• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar Konsep Tampak Rumah Hemat Energi Tingkat Tertinggi

13

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global dan peningkatan emisi karbon ke atmosfer bukanlah hanya sekedar isu, melainkan sudah benar-benar terjadi. Perubahan iklim secara ekstrem dan degradasi kualitas lingkungan disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, salah satunya berupa ruang hunian atau rumah tinggal.

Sebagai negara yang seluruh wilayahnya berada di kawasan ekuator, secara umum beriklim tropis basah menjadikan Indonesia berada di posisi yang menguntungkan namun dapat pula merugikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban serta karakteristik angin yang berbeda dengan kawasan lain seperti arah angin yang sering berubah- ubah, sering terjadi turbulensi dan kecepatan rata-ratanya relatif rendah. Apabila kondisi tersebut tidak disikapi dengan baik maka akan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas khususnya di dalam unit lanskap rumah tinggalnya sehingga dibutuhkan strategi desain yang tanggap terhadap iklim.

Desain bangunan dan tata lanskap khususnya pada rumah tinggal bertujuan menciptakan amenities bagi penghuninya. Amenities dicapai melalui kenyamanan fisik, baik itu kenyamanan ruang (spatial comfort), kenyamanan

termis (thermal comfort), kenyamanan suara (auditory comfort), maupun

pencahayaan (visual comfort). Namun, akibat dari proses konstruksi bangunan maupun saat bangunan dimanfaatkan, dapat menyebabkan berbagai dampak negatif pada lingkungan hidup di tempat dan sekitar bangunan tersebut. Hal tersebut dikarenakan secara fitrah manusia pun merupakan sumber polutan

akibat aktivitas pernafasan yang menghasilkan CO2 ditambah tindakan-tindakan

yang tidak berorientasi pada aspek lingkungan yang sehat, ramah lingkungan dan hemat energi.

Produk bangunan memberi kontribusi pada pemanasan global karena menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas karbon, metana maupun jenis gas tertentu lainnya. Besaran emisi CO2 yang ditimbulkan dari energi

akibat aktivitas rumah tangga yang akan tergantung dari budaya masing-masing individu dan kelompok masyarakat tertentu. Aktivitas rumah dalam rumah tangga secara kumulatif berakibat pada besaran emisi CO2. Terlebih lagi,

penghuni yang cenderung tidak hemat terhadap pemakaian energi. Salah satu contohnya dalam mencapai kenyamanan termis digunakan mesin pengkondisian

udara mekanis (AC) yang menurut Prianto (2007) mengkonsumsi 38% energi

listrik dalam rumah tinggal sekaligus penghasil emisi karbon yang terbuang ke atmosfer. Penjelasan tersebut sesuai dengan pendapat Conran (2009) jika dikatakan bahwa salah satu sumber polutan terbesar berasal dari rumah tinggal.

Data dari KEMENLH (2009) menunjukkan, dibandingkan dengan sumber lainnya, sektor energi merupakan penyumbang terbesar gas rumah kaca (GRK) khususnya CO2. Konsumsi energi dapat dibagi atas 4 sektor pengguna yaitu

transportasi, industri, komersial, dan rumah tangga. Menurut jenis bahan bakar yang digunakan, pada tahun 2007 biomassa paling banyak digunakan oleh rumah tangga yaitu sekitar 79%, dan pada urutan berikutnya adalah minyak tanah dan LPG masing-masing sebesar 17% dan 3%. Dibandingkan dengan tahun 2006, konsumsi minyak tanah cenderung menurun dan konsumsi gas atau LPG cenderung meningkat. Emisi CO2 yang dihasilkan dari konsumsi energi

sektor rumah tangga ini diperkirakan rata-rata mencapai 178 juta ton per tahun dan kontribusi terbesar berasal dari penggunaan biomassa. Berdasarkan wilayah kepulauan, maka rumah tangga di Pulau Jawa memberikan kontribusi

terbesar emisi CO2 yang bersumber dari penggunaan energi yaitu lebih dari 100

juta ton per tahun.

Pemborosan energi juga disebabkan oleh desain bangunan dan tata lanskap yang tidak terintegrasi dengan baik bahkan salah dan tidak tanggap terhadap aspek fungsi, iklim tropis basah Indonesia, dan lanskapnya. Hal tersebut diperparah kecenderungan para perancang yang lebih mementingkan aspek estetis (tren yang berlaku). Isu-isu konsep hijau dari sektor perumahan sebagai respon untuk menanggulangi pemanasan global sudah tidak asing di Indonesia, walaupun penerapannya masih belum dapat ditemukan secara signifikan. Konsep hijau yang ditawarkan oleh pengembang perumahan seringkali hanya sebagai trik pemasaran belaka dan tidak diwujudkan serta ditumbuhkan tanggung jawab para penghuni untuk menjaganya. Akibat minimnya pemahaman mengenai konsep hijau tersebut, para pengembang perumahan cenderung lebih banyak menawarkan lingkungan perumahan yang asri dan hijau, bukan konsep hijau yang sebenarnya. Ditambah lagi, pangsa pasar konsep hunian hijau yang dituju dan umum berlaku saat ini di Indonesia adalah kelas rumah tinggal dan atau perumahan menengah atas.

3

Indonesia Property Watch (IPW) pernah melakukan riset dan menemukan bahwa konsep properti hijau belum diterapkan secara penuh oleh pengembang. Dari penelitian tersebut, hanya enam proyek perumahan di Jabodetabek yang sudah memenuhi sekitar 50 % dari delapan kriteria hunian hijau versi lembaga tersebut. Tiga proyek lain mencapai 38 %, dan sisanya hanya memenuhi sekitar 25 % dari seluruh kriteria yang ditetapkan. Rendahya penerapan hunian hijau tersebut, menurut pengamat lingkungan Nirwono Joga, karena tidak adanya dukungan regulasi yang mewajibkan pengembang dalam penerapan hunian hijau tersebut. Delapan kriteria hunian hijau menurut IPW, yaitu: resapan air, ruang terbuka hijau, lanskap, energi, sanitasi, alam, material, dan proses daur ulang limbah. Menurut IPW, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi pengembang dalam pengembangan properti hijau, salah satunya mengenai biaya yang tinggi (Anonim 2010c).

Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Karyono (2010), yang

menyatakan lemahnya pengetahuan aspek ‘kenyamanan’ baik termal maupun

visual dalam rancangan bangunan umumnya didasari oleh anggapan bahwa

membuat bangunan ‘nyaman’ diperlukan biaya ekstra. Demikian pula untuk

merancang bangunan berkelanjutan (sustainable) dianggap menaikkan biaya

investasi awal. Pada kenyataannya hal tersebut tidaklah demikian. Dengan biaya awal yang sama dapat dirancang bangunan, khususnya rumah tinggal yang nyaman, hemat energi, serta berkelanjutan, jika arsitek menguasai strategi perancangan tersebut. Di tambah lagi, rumah tinggal tidak hanya sebagai penaung secara fisik unit masyarakat terkecil yakni sebuah keluarga yang potensial sebagai sarana penerapan pendidikan berkehidupan, dalam hal ini berperilaku ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kajian lebih lanjut terkait dengan kajian konsep desain taman dan rumah tinggal hemat

energi sebagai bagian dari konsep sustainable development.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian mengenai Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi ini bersifat penelitian mendasar (riset fundamental) untuk merumuskan kembali secara umum konsep desain taman dan rumah tinggal

hemat energi tropis basah Indonesia. Objek penelitian difokuskan pada objek

unit rumah tinggal sederhana tipe rumah deret (row house) yang umum

dengan luasan lahan seluas ± 120 m2 dengan asumsi profil pengguna merupakan keluarga menengah dari tingkat usia serta pendapatan dan jumlah penghuni empat orang.

Kajian ini menggunakan strategi desain pasif (passive design strategy)

(Kibert 2008) dan bersifat konsepsi desain secara hipotetik. Asumsi tema hemat energi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep desain hijau dalam naungan desain berkelanjutan dengan menerapkan sikap dan perilaku bijak dalam memanfaatkan dan mengelola potensi sumberdaya dalam unit lanskap rumah tinggal seperti sumberdaya listrik, material, iklim, vegetasi, air, dan tanah guna meminimalisir penggunaan sumberdaya eksternal (sumberdaya berbahan bakar fosil).

Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Mengkaji komponen taman dan rumah tinggal serta gubahannya yang dapat mendukung konsep hemat energi.

2. Mengkonsepsikan desain taman dan rumah tinggal hemat energi.

Manfaat Penelitian

Hasil dari Kajian Konsep Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:

1. Membantu menyediakan konsep rumah tinggal yang nyaman dengan konsumsi energi yang rendah.

2. Membantu program pemerintah dalam upaya-upaya penghematan energi baik secara nasional, regional maupun global melalui penyediaan rumah tinggal hemat energi.

Kerangka Pikir Penelitian

Secara umum kerangka pemikiran dalam penelitian ini diawali oleh pemikiran bagaimana pengaruh lanskap terhadap penghematan energi pada unit lanskap rumah tinggal. Dasar pemikiran tersebut menjadi titik tolak dalam melakukan upaya identifikasi komponen lanskap taman dan rumah tinggal yang berpengaruh terhadap penghematan energi menggunakan pendekatan strategi desain pasif seperti yang tertuang dalam penjelasan pada subbab Ruang

5

Lingkup dan Batasan Penelitian sebelumnya. Melalui langkah tersebut dapat dimunculkan kriteria desain taman dan rumah tinggal hemat energi sebagai bahan penyusunan atau formulasi konsep desain taman dan rumah tinggal

hemat energi. Main frame sederhana sebagai gagasan kerangka pikir guna

mencapai tujuan penelitian diatas tersaji pada Gambar 1 dibawah ini tentang skema kerangka pikir penelitian.

Identifikasi Pendekataan Konsep Desain Berkelanjutan

Embargo minyak 1973 merupakan suatu momen kebangkitan kesadaran energi dimana eskalasi harga minyak bumi yang membubung menimbulkan

dampak krisis energi pada negara negara maju yang energy dependent. Seluruh

potensi riset dan pengembangan dikerahkan untuk mengatasi krisis tersebut yang tentunya juga termasuk sektor bangunan gedung maupun perumahan. Dekade 1980-1990, terjadi pengungkapan ilmiah tentang fenomena kerusakan pada planet bumi dan atmosfer yang secara umum kita kenal dengan istilah pemanasan global (Priatman 2002). Krisis lingkungan dan energi ini memicu gerakan positif pada pembangunan yang lebih ramah atau berwawasan terhadap lingkungan meliputi sektor desain arsitektur dan lanskap.

Konsep tersebut dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Menurut World Commision and Environment and Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), sustainable development adalah “…..the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs”.

Pernyataan tersebut bertujuan, agar sebuah desain berkelanjutan dapat

menimimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi dan ekologi. Karena setiap langkah kita akan berdampak pada generasi masa depan.

Prinsip konstruksi atau pembangunan berkelanjutan menurut Kibert (2008), yaitu:

1. Mengurangi konsumsi sumberdaya (reduce)

2. Menggunakan kembali sumberdaya (reuse)

3. Menggunakan sumberdaya yang dapat didaurulang/diperbaharui (recycle)

4. Melindungi alam (nature)

5. Menghilangkan racun (toxics)

6. Mengaplikasikan biaya daur hidup (economics)

7. Fokus terhadap kualitas (quality)

Desain berkelanjutan sangat menekankan terhadap meminimalisir dampak lingkungan yang sangat erat terkait dengan kondisi ekologis, sedangkan kondisi ekologis dalam hal ini erat kaitannya dengan lanskap. Pernyataan diatas

6

menjelaskan bahwa lanskap merupakan suatu strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep desain berkelanjutan (Pranoto 2008).

Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiran- pemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable design) dan desain hijau (green design), dlladalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap (Kibert 2008).

Desain Sadar Sumber Daya (Resource-Concious Design)

Isu mengenai desain yang sadar akan sumber daya menjadi pondasi dasar dari pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah minimalisasi konsumsi sumber daya dan dampak terhadap sistem ekologi serta sinergi antar peran dan potensi ekosistem. Seperti contohnya pada pemilihan material untuk pembangunan berkelanjutan,

diupayakan menggunakan lingkaran material tertutup (closed loop) yang

bertujuan untuk menghilangkan emisi padat, cair, dan gas. Lingkaran material tertutup menggambarkan sebuah proses penggunaan material agar tetap produktif melalui jalan pemakaian ulang (reuse) maupun di daur ulang (recycle)

daripada hanya langsung membuang material tersebut menjadi limbah. Daur hidup material berkelanjutan mudah dirakit kembali, dan bahan penyusunnya mampu dan layak didaur ulang dengan tidak menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Sebagai bagian dari sistem yang dianut oleh sistem bangunan hijau, produk yang diproduksi dievaluasi dampak dari daur hidupnya, termasuk konsumsi energi dan emisi selama ekstraksi sumberdaya, transportasi, produksi, instalasi selama konstruksi, dampak operasional, dan efek jika material tersebut menjadi sampah buangan (disposal effect) (Kibert 2008).

Sumber Daya Lahan

Penggunaan lahan yang berkelanjutan didasarkan pada prinsip bahwa lahan, khususnya lahan yang belum dikembangkan, alami, atau lahan pertanian, adalah sumber daya terbatas yang berharga, dan perkembangannya harus diminimalkan. Perencanaan yang efektif, secara esensi adalah untuk menciptakan bentuk-bentuk perkotaan yang efisien dan meminimalkan kota yang

semrawut (urban sprawl), menurunkan ketergantungan pada penggunaan mobil

pribadi sebagai alat transportasi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan menurunkan tingkat polusi. Seperti sumber daya lain, lahan tetap mengalami proses daur ulang agar tetap terjaga produktivitasnya, sehingga diperlukan upaya konservasi lahan produktif, revitalisasi secara ekonomi dan sosial pada area yang terbengkalai (Kibert 2008).

Energi dan Atmosfir

Konservasi energi terbaik adalah melalui desain bangunan yang efektif serta terintegrasi dengan tiga pendekatan umum: 1) merancang selubung bangunan yang dapat meredam perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi; 2) menggunakan sumber daya energi terbarukan; 3) menerapkan desain pasif. Desain pasif memanfaatkan geometri, orientasi, dan massa bangunan serta kondisi struktur berorientasi pada potensi sumber daya alamiah dan kondisi klimatologi, seperti matahari, angin, topografi, iklim mikro, dan lanskaping (Kibert 2008).

Isu Air

Ketersediaan air bersih layak minum adalah faktor pembatas untuk pengembangan dan pembangunan di banyak daerah di dunia. Perubahan iklim dan pola cuaca yang tak menentu dipicu oleh pemanasan global mengancam ketersediaan sumber daya air bersih. Karena hanya sebagian kecil dari siklus hidrologi bumi menghasilkan air bersih layak minum, sehingga perlu perlindungan tanah dan air permukaan. Sekali air terkontaminasi, sangat sulit, untuk memperbaiki kerusakan. Teknik konservasi air meliputi penggunaan aliran rendah perlengkapan pipa, daur ulang air, pemanenan air hujan, dan

xeriscaping, metode lanskap yang memanfaatkan tanaman yang tahan kekeringan. Pendekatan inovatif untuk pengolahan air limbah dan manajemen banjir dalam siklus hidrologi bangunan (Kibert 2008).

8

Ekosistem: Sumber Daya yang Terlupakan

Pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan peran dan potensi ekosistem secara sinergi. Integrasi ekosistem dengan lingkungan yang dibangun dapat memainkan peran penting dalam desain yang sadar sumber daya. Integrasi tersebut dapat bermanfaat dalam mengendalikan beban bangunan eksternal, pengolahan limbah, menyerap air hujan, menanam tanaman (pangan), menciptakan keindahan alam, dan kenyamanan lingkungan (Kibert 2008).

Implementasi Desain Berkelanjutan

Kesadaran akan kerusakan lingkungan akibat perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan yang tidak dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan faktor lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam, menyebabkan muncul langkah-langkah maju yaitu gerakan-gerakan arsitektur berkelajutan yang mengarah kepada upaya meminimalkan perusakan lingkungan.

Arsitektur Bioklimatik (Bioclimatic Architecture/Low Energy Architecture)

Arsitektur yang berlandaskan pada pendekatan desain pasif dan minimum energi dengan memanfaatkan energi alam iklim setempat untuk menciptakan kondisi kenyamanan bagi penghuninya. Dicapai dengan organisasi morfologi bangunan dengan metode pasif antara lain konfigurasi bentuk massa

bangunan dan perencanaan tapak, orientasi bangunan, desain façade, peralatan

pembayangan, instrumen penerangan alam, warna selubung bangunan, lansekap horisontal dan vertikal, ventilasi alamiah. Tercatat para arsitek pelopor desain bioklimatik antara lain Ken Yeang, Norman Foster, Renzo Piano, Thomas Herzog, Donald Watson, Jeffry Cook (Priatman 2002).

Arsitektur Hemat Energi (Energy-Efficient Architecture)

Arsitektur yang berlandaskan pada pemikiran “meminimalkan penggunaan energi tanpa membatasi atau merubah fungsi bangunan,

kenyamanan maupun produktivitas penghuninya“ dengan memanfaatkan sains

dan teknologi mutakhir secara aktif. Mengoptimasikan sistem tata udara-tata cahaya, integrasi antara sistem tata udara buatan-alamiah, sistem tata cahaya buatan-alamiah serta sinergi antara metode pasif dan aktif dengan material dan

follows energy yang berdasarkan pada prinsip konservasi energi (non-renewable resources). Para pelopor arsitektur ini tercatat Norman Foster, Jean Nouvel, Ingenhoven Overdiek & partners (Priatman 2002).

Arsitektur Surya (Solar Architecture)

Arsitektur yang memanfaatkan energi surya baik secara langsung (radiasi cahaya dan termal), maupun secara tidak langsung (energi angin) kedalam bangunan. Dengan demikian, elemen-elemen ruang arsitektur (lantai, dinding, atap) secara integratif berfungsi sebagai sistem surya aktif ataupun sistem surya pasif. Diawali dengan arsitektur surya pasif yang memanfaatkan atap dan dinding sebagai kolektor panas dan dikembangkan dengan sistem surya aktif

yang meng implementasikan keseluruhan sistem surya termosiphoning dan

berintegrasi penuh dengan keseluruhan elemen arsitektur. Inovasi teknologi lanjutan dalam sel photovoltaik menghasilkan prototipe arsitektur baru yang spesifik.

Perkembangan arsitektur surya di USA dipresentasikan dengan Skytherm

System of Harold Hay, Steve Baer’s Zome House dan dilanjutkan di Eropa dengan Hysolar Institute Stutgart di Jerman, Achen power utilities dan Flachglas AG headquarter merupakan demonstrasi panel photovoltaik sebagai fasad bangunan tinggi. Arsitektur surya ini bertitik tolak dari prinsip diversifikasi energi

yang mengeksplorasi sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable energy)

(Priatman 2002).

Arsitektur Ekologis (Eco-Architecture)

Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara lain: Yeang (2006), mendefinisikannya sebagai: Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design. “Desain ekologis, adalah desain bioklimatik, merancang bersama lokalitas iklim

dan desain rendah energi.” Yeang, menekankan pada: integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan;

10

yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistem-sistem dengan proses alam, meliputi: cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistem pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Ketiga adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

Desain ekologis menurut Van Der Ryn dan Cowan (1996) dalam Kibert (2008) desain yang terintegrasi dengan proses kehidupan, mengubah materi dan energi menggunakan proses yang kompatibel dan sinergis dengan alam dan yang dimodelkan pada sistem alam. Pendekatan ini dilakukan melalui menimalisir energi dan material (local aspect), meminimalisir polutan, preservasi habitat dan kesejahteraan masyarakat, kesehatan dan keindahan.

Arsitektur Hijau (Green Architecture)

Arsitektur hijau merupakan Arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan

penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan

(sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach). Bertitik tolak dari pemikiran desain ekologi yang menekankan pada saling ketergantungan

(interdependencies) dan keterkaitan (inter connectedness) antara semua sistem (artifisial maupun natural) dengan lingkungan lokalnya dan biosfer. Credo form follows energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure (Priatman 2002). Arsitektur hijau merupakan konsekuensi dari konsep arsitektur berkelanjutan. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, dimana manusia hidup.

Prinsip-prinsip dasar perancangan berkelanjutan dapat di formulasikan dalam matriks berikut.

Tabel 1. Prinsip pendekatan desain berkelanjutan

Parameter Desain Arsitektur

Prinsip Dasar Perancangan Arsitektur Bio

klimatik*

Hemat energi*

Surya* Hijau* Ekologis** Lain-lain*

Konfigurasi bangunan Dipengaru hi iklim Dipengaru hi iklim Dipengaru hi matahari Dipengaruhi lingkungan Dipengaru hi lingku ngan & ekosistem Pengaruh lainnya Orientasi bangunan

Krusial Krusial Sangat

Krusial

Krusial Krusial Relatif

tidak penting Façade bangunan Responsif iklim Responsif iklim Responsif matahari Responsif lingkungan Responsif lingku ngan & ekosistem Pengaruh lainnya Sumber energi Natural Non- renewable Natural Non- renewable Pembang kit renewable Natural+ Pembangkit, Renewable & Non- renewable Natural Pembang kit, Non- renew able Energy cost Krusial Krusial Krusial Krusial Krusial Tidak

penting Sistem

operasional

Pasif-mix Aktif-mix Produktif Pasif+ Aktif+ mix+Produk tif Pasif Pasif-Aktif Tingkat kenyama nan

Variabel Konsisten Konsisten Variabel Konsisten Variabel konsisten Konsisten Konsumsi energi

Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi

medium Sumber material Tidak penting Tidak penting Tidak penting Minimum dampak lingkungan Organik- Natural Tidak penting Material output Tidak penting Tidak penting Tidak penting Reuse- Recycle- Reconfigure Simbiosis lingku ngan Tidak penting Ekologi tapak

Penting Penting Penting Krusial Krusial Tidak

penting

Sumber : *Yeang (1999) dalam Priatman (2002)

**Yeang (2006) dan Yeang (1995) dalam Kibert (2008)

Strategi Konsep Desain Hijau

Dalam menindaklanjuti sebuah rancangan arsitektur akan diperlukan strategi-strategi dalam implementasinya. Di dunia arsitektur sadar energi, strategi desain yang umum digunakan adalah strategi desain pasif yang akan

12

diadopsi untuk desain taman dan rumah tinggal hemat energi dalam penelitian ini dan atau strategi desain aktif.

Strategi Desain Pasif (Passive Design Strategy). Karena kompleksitas sistem energi dalam merancang sebuah bangunan dengan konsep hijau, titik awal harus menjadi pertimbangan adalah strategi desain pasif. Desain pasif adalah desain bangunan dengan sistem pendinginan, pencahayaan dan ventilasi, mengandalkan sinar matahari, angin, vegetasi, dan sumber daya alami lain pada tapak (Kibert 2008). Desain pasif merupakan tindakan mengoptimumkan penggunaan energi alam (matahari dan angin) sebagai antisipasi terhadap permasalahan iklim tanpa adanya konversi energi dalam bentuk lain, misalnya energi matahari menjadi energi listrik. Pada sistem operasional bangunan dengan strategi desain pasif ini, tingkat konsumsi energi nya paling rendah, tanpa ataupun minimal penggunaan peralatan ME (mekanikal

elektrikal) dari sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable

resources).

Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya.

Desain pasif memiliki dua aspek utama: (1) penggunaan lokasi bangunan

Dokumen terkait