rendah. Dengan kondisi demikian, tanah menjadi masam dan kesuburannya menjadi rendah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, para petani di Indonesia menggunakan bahan-bahan seperti kalsit atau dolomit untuk menurunkan kemasaman tanah. Kalsit dan dolomit merupakan bahan kapur yang sudah dikenal di Indonesia dan telah dipakai secara luas.

Akhir-akhir ini terak baja (basic slag/steel slag) diperbincangkan oleh para peneliti dunia pertanian. Terak baja merupakan limbah industri pembuatan baja yang mengandung unsur Ca, Mg Si, Fe, dan beberapa unsur lain serta mampu memperbaiki masalah keasaman tanah dengan menaikkan pH tanah (Dev dan Sharma 1970). Terak baja memiliki kandungan CaO sebanyak 52.85%, MgO 2.22%, P2O5 4.76% (Ali dan Shahram, 2007) dan unsur Si, Fe serta beberapa unsur lainnya. Suwarno dan Goto (1997) juga menyatakan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit. Disamping itu, terak baja juga bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan unsur Si dan unsur mikro lain yang dibutuhkan tanaman. Hal ini menjadikan terak baja dapat digunakan sebagai bahan amelioran. Namun demikian, terak baja diduga memiliki kandungan logam berat yang berbahaya seperti As, Cr, Pb, Ni, Cd, dan Th sehingga Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengkategorikan terak baja sebagai Bahan Berbahaya Beracun (B3), tercantum dalam PP No. 85 Tahun 1999. Hal ini menyebabkan potensi terak baja untuk pertanian belum banyak dikembangkan. Namun tidak semua produk samping limbah baja memiliki komposisi yang sama mengingat proses pembuatan baja bermacam-macam cara sehingga produk samping proses tersebut berbeda. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebagian terak baja mengandung logam berat yang kadarnya

masih di bawah ambang batas yang dapat membahayakan lingkungan, sehingga diharapkan beberapa sumber/jenis terak baja dapat digunakan sebagai bahan amelioran. Oleh karena itu perlu pengkajian kembali untuk pertimbangan pengkategorian sumber/jenis terak baja sebagai limbah B3.

Bahan organik (BO) merupakan hasil dekomposisi dari sisa tanaman, hewan atau bahan lain yang mengandung karbon. Hasil dekomposisi bahan organik sudah terbukti mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pengaruh pada sifat fisik tanah antara lain tanah menjadi lebih gembur dan mampu memegang air lebih banyak, sedangkan pengaruh terhadap sifat kimia tanah diantaranya dapat meningkatkan KTK dan ketersediaan hara tanah terutama N, P, S dan sebagai penyumbang sifat aktif koloid tanah. Pengaruhnya terhadap sifat biologi tanah antara lain adalah mempengaruhi aktifitas mikrob tanah. Mench et al., (1998) menunjukkan bahwa aplikasi bahan organik akan mengubah spesiasi logam berat dalam larutan tanah dari ionik ke bentuk-bentuk terkompleks, sehingga serapan logam berat oleh akar dan perpindahannya ke bagian atas tanaman menurun. Dengan demikian fitotoksisitas dan akumulasi logam berat ke rantai makanan dapat dihindari. Oleh karena itu pemberian terak baja dan bahan organik serta kombinasi keduanya pada tanah diharapkan dapat memberi pengaruh yang baik pada sifat kimia tanah.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat kimia tanah yang meliputi pH, kadar hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta kadar logam berat (As, Pb, Sn, Cd dan Hg) setelah pertanaman caisim pada Latosol yang diberi perlakuan terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya.

II. TINJUAN PUSTAKA 2.1. Sifat dan Ciri Umum Latosol

Latosol merupakan jenis tanah yang penyebarannya cukup luas dan menempati area sekitar 9% daratan di Indonesia (Soepardi, 1983). Tanah ini diantaranya dapat dijumpai di Darmaga, Kabupaten Bogor. Menurut sistem klasifikasi USDA, Latosol coklat kemerahan Dramaga Bogor termasuk dalam order Inceptisol dan terletak pada zona fisiografi Bogor bagian barat, dengan bahan induk vulkanik kuarter yang berasal dari Gunung Salak.

Dudal dan Soepraptohardjo (1957) menyebutkan bahwa tanah Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi terjadi di bawah pengaruh curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropik dimana gaya-gaya hancuran bekerja lebih cepat dan pengaruhnya lebih ekstrim daripada daerah dengan curah hujan dan suhu sedang. Pelapukan dan pencucian sangat intensif dan mineral silikat cepat hancur. Pada banyak tempat di daerah tropik, musim basah dan kering terjadi silih berganti. Hal ini berakibat semakin meningkatnya kegiatan kimia dalam tanah.

Latosol umumnya telah mengalami perkembangan lanjut, solum tebal, batas horizon baur, lapisan atas sedikit mengandung bahan organik, lapisan bawah yang berwarna merah, kadar fiksasi liat yang agak tinggi sampai tinggi dan hampir merata pada semua horizon. Horizon B kaya akan seskuioksida (Al2O3+Fe2O3) bertekstur halus, struktur lemah sampai gumpal, konsistensi gembur sampai agak teguh, porositas sedang sampai baik, permeabilitas dan drainase sedang sampai cepat dan cadangan mineral rendah sampai sedang (Dudal dan Supraptohardjo, 1957). Proses hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat intensif, sehingga basa- basa seperti Ca, Mg, K, dan Na cepat dibebaskan oleh bahan organik. Oleh karena itu, tanah Latosol memiliki kejenuhan basa rendah (<35%) dan KTK yang sangat rendah (<24 me/100g) (Soepraptohardjo, 1961). Kalpage (1974) menyebutkan bahwa kesuburan tanah Latosol umumnya sedang sampai sangat rendah, kandungan akan mineral primer (kecuali kwarsa) dan unsur hara tanah rendah. Tanah bereaksi masam sampai sangat masam dan fiksasi ion fosfat tinggi. Masalah kemasaman ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tapi pengapuran kurang nyata pengaruhnya karena kapasitas pertukaran basa rendah

sehingga penambahan bahan kapur akan meninggalkan efek residu yang sangat terbatas atau kecil.

2.2. Terak Baja dan Kegunaannya

Terak baja atau Steel Slag merupakan produk sampingan dari hasil pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Di Eropa, terak baja dalam jumlah yang besar digunakan dalam bidang pertanian pada masa perang dunia ke-dua, yaitu digunakan sebagai bahan kapur untuk tanah masam dan penambahan unsur- unsur seperti Si dan P.

Boxus (1965 dalam Rahim, 1995) menyatakan bahwa terak baja memiliki komposisi kimia yang kompleks. Terak baja juga mengandung unsur-unsur sekunder yang terdiri dari Magnesium (Mg), Silikon (Si), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Kobalt (Co), dan Molibdenum (Mo) sehingga terak baja dianggap sangat baik digunakan untuk pertanian. Menurut Barber (1967), penggunaan terak baja dalam bidang pertanian antara lain : (1) untuk menetralkan kemasaman tanah serta menambah unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg); (2) menurunkan kadar unsur mangan dalam tanah; (3) meningkatkan jumlah P dalam tanah; serta (4) sebagai sumber silikat.

Terak baja terdiri dari beberapa macam jenis, beberapa diantaranya adalah

converter slag dan electric furnace slag. Pengelompokan jenis ini ditentukan berdasarkan metode yang digunakan dalam proses pembuatan baja dimana

converter slag menggunakan metode converter, sedangkan electric furnace slag

menggunakan metode electric furnace. Converter terbentuk dari industri baja yang menggunakan proses Basic Oxigen Furnace (BOF) sedangkan electric furnace terbentuk pada industri baja yang menggunakan proses Electric Arc Furnace (EAF ) (Proctor et al., 2000). Pada proses converter, besi cair berasal dari

blast furnace, yaitu besi cair murni. Besi cair yang ditambahkan berkisar antara 80%-90%, sedangkan potongan baja berkisar 10%-20%. Pada tahap awal, potongan baja dimasukkan ke dalam tungku pemanas. Selanjutnya besi cair disiramkan di atas potongan baja kemudian dialirkan oksigen dengan kemurnian di atas 90%. Pada proses pengaliran oksigen, terjadi reaksi oksidasi yang sangat intensif sehingga bahan pengotor pada baja dapat dikurangi. Karbon teroksidasi membentuk karbon monoksida menyebabkan peningkatan suhu mencapai

1600°C-1900°C. Pada suhu ini, potongan-potongan baja mencair dan kadar karbon pada baja menurun. Untuk menurunkan kadar bahan yang tidak diinginkan pada baja ditambahkan fluxing agent, yaitu CaO atau MgCa(CO3)2. Selama pengaliran oksigen, bahan yang tidak diinginkan teroksidasi kemudian berikatan dengan bahan kapur membentuk terak baja yang mengapung diatas besi cair (Yildirim dan Prezzi, 2011).

Proses electric furnace tidak bergantung dengan proses blast furnace karena bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Sumber panas diperoleh dari percikan api yang berasal dari listrik bertegangan tinggi. Proses electric furnace dimulai dengan memasukkan potongan baja kedalam tungku pemanas listrik kemudian elektroda grafit diturunkan hingga masuk ke dalam tungku. Ketika dialirkan listrik, pertemuan antara elektroda dan potongan baja akan menghasilkan panas. Potongan baja meleleh dan kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian. Selama proses pemurnian, dialirkan oksigen dengan kemurnian tinggi. Beberapa besi (Fe) dan berbagai material yang tidak diinginkan termasuk Al, Si, Mn, P dan C teroksidasi. Komponen yang teroksidasi ini akan berkombinasi dengan CaO mapun dengan MgO membentuk terak (Yildirim dan Prezzi, 2011). Pada jenis terak electric furnace, terak ini dihasilkan dari hasil pengurangan pembakaran secara elektrik dari batuan fosfat dalam penyimpanan bahan-bahan fosfor. Terak baja ini terbentuk ketika pembakaran silikat dan kalsium oksida yang menghasilkan kalsium silikat dalam jumlah yang besar.

Kadar CaO dan MgO yang tinggi ini dapat dimanfaatkan langsung dalam proses pemurnian bijih besi sebagai bahan pengganti sebagian bahan kapur yang ditambahkan (Shen dan Forssberg, 2002). Menurut Barber (1967), reaksi slag

serupa dengan kapur dalam menetralkan kemasaman tanah. Daya netralisasi dihitung berdasarkan ekivalen CaCO3 seperti halnya kapur. Demikian juga kehalusan terak baja akan memberi pengaruh terhadap kecepatan kenaikan pH tanah. Terak baja dengan kehalusan 100% lolos dari saringan 80 mesh menyebabkan kenaikan pH yang lebih cepat dibandingkan terak baja dengan kehalusan 20% lolos dari saringan 60 mesh.

Hasil penelitian Suwarno (1993) yang memanfaatkan terak baja sebagai bahan pengapuran pada tanah masam menunjukkan bahwa terak baja secara nyata

dapat meningkatkan ketersediaan boron dan mangan, serta dapat memperbaiki sifat tanah sama baiknya dengan kalsit dan dolomit. Disamping itu, hasil penelitian Prambudi (1997) pada Latosol Darmaga menunjukkan bahwa secara umum terak baja dapat memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan hasil tanaman kedelai, dan pengaruh terak baja lebih baik dibandingkan dengan kalsit.

Terak baja yang ditambahkan dalam tanah meninggalkan residu yang dapat bertahan beberapa tahun seperti bahan pengapuran yang lain yang sifatnya tidak merugikan bagi tanaman. Suwarno (1993) membandingkan electric furnace slag

Indonesia dan converter furnace slag Jepang dengan kalsit dan dolomit dalam rotasi tanaman kedelai-sorghum-bayam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan pengapuran tersebut memperbaiki pertumbuhan dan produksi ketiga tanaman tersebut. Suwarno (1997) juga menyatakan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit.

2.3. Logam Berat

Unsur logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5 gr/cm3. Unsur Hg mempunyai densitas 13.55 gr/cm3. Diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat racunnya dibandingkan dengan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn (Fardiaz, 1992 dalam Sudarmadjiet al., 2006).

Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain (Pasal 1 (17) UU No.23 1997). Bahan Berbahaya dan Beracun dalam ilmu bahan dapat berupa bahan biologis (hidup/mati) atau zat kimia. Zat kimia B3 dapat berupa senyawa logam (anorganik) atau senyawa organik, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai B3 biologis, B3 logam dan B3 organik (Sudarmadji et al., 2006)

Menurut data Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1997 yang menyusun ”TOP-β0” B3, dari 20 B3 tersebut antara lain adalah logam berat seperti Arsenic (As), Lead (Pb), Mercury (Hg), dan Kadmium (Cd) (Sudarmadji et al., 2006). Soepardi (1983) menyatakan bahwa hingga batas tertentu logam berat sangat beracun bagi manusia atau binatang. Kadmium (Cd) dan arsen (As) sangat

beracun; timah (Sn), nikel (Ni), dan fluor (F) mempunyai tingkat racun yang sedang; dan bromin (Br), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn) mempunyai tingkat racun terendah.

Darmono (1995) menyatakan limbah yang mengandung As, Cd, Pb dan Hg selain berasal dari limbah penggunaan batu bara dan minyak juga berasal dari limbah pabrik peleburan besi dan baja, pengabuan sampah, pabrik produksi semen dan limbah dari penggunaaan logam yang bersangkutan untuk hasil produksinya (pabrik baterai atau aki, listrik, pigmen atau cat warna atau tekstil, pestisida, gelas, keramik dan lain-lain).

2.4. Bahan Organik

Pupuk organik merupakan nama kolektif untuk semua jenis bahan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padatan atau cairan yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah (Litbang Pertanian, 2006).

Bahan organik mempengaruhi sifat-sifat tanah seperti; 1) kemampuan tanah menahan air meningkat; 2) warna tanah menjadi coklat hingga hitam; 3) merangsang granulasi agregat dan memantapkannya; 4) menurunkan plastisitas, kohesi dan sifat buruk lainnya dari liat (Hakim et al., 1986). Hasil penelitian Syukur dan Harsono (2008) juga menyebutkan fungsi penting bahan organik lainnya, yaitu memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, mensuplai nitrat, sulfat, membentuk asam-asam organik, mensuplai nutrisi, meningkatkan KTK dan daya ikat hara serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi organisme.

Kurnia et al. (2001) menyebutkan bahwa bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah/hasil pertanian dan limbah nonpertanian, yaitu limbah kota/limbah industri seperti limbah industri tahu. Dari hasil pertanian antara lain dapat berupa sisa tanaman, pupuk kandang (kotoran hewan) dan pupuk hijau.

Bahan organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibandingkan pembenah tanah lainnya. Sebagai bahan pembenah tanah, bahan organik membantu dalam mencegah terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah, memperbaiki porositas tanah dan menyumbang ketersediaan hara. Namun kandungan hara yang terdapat dalam pupuk kandang lebih rendah dari pupuk anorganik sehingga biaya aplikasi pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik. Namun demikian, kandungan hara yang terdapat dalam kotoran hewan ini ketersediaannya relatif lambat sehingga tidak mudah hilang. (Litbang Pertanian, 2006).

Nisbah C/N memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan organik tersebut dilapuk, tingkat kematangan dari bahan organik tersebut ataupun tentang mobilisasi N pada tanah.Nisbah C/N pupuk kandang dapat mencapai nilai 90. Nilai nisbah C/N bahan organik segar menentukan reaksi dalam tanah. Tanah- tanah dengan bahan organik stabil umumnya mempunyai nisbah C/N sekitar 10.0 (Leiwakabessy, 1988). Proses penguraian bahan organik dengan nisbah C/N yang tinggi akan memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap tanaman karena dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan hara seperti, nitrogen tersedia dalam tanah. Hal ini karena terjadinya persaingan antara tanaman dan mikrob, sehingga tanaman akan mengalami penurunan suplai nitrogen (Hakim et al., 1986).

2.5. Nitrogen, Fosfor dan Kalium dalam tanah

2.5.1. Nitrogen

Menurut Soepardi (1983), nitrogen merupakan unsur yang paling cepat memberikan pengaruh pada tanaman dengan mencolok. Hampir pada seluruh tanaman, nitrogen menjadi pengatur dari penggunaan kalium, fosfor, dan penyusun lainnya, namun dalam tanah jumlahnya sedikit, yaitu berkisar antara 0.02-0.4%. Secara alamiah, N yang terdapat dalam tanah berasal dari air hujan, bahan organik dan fiksasi jasad renik. Air hujan diperkirakan memberikan 22.4 kg N/ha/tahun tergantung lokasi dan dari fiksasi biologi yang diperkirakan antara 16.8-50.4 kg N/ha/tahun. Dengan laju dekomposisi bahan organik 2% pertahun, sumber tersebut diperkirakan memberikan 22-45 kg N/ha/tahun. Dengan menghitung jumlah yang hilang, ketiga sumber yang dikemukakan di atas tidak

mencukupi kebutuhan tanaman (Leiwakabessy, 1998). Sebagian besar nitrogen dalam tanah berada dalam bentuk N organik baik yang terdapat dalam bahan organik maupun fiksasi N oleh mikroba tanah yang tidak tersedia bagi tanaman dan hanya sebagian kecil berupa N-anorganik yaitu NH4+ dan NO3- (Prasetyo et

al., 2004). Pelapukan N-organik merupakan proses yang menjadikan N yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi N tersedia bagi tanaman. Pelapukan merupakan proses biokimia kompleks yang membebaskan karbondiokasida. Akhirnya nitrogen kemudian dibebaskan menjadi nitrit kemudian nitrat. Kedua proses terakhir disebut nitrifikasi, sedangkan proses berubahnya N-organik menjadi N- anorganik disebut mineralisasi. (Soepardi, 1983).

Hilangnya nitrogen dalam tanah dapat melalui proses denitrifikasi, volatilisasi, pencucian oleh air, dan penyerapan oleh tanaman. Sekitar 40% N hilang melalui volatilisasi amonia (Buckman & Brady 1987). Minggu pertama setelah pemupukan, proses nitrifikasi telah berlangsung, dan ketika musim penghujan, 30 hari setelah pemupukan hampir sebagian N akan hilang. Pada kondisi curah hujan yang tinggi, NO3- akan tercuci dari horizon atas tanah dan akan cepat hilang karena denitrifikasi. Pada musim kemarau, nitrat akan diakumulasikan pada bagian atas horizon tanah, sehingga kadar nitrat akan meningkat (Tisdale et al., 1985). Amonium merupakan bentuk N yang stabil terutama dalam tanah tergenang. Amonium dapat terfiksasi oleh mineral silikat, tidak larut dalam air, dan tidak mudah ditukar (Notohadi 1998).

2.5.2. Fosfor

Mobilitas P dalam tanah sangat rendah karena reaksi dengan komponen tanah maupun dengan ion-ion logam dalam tanah seperti Ca, Al, Fe, dan lain-lain membentuk senyawa yang kurang larut dengan tingkat kelarutan berbeda-beda. Reaksi tanah (pH) memegang peranan sangat penting dalam mobilitas unsur P (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Sumber fosfor dalam tanah yang utama adalah pupuk buatan, pupuk organik, sisa tanaman dan pupuk hijau dan senyawa alamiah baik organik maupun inorganik dari unsur tersebut yang sudah ada dalam tanah. Ketersediaan P dalam tanah terutama P inorganik ditentukan oleh pH tanah, Fe, Al, Mn, tersedianya Ca

dalam tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik dan kegiatan jasad mikro (Soepardi, 1983).

Ketersediaan fosfor yang sangat rendah adalah salah satu masalah penting pada tanah masam. Kelarutan Al dan Fe yang tinggi akan menyebabkan terhambatnya ketersediaan fosfat. Bahkan pada kondisi ini, mobilitas P menjadi rendah dan cepatnya unsur P dari pupuk dijerap tanah dalam bentuk Al-P, Fe-P, atau bentuk lain. Reaksi kimia antara ion fosfat dengan Al atau Fe tersebut menghasilkan bentuk hidroksi fosfat yang tidak larut. Konsekuensi dari hasil reaksi ini menyebabkan bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia bagi tanaman. Mekanisme dari reaksi ini yakni ion fosfat menggantikan kedudukan ion OH dari koloid tanah atau mineral. Reaksi terjadi sebagai berikut:

Untuk mencegah ion fosfat dan atau melepaskan fosfat yang telah terikat pada keadaan ini maka dua mekanisme yang memungkinkan yakni: i) mengendapkan Fe dan Al menjadi tidak larut, melalui penetralan pH tanah; dan ii) mengkompleks Al atau Fe melalui pengkelatan oleh bahan organik tanah (Basuki, 2007).

2.5.3. Kalium

Kalium merupakan unsur hara mineral paling banyak dibutuhkan tanaman setelah Nitrogen dan merupakan kation monovalen (K+) yang diserap oleh akar tanaman yang lebih besar jumlahnya dari kation-kation lain. Jumlah K yang diambil tanaman berkisar antara 50-200 kg K/ha atau sebanding dengan 25-100 ppm K tergantung jenis tanaman dan besar produksi (Leiwakabessy, 2004). Berdasarkan ketersediannya bagi tanaman, K dalam tanah dapat dikelompokkan menjadi: 1) K tak dapat dipertukarkan; 2) K dapat dipertukarkan; dan 3) K dalam larutan tanah. Masalah utama kalium adalah ketersediaan. Kalium diikat dalam bentuk-bentuk yang kurang tersedia. Jumlah kalium dapat dipertukarkan (tersedia bagi tanaman) tidak melebihi 1% dari seluruh kalium tanah (Soepardi, 1983).

Al3+ + H2PO4- Fe3+ + H2PO4-

AlPO4.2H2O + 2H+ FePO4.2H2O + 2H+

Sumber kalium dalam tanah yang utama adalah pupuk buatan, pupuk organik, sisa tanaman dan pupuk hijau, senyawa alamiah baik organik maupun inorganik dari unsur tersebut yang ada dalam tanah (Soepardi, 1983). Kalium peka terhadap pencucian, terutama pada tanah-tanah dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan kapasitas anion yang rendah. Leiwakabessy (1998) mengatakan bahwa kalium dalam tanaman tidak ditemukan dalam hasil-hasil metabolisme dalam senyawa-senyawa organik tertentu seperti halnya N, P, dan lain-lain, tetapi umumnya terdapat dalam ikatan yang mudah sekali larut. Sekitar 99% dari K

Dokumen terkait