• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik penghambatan degradasi sukrosa dalam nira tebu (Saccharum officinarum) menggunakan akar kawao (Millettia Sericea) dan kulit batang manggis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik penghambatan degradasi sukrosa dalam nira tebu (Saccharum officinarum) menggunakan akar kawao (Millettia Sericea) dan kulit batang manggis"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

AKAR KAWAO (Millettia sericea) DAN KULIT BATANG

MANGGIS (Garcinia mangostana L.)

FITRY FILIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(Saccharum Officinarum) Menggunakan Akar Kawao (Millettia Sericea) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia Mangostana L.). Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA.

Akar kawao (Millettia sericea) dan kulit batang manggis (Garcinia mangostana) termasuk bahan pengawet yang sering dipakai petani aren tradisional agar nira aren tidak cepat rusak. Aplikasi penggunaan kedua bahan pengawet alami tersebut dalam nira tebu memerlukan kondisi proses tertentu agar dihasilkan kinerja pengawetan yang optimal. Pengaturan pH, suhu dan waktu reaksi mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan mikrobiologis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian untuk menguji kemampuan akar kawao dan kulit batang manggis menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu perlu dilakukan. Aplikasi kedua bahan pengawet alami tersebut juga perlu diuji dengan kondisi proses tertentu agar menghasilkan aktivitas optimal untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu.

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan (2) mengetahui perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan percobaan. Tahap pertama melakukan karakterisasi nira tebu dan bahan pengawet yang digunakan (akar kawao dan kulit batang manggis). Tahap kedua melakukan pengujian faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu. Tahap ketiga melakukan pengukuran perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan. Parameter yang diukur meliputi kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH.

Hasil penelitian ini menunjukan kadar sukrosa dalam nira tebu yang digunakan dalam percobaan bernilai cukup tinggi yaitu 10,29%, dengan kandungan gula pereduksi 2,43% untuk glukosa dan 0,94% untuk fruktosa, total asam 62,5 mleq dan nilai pH 5,1. Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia yang hampir sama, dimana komponen utamanya terdiri dari alkaloid, flavonoid dan glikosida. Komponen lain seperti saponin, fenolik, triterpenoid dan steroid terdapat dalam jumlah yang kecil.

Hasil analisis pengaruh faktor menunjukan bahwa faktor suhu dan nisbah pengawet memberikan pengaruh positif, baik terhadap kadar sukrosa maupun gula pereduksi. Sedangkan faktor nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif, baik terhadap kadar sukrosa maupun gula pereduksi. Suhu dan pengawet memberikan pengaruh positif terhadap kadar sukrosa masing-masing sebesar 0.452% dan 2.019% dengan signifikansi 94.6% dan 94%. Kedua faktor tersebut juga memberikan pengaruh positif terhadap kadar gula reduksi masing-masing sebesar 0.554% dan 2.072% dengan signifikansi 97.9% dan 97.3%. Nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif terhadap kadar sukrosa masing-masing sebesar 4.423% dan 0.125% dengan signifikansi 94.5% dan 93.5%. Kedua faktor tersebut juga memberikan pengaruh positif terhadap kadar gula reduksi masing-masing sebesar 3.820% dan 0.126% dengan signifikansi yang sama yaitu 97%.

(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan

judul Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa dalam Nira Tebu (Saccharum officinarum) Menggunakan Akar Kawao (Millettia Sericea) dan

Kulit Batang Manggis(Garcinia mangostana L.) adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun.

Bogor, 30 Juli 2007

Fitry Filianty

(4)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(5)

AKAR KAWAO (Millettia sericea) DAN KULIT BATANG

MANGGIS (Garcinia mangostana L.)

FITRY FILIANTY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Sericea) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.) Nama : Fitry Filianty

NRP : F351030161

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Prayoga Suryadarma, STP, MT Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini adalah pengawetan nira tebu, dengan judul Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa dalam Nira Tebu (Saccharum officinarum) menggunakan Akar Kawao (Millettia sp.)dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Bapak Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir Sukardi, MM yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi untuk memberikan masukan-masukan yang berharga untuk menyempurnakan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Provinsi Riau atas bantuan pendidikan untuk mahasiswa pascasarjana asal Riau dan Program B yang telah membantu memfasilitasi penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan tim penelitian gula (Rheni, Nisa, Rian dan Ikhsan), Tiners‘38 dan Tiners’39 yang bersama-sama berjuang di laboratorium TIN. Demikian juga kepada laboran - laboran TIN, Pak Edi, Pak Sugi, Bu Rini dan Bu Ega atas bantuannya kepada penulis selama penelitian.

Tesis ini penulis persembahkan untuk almarhum ayahanda tercinta yang selalu memotivasi untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi selama hidupnya. Akhirnya ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta lainnya, mama, suami, abang dan adik-adik atas doa, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan moril dan materil yang tak terhingga dalam menyelesaikan studi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2007

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 1978 dari ayah Drs Chaerul Suflan, BBA (Alm) dan Ibu Zuretty. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara dan istri dari Tonny F. Kurniawan.

(9)

FITRY FILIANTY. Inhibition Process Method on Sucrose Degradation in Sugar Cane (Saccharum officinarum) Juice Using Kawao Root (Millettia sericea) and Mangosteen Bark (Garcinia mangostana L.). Supervised by SAPTA RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA.

The inhibition process method on sucrose degradation in sugar cane juice was studied by using kawao root and mangosteen bark. The degradation caused by invertation reaction and microorganism activity. Kawao root and mangosteen bark often use as preservative on sugar juice by traditional farmer to inhibit the degradation process. Temperature, pH value and time of incubation also influence the enzymatic reaction and microorganism activity. Refer to the condition, the research need to conduct to measure the inhibition ability of kawao root and mangosteen bark at certain condition.

This research aim to (1) knowing factors influencing the sucrose degradation sugar cane juice by adding preservative (kawao root and mangosteen bark) (2) knowing quality change of sugarcane juice during incubation.

This research was conducted in three steps. First step conduct characterization of sugarcane juice and preservative material (kawao root and mangosteen bark). Second phase conduct factor examination influencing sucrose degradation in sugarcane juice. Third phase conduct quality change measurement of sugarcane juice during incubation. The measurements consist of sucrose content, reduction sugar content, acid total and pH value.

The result of this research showed the amount of sucrose in higher level, (10,29%), reduction sugar is 2,43% of glucose and 0,94% of fructose, acid value is 62,5 mleq and pH value is 5,1. Kawao root and mangosteen bark consist of alkaloid, flavonoid, triterpenoid and glycoside in large number and saponin, fenolik, triterpenoid and steroid in small number.

The result of factor influence analysis that temperature and preservative ratio factor give positive influence in sucrose content and reduction sugar. While factor of pH value and time of incubation give negative influence in sucrose content and reduction sugar. Temperature and preservative ratio factor give positive influence to sucrose content each equal to 0.452% and 2.019% by significance 94.6% and 94%. Both of the factors also give positive influence to reduction sugar content each equal to 0.554% and 2.072% by significance 97.9% and 97.3%. The pH value and time of incubation give negative influence to sucrose content each equal to 4.423% and 0.125% by significance 94.5% and 93.5%. Both of the factors also give negative influence to reduction sugar content each equal to 3.820% and 0.126% by significance 97%.

(10)

DAFTAR TABEL... viii

Penghambatan Kerusakan Nira Tebu... 16

Pengaruh Suhu dan pH ... 16

Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet ... 18

Fitokimia sebagai Bahan Pengawet ... 19

Kawao (Millettia sp) ... 19

Manggis (Garcinia mangostana L.) ... 22

METODOLOGI PENELITIAN ... 26

Waktu dan Tempat... 26

Karakteristik Kawao (Millettia sericea) ... 33

Karakteristik Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.)... 36

Pengaruh Faktor Suhu, pH, Bahan Pengawet dan Waktu... 38

Sukrosa ... 39

Gula Pereduksi ... 48

Perubahan Kualitas Nira Tebu... 56

Kadar Sukrosa ... 56

Kadar Gula Pereduksi ... 59

Total Asam ... 62

(11)

Hubungan perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH... 66

Analisis kebutuhan bahan pengawet untuk industri gula ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 70

Simpulan ... 70

Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia nira tebu ... 9

2. Kemampuan penghambatan aktifitas invertase oleh berbagai produk metabolit dan ion logam ... 14

3. Beberapa jenis tanaman millettia dengan komponen fitokimianya... 21

4. Nilai rendah dan tinggi perlakuan ... 29

5. Matrik satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan rancangan komposit fraksional berfaktor 2IV4-1 ... 30

6. Karakterisasi nira tebu... 31

7. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sericea) ... 34

8. Hasil uji fitokimia kulit batang manggis... 37

9. Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa ... 40

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman tebu (Saccharum officinarum) ... 8

2. Struktur molekul sukrosa ... 10

3. Reaksi invertase atau hidrolisis sukrosa ... 11

4. Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase pada tebu ... 13

5. Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase pada tebu ... 13

6. Tahapan reaksi fermentasi pada nira tebu ... 15

7. Grafik hubungan perubahan pH dan suhu terhadap aktivitas enzim... 17

8. Tanaman kawao (Millettia) ... 20

9. Struktur kimia rotenoid dan flavonoid lain yang diisolasi dari spesies millettia ... 22

10. Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) ... 23

11. Struktur Mangostin ... 25

12. Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 27

13. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa... 46

14. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar sukrosa ... 47

15. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar sukrosa ... 48

16. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar gula pereduksi ... 53

17. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar gula pereduksi ... 55

18. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar gula pereduksi ... 56

19. Grafik perubahan kadar sukrosa pada nira murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet ... 58

20. Grafik perubahan kadar gula pereduksi selama inkubasi 48 jam ... 60

21. Grafik perubahan total asam selama inkubasi 48 jam... 63

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur analisis nira tebu ... 78

2 . Hasil pengujian fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis ... 79

3 . Pengaruh faktor terhadap kadar sukrosa (dalam brix) ... 80

4 . Pengaruh faktor terhadap kadar gula pereduksi (dalam mM) ... 82

5 . Perubahan nira tebu selama penyimpanan 240 menit ... 84

(15)

Latar belakang

Kebutuhan konsumsi gula di Indonesia sejak tahun 1970-an selalu

melebihi kapasitas produksi dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor gula. Indonesia telah mengimpor gula sejak tahun

1980-an dengan kapasitas impor yang terus meningkat hingga sekarang. Pemerintah Indonesia mengatur tataniaga gula tersebut secara langsung karena

komoditas tersebut menguasai hajat hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pemerintah sebelumnya pernah mencanangkan swasembada gula pada tahun 1991 namun tidak tercapai karena masih rendahnya kapasitas produksi gula secara nasional. Rendahnya produksi gula dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, mulai dari pemilihan bibit, teknologi tanam, budidaya, pemanenan, dan pengolahan gula di pabrik. Di Indonesia, produksi gula diperoleh dari pengolahan

tebu (Saccharum officinarum). Pengalaman produksi dalam dasawarsa 1980-an lebih menekankan pada perluasan areal tanaman tebu tanpa diikuti peningkatan

produktivitas dalam semua tahap produksi. Contohnya, peningkatan produksi melalui perluasan areal tanaman tanpa memperhatikan kualitas bibit tebu

(rendemen rendah) hanya akan memberatkan instalasi pabrik sehingga produksi menjadi tidak ekonomis dan boros. Kondisi mesin pengolahan di pabrik yang

sering rusak saat proses produksi berlangsung (downtime) juga mempengaruhi penurunan rendemen gula yang diperoleh.

Industri gula sebagai industri yang sudah lama berkembang, saat ini

sedang mencapai tahap pematangan. “Trend” teknologi yang sedang diupayakan oleh industri-industri gula khususnya di negara maju mengarah pada

peningkatan kecepatan pengolahan sambil memperbaiki proses recovery gula. Teknologi yang dikembangkan pada industri gula tersebut meliputi komputasi

aliran dinamik, pencarian bahan baku baru, peralatan elektronik digital, pemilihan peralatan pengolahan yang efisien, otomatisasi mesin dan pengembangan

teknologi informasi (Alvarez dan Johnson, 2003). Berbagai metode pengukuran cepat pada tebu, nira tebu dan gula hasil pengolahan telah banyak

dikembangkan industri gula di negara-neraga maju seperti metode pengukuran dextran pada nira secara cepat (Day dan Rauh, 2003) dan metode pengukuran

(16)

White dan Rein. 2003). Semua peralatan pengukuran terinstalasi pada pabrik sehingga memudahkan proses pengontrolan. Perkembangan lain dari industri

gula adalah penggunaan membran sebagai metoda pemurnian nira tebu, diantaranya dengan menggunakan membran ultrafiltrasi yang dapat

menghasilkan nira dengan warna lebih cerah, mengurangi dextran hingga 100% dan mengurangi polisakarida hingga 76% (Kaseno, Wulyoadi dan Koesnandar,

2003). Kinerja produksi industri gula juga diperbaiki melalui pengembangan berbagai metode manajemen, misalnya aplikasi sistem manajemen perawatan terkomputerisasi (Computerized Maintenance Management System / CMMS)

(Elliott, 2003) yang dapat mengatasi dampak downtime pabrik dan mengoptimalkan produksi. Semua upaya-upaya yang dijelaskan diatas ditujukan

untuk meningkatkan kapasitas produksi gula yang bermutu sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

Perkembangan industri gula di negara-negara maju didukung dengan teknologi yang aplikasinya membutuhkan investasi yang cukup besar.

Kenyataannya industri gula di Indonesia, khususnya industri gula milik pemerintah, kurang didukung dengan investasi yang memadai, terutama

investasi untuk peralatan pengolahan. Pemilihan penerapan teknologi industri gula di Indonesia diupayakan tidak membutuhkan investasi yang terlalu besar

untuk keuntungan maksimal (rendemen gula tinggi).

Salah satu permasalahan yang menyebabkan rendemen gula rendah di pabrik-pabrik gula di Indonesia adalah masalah downtime pabrik yang

disebabkan kerusakan mesin yang sudah tua usia teknisnya. Masalah downtime pabrik adalah terhentinya proses produksi, sehingga nira yang sedang diolah

menjadi terbuang atau tetap digunakan tetapi kadar sukrosa dalam nira sudah sangat rendah akibat kerusakan enzimatis dan mikrobiologis. Upaya mengganti

mesin yang sering rusak dengan membeli mesin baru membutuhkan investasi besar terutama bila dilakukan secara bersamaan untuk seluruh pabrik. Hal lain

yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penambahan bahan pengawet ke dalam nira tebu agar kadar sukrosa

didalamnya dapat dipertahankan secara maksimal. Sukrosa adalah gula yang akan dikristalkan dalam pengolahan nira tebu dan secara langsung jumlahnya

(17)

sukrosa menjadi meningkat setelah terbentuknya endapan, 3-4 hari setelah pembersihan evaporator (Eggleston, Monge dan Ogier, 2003).

Penurunan kadar sukrosa juga dapat terjadi selama proses pengolahan, terutama sejak tahap ekstraksi hingga evaporasi. Kondisi proses pengolahan

dapat mempengaruhi aktivitas enzimatis dan mikrobiologis dalam nira tebu. Kondisi proses pengolahan tersebut meliputi pH, suhu, waktu, migrasi komponen

logam peralatan pengolahan dan pengadukan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemilihan kondisi proses pengolahan yang tepat dan dapat juga ditambahkan pengawet yang bersifat inhibitor enzim atau antimikrobial ke dalam

nira tebu.

Tanaman tebu (Saccharum sp.) adalah salah satu sumber bahan baku

industri gula. Sumber gula lainnya adalah tanaman sugar beet yang banyak dikembangkan di Eropa Utara dan Amerika Utara. Pemanenan tanaman tebu

ditandai dengan pencapaian kadar sukrosa dalam batang tebu yang maksimal. Berbagai penelitian tentang akumulasi sukrosa dalam batang tebu telah banyak

dilakukan, diantaranya adalah pemodelan akumulasi sukrosa dalam tebu (Rohwer, dan Frederik, 2001), efek suhu terhadap metabolisme sukrosa dalam

tebu selama pertumbuhan (Lingle, 2004), pemodelan estimasi kematangan tebu (Scarpari, dan de Beauclair, 2004) dan hubungan akumulasi sukrosa dengan

aktivitas invertase (Zhu, Komor dan Moore, 1997).

Penurunan kadar sukrosa dalam proses pengolahan nira tebu menjadi gula dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu reaksi enzimatis (terutama invertase),

reaksi mikrobiologis dan kondisi proses yang secara tidak langsung mempercepat reaksi enzimatis dan mikrobiologis (pH, suhu, waktu, agitasi, dan

lain-lain).

Reaksi enzimatis yang memicu kerusakan nira tebu karena penurunan

kadar sukrosa adalah reaksi invertasi. Reaksi invertasi dikatalis oleh enzim invertase yang terdapat dalam nira tebu, menginvertasi sukrosa sehingga

menghasilkan glukosa dan fruktosa. Aktivitas invertase ini menyebabkan kadar sukrosa semakin berkurang dalam nira tebu. Invertase pada tanaman tebu telah

diteliti aktivitasnya, optimum pada pH 7.2 dan suhu 600 C (Rahman, Palash dan Fida, 2004, Vorster dan Frederik, 1998).

Aktivitas invertase dalam nira tebu hasil ekstraksi adalah aktivitas yang

(18)

dihambat oleh substrat (sukrosa) dan produk (glukosa dan fruktosa) reaksi itu sendiri dengan model inhibisi non-kompetitif (Filho, Hori dan Ribero, 1999).

Substrat sukrosa dapat menghambat reaksi invertasi pada konsentrasi 80% (b/v). Produk reaksi invertasi adalah, glukosa dan fruktosa, dapat menghambat

aktivitas invertase masing-masing sebesar 27% dan 37% (Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi glukosa dan fruktosa sebagai inhibitor invertase pada proses

pengolahan nira tebu menjadi gula menimbulkan permasalahan lain yaitu rendahnya rendemen proses kristalisasi gula karena terhambat oleh glukosa dan fruktosa yang terakumulasi dalam sirup. Jenis inhibitor lain yang dapat

menghambat aktivitas invertase adalah beberapa jenis garam, terutama HgCl2,

FeCl2, CuCl2 dan CdCl2, yang dapat menurunkan aktifitas hingga 45-99%

(Mahbubur Rahman, et.al., 2004, Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi garam-garam tersebut dalam pengolahan nira tebu juga tidak dapat dilakukan karena

garam-garam tersebut bukan golongan food grade.

Penyebab lain kerusakan nira tebu adalah reaksi mikrobiologis. Salah

satu mikroba yang dapat mengkontaminasi tebu dan niranya adalah Leuconostoc mesenteroides, dengan kemampuannya mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa dan dextran. Kerusakan lebih lanjut dari degradasi sukrosa adalah terbentuknya asam-asam organik seperti asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Upaya

mencegah kerusakan akibat reaksi mikrobiologis ini salah satunya adalah dengan menambahkan antimikrobial, seperti natrium benzoat dan larutan amoniak (Bobadilla dan Preston, 1981, Duarte, Elliott dan Preston, 1981).

Secara tradisional petani nira menggunakan bahan-bahan alami tertentu sebagai pengawet seperti akar kawao, kulit dan buah manggis, laru janggut, kulit

batang kusambi, remasan daun jambu mete, tangkal dan kulit batang nangka, serta kulit batang ralu (Sedarnawati, Suliantari dan Iwan, 1999) dan mendidihkan

nira secepat mungkin selama menunggu waktu proses pengolahan. Tujuan pemanasan selain membunuh mikroorganisme dalam nira dapat juga berfungsi

menginaktivasi enzim. Bahan-bahan alami yang selama ini dipakai oleh petani belum banyak diidentifikasi komponen aktifnya, apakah bersifat inhibitor enzim

atau antimikrobial. Selama ini penggunaan bahan-bahan tersebut hanya didasarkan pada pengalaman bahwa dengan penambahan bahan-bahan

(19)

Akar kawao (Millettia sericea) dan kulit batang manggis (Garcinia mangostana) termasuk bahan pengawet yang sering dipakai petani aren tradisional. Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar kawao dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut

(nira) tidak menjadi asam. Bila petani tidak menemukan akar kawao, mereka menggantinya dengan kulit batang atau buah manggis sebagai pengawet.

Aplikasi penggunaan pengawet dalam nira tebu memerlukan kondisi proses tertentu agar dihasilkan kinerja pengawetan yang optimal. Pengaturan pH, suhu dan waktu reaksi mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan

mikrobiologis. Waktu reaksi berhubungan dengan lamanya reaksi bahan pengawet bekerja hingga kehilangan aktivitas pengawetannya disebabkan

kehabisan bahan aktif. Optimasi produksi diperlukan dengan mengkombinasikan kondisi-kondisi proses tertentu dengan konsentrasi tertentu bahan pengawet.

Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian untuk menguji kemampuan akar kawao dan kulit batang manggis menghambat laju degradasi

sukrosa dalam nira tebu perlu dilakukan. Aplikasi kedua bahan pengawet alami tersebut juga perlu diuji dengan kondisi proses tertentu agar menghasilkan

aktivitas optimal untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan penambahan bahan

pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan (2) mengetahui perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan untuk (1) mendapatkan informasi faktor-faktor penghambat degradasi nira tebu dengan aplikasi bahan pengawet akar

kawao dan kulit batang manggis, (2) menyediakan data yang dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya, (3) memberikan masukan kepada

(20)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Karakterisasi nira tebu

2. Analisis fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis.

3. Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu berupa pengujian suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi

terhadap perubahan kadar sukrosa dan gula pereduksi.

4. Pengujian perubahan kualitas nira tebu berupa perubahan kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH selama penyimpanan.

(21)

Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan

dari famili Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di

daerah asalnya di Asia, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk

fisik dengan tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai

salah satu sumber gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber

ekonomi utama dari gula bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam

divisi Maqnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Cyperales, famili Poaceae

(Gramineae) (Barnes, 1973). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropik

dan subtropik dengan kelembaban tahunan minimum 600 mm. Tanaman tebu

termasuk tanaman yang paling efisien dalam berfotosintesis dimana hanya

membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk dikonversi menjadi biomassa

(Sharpe, 1998).

Lebih dari 100 negara melakukan budidaya tanaman tebu, dengan luas

keseluruhan lahan sekitar 130.000 km2. Jumlah tebu yang dipanen oleh 20

negara terbesar penghasil tebu mencapai 1200 juta m3 dalam tahun 2002 untuk

diolah menjadi gula. Hal tersebut berarti 6 kali lebih besar daripada produksi gula

bit (Sharpe, 1998). Selama 100 tahun terakhir produksi gula dari tanaman tebu di

dunia mengalami peningkatan yang pesat hasil dari perbaikan proses budidaya,

penggunaan pupuk, pengontrolan hama dan penyakit tanaman, perbaikan

proses di pabrik, mekanisasi produksi dan penggunaan varietas yang

menghasilkan rendemen gula tertinggi. Negara yang terbesar dalam

memproduksi gula dari tebu ini adalah Brazil, India dan Cina.

Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah

batangnya. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Batang tebu

berdiri tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-5 meter serta tidak bercabang

(Soebroto, 1983). Batang terdiri dari ruas-ruas dan dibatasi dengan buku-buku,

dimana setiap buku terdapat mata ruas. Gambar tanaman tebu dapat dilihat

(22)

Gambar 1 Tanaman tebu (Saccharum officinarum)

Tanaman tebu dipanen pada usia 8-12 bulan. Pemanenan merupakan

tahapan yang penting dalam penanganan tebu. Makin mendekati umur panen,

kadar sukrosa dalam batang tebu semakin meningkat dan setelah melampaui

umur panen terjadi penurunan kadar sukrosa yang diikuti peningkatan kadar

glukosa dan frukrosa. Penurunan kadar sukrosa tersebut disebabkan oleh

aktifitas enzim invertase dalam batang tebu yang meningkat aktifitasnya.

Peningkatan aktifitas invertase dalam jaringan tanaman disebabkan karena

adanya signal kebutuhan energi bagi tanaman untuk metabolisme selanjutnya

(Foyer et. a/. 1997). Energi tersebut dapat diserap tanaman dalam bentuk gula

sederhana (glukosa dan frukrosa) sehingga aktifitas invertase pada sukrosa

terpacu untuk bekerja.

Nira Tebu

Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu,

mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula

kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan

gula adalah aren, kelapa, lontar dan sugarbeet. Dalam pabrik gula, proses

ekstraksi nira tebu dari batangnya dilakukan dengan cara pencacahan dan

penggilingan. Nira tebu hasil ekstraksi selain mengandung sukrosa yang akan

menjadi bahan baku pembuatan gula kristal, juga mengandung komponen lain

(23)

Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu, kondisi

geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan

pengankutan (Reece, 2003). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16%

serat dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen,

1985). Komposisi kimia nira tebu hasil ekstraksi dalam susunan rata-rata

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia nira tebu

Komposisi Kimia Jumlah (%)

Sukrosa

Sumber : Moerdokusumo (1993)

Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebagai

hasil metabolisme tanaman seperti dextran, levan, pektin, selulosa,

hemiselulosa, pati dan gum (Cuddihy et.al., 2000). Semua bahan selain sukrosa

dapat memberikan efek negatif terhadap proses pembuatan gula kristal, seperti

memberi kesempatan mikroorganisme untuk tumbuh, mempersulit proses

pemurnian dan menghambat proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relative

tinggi nira lebih kental sehingga menyebabkan filtrasi berjalan lambat dan larutan

tampak lebih keruh.

Menurut Paine (1953) nira tebu mengandung komponen senyawa

nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein sederhana (albuminosa

dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat) dan asam amida (asparagin,

glutamin). Selain itu nira tebu juga mengandung komponen asam organik lain

seperti akonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat. Kandungan garam organik

yang teridentifikasi dalam nira tebu diantaranya adalah fosfat, klorida, sulfat,

silikat dan nitrat dari Na, K, Ca, Al dan Fe. Menurut Legaz et. al. (2000), nira tebu

dapat mengandung glikoprotein bila nira tersebut dihasilkan dari batang yang

mengalami kerusakan atau terserang mikroorganisme pathogen.

Dalam keadaan segar, nira tebu berwarna coklat kehijau-hijauan dengan

(24)

terdapat dalam nira tebu adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil,

karoten, antosianin, tannin dan sakretin. Sedangkan warna coklat timbul akibat

reaksi pencoklatan enzimatis dari polifenol.

Proses pengolahan nira tebu menjadi gula terbagi dalam 2 bagian

(Pancoast dan W. Ray, 1980). Pertama, proses ekstraksi batang tebu untuk

diambil niranya, kemudian dilakukan rafinasi sebagian dan kristalisasi,

menghasilkan gula mentah (raw sugar). Bahan selain sukrosa dipisahkan

semaksimal mungkin dengan proses-proses defekasi, sulfitasi, karbonatasi,

defekasi-sulfitasi serta kombinasi keempat proses tersebut. Kedua, proses

purifikasi gula mentah dan kristalisasi lebih lanjut, menghasilkan gula (refine

sugar). Proses kerusakan banyak terjadi pada tahap pertama pembuatan gula

dimana nira tebu masih memiliki aktivitas enzimatis dan mikrobiologis.

Dalam proses pembuatan gula kristal, degradasi sukrosa (inversi atau

hidrolisis) harus dicegah sebesar mungkin. Degradasi sukrosa menghasilkan

molekul glukosa dan fruktosa, yang dikenal sebagai gula invert. Glukosa dan

fruktosa bersifat tidak dapat dikristalkan dan menghambat proses kristalisasi

sukrosa dalam pengolahan gula. Hal tersebut menyebabkan rendemen gula

menjadi rendah. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan degradasi sukrosa

diantaranya adalah peningkatan keasaman, suhu dan lama inkubasi nira tebu

pada suhu yang terus meningkat.

Kerusakan pada Nira Tebu

Sukrosa dan Degradasinya

Sukrosa adalah jenis gula disakarida yang dikenal juga sebagai "gula

meja", berwarna putih, berbentuk kristal padat dengan rasa manis dan dapat

membentuk caramel serta terdekomposisi pada suhu 186°C. Pada saat sukrosa

mengalami dekomposisi akan menghasilkan karbondioksida dan air serta

menghasilkan warna coklat pada produknya. Rumus empirik sukrosa adalah

C12H22O11, sama seperti laktosa dan maltosa tetapi berbeda struktur molekulnya

(lihat Gambar 2).

(25)

Dalam molekul sukrosa, molekul penyusunnya (glukosa dan fruktosa)

diikat oleh ikatan glikosidik 1→2-α, -. Dengan demikian secara sistemik sukrosa

dinamakan sebagai α-D-glucopyranosyl-(1→2)-β-D-fructofuranoside. Sukrosa

memiliki sifat-sifat lainnya sebagai berikut (Chaplin. 2004) :

• Dapat larut dalam air dengan kelarutan 2,1 g dalam 1 g air pada suhu 25°C

• Menunjukan indeks refraktif pada larutannya 10%

• Suhu melting pada 186°C

• Densitas energi: 17 kJ/g

• Berat molekul: 342,3 g/mol

Degradasi sukrosa, khususnya pada nira tebu, terjadi disebabkan oleh

reaksi invertasi terhadap molekul sukrosa. Reaksi invertasi merupakan reaksi

hidrolisis irreversible dimana satu molekul sukrosa dan satu molekul air

menghasilkan satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Proses ini

dipercepat dengan panas. Invertasi molekul sukrosa murni diproses paling cepat

sampai mendekati 5000 kali pada 90°C dibanding pada 20°C. Pada prakteknya

reaksi ini terjadi pada pH dibawah 7 dan proses dipercepat dengan penurunan

pH. Reaksinya adalah indotermik dengan energi aktivasi 25,9 kilokalori per mol

pada 20°C. Reaksi ini dapat juga melalui katalisis biokimia dengan beberapa

enzim, khususnya invertase (Pennington dan Charles, 1990 dan Wang, 2004).

Proses inversi dapat terjadi secara sempurna selama 48 - 72 jam pada suhu

50°C dengan pH 4,5 (Chaplin. 2004). Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa

selengkapnya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa

Invertase

Nama lain dari invertase adalah -fructofuranosidase yang menunjukan

reaksi yang dikatalis enzim ini adalah reaksi hidrolisis pada gugus ujung

non-reduksi -fructofuranoside dalam -fructofuranosides. Selain itu reaksi tersebut

(26)

unit glukosa. Selain oleh invertase, sukrosa juga dapat dihidrolisis dalam kondisi

lingkungan yang asam walaupun tanpa adanya enzim (Wang, 2004).

Invertase dapat dihasilkan oleh beberapa jenis mikroorganisme dengan

menggunakan substrat sukrosa. Secara komersil invertase dihasilkan dari jenis

khamir Saccharomyces cerevisiae atau Saccharomyces carisbergensis.

Walaupun berasal dari kultur yang sama, invertase dapat memiliki bentuk yang

berbeda-beda. Sebagai contoh, invertase intraselular mempunyai berat molekul

135.000 dalton sedangkan invertase ekstraselular mempunyai berat molekul

270.000 dalton (Wang, 1999).

Berbeda dengan kebanyakan enzim, invertase memiliki kisaran wilayah

pH yang cukup besar yaitu pH 3,5-5,5, dengan pH optimum 4,5. Aktivitas

invertase optimum pada suhu sekitar 55°C. Pada beberapa jenis enzim, nilai

Michaelis-Mentennya mempunyai kisaran nilai Km antara 2 mM dan 5 mM,

namun pada invertase mempunyai nilai Km sekitar 30 mM.

Invertase Dalam Nira Tebu

Dalam tanaman tebu mengandung berbagai jenis enzim, diantaranya

adalah enzim invertase yang berperan dalam reaksi invertasi sukrosa menjadi

glukosa dan fruktosa. Selain dalam tanaman tebu, invertase juga teridentifikasi

dalam buah apel (Qiu Hong PAN, et. a/., 2005), umbi kentang (Ewing et. a/.,

1977, Pressey dan Row Shaw, 1966, Ewing et. a/., 1977), buah tomat (Pressey,

1994) dan ubi (Matsushita dan Uritani, 1976).

Tanaman tebu mengandung invertase dalam bentuk yang sama (isoform)

dengan keberadaan atau posisi yang berbeda-beda sebagai berikut : invertase

netral (neutral invertase), invertase asam vakuola (vacuolar acid invertase),

invertase asam yang terikat pada dinding sel (cell-wall bound acid invertase) dan

invertase asam apoplastik terlarut (apoplastic soluble acid invertase) (Vorster dan

Botha, 1998). Pengelompokan invertase juga dapat didasarkan pada pH

optimum aktifitasnya, yaitu : invertase asam, invertase netral dan invertase alkali.

Pengelompokan invertase lainnya adalah berdasarkan lokalisasi terhadap

intraseluler yaitu : invertase terlarut dan invertase terikat (Mahbubur et.al. 2004).

Menurut Zhu et.al. (1997), aktifitas invertase asam yang terlarut memiliki

korelasi dengan akumulasi sukrosa dalam batang tebu. Sementara itu hal yang

sama tidak terjadi pada invertase netral. Menurut Vorster dan Botha (1998),

(27)

menunjukan korelasi yang signifikan. Invertase netral memiliki aktifitas spesifik

yang lebih tinggi daripada invertase asam terlarut (apoplastik dan vakuola).

Invertase asam yang terikat pada dinding sel teridentifikasi keberadaannya

dalam batang tebu sejak sebelum batang tebu matang atau siap panen.

Invertase pada tebu termasuk jenis glikoprotein dengan kadar gula 7,29%

dan berat molekul 218 kDa (Mahbubur et. al., 2004). Aktifitas invertase maksimal

pada pH 7,2 dan suhu 60°C. Pengaruh pH dan suhu terhadap aktivitas invertase

dalam nira tebu selengkapnya disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Kemampuan penghambatan aktivitas invertase oleh berbagai produk metabolit

dan ion logam disajikan pada Tabel 2.

0

Gambar 4 Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase pada tebu (Mahbubur et.al., 2004)

(28)

Tabel 2 Kemampuan penghambatan aktivitas invertase oleh berbagai produk metabolit dan ion logam (Vorster, dan Frederik, 1998)

Komponen Inhibisi (%)

1Tris

Kerusakan pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas

mikroorganisme melalui proses fermentasi. Beberapa jenis mikroba dapat juga

memproduksi invertase seperti Cladosporium cladosporioides (Almeida et. a/.,

2000) dan kamir methylotropik (Hansenula polymorpha dan Pichia pastoris)

(Niuris et.al., 2000) sehingga kontaminannya dapat meningkatkan konsentrasi

invertase dalam nira tebu. Kontaminasi mikroorganisme ke dalam nira tebu

dimulai sejak pemanenan hingga berlangsungnya proses pengolahan, termasuk

kontaminasi dari peralatan pengolahan.

Salah satu jenis mikroorganisme yang sering teridentifikasi

mengkontaminasi nira tebu adalah Leuconostoc mesenteroides yang mempunyai

kemampuan menghasilkan enzim untuk mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa

dan dextran. Dekstran dihasilkan oleh reaksi enzim dextransucrase pada

sukrosa. Dekstran memiliki struktur sukrosa dan menghambat kristalisasi

sukrosa.

Kerusakan lebih lanjut dari degradasi sukrosa adalah terbentuknya

asam-asam organik seperti asam-asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Leuconostoc

mesenteroides dapat mengkonsumsi sukrosa dengan sangat cepat (8.05 g/l/jam

(29)

Guglielmone et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Proses fermentasi tersebut

berarti terjadi kehilangan sukrosa sebanyak 59% pada suhu 25 °C dan 62% pada

suhu 30 °C. pada suhu yang lebih tinggi (37 °C and 40 °C) persentase konsumsi

sukrosa dapat menurun menjadi 47% dan 27% (Mathlouthi, 2000).

Jenis mikroorganisme lain yang teridentifikasi mengkontaminasi nira tebu

adalah Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium

devorans, Candida pulcherrima, Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum,

Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis. Mikroba lain yang dapat

mengkontaminasi nira tebu adalah Saccharococcus sacchari yang diindikasikan

dengan terbentuknya glikoprotein dalam batang tebu (Legaz et. a/., 2000).

Kerusakan nira akibat aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa

asam pada nira, berbuih putih dan berlendir dengan reaksi kimia seperti yang

disajikan pada Gambar 6 (Goutara dan Wijandi, 1985). Menurut Legaz et. a/.,

(2000), adanya glikoprotein juga menjadi indikasi kontaminasi mikroba dalam nira

tebu dan telah terjadi kerusakan terlebih dahulu pada batang tebu.

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6

sukrosa glukosa fruktosa

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2

glukosa/fruktosa etanol

C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O

etanol asam asetat

Gambar 6 Tahapan reaksi fermentasi pada nira tebu

Pada reaksi pertama terjadi reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis

invertase atau reaksi hidrolisis karena adanya asam. Pada reaksi kedua, hasil

reaksi invert atau hidrolisis sukrosa dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme dan

diubah menjadi alkohol dan selanjutnya dioksidasi menjadi asam asetat.

Terbentuknya asam menyebabkan reaksi hidrolisis sukrosa terjadi lagi dan nira

menjadi asam. Menurut Goutara dan Wijandi (1985), proses degradasi sukrosa

diikuti dengan pembentukan warna coklat tua. Semakin tinggi jumlah

dekomposisi sukrosa makin nyata warnanya. Selanjutnya komponen glukosa

dan fruktosa yang telah terbentuk dari reaksi hidrolisa sukrosa, mengalami

proses fermentasi membentuk etil alkohol. Etil alkohol kemudian dioksidasi

menjadi asam asetat. Kondisi nira yang asam akan semakin meningkatkan

(30)

Pertumbuhan mikroorganisme secara umum mengikuti pola tertentu yang

terdiri atas 6 fasa yaitu fasa awal, fasa penyesuaian, fasa eksponensial, fasa

pelambatan, fasa stasioner dan fasa penurunan. Perubahan antar fasa

merupakan fungsi dari waktu pertumbuhan. Fasa awal adalah masa

penyesuaian mikroorganisme sejak mengkontaminasi bahan. Pada fasa ini

terjadi sintesis enzim oleh sel yang diperlukan untuk metabolisme metabolit.

Setelah fasa awal selesai, mulai terjadi reproduksi sel mikroorganisme.

Konsentrasi sel mikroorganisme atau biomassa meningkat, mula-mula perlahan

kemudian makin lama makin meningkat. Pada saat laju pertumbuhan sel

mikroorganisme mencapai titik maksimal, maka terjadi pertumbuhan secara

eksponensial. Pada fasa ini keadaan pertumbuhan mikroorganisme mantap.

Penurunan laju pertumbuhan atau fasa pelambatan terjadi pada saat substrat

yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi

penumpukan produk-produk penghambat pertumbuhan. Fasa pertumbuhan

akan terhenti dan terjadi modifikasi struktur biokimiawi sel mikroorganisme pada

fasa stasioner. Fasa selanjutnya adalah fasa penurunan , dimana jumlah sel

mikroorganisme berkurang akibat terjadi kematian yanbg diikuti autolisis oleh

enzim selular.

Penghambatan Kerusakan Nira Tebu

Pengaruh Suhu dan pH

Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh perubahan pH dan suhu. Setiap

enzim memiliki pH dan suhu optimum untuk aktivitasnya. Pada saat reaksi

berjalan dibawah titik optimum, kecepatan reaksi berlangsung semakin cepat

hingga titik optimum. Setelah melampaui titik optimumnya, kecepatan reaksi

berlangsung semakin menurun, bahkan pada menjadi inaktif. Perubahan

kecepatan aktivitas enzim akibat pengaruh pH dan suhu disebabkan karena

perubahan struktur tersier enzim dan ikatan kovalen yang mempengaruhi bentuk

enzim (seperti interaksi ion dan ikatan hydrogen). Sebagai contoh, perubahan pH

akan mengubah posisi ionisasi asam amino yang akhirnya akan mempengaruhi

aktivitas katalitiknya sebagai enzim. Sementara itu ikatan hydrogen juga sangat

dipengaruhi oleh peningkatan suhu, dimana pada suhu tinggi ikatan hydrogen

akan putus, sehingga struktur enzim akan berubah dan kemampuannya bereaksi

dengan substrat akan hilang (Harrow dan Mazur, 1958). Grafik hubungan

(31)

Pengaruh suhu dan pH dapat digunakan sebagai faktor untuk mencegah

aktifitas enzim yang tidak dikehendaki. Dengan penggunaan suhu yang

menyebabkan inaktivasi enzim maka kerusakan enzimatis dapat dicegah. Pada

nira tebu, enzim yang sangat berperan dalam kerusakan nira tebu adalah

invertase. Enzim ini terdapat secara alami dalam nira tebu dan juga dihasilkan

oleh mikroorganisme kontaminan, khususnya Saccharomices cereviceae.

4 6 8 10 12

Gambar 7 Grafik hubungan perubahan ph dan suhu terhadap aktivitas enzim

Kerusakan pada nira tebu dapat dihambat dengan mengontrol reaksi

kerusakan melalui pengaturan pH dan suhu. Kedua parameter tersebut memiliki

peran besar mempengaruhi aktivitas enzimatis dan mikrobiologis. Setiap enzim

memiliki kondisi pH dan suhu tertentu untuk reaksinya, demikian pula aktifitas

mikrobiologi. Enzim invertase dalam tebu memiliki aktivitas maksimal pada pH

7,2 dan suhu 60° C, dan mencapai setengah aktivitas maksimalnya pada pH 6,4

dan 8,2 (Mahbubur et.al., 2004, Vorsterdan Frederik, 1998). Untuk mengurangi

kehilangan sukrosa pada tahap pemurnian dan evaporasi, pH harus diatur agar

mencapai 6,3-6,4 pada akhir evaporator (Eggleston et.al., 2003). Penggunaan

suhu tinggi selain membunuh mikroorganisme dalam nira dapat juga berfungsi

menginaktivasi enzim seperti invertase yang aktivitasnya terhenti dengan

pemanasan selama 2 menit pada suhu 90° C (Vorster dan Frederik, 1998).

Suhu dan pH juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Seperti

halnya enzim, mikroorganisme juga memiliki batas optimum agar dapat bertahan

hidup. Umumnya mikroorganisme tidak dapat bertahan hidup pada kondisi suhu

(32)

Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet

Upaya pencegahan kerusakan akibat reaksi enzimatis dan mikrobiologis

juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet, baik yang bersifat

inhibitor enzim ataupun antimikrobial. Inhibisi enzim atau penghambatan aktifitas

enzim merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian yang

menyangkut kesehatan. Misalnya Pb, Hg dan logam berat lainnya bersifat sangat

beracun pada manusia karena kerjanya sebagai penghambat kerja enzim.

Meskipun mekanisme penghambatan kerja invertase oleh logam-logam berat

berbeda dengan mekanismenya pada enzim lain, namun dapat dipastikan bahwa

logam-logam berat tersebut sangat menghambat kerja invertase. Sebagai

contoh, ion Ag++ menyerang rantai sisi histidin pada molekul invertase dan

menyebabkan invertase tidak aktif.

Beberapa jenis logam sangat efektif menghambat aktivitas enzim

invertase seperti HgCI2, ZnCI2, AgNO3, dan CuSO4 (Vorster dan Frederik, 1998,

Mahbubur et.al., 2004). Natrium benzoat dan larutan amoniak dalam jumlah

0.05% dan 0.32% dapat menghentikan fermentasi pada nira tebu selama 2-3

hari, pada konsentrasi 0.10% dan 1.28% dapat menghentikan fermentasi hingga

6 hari (Bobadilla dan Preston, 1981, Duarte et. al., 1981).

Inhibisi enzim juga dapat dilakukan oleh selektif enzim, pestisida atau

herbisida yang cara kerjanya adalah dengan menghambat pertumbuhan atau

pertahanan organisme yang menghasilkan invertase. Berbagai perlakuan untuk

penyakit juga dapat bersifat penghambat enzim. Jenis inhibitor lainnya adalah

substrat dan produk reaksi enzimatis itu sendiri. Pada invertase, sukrosa dan

gula invertnya dapat menghambat kerja invertase pada konsentrasi yang tinggi

(Wang, 1999).

Aplikasi penambahan pengawet pada pembuatan gula dari nira tebu

harus mengikuti aturan pemerintah dan mengikuti standar food grade.

Penggunaan beberapa jenis bahan kimia dalam bahan pangan seperti formalin

dan borax kini sangat dilarang karena membahayakan kesehatan. Berbagai

bahan alami kini dikembangkan sebagai pengawet seperti yang dilakukan oleh

petani-petani nira aren sejak lama, yaitu memanfaatkan akar kawao, kulit dan

buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu mete,

tangkal dan kulit batang nangka (Sedarnawati et. al,, 1999). Pemanfaatan

komponen kimia dari ekstrak tanaman atau komponen fitokimia telah

(33)

masa kini komponen-komponen fitokimia tersebut banyak diteliti untuk

diidentifikasi lebih lanjut.

Fitokimia sebagai Bahan Pengawet

Fitokimia adalah segala jenis zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari

sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Fitokimia dapat

berperan sebagai antimikroba, antivirus, antiimflamantori, perlakuan pengobatan

penyakit dan bahan pengawet. Penelitian berbagai fitokimia telah banyak

dilakukan dalam rangka pemanfaatan lebih lanjut senyawa tersebut. Beberapa

senyawa fitokimia yang banyak dimanfaatkan adalah (Murray, 1996):

• Glikosida, suatu molekul yang dibangun oleh struktur molekul gula

(glikon) dan non-gula (aglikon). Biasanya senyawa non-gula (aglikon)

penyusun glikosida adalah senyawa fitokimia lain yang akan

membebaskan jdiri jika diperlukan. Struktur glikosida dapat pecah

disebabkan oleh reaksi hidrolisis dan enzimatis. Pemanfaatan glikosida

akan didasarkan oleh kemampuan senyawa aglikonnya. Glikosida juga

dapat digunakan sebagai pengikat toksik.

• Flavonoid, termasuk didalamnya adalah isoflavonoid, biasa digunakan

sebagai antioksidan. Fitokimia ini juga berperan dalam pigmentasi

(merah, kuning dan biru), bersifat antimikroba, antialergik,

antiimflamantori, dan antikanker.

• Alkaloid, merupakan turunan senyawa amina, bersifat racun dan dapat

membentuk garam dengan asam (asam mineral dan organik). Senyawa

ini bersifat anastetik dan analgesik, sering dimanfaatkan sebagai bahan

obat-obatan.

• Terpenoid, terdiri atas beberapa unit isopren, berperan dalam

menghasilkan aroma, rasa dan warna pada tanaman. Senyawa ini juga

bersifat antimikroba dan antineoplastik.

• Tannin, senyawa yang dapat mengendapkan protein, bersifat antidiare,

hemostatik dan antihemordial.

Kawao (Millettia sp.)

Kawao (millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak,

panjang 10 - 30 m, tumbuh di hutan hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dari

(34)

Tanaman kawao atau Millettia termasuk dalam famili Fabaceae (sub-famili

papillionoidae). Tanaman ini memiliki 200 spesies dengan bentuk pohon,

tanaman merambat dan perdu, yang tersebar di daerah tropis Afrika (Irvine,

1961), Asia, Australia, and America (Thulin, 1983). Pada Gambar 8 disajikan

salah satu jenis tanaman kawao atau millettia.

Gambar 8 Tanaman kawao (Millettia).

Tanaman kawao (millettia) mengandung komponen fitokimia, diantaranya

adalah alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid (Amgsa et. a/.,

1994; Dewick, 1994; Wanda, 2006). Jenis isoflavon pada millettia yang telah

diidentifikasi oleh Yankep et. al., (1997; 1998; 2001) adalah chalcone, a rotenoid,

a phenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen

tersebut diekstraksi dari bagian akar dengan menggunakan heksan. Pada Tabel

3 disajikan beberapa jenis tanaman Millettia dengan komponen fitokimianya.

Tanaman millettia banyak dimanfaatkan sebagai trypanocidal,

anti-plasmodial, insektisida, piscisida, molluscicida (Teesdale, 1954; Singhal et al.,

1982; Amgsa et. al., 1994). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional

oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar

(Menninger, 1970). Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa

memberikan sepotong akar dalam cairan palem yang masih segar agar cairan

tersebut (nira) tidak menjadi asam. Tanaman ini juga dimanfaatkan dalam bidang

pengobatan (Gamgsa et. al., 1993;) Millettia conraui, Millettia laurantii and

Millettia sanagana digunakan sebagai obat sakit perut yang disebabkan parasit

pada anak (Singhal, 1982). Millettia zechiana digunakan sebagai obat bronchial

rhinopharyngial. Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai

obat tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit

paru dan asma, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause (Sandberg and

Cronlund, 1977). Ekstrak akar Millettia griffoniana mengandung isoflavon

Griffonianone D yang bersifat mengurangi peradangan (antiimflamantory)

(35)

Tabel 3. Beberapa jenis tanaman Millettia dengan komponen fitokimianya

Jenis millettia Komponen fitokimia Aktifitas kimia

Millettia

• Griffonianone E (Griff E)

(36)

Tanaman kawao (millettia) juga mengandung komponen rotenoid yang

dikenal sebagai salah satu insektisida alami, termasuk untuk membasmi larva

nyamuk Aedes aegypti (Abe et al., 1985). Menurut Yenesew et. al., 2003)

rotenoid bersifat larvisida sebagaimana penelitiannya pada jenis millettia : M.

dura, M. lasiantha, M. leucantha, M. oblata, M. tanaensis and M. Usaramensis.

Struktur kimia rotenioid dan flavonoid lain yang diisolasi dari spesies Millettia

disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Struktur kimia rotenoid dan flavonoid lain yang diisolasi dari salah satu spesies millettia (Yenesew et. a/., 2003)

Manggis (Garcinia mangostana L.)

Tanaman manggis (Garcinia mangostana L) termasuk dalam famili

Clusiaceae (Guttiferae). Tanaman manggis berbentuk pohon yang selalu hijau

dengan tinggi 6-20 m. Batangnya tegak dengan batang pokok yang jelas. Kulit

batang berwarna coklat dan memiliki getah kuning. Asal usul tanaman manggis

tidak diketahui. Waktu berbunga dimulai pada bulan Mei hingga bulan Januari.

Tanaman ini dapat tumbuh di Jawa pada ketinggian 1-1000 m di atas permukaan

laut, pada berbagai tipe tanah (pada tanah liat dan lempung yang kaya bahan

(37)

kelembaban dan panas dengan curah hujan yang merata (IPTEKnet, 2005).

Pada Gambar 10 disajikan bentuk pohon, daun dan buah tanaman manggis

(Garcinia mangostana L).

Gambar 10 Tanaman manggis (Garcinia mangostana)

Kulit kayu, kulit buah dan lateks kering Garcinia mangostana

mengandung sejumlah zat warna kuning yang berasal dari dua metabolit yaitu

mangostin dan -mangostin yang berhasil diisolasi. Mangostin merupakan

komponen utama sedangkan -mangostin merupakan konstituen minor

(IPTEKnet, 2005). Dari hasil suatu penelitian dilaporkan bahwa Mangostin

(1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3metil-2-butenil)-9H-xanten-9-on) hasil isolasi dari

kulit buah mempunyai aktivitas antiinflamasi dan antioksidan. Dari hasil studi

farmakologi dan biokimia dapat diketahui bahwa mangostin secara kompetitif

menghambat tidak hanya reseptor histamin H, mediator kontraksi otot lunak

tetapi juga epiramin yang membangun tempat reseptor H1, pada sel otot lunak

secara utuh. Mangostin merupakan tipe baru dari histamine (IPTEKnet, 2005).

Dalam penelitian lain ditemukan komponen fitokimia dalam batang

manggis adalah tannin (Abbiw, 1990), α-mangostin dan -mangostin (Sakagami

et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne et al., 2005; Suksamrarn et. a/.,

2002) dan xantonin (Ee et. al., 2006; Nilar e.t al., 2002; Gopalakrishnan et. al.,

1997). Menurut Ee et. al., (2006) komponen xantonin pada batang manggis yang

(38)

(2,6-dihydroxy-8-methoxy-5-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone) dan 6 jenis xantonin prenilat yaitu : α-mangostin, -mangostin,

garcinone D, 1,6-dihydroxy-3,7-dimethoxy-2-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone,

mangostanol dan

5,9-dihydroxy-8-methoxy-2,2-dimethyl-7-(3-methylbut-2-enyl)-2H,6H-pyrano-[3,2-b]-xanthene-6-one. Komponen xantonin juga terdapat pada

lateks batang manggis hingga 75% (Dharmaratne et. al., 2005). Ekstraksi

komponen xantonin dilakukan menggunakan heksan (Nilar e.t al., 2002).

Komponen-komponen fitokimia dalam batang manggis memiliki sifat

antibacterial, anti-inflammatory, antifungal, larvisida, antiviral, antioksidan dan

sejumlah aktifitas biologi lainnya (Dharmaratne et. al., 2005; Sundaram et. al.,

2002; Ee et. al., 2006; Perry, 2007). Senyawa α-mangostin telah diteliti bersifat

antimikroba, khususnya pada Enterococci and S. aureus, dengan nilai

konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration

(MIC) masing-masing 6,25 dan 12,5 microg/ml (Sakagami et. al., 2005; linuma et.

al., 1996). Pada Mycobacterium tuberculosis, α- and -mangostins memiliki nilai

konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration

(MIC) 6.25 μg/ml (Suksamrarn et. al., 2002). Beberapa xantonin yang diekstrak

dari manggis bersifat antifungal (Geetha et. al., 1997; Gopalakrishnan et. al.,

1997). Ekstrak komponen batang manggis juga telah diuji bersifat larvisida,

khususnya pada larva nyamuk Aedes aegypti (Ee et. al., 2006). Dalam beberapa

penelitian, komponen dalam manggis berupa mangostin dan xantonin bersifat

inhibitor terhadap beberapa jenis protein, enzim dan reaksi kimia lain

(Chairungsrilerd, 2002; Mahabusarakam et. al., 2002; Furukawa et. al., 2002;

Jinsart et. al., 2002). Dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan, batang manggis

digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai obat seperti diare,

disentri dan penyakit lainnya (Jayaweera, 1981; Quisumbing, 1978; Morton,

(39)

Gambar 11. Struktur Mangostin (Nilar e.t al., 2002)

α-mangostin R1 = H. R2 = CH3 -mangostin R1 = H. R2 = H -mangostin R1 = H. R2 = H

Tanaman manggis juga digunakan oleh sebagian petani aren untuk

mencegah kerusakan niranya, dengan memasukan kulit batang atau buah

manggis ke dalam larutan nira. Kulit batang manggis juga digunakan sebagai

antioksidan karena mengandung xantones (α dan y-mangostens) dengan

kemampuan yang lebih baik daripada antioksidan BHA dan α-tocopherol

(40)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri TIN Fateta IPB,

Laboratorium Teknologi Kimia TIN Fateta IPB dan Laboratorium Rekayasa

Bioproses PAU IPB. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai

bulan September 2006.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nira tebu

(Saccharum Officinarum), akar kawao (Millettia sp.) dari kawasan agropolitan leuwiliang, kulit batang manggis (Garcinia mangostana L.), kapur (CaO) dan bahan-bahan kimia untuk analisis.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pemeras tebu,

saringan, tangki berpengaduk dengan pengatur suhu, refraktometer, pH-meter,

spektrofotometer, HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) dan alat-alat gelas.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan percobaan. Tahap pertama

melakukan karakterisasi bahan yang akan digunakan dalam penelitian yaitu : nira

tebu dan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Tahap kedua

melakukan pengujian faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira

tebu, meliputi faktor suhu, pH, nisbah pengawet (akar kawao dan kulit batang

manggis) dan lama inkubasi dengan parameter pengamatan kadar sukrosa dan

gula pereduksi. Tahap ketiga melakukan pengukuran perubahan kualitas nira

tebu selama penyimpanan dengan parameter pengamatan kadar sukrosa, gula

pereduksi, total asam dan pH. Bagan tahapan penelitian selengkapnya disajikan

(41)

Mulai

Selesai

Penentuan Perubahan Kualitas Nira Tebu Selama Penyimpanan

Penentuan Pengaruh Faktor

Suhu, pH, Nisbah Pengawet, Lama inkubasi Karakterisasi Bahan

Nira Tebu, Akar Kawao, Kulit Batang Manggis

Gambar 12 Diagram alir tahapan penelitian

Prosedur Penelitian

Karakterisasi nira tebu dilakukan terhadap hasil ekstraksi batang tebu

menggunakan alat penggiling atau pemeras tebu sehingga diperoleh niranya.

Parameter yang diukur dari nira tebu tersebut meliputi kadar sukrosa, gula

pereduksi, total asam dan nilai pH. Kadar sukrosa dan gula pereduksi (glukosa

dan fruktosa) diukur menggunakan HPLC, total asam diukur dengan metoda

titrasi dengan NaOH 0,005N dan nilai pH diukur menggunakan alat pH-meter.

Karakterisasi akar kawao dan kulit batang manggis dilakukan dengan

membawa kedua jenis bahan tersebut ke tempat pengujian fitokimia bahan yaitu

di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Cimanggu, Bogor.

Pengukuran dilakukan secara kualitatif terhadap parameter komponen fitokimia,

yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan

glikosida. Standar pengukuran komponen fitokimia mengikuti standar yang

disepakati oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Pengujian pengaruh faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa pada

tahap kedua dari penelitian ini meliputi faktor suhu, pH, nisbah pengawet dan

lama inkubasi. Parameter yang diukur pada tahapan ini meliputi kadar sukrosa

dan gula pereduksi. Metoda pengukuran kadar sukrosa dilakukan menggunakan

metoda refraktometrik yaitu nira tebu hasil perlakuan diukur nilai brixnya

(42)

dikonversikan pada tabel hubungan brix dengan kadar sukrosa (Pancoast dan

Junk, 1980). Gula pereduksi diukur menggunakan metoda DNS, dimana nira

tebu direaksikan dengan pereduksi 3,5-dinitrosalicylate (3,5-DNS). Prinsip kerja

metoda DNS adalah, dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam

3,5-dinitrosalicylate (3,5-DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur

absorbansi pada panjang gelombang 540 nm menggunakan spektrofotometer

(Apriantono, et. al., 1989).

Pemilihan suhu yang digunakan pada penelitian ini untuk diuji

pengaruhnya terhadap degradasi sukrosa dalam nira tebu didasarkan pada studi

literatur tentang suhu optimal penghambatan aktivitas invertase. Invertase

memiliki aktivitas optimal pada suhu 600C (Mahbubur, et.al., 2004), sehingga suhu yang dipilih adalah suhu di bawah atau di atas 600C. Pada percobaan ini

dipilih suhu 65˚C, 75˚C dan 85˚C mengingat pada suhu tersebut aktivitas enzim

dan mikroorganisme menunjukan kecendrungan menurun.

Pemilihan pH juga didasarkan pada studi literatur dan kondisi proses

yang biasa dilakukan di industri gula. Aktivitas invertase optimal pada pH 7,2

(Mahbubur, et.al., 2004). Kondisi proses di pabrik gula rata-rata menggunakan pH di atas 7 karena adanya pemberian kapur pada nira mentah untuk

mengendapkan zat-zat pengotor bukan gula (Moerdokusumo, 1993). Dengan

kedua dasar di atas maka pH yang dipilih untuk percobaan ini adalah pH 7,5; 8,5

dan 9,5. Penggunaan pH yang terlalu tinggi juga tidak dikehendaki dalam proses

pengolahan nira karena dapat meningkatkan reaksi pencoklatan (browning) akibat degradasi lanjut gula pereduksi. Pada percobaan ini nira ditambahkan

kapur (CaO) untuk mengatur pH nira awal dan sebagai pengkondisian agar tidak

jauh berbeda dengan kondisi di pabrik gula.

Pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang biasa

digunakan petani gula aren di Jawa Barat yaitu akar kawao dan kulit batang

manggis. Pada percobaan ini kedua bahan tersebut digunakan secara

bersamaan dengan perbandingan tertentu yaitu 3:7, 5:5 dan 7:3 (g/g) (ekstrak

akar kawao : kulit batang manggis) dengan jumlah total bahan dalam nira tebu

adalah 2% (v/v). Ekstraksi ini dilakukan berdasarkan pengalaman empiris petani

dalam menggunakan akar kawao dan kulit batang manggis sebagai pengawet

nira aren.

Waktu reaksi ditentukan dengan percobaan menggunakan bahan

(43)

sebanyak 2% dari total larutan nira tebu pada suhu kamar dan pH 8,5.

berdasarkan percobaan pendahuluan, perubahan kadar sukrosa dan gula

pereduksi yang terpilih untuk pengujian pengaruh adalah selama selang waktu

50, 80 dan 110 menit

Pengujian perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan pada tahap

ketiga penelitian ini meliputi pengukuran parameter berupa kadar sukrosa, gula

pereduksi, total asam dan pH. Metode pengukuran masing-masing parameter

sama dengan tahap sebelumnya dengan lama inkubasi selama 240 menit dan

diuji lanjut hingga 48 jam. Metoda pengukuran kadar sukrosa dilakukan

menggunakan metoda refraktometrik yaitu nira tebu hasil perlakuan diukur nilai

brixnya menggunakan refraktometer kemudian hasil pembacaan brix tersebut

dikonversikan pada tabel hubungan brix dengan kadar sukrosa (Pancoast dan

Junk, 1980). Gula pereduksi diukur menggunakan metoda DNS, dimana nira

tebu direaksikan dengan pereduksi 3,5-dinitrosalicylate (3,5-DNS) dan diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm menggunakan spektofotometer.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan faktorial dua taraf (two level factorial design) dengan empat variabel proses, yaitu suhu reaksi (X1), pH (X2), nisbah pengawet (X3) dan lama inkubasi

(X4). Nilai tertinggi dan terendah dari variabel yang akan diuji pengaruhnya

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai rendah dan tinggi perlakuan

Jenis perlakuan Kode Nilai rendah (-) Nilai tinggi (+) Suhu (ºC)

Matriks satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju

degradasi sukrosa dalam nira tebu menggunakan rancangan Komposit

(44)

Tabel 5 Matriks satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan rancangan komposit fraksional berfaktor 2IV4-1

No.

Model rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh variabel proses

terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut :

4

Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj

i=1 i<j Keterangan:

Y : respon dari masing-masing perlakuan

ao, ai, aij : parameter regresi

xi : pengaruh linier variabel utama

(45)

Karakteristik Nira Tebu

Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu,

mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula

kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan

gula adalah aren, kelapa, lontar dan bit. Nira tebu diekstrak dari batang tebu

dengan usia panen 8-12 bulan. Pada masa yang kurang atau melebihi masa

panen, kadar sukrosa dalam tebu memiliki jumlah yang lebih rendah. Bagi

industri gula, pemanenan tebu dilakukan pada masa kadar sukrosa mencapai

jumlah tertinggi.

Selain kandungan sukrosa, nira tebu juga mengandung gula pereduksi

yaitu glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil invertasi sukrosa dengan

adanya enzim invertase. Jenis gula lain yang mungkin terdapat dalam nira tebu

adalah dekstran yang merupakan hasil hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim

dekstransukrase yang dihasilkan dari bakteri kontaminan. Selain komponen gula,

nira tebu juga mengandung komponen lain non gula seperti asam, protein, serat,

garam-garam organik dan lain-lain. Pada penelitian ini dilakukan karakteristik nira

tebu menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) pada

beberapa jenis gula, asam dan nilai pH seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakterisasi nira tebu

Komposisi Kimia Jumlah

Sukrosa (%)

Glukosa (%)

Fruktosa (%)

Dekstran (%)

Total asam (mleq)

Nilai pH

10,29

2,43

0,94

1.41

62,50

5,10

Kadar sukrosa dalam nira tebu yang diukur pada percobaan ini masih

agak rendah yaitu 10,29%. Menurut Moerdokusumo (1993), kadar sukrosa dalam

nira tebu untuk pengolahan menjadi gula mencapai 11 – 14%. Kadar sukrosa

tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis tebu, umur panen dan penanganan

(46)

gula pereduksi pada nira tebu yang diuji adalah 2,43% untuk glukosa dan 0,94%

untuk frukrosa. Gula pereduksi merupakan hasil degradasi sukrosa dalam nira

tebu melalui reaksi invertasi atau hidrolisis asam. Dalam reaksi invertasi,

perbandingan jumlah molekul glukosa dan fruktosa adalah sama, namun dalam

pengukurannya jumlah fruktosa tidak sama lagi dengan glukosa karena molekul

fruktosa bersifat lebih labil dan mudah terdegradasi lebih lanjut menjadi senyawa

yang lebih sederhana (Chaplin. 2004). Menurut Moerdokusumo (1993), kadar

gula pereduksi dalam nira tebu berkisar 0,5 – 2,0%. Dalam percobaan ini berarti

jumlah gula pereduksi yang diukur termasuk agak tinggi, hal itu dapat

disebabkan karena adanya kerusakan pada nira tebu, baik yang disebabkan oleh

enzim maupun mikroorganisme. Dalam pengolahan nira tebu menjadi gula,

keberadaan gula pereduksi tidak dikehendaki karena merupakan indikasi

degradasi sukrosa dan keberadaannya juga dapat menghalangi proses

kristalisasi sukrosa. Adanya mikroorganisme juga dapat diduga dengan adanya

senyawa dekstran dalam nira tebu. Pada percobaan ini nira tebu mengandung

1,41% dekstran. Dekstran merupakan senyawa gula hasil hidrolisis sukrosa

dengan adanya enzim dekstransukrase yang dihasilkan Leuconostoc

mesenteroides (Guglielmone, et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Adanya

dekstran juga dapat menghalangi kristalisasi sukrosa, sehingga keberadaan

senyawa tersebut tidak dikehendaki.

Karakterisasi nira tebu lainnya yang diukur pada percobaan ini adalah

nilai total asam. Pengukuran total asam untuk mengetahui kadar asam yang

sudah ada sejak pemanenan. Tingginya total asam yang dikandung nira tebu

sebelumnya juga dapat memicu reaksi degradasi sukrosa, dimana dalam kondisi

asam, walaupun tanpa keberadaan enzim invertase, sukrosa dapat terhidrolisis

(Chaplin. 2004). Dengan menggunakan metoda titrasi dengan NaOH 0,05N, total

asam yang dapat diukur pada nira tebu dalam percobaan ini mencapai 62,5

mleq. Keberadaan asam dalam nira tebu juga berkaitan dengan keberadaan

mikroorganisme yang mendegradasi gula pereduksi lebih lanjut. Mikroorganisme

yang mendegradasi sukrosa lebih lanjut dapat berupa Flavobacterium rigenes,

Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans, Candida pulcherrima,

Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum, Bactobacillus arabinosus dan

Saccharomyces lactis (Legaz, et. a/., 2000). Reaksi degradasi sukrosa hingga

menghasilkan asam adalah sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar

Gambar 1  Tanaman tebu (Saccharum officinarum)
Tabel 1  Komposisi kimia nira tebu
Gambar 2  Struktur molekul sukrosa
Gambar 3  Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan agar mengetahui sifat gelatin hasil ekstraksi dari ikan patin yang dibandingkan dengan gelatin ikan komersil sehingga dapat dijadikan sebagai bahan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan teori keagenan yang diungkapkan oleh Lopes dan Rodrigues (2007) dalam Oliviera et al., (2011) yang

Pada proses ini sistem akan menghitung sesuai dengan metode yang telah ditetapkan yaitu TOPSIS dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh pihak penyelenggara beasiswa,

Berdasarkan hasil uji bivariat menunjukkan bahwa dengan persepsi suami tentang keluarga berencana dengan sikap keikutsertaan suami dalam kontrasepsi pria di

Prosedur untuk mencocokkan fakta berdasarkan gejala dengan aturan tentang penggunaan variabel yang dapat mempengaruhi hasil penelusuran penyakit yang diderita (

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Pada hari ini, Rabu tanggal Dua Puluh Lima bulan Juli tahun Dua Ribu Dua Belas, bertempat di Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional VIII Banjarmasin, Panitia

1 Metoda Pelaksanaan Pekerjaan yang ditawarkan menggambarkan penguasaan dalam penyelesaian pekerjaan Memenuhi syarat 2 Jadwal waktu pelaksanaan pekerjaan yang ditawarkan tidak