• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

4.1. Kejadian Kemiskinan di DKI Jakarta

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi titik perhatian masyarakat dunia khususnya negara-negara dunia ketiga. Di Indonesia, permasalahan kemiskinan lebih banyak ditemui di daerah perdesaan, namun di daerah perkotaan pun permasalahan ini menjadi salah satu isu pokok khususnya di DKI Jakarta.

Secara umum kemiskinan diGambarkan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk hidup yang memadai. Hidup yang memadai ini sangat tergantung pada ruang dan waktu. Lokasi dan waktu sangat mempengaruhi pada penetapan batas garis kemiskinan, oleh karena itu garis kemiskinan akan selalu berubah tiap waktu dan berbeda untuk tiap lokasi. Ada dua cara utama untuk membuat garis kemiskinan yaitu cara absolut dan relatif.

Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan menggunakan berapa besar uang yang harus dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan makanan dan non makanan agar tetap hidup. Bank Dunia menyatakan bahwa di negara- negara sedang berkembang lebih relevan untuk menggunakan garis kemiskinan absolut dari pada garis kemiskinan relatif (Couduel et al, 2001).

Gambar 4.1 Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Tahun 2000-2004

4.96 2.95 3.42 3.42 3.18 2 3 4 5 6 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun % % penduduk miskin

37

Selama lima tahun terakhir angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup berfluktuasi, dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan masih tinggi yaitu hampir mencapai lima persen. Dampak krisis ekonomi yang sangat terasakan bagi masyarakat miskin perkotaan menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di perkotaan. Berbagai program dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan akibat krisis ekonomi ini diantaranya adalah dengan menggunakan dana bantuan Bank Dunia yaitu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Khusus PDMDKE, program ini terbagi menjadi tiga kegiatan; pembangunan fisik, bantuan sosial, dan pemberian kredit usaha mikro kepada masyarakat miskin. Sesuai instruksi pemerintah, kegiatan fisik dan sosial menghabiskan 40 persen dari total dana yang diterima setiap kelurahan. Sedangkan 60 persen lagi digunakan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dengan memberikan modal usaha kepada korban pemutusan hubungan kerja (PHK), keluarga prasejahtera yang ingin berusaha1. Di samping itu dilaksanakan pula Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaab (P2KP). Program ini mempunyai cara pelaksanaan yang sama dengan PDMDKE yaitu pemberian dana bagi kelurahan dengan alokasi dana 60 persen untuk dana bergulir, 20 persen untuk fisik lingkungan dan 20 persen untuk bina sosial. Nampaknya program tersebut telah dapat menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2001 menjadi 2,95 persen. Namun pada tahun 2002 angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, peningkatan ini direspon ole h Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Program kerja dari komite ini nampaknya belum dapat menurunkan angka kemiskinan namun dapat menahan peningkatan angka kemiskinan di DKI Jakarta sehingga angka kemiskinan pada 2003 tetap 3,42 persen. Pada tahun 2004 kerja Komite Penanggulangan Kemiskinan diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Diduga strategi yang dicanangkan ini memberikan dampak terhadap penurunan angka di DKI Jakarta pada tahun 2004 menjadi 3,18 persen.

Angka kemiskinan ini terkait penetapan batas garis kemiskinan absolut, selama 3 tahun terakhir di DKI Jakarta batas ini mengalami peningkatan yang

cukup nyata yaitu dari 160.748 per kapita per bulan pada tahun 2002 menjadi 197.306 per kapita per bulan pada tahun 2004. Peningkatan ini tidak terlepas dari tingkat inflasi yang terjadi di DKI Jakarta yaitu 5,78 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,87 persen pada tahun 2004. Harga-harga yang meningkat menyebabkan rumahtangga harus menambah pengeluarannya agar kehidupan yang memadai tetap dapat dinikmati. Batas garis kemiskinan yang meningkat pada periode 2002 – 2003 mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yaitu dari 288,9 ribu jiwa menjadi 294,1 ribu jiwa. Namun peningkatan garis kemiskinan pada tahun 2004 tidak diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk miskin bahkan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 277,1 ribu jiwa. Kondisi ini didukung oleh berbagai kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Perhatian Pemprop DKI Jakarta terhadap penanggulangan kemiskinan adalah dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan. Selain itu juga dibuat suatu strategi penanggungalang kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 1791/20004.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di DKI Jakarta, 2002- 2004 2002 2003 2004 Kabupaten/ Kota penduduk miskin (000) GK (Rp/kap/bln) penduduk miskin (000) GK (Rp/kap/bln) penduduk miskin (000) GK (Rp/kap/bln) Kep. Seribu - - 3,1 169.601 3,0 184.172 Jakarta Selatan 45,1 149.105 47,2 190.783 42,.5 234.886 Jakarta Timur 67,5 156.202 67,4 183.369 62,1 197.300 Jakarta Pusat 29,2 137.274 37,4 185.075 34,9 215.290 Jakarta Barat 77,2 162.748 64,3 188.110 62,6 193.289 Jakarta Utara 67,5 167.075 74,7 186.110 72,0 225.443 DKI Jakarta 288,9 160.748 294,1 186.525 277,1 197.306

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS. 2002-2004

Keberadaan rumahtangga miskin di perkotaan bersifat struktural dan sering diperburuk dengan dampak arus migrasi dan keterbatasan kapasitas ekonomi perkotaan (Irawan, 2003). Angka migrasi di DKI Jakarta selama 25 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4.2. Arus migrasi migrasi pada periode 1975-1980 cukup

39

tinggi, angka migrasi masuk dua kali lipat dari angka migrasi keluar. Periode lima tahun kemudian (1980-1985) angka migrasi masuk masih menunjukkan angka yang tinggi. Akhir 80-an angka migrasi masuk, walaupun tetap tinggi, lebih rendah dibandingkan dengan angka migrasi keluar sehingga migrasi neto di DKI Jakarta menunjukkan negatif. Kondisi demikian terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun migrasi neto telah menunjukkan angka negatif, namun demikian migrasi tetap menjadi salah permasalahan pokok terutama pendatang yang tidak dilengkapi dengan keterampilan yang memadai. Kesulitan mereka untuk mendapat pekerjaan yang layak menyebabkan mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lingkungan memadai sehingga mereka memilih tinggal di lokasi kumuh. Keadaan ini melanggengkan dan memperparah lokasi kumuh di DKI Jakarta. Lokasi kumuh yang menjadi kantong-kantong kemiskinan dikenal dengan nama kumis yaitu kumuh dan miskin.

Tabel 4.2 Angka Migrasi Risen Per 1.000 Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal 5 Tahun Sebelum Sensus/Survei di DKI Jakarta, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000 Migrasi Risen 1980 1) 1985 1) 1990 1) 1995 1) 2000 2) Masuk 115 99 99 65 91 Keluar 59 58 120 90 111 Neto 56 41 - 21 - 25 - 21 Sumber: Desiar (2003)

Kejadian kemiskinan di kawasan kumuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan tidak kumuh. Pada tahun 2004, angka kemiskinan di RW Kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak Kumuh yaitu 4,52 persen berbanding 2,48 persen (Tabel 4.3). Angka ini memberikan arti bahwa ada sekitar 4 - 5 penduduk di setiap 100 penduduk di RW kumuh mengalami kemiskinan, sedangkan di RW tidak kumuh hanya sekitar 2-3 penduduk di antara 100 penduduk. Pengukuran kemiskina n di kedua lokasi tersebut menggunakan garis kemiskinan yang sama.

Tabel 4.3 Angka Kemiskinan Kemiskinan di DKI Jakarta Menurut Lokasi Tempat Tinggal, 2004

Lokasi tempat tinggal Katagori

kemiskinan RW tidak Kumuh RW Kumuh Total

Tidak miskin 97.52 95.48 96.86

Miskin 2.48 4.52 3.14

100.00 100.00 100.00

Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu

Permukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. UN habitat menyebutkan bahwa salah satu penyebab keberadaan kawasan kumuh di perkotaan adalah tingginya tingkat kemiskinan. Hasil penelitian Komunitas Permukiman Miskin di DKI Jakarta tahun 2002 menunjukkan bahwa di 3 kelurahan yang diteliti dengan jumlah sampel 60 orang sekitar 45 persen di antaranya mempunyai pendapatan hanya 7,5 juta per tahun. Dengan sumberdaya ekonomi yang terbatas mereka tidak mampu untuk bertempat tinggal di lokasi yang layak. Harga rumah ataupun harga sewa rumah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya. Apabila dilihat distribusi dari penduduk miskin berdasarkan lokasi tempat tinggal maka 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh, hal ini wajar karena kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlalu luas.

Tabel 4.4 Distribusi Persetase Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumahtangga (KRT) Dan Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004

Lokasi Tempat Tinggal Jenis Pekerjaan RW tidak Kumuh RW Kumuh Total

Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi 4.62 2.42 3.85

Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan 4.33 1.41 3.31

Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi 11.53 9.03 10.66

Tng Ush Penjualan 21.43 23.22 22.05

Tng Ush Jasa 11.32 11.94 11.54

Tng Produksi, operator & pkrj ksr 27.16 35.90 30.22

Lainnya 19.61 16.08 18.37

Total 100.00 100.00 100.00

41

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh KRT di permukiman kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana persentase KRT yang bekerja sebagai tenaga produk si , operator dan pekerja kasar mempunyai persentase yang tinggi di lokasi RW kumuh yaitu 36 persen. Jenis pekerjaan yang termasuk dalam katagori tenaga produksi, operator dan pekerja kasar antara lain adalah buruh pabrik, supir, dan tukang bangunan. Sedangkan persentase rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana cukup rendah yaitu 12 persen.

Gambar 4.2 Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004

Dari rata-rata upah yang diterima oleh KRT yang berstatus sebagai buruh di RW kumuh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh KRT di RW tidak kumuh hampir di semua jenis pekerjaan.