• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai pH pada nira murni tanpa penambahan pengawet menunjukan nilai yang lebih rendah daripada nilai pH pada nira yang ditambahkan pengawet. Perbedaan nilai pH pada kedua macam nira tersebut semakin besar pada selang waktu yang lebih lama. Penambahan pengawet pada nira tebu menunjukan respon lebih mempertahankan nilai pH daripada nira tanpa penambahan bahan pengawet. Nilai pH awal masing-masing nira sebelum inkubasi adalah 4,7; kemudian kedua macam perlakuan nira tebu sama-sama diatur nilai pHnya hingga mencapai 8,5. Pada akhir waktu inkubasi, nilai pH nira tebu murni menjadi 3 dan pH nira tebu yang ditambahkan pengawet menjadi 3,3.

Perubahan nilai pH pada nira tebu murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet hingga jam ke 4 adalah sama. Pada jam berikutnya, penurunan nilai pH pada nira tebu murni menjadi lebih cepat daripada nira yang ditambahkan pengawet. Hal tersebut disebabkan kerena penambahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dapat menghambat laju penurunan nilai pH. Penurunan pH berkaitan dengan peningkatan total asam dalam nira tebu. Penurunan nilai pH berarti menunjukan peningkatan ion H+ yang dihasilkan dari peningkatan kadar asam dalam larutan nira. Peningkatan kadar asam dalam larutan menunjukan aktifitas degradasi lanjut sukrosa baik yang disebabkan oleh

aktifitas mikroorganisme maupun enzim. Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia yang bersifat sebagai antimikroba, yaitu alkaloid, flavonoid dan triterpenoid sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. Pola penurunan nilai pH pada nira tebu dengan penambahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) tampak sedikit lebih landai daripada nira tebu murni yang tidak ditambahkan bahan pengawet. Penurunan nilai pH juga dapat menyebabkan kematian pada mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu yang membutuhkan lingkungan pH netral untuk pertumbuhannya. Pada saat yang sama pH rendah dapat meningkatkan reaksi invertasi sukrosa dalam nira tebu walaupun tanpa adanya enzim invertase (Wang, 2004).

Hubungan perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH Pada lama inkubasi 24 jam, terjadi peningkatan kadar gula pereduksi dengan tingkat kemiringan yang hampir sama antara nira tebu murni dengan nira tebu yang ditambahkan pengawet. Namun setelah melewati 24 jam, pada nira tebu murni terjadi penurunan kadar gula pereduksi yang diikuti dengan peningkatan kadar alkohol dan total asam dengan tingkat kemiringan yang lebih curam daripada nira tebu yang ditambahkan pengawet. Sementara pada nira yang ditambahkan pengawet, setelah 24 jam kadar gula pereduksi terus meningkat dan peningkatan total asam tampak lebih landai. Berdasarkan pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa pada lama inkubasi hingga 24 jam laju degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi lebih kecil daripada laju degradasi lanjut gula pereduksi menjadi asam. Degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi dapat disebabkan oleh aktifitas enzim invertase atau aktivitas mikroorganisme penghasil enzim pendegradasi sukrosa seperti Saccharomyces cereviceae dan

Leuconostoc mesenteroides. Sementara degradasi gula pereduksi menjadi asam terjadi akibat aktifitas mikroorganisme yang menggunakan gula pereduksi sebagai substrat. Penambahan bahan pengawet dalam nira tebu berupa akar kawao dan kulit batang manggis menunjukan pengaruh terhadap penghambatan laju kerusakan dalam nira tebu. Berdasarkan percobaan ini, penggunaan akar kawao dan kulit batang manggis dengan perbandingan 1:1 (g/g) sebanyak 2% ke dalam nira tebu dapat mempertahankan kualitas nira tebu hingga 24 jam.

Perubahan pH pada nira tebu murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet menunjukan pola yang hampir sama, hanya saja grafik nira murni menunjukan nilai yang lebih rendah daripada nira yang ditambahkan pengawet.

Perubahan pH sebelum 24 jam menunjukan kemiringan garis yang lebih curam daripada perubahan pH setelah 24 jam. Peningkatan total asam akibat degradasi gula pereduksi menjadi asam tidak diikuti peningkatan pH secara linier. Pada lama inkubasi 48 jam menunjukan penurunan kualitas nira tebu yang tajam, diikuti penurunan nilai pH. Hal itu dapat disebabkan karena komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang rusak akibat pH rendah dan jumlahnya yang semakin berkurang seiring peningkatan lama inkubasi.

Analisis kebutuhan bahan pengawet untuk industri gula

Salah satu permasalahan yang dihadapi pada industri gula di Indonesia saat ini adalah rendahnya rendemen gula kristal atau sukrosa hasil pengolahan nira tebu. hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah masalah downtime pabrik yang disebabkan kerusakan mesin yang sudah tua usia teknisnya dan downtime pabrik yang disebabkan pencucian evaporator. Masalah downtime pabrik adalah terhentinya proses produksi yang mengakibatkan sejumlah nira tebu yang sedang diproses menjadi terbuang atau tetap digunakan tetapi kadar sukrosa dalam nira sudah sangat rendah akibat kerusakan enzimatis dan mikrobiologis. Penurunan kadar sukrosa juga dapat terjadi selama proses pengolahan, terutama sejak tahap ekstraksi hingga evaporasi. Kondisi proses pengolahan dapat mempengaruhi aktifitas enzimatis dan mikrobiologis dalam nira tebu.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang telah dijelaskan diatas adalah dengan penambahan bahan pengawet ke dalam nira tebu agar kadar sukrosa didalamnya dapat dipertahankan secara maksimal. Sukrosa adalah gula yang akan dikristalkan dalam pengolahan nira tebu dan secara langsung jumlahnya menunjukan rendemen tebu. Penambahan bahan pengawet bertujuan sebagai inhibitor enzim pendegradasi sukrosa, terutama invertase dan atau sebagai antimikrobial terhadap mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu. Bahan pengawet alami menjadi pilihan yang terbaik agar gula kristal yang dihasilkan tetap sehat bagi konsumennya.

Berbagai pengetahuan petani gula secara tradisional dapat dijadikan pilihan untuk diikuti. Akar kawao dan kulit batang manggis selama ini telah banyak dipakai oleh petani gula aren tradisional untuk mencegah kerusakan pada nira aren. Berdasarkan penelitian ini juga menunjukan hal yang sama dapat dilakukan pada nira tebu. Akar kawao dan kulit batang manggis dapat

mengurangi laju kerusakan dalam nira tebu melalui aktivitas inhibitor enzim dan antimikroba dar komponen fitokimia dalam kedua jenis bahan pengawet tersebut. Jumlah pengawet yang dicobakan pada penelitian ini adalah 2% dari total volume nira tebu, dengan perbandingan bahan akar kawao dan kulit batang manggis sebesar satu banding satu (gram per gram). Kedua jenis bahan pengawet tersebut memungkinkan bila diaplikasikan pada industri gula. Jika diasumsikan pada sebuah industri gula dengan kapasitas produksi 3000 TCD, maka kebutuhan bahan pengawet yang harus dipersiapkan adalah 60 ton campuran akar kawao dan kulit batang manggis. Pada perbandingan yang sama, maka kebutuhan akar kawao dan kulit batang manggis masing-masing adalah 30 ton. Penambahan pengawet tersebut dapat ditambahkan pada saat pabrik gula mengalami masalah downtime, baik yang disebabkan karena perbaikan mesin maupun masalah lain yang menyebabkan operasi pabrik terhenti.

Aplikasi akar kawao dan kulit batang manggis sebagai bahan pengawet akan mendorong peningkatan budidaya kedua jenis tanaman tersebut sebagai sumber bahan baku. Selama ini tanaman kawao masih menjadi tanaman liar yang dicari petani gula tradisional di pinggir sungai atau di dalam hutan. Upaya untuk menjamin ketersediaan akar kawao akan mendorong petani untuk membudidayakan tanaman ini. Sementara tanaman manggis sudah menjadi tanaman budidaya yang dipanen buahnya. Untuk aplikasi kulit batangnya, bagian tanaman manggis yang dapat dimanfaatkan adalah bagian ranting atau cabang ranting agar tanaman manggis tetap hidup baik dan pertumbuhan buahnya tidak terganggu.

Simpulan

Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia alkaloid, flavonoid dan glikosida dalam jumlah besar serta komponen lain berupa triterpenoid, saponin dan steroid dalam jumlah yang lebih kecil. Diantara komponen tersebut, alkaloid,flavonoid dan triterpenoid diduga yang berperan sebagai pengawet dalam nira tebu, yang bersifat sebagai inhibitor enzim dan antimikroba.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar sukrosa sebesar 0,452% untuk faktor suhu dengan signifikansi 94,6%, 4,423% untuk faktor pH dengan signifikansi 94,5%, 2,019% untuk faktor nisbah pengawet dengan signifikansi 94% dan 0,125% untuk faktor lama inkubasi dengan signifikansi 93,5%. Faktor- faktor yang diuji pada penelitian ini juga berpengaruh terhadap perubahan kadar gula pereduksi sebesar 0,554% untuk faktor suhu dengan signifikansi 97,9%, 3,820% untuk faktor pH dengan signifikansi 97%, 2,072% untuk faktor nisbah pengawet dengan signifikansi 97,3% dan 0,126% untuk faktor lama inkubasi dengan signifikansi 97%.

Perubahan kualitas terhadap nira tebu selama 48 jam mempengaruhi pola perubahan sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH. Selama inkubasi 24 jam, kualitas nira tebu yang ditambahkan pengawet hanya menunjukan sedikit kerusakan dibandingkan nira tebu murni yang tidak ditambahkan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Pada inkubasi 48 jam, perubahan kualitas nira tebu yang ditambahkan pengawet menunjukan peningkatan kerusakan nira tebu, yang ditandai dengan penurunan kadar gula pereduksi dan peningkatan total asam yang tinggi.

Saran

Berdasarkan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang identifikasi komponen aktif dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang berperan dalam pengawetan nira tebu berikut dengan mekanisme pengawetannya. Untuk aplikasi akar kawao dan kulit batang manggis lebih lanjut, perlu dilakukan penelitian pada skala yang lebih besar dan analisis ekonomi agar pemanfaatan kedua bahan pengawet tersebut menguntungkan dalam skala industri.

Abbiw, D.K. 1990. Useful plants of Ghana-West African use of wild and cultivated plants. Intermediate Technology Publications and the Royal Botanic Gardens Kew. ISBN No. 1-85339-043-7

Abe, F., Donnelly, D.M.X., Moretti, C., and Polonsky, J. 1985. Isoflavonoid Constituents from Dalbergia monetaria. J Phytochemistry 24:1071-1076

Acosta, Niuris, Alejandro Beldarrain, Luis Rodriguez dan Yamirka Alonso. 2000. Characterization of Recombinant Invertase Expressed in Methyloptrophic Yeasts. J Biotechnology Appl. Biochem 32:179-187

Amgsa, Dieudonnneg, N.Y.L Fanso F Reez, Tanefeo Mum. 1994. A New Guanidine Alkaloid From Millettia Laurentii’. J natural productl 57:1022- 1024

Alvarez, J. F. dan T. P. Johnson. 2003. The Florida Sugar Industry: Trends and Technologies. J American Society of Sugarcane Technologists 23.

AOAC. 1999. Official Method of Analysis of AOAC International, 16th edition. AOAC International. Maryland, USA.

Apriantono, Anton, Dedy Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Sedarnawati dan Slamet B. 1989. Petunjuk Laboratorium, Analisis Pangan. IPB Pres. Bogor.

Barnes, A. C. 1973. The Sugar Cane Di dalam Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2006. www.Encyclopedia.com (25 Maret 2007)

Bobadilla, Milagros dan T. R. Preston. 1981. The Use of Sodium Benzoate and Amonium Hydroxide (Aqueous-NH3) as Preservative for Sugar Cane. J

Trop Anim Prod 6:345-349

Chairungsrilerd N, Furukawa K, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y. 2002. Pharmacological properties of alpha-mangostin, a novel histamine H1 receptor antagonist. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Chairungsrilerd N, Furukawa K, Tadano T, Kisara K, Ohizumi Y. 2002. Effect of gamma-mangostin through the inhibition of 5-hydroxy-tryptamine2A receptors in 5-fluoro-alpha-methyltryptamine-induced head-twitch responses of mice. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Chaplin, Martin, 2004. Sucrose di dalam Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2006. www.Encyclopedia.com (25 Maret 2007)

Conrad, Jürgen, Wolfgang Kraus, B. Sritularak, Kittisak Likhitwitayawuid, Jürgen Conrad, Wolfgang Kraus. 1999. New Flavonoids from The Roots of Millettia Erythrocalyx (Abstract). www.scisoc.or.th/stt/28/web/ content/A_01/

Cowan, Marjorie Murphy. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews, October 1999:12:564-582

Cuddihy, James A., Miguel E. Porro dan James S. Rauh. 2000. The Presence of Total Polysaccharides in Sugar Production and Methods For Reducing Their Negative Effects. Midland Research Laboratories, Inc.

Day, D. F., J. Cuddihy dan J. Rauh. 2003. Versatility of the Antibody Dextran Test Method. J American Society of Sugarcane Technologists 23.

De Almeida, A. C. S., L. C. de Araujo, A. M. Costa, C. A. M. de Abreu, M. A. G., deAndrade Lima dan M. L. A. Perez Fernandez Palha. 2000. Sucrose Hydrolysis Catalyzed by Auto-immobilyzed Invertase into Intact Cells of Cladosporium cladosporioides. Electronic J Biotechnology.

Dewick, P.M. 1994. Isoflavonoids. In: Harborne, JB, Ed. The Flavonoids: Advances in Research Since 1986. Chapman and Hall, London

Dharmaratne, H. R. W., K. G. N. P. Piyasena, S. B. Tennakoon. 2005. A Geranylated biphenyl derivative from Garcinia mangostana. Natural Product Research 19 (Issue 3 April 2005): 239 - 243

Duarte, F., A. Mena, R. Elliott dan T. R. Preston. 1981. A Note on The Utilisation of Aqueous Ammonia as a Preservative for Sugar Cane Juice in Rimunant Diets. J Trop Anim Prod 6 (3): 257-260

Ee, G. C. L., S. Daud, Y. H. Taufiq-Yap, N. H. Ismail, M. Rahmani. 2006. Xanthones from Garcinia mangostana (Guttiferae). Natural Product Research 20 (Issue 12 October 2006): 1067 - 1073

Eggleston, G., A. Monge dan B. Ogier. 2003. Effect of pH and Time Between Wash-outs on the Performance of Evaporators. J American Society of Sugarcane Technologists 23.

Elliott, K. A. 2003. Maximize Throughput in a Sugar Milling Operation using a Computerized Maintenance Management System (CMMS). J American Society of Sugarcane Technologists 23.

Ewing, Elmer E., Maria Devlin, Deborah A. McNeill, Martha H. McAdoo dan Anne M. 1977. Change in Potato Tuber Invertase and Its Endegenous Inhibitor after Slicing, Including a Study of Assay Methods. J Plant Pysiology 49: 925-929

Filho, U. C., C. E. Hori dan E. J. Ribero. 1999. Influence of The Reaction Product in The Inversion of Sucrose by Invertase. Brazilian J Chemical Engineering 16 (2)

Foyer, C., Alison K. Smith dan Chris Pollock. 1997. Sucrose and Invertase, an Uneasy Alliance. Iger Innovations. www.bbsrc.ac.uk (25 Maret 2007)

Furukawa K, Shibusawa K, Chairungsrilerd N, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y. 2002. The mode of inhibitory action of alpha-mangostin, a novel inhibitor,

on the sarcoplasmic reticulum Ca(2+)-pumping ATPase from rabbit skeletal muscle. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Gamgsa, N D.N, .Y. Fansof Ree,Z .T. Fom. 1993. Millaurine and Acetylmillaurine: Alkaloids from Mlllettla Laurentii’. J Natural Product. 56(12): 2126-2132

Gillet, Thomas R. 1985. Colour and Coloured Non-Sugar di dalam P. Honig (ed.) Principles of Sugar Tecnology vol.1. Elsevier Publishing Co. Amsterdam

Gopalakrishnan G, Banumathi B, Suresh G. 1997. Evaluation of the antifungal activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and their synthetic derivatives. J Natural Products. 5(60): 519-524.

Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula I. Agro Industri Press. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA.

Harrow, B., dan Mazur, A. 1958. Textbook of Biochemistry. Saunders. Philadelphia.

Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods. 2nd ed. Terjemahan: Metode Fitokimia oleh Padmawinata, K dan I. Soediro. ITB, Bandung.

Herman, Atih S. 1984. Diversiikasi Produk Gula Merah Didalam Laporan Up Grading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Besar Industri Pertanian. Bogor.

Iinuma, M; Tosa, H; Tanaka, T; Asai, F; Kobayashi, Y; Shimano, R. Miyauchi, KI. 1996. Antibacterial activity of xanthones from guttiferaeous plants against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Pharmacy and Pharmacology(48)8: 861-865.

IPTEKnet. 2005. Tanaman Obat Indonesia. BPPT. Jakarta

Irvine, F. R. 1961. Woody Plants of Ghana; Oxford University Press. London: 393-396

James, C.P. dan M. Chen. 1985. Cane Sugar Handbook. John Wiley and Sons. New York

Jayaweera, D.M.A. 1981. Medicinal Plants used in Ceylon Part 3. National Science Council of Sri Lanka. Colombo.

Jinsart W, Ternai B, Buddhasukh D, Polya GM. 2002. Inhibition of wheat embryo calcium-dependent protein kinase and other kinases by mangostin and gamma-mangostin. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Kapingu, M.C., Zakaria H. Mbwambo, Mainen J. Moshi, Joseph J. Magadula, Paul Cos, Dirk Vanden Berghe, Louis Maes, Mart Theunis, Sandra Apers, Luc Pieters, Arnold Vlietinck. 2006. A Novel Isoflavonoid from Millettia puguensi. Planta Med 2006; 72: 1341-1343. DOI: 10.1055/s-2006-951689

Kaseno, Sasmito Wulyoadi dan Koesnandar. 2003. Penerapan Teknologi Ultrafiltrasi Membran pada Pemurnian Nira Tebu pada Pabrik Gula. Jurnal Saint dan Teknologi 2: 70-74.

Legaz, María-Estrella, Roberto de Armas, Eva Barriguete dan Carlos Vicente. 2000. Binding of Soluble Glycoproteins from Sugarcane Juice to Cells of Acetobacter diazotrophicus. J Internatl Microbiol 3: 177–182

Likhitwitayawuid, K., Boonchoo Sritularak, Kanokwan Benchanak, Vimolmas Lipipun, Judy Mathew, Raymond F. Schinazi . 2005 . Phenolics with

Antiviral Activity from Millettia Erythrocalyx and Artocarpus Lakoocha. Natural Product Research 19 (Issue 2 February 2005): 177 – 182

Lingle, Sarah E. 2004. Effect of Transient Temperature Change on Sucrose Metabolism in Sugar Cane Internodes. J American Society of Sugar Cane Technologist 24: 132-140

Madsen II, L. R., B.E. White dan P.W. Rein. 2003. Evaluation of a Near Infrared Spectrometer for the Direct Analysis of Sugar Cane. J American Society of Sugar Cane Technologist

Mahabusarakam W, Proudfoot J, Taylor W, Croft K. 2002. Inhibition of lipoprotein oxidation by prenylated xanthones derived from mangostin. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Mahbubur Rahman, S. M. M., Palash Kumar Sen dan M. Fida Hasan. 2004. Purification and Characterization of Invertase Enzyme from Sugarcane. Pakistan. J Biological Sciences 7(3): 340-345

Mangunwidjaya, Djumali dan Ani Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya. Jakarta

Matsushita K. dan Uritani I. 1976. Isolation and Characterization of Acid Invertase Inhibitor from Sweet Potato. J Biochemical 79(3): 633-639

Mathlouthi, Mohamed. 2000. Highlights of The Twentieth Century Progress in Sugar Technology and The Prospects for The 20st century. www. Google.com (25 Maret 2007)

Menninger, Edwin A. 1970. Flowering Vines of The World, An Encyclopedia of Climbing Plants. Hearthside Press Incoporated, New York.

Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit ITB. Bandung.

Montgomary, D.C. 2001 Design and Analysis of Experiments, fifth edition. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Morton, J. 1987. Mangosteen. Di dalam Fruits of warm climates. Julia F. Morton, Miami, FL.

Murray, M. T. 1996. Encyclopedia of Nutritional Supplements. Prima Publishing. Roseville.

Nilar, Harrison LJ. 2002. Xanthones from the heartwood of Garcinia mangostana. J Phytochemistry (60) 5: 541-548.

Pancoast, Harry M. Dan W. Ray Junk. 1980. Handbook of Sugar. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Paustian, Timothy. 2007. Environmental effects on growth. The World of Microbes. www.google.com (25 Maret 2007)

Pennington, N.L and Charles W. Baker. 1990. Sugar A User’s Guide to Sucrose. Van Nostrand Reinhold. New York.

Perry, Karen. 2007. The Power of Mangosteen. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Pressey, Russel dan Row Shaw. 1966. Effect of Temperature on Invertase, Invertase Inhibitor and Sugar in Potato Tubers. J Plant Pysiology 41:16657- 16661

Pressey, Russel. 1994. Invertase Ibhibitor in Tomato Fruit. J Phytochemistry 36(3): 543-546

Qiu Hong PAN, Ke Qin ZOU, Chang Cao PENG, Xiu Ling Wang dan Da Peng Zhang. 2005. Purification, Biochemical and Immunological Characterization of Acid Invertase from Apple Fruit. J Integrative Plant Biology 47(1): 50-59.

Quisumbing, Eduardo. 1978. Medicinal Plants of the Philippines. Katha Publishing Company. JMC PRESS. Quezon City, Philippines.

Reece, N.N. 2003. Optimizing Aconitate Removal During Clarification. Thesis. Lousiana State University. USA. http://etd.lsu.sde/docs/available (25 Maret 2007)

Rohwer, Johann M. dan Frederik C. Botha. 2001. Analysis of Sucrose Accumulation in The Sugar Cane Culm on The Basis of In Vitro Kinetic Data. J Biochemical 358: 437-445

Sakagami Y, Iinuma M, Piyesena K, Dharmaratne H. 2005. Antibacterial activity of alpha-mangostin against vancomycin resistant Enterocicci (VRE) and synergism with antibiotics. J Phytomed 12: 203-208

Sandberg, F; Cronlund, A; 1977 What can we still learn from traditional folklore medicine Examples from the results of a biological screening of medicinal plants from Equatorial Africa.Proc. Symposium Med plants & spices; Colombo Sri Lanka 3: 178-197

Scarpari, Maximiliano S. dan Edgar Gomes Ferreira de Beauclair. 2004. Sugarcane Maturity Estimation Through Edaphic-Climatic Parameters. J Sci. Agric 61(5): 486-491

Sedarnawati Yasni, Suliantari dan Iwan Ayong Sunarko. 1999. Aktifitas Antimikroba Ekstraksi Kulit Kayu Ralu (Xylocarpus moluccensis M. Roem)

pada Fermentasi Nira Aren (Arenga pinnata Merr.). J Teknologi dan Industri Pangan 10(2): 47-58.

Sharpe, Peter. 1998. Sugarcane : Past and Present. www.siu.edu/~ebl (25 Maret 2007)

Singhal AK, Sharma RP, Baruah JM, Govindan, SV, Herz, W. 1982. Rotenoids from roots of Millettia pachycarpa. J Phytochemistry 21: 949-952

Soebroto, R.S.H. 1983. Tebu Rakyat. Tarate. Bandung

Sundaram BM, Gopalakrishnan C, Subramanian S, Shankaranarayanan D, Kameswaran L. 2002. Antimicrobial activities of Garcinia mangostana. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007)

Suksamrarn S, Suwannapoch N, Ratananukul P, Aroonlerk N, Suksamrarn A.: Xanthones from the green fruit hulls of Garcinia mangostana. J Natural Products (65)5: 761-763.

Vorster, Darren J. dan Frederik C. Botha. 1998. Sugarcane Internodal Invertase : Change during Tissue Maturation and Properties of Neutral Invertase. Journal of Phytochemistry (Abstrak). www.google.com (25 Maret 2007)

Vorster, Darren J. dan Frederik C. Botha. 1998. Partial Purification and Characterization of Sugarcane Neutral Invertase. J Phytochemistry 49(3): 651-655

Wanda, Ketcha. 2006. Characterisation of Oestrogenic Properties of Isoflavones Derived from Millettia Griffoniana Baill.: - Molecular Mode of Action and Tissue Selectivity. Dissertation. Kamerun

Wang, Nam Sung. 2004. Enzyme Kinetics of Invertase Via Initial Rate Determination. Department of Chemical Engineering. University of Maryland. Collage Park MD 20742-2111.

Wikipedia. 2006. Leuconostoc mesenteroides. www.wikipedia.org/wiki (25 Maret 2007)

Yankep, E., Fomum, Z.T., Dagne, E. 1997. An O-geranylated iso-avone from Millettia griffoniana. J Phytochemistry 46: 591-593

Yankep, E., Fomum, Z.T., Bisrat, D., Dagne, E., Hellwig, V., Steglich, W. 1998. Ogeranylated isoflavones and a 3-phenylcoumarin from Millettia griffoniana. J Phytochemistry 49: 2521

Yankep E, Mbafor JT and Fomum ZT. 2001. Further isoflavonoid metabolites from Millettia griffoniana (Bail). J Phytochemistry (56)4: 363-368

Yankep E, Njamen D, Fotsing MT, et al.: Griffonianone D, an isoflavone with anti- inflammatory activity from the root bark of Millettia griffoniana. J Natural Products (66)9: 1288-1290

Yenesew, Abiy, John T. Kiplagat, Eluid K. Mushibe, Solomon Derese, Jacob O. Midiwo, Jacques M. 2003. Rotenoid Derivatives from Kenyan Millettia and Derris Species as Larvicidal Agents. 11th NAPRECA Symposium Book of Proceedings, Antananarivo, Madagascar : 161-168

Yoshikawa M, Harada E, Miki A, Tsukamoto K, Liang S Q, Yamahara J dan Murakami N. 1994. Antioxidant constituents from the fruit hulls of mangosteen (Garcinia mangostana L.). Yakugaku Zasshi 114(2):129-133.

Zhu, Y. J., E. Komor dan P. H. Moore. 1997. Sucrose Accumulation in Sugarcane Stem is Regulated by The Different between The Activities of Soluble Acid Invertase and Sucrose Phosphate Synthase. J Plant Physiology 115: 609- 616

Lampiran 1. Prosedur Analisis Nira Tebu

1. Analisis Total Asam (AOAC 940.15, 1995)

Sebanyak 600 ml aquades ditempatkan pada beakerglass 800 ml, kemudian ditambahkan 1 ml indikator PP. Larutan tersebut dititrasi dengan larutan 0,1N NaOH hingga larutan berubah menjadi berwarna merah muda. Selanjutnya ditambahkan 5-20 ml contoh dan dititrasi kembali dengan larutan 0,1N NaOH hingga larutan kembali berwarna merah muda. Jumlah asam dihitung sebagai g/100 ml contoh.

2. Analisis pH Larutan Menggunakan pH-meter

Pengukuran pH menggunakan pH-meter adalah dengan cara memasukan elektroda pH-meter ke dalam larutan contoh kemudian display pH-meter akan membaca nilai pH contoh dan suhu pengukurannya.

3. Analisis Kadar Gula Pereduksi Metoda Kolorimetri Dinitrosalisilik (DNS) Sebanyak 2 ml larutan contoh ditambahkan 2 ml pereaksi DNS kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 950C selama 10 menit hingga menghasilkan warna larutan merah kecoklatan. Absorbansi gula pereduksi diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi gula pereduksi dikonversikan menjadi kadar gula pereduksi

Dokumen terkait