BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa Saat Datang
Pengamatan terhadap gambaran butir darah merah luak mulai dilakukan secara berkelanjutan dari awal ketika luak baru datang hingga pengambilan darah ke 4 dengan selang waktu pengambilan darah selama 1 minggu. Gambaran butir darah merah luak diamati dengan melihat preparat ulas darah merah dan menghitung jumlah butir darah merah luak.
4.1.1 Gambaran Preparat Ulas Darah Merah Luak Jawa
Hasil pengamatan preparat ulas darah luak Jawa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil ulas darah luak Jawa pada pengambilan darah ke 3, dengan perbesaran mikoskop 1000x. Tanda panah menunjukan bentuk
rouleaux.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa sel darah merah luak mirip dengan sel darah merah mamalia lainnya, yaitu berbentuk bikonkaf dan tidak memiliki inti sel. Sel darah merah mamalia tidak memiliki inti sel, sedangkan pada bangsa burung, ikan, reptil, dan amfibi memiliki inti sel (Guyton 1997). Sel darah mamalia jika dilihat dari atas terlihat bulat, akan tetapi akan terlihat bikonkaf ketika dilihat dari samping, sehingga bagian tengah akan terlihat lebih cerah
(Silverthorn 2006). Sel darah merah luak memiliki kemiripan stuktur dengan sel darah merah kuda dan kucing, yaitu membentuk susunan tumpukan uang logam atau disebut juga rouleaux. Fenomena tersebut dapat dilihat pada sebagian besar preparat ulas darah luak, dari 40 hasil preparat ulas darah 5 di antaranya tidak menunjukan fenomena rouleaux. Hal tersebut terjadi karena hasil ulas darah yang terlalu padat. Pada sediaan natif sel darah merah sering terlihat seperti tumpukan uang logam (Rouleaux) yang disebabkan adanya daya tarik permukaan sel (surface traction) (Hartono 1995). Fenomena bentukan rouleux pada sel darah merah dapat terjadi karena adanya daya tarik permukaan antar sel darah merah dan jumlah sel darah merah yang padat dalam suatu bidang pandang. Menurut Stain (2012), fenomena rouleaux merupakan suatu keadaan fisiologis dari ikatan protein plasma yang dapat ditemukan pada ulas darah kuda dan kucing. Rouleaux
terjadi akibat adanya ikatan anti bodi yang terdapat pada permukaan eritrosit satu sama lainnya sehingga membentuk tumpukan sel darah merah. Fenomena
rouleaux juga dimungkinkan terjadi akibat penyakit immune-mediated hemolytic anemia, dan juga cryoglobulinemia (jarang terjadi). Fenomena rouleaux pada kuda dan kucing dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Preparat natif sel darah kuda 500x (sebelah kiri) (Sumber : Stain 2012) dan kucing 1000x (sebelah kanan) (Sumber: Rinnie 2011). 4.1.2 Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa
Pada saat penghitungan jumlah BDM, pengencer yang digunakan adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%. Karena pada saat dilalukan pengenceran dengan menggunakan Hayem, ternyata sel darah merah tidak dapat terencerkan dengan
baik. NaCl fisiologis 0.9% dapat digunakan sebagai pengencer karena tidak merusak darah dan dianggap lebih dapat menguraikan tumpukan butir darah merah sehingga butir darah merah dapat diamati dengan baik. Kasus penggunaan pengencer NaCl fisiologis ini dilaporkan terkadang terjadi pada darah kucing dan domba. Nilai jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan jumlah butir darah merah ( x 106/mL) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi.
Jenis kelamin
Pengambilan Darah ke-
1 2 3 4
Jantan 11.69±1.92b 8.46±1.15a 9.63±1.81ab 8.81±2.16ab Betina 9.01±1.13a 7.81±1.42a 8.88±1.67a 8.40±2.40a
Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05).
- Data disajikan : rataan ± standar deviasi
Seperti yang terlihat pada Tabel 3, jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina memiliki pola fluktuasi yang hampir sama. pada pengambilan darah ke 1 jumlah BDM luak relatif tinggi, kemudian mengalami penurunan pada pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 jumlah BDM luak mulai naik sedangkan pada pengambilan darah ke 4 mengalami penuruanan jumlah BDM, namun jumlahnya masih dalam kisaran yang sama. Pada luak jantan terlihat penurunan secara draktis dan terlihat berbeda nyata pada pengambilan darah ke 1 menuju pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 dan ke 4 ternyata luak jantan menunjukan peningkatan jumlah butir darah merah sehingga kisarannya kembali sama dengan kisaran butir darah merah pada pengambilan darah ke 1. Pada pengambilan darah ke 1 terlihat jumlah BDM luak Jawa hampir sama dengan jumlah BDM luak dari Thailand. Pengambilan darah ke 1 dilakukan pada saat luak baru saja sampai di kandang penelitian. Jumlah BDM pada pengambilan darah tersebut dapat diduga sebagai keadaan darah luak pada saat di alam liar atau justru dalam keadaan stres karena proses penangkapan
seperti yang terlihat pada pola tingkah lakunya. Teknik penangkapan dan
imobilisasi atau handling hewan sangat mempengaruhi tingkat stres hewan (Mudappa dan Chellam 2001). Stres dilaporkan dapat meningkatkan jumlah butir darah merah karena adanya pelepasan epinefrine. Pada pengambilan darah yang ke 2 yaitu pada minggu ke 5 setelah luak dikandangkan dalam kandang penelitian, luak dinilai telah melalui proses adaptasi. Jumlah BDM pada pengambilan darah ke 2 tersebut mengalami penurunan, dari 8 ekor luak yang digunakan 7 ekor diantaranya mengalami penurunan jumlah BDM. Pada pengambilan darah ke 2 ini kemungkinan luak mulai dapat beradaptasi. Hal tersebut juga terlihat pada pengamatan visual bahwa pada minggu ke 5 luak sudah mulai merasa tenang ketika dilakukan pembersihan kandang dan pemberian pakan. Secara umum pengambilan darah ke 3 dan ke 4 jumlah BDM terlihat lebih stabil kemungkinan pada saat inilah luak sudah mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan barunya. Pada pengambilan darah ke 4 ternyata jumlah BDM mengalami penurunan namun masih dalam kisaran yang sama dengan pengambilan darah yang ke 3 sehingga jumlah darah merah yang diperoleh dapat dianggap sebagai jumlah BDM normal luak Jawa pada perawatan dalam kandang. Jumlah BDM tersebut sebanding dengan nilai rata-rata jumlah BDM keseluruhan luak. Jika dibandingkan dengan jumlah BDM luak yang berasal dari Thailand ternyata jumlah butir darah merah luak Jawa ini berada pada kisaran bawah dari kisaran jumlah BDM luak dari Thailand yaitu 10.1-16.5 x 106/mL (Salakij et al. 2007). Hal tersebut mungkin terjadi karena luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini masih muda. Jika dilihat dari bobot badan dan kondisi visual luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini, maka luak Jawa ini masih tergolong dalam umur yang masih muda atau menjelang dewasa sehingga jumlah butir darah merah yang diperoleh belum optimal. Keadaan tersebut dapat diangggap sebagai kondisi yang fisiologis. Menurut Shiroff (2002), luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm.
Jumlah BDM luak Jawa jantan terlihat lebih tinggi dari pada rata-rata jumlah BDM luak Jawa betina, namun keduanya masih dalam kisaran yang sama. Luak Jawa jantan memiliki kisaran jumlah BDM 7.64-11.76 x 106/mL, sedangkan
luak Jawa betina memiliki kisaran jumlah BDM 6.96-10.24 x 106/mL. Kisaran jumlah BDM luak Jawa tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan kisaran jumlah BDM anjing (5.5-8.5 x 106/mL) dan kucing (5.0-10.0 x 106/mL) (Rebar 2000).
Menurut Swenson (1997) jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epineprin, siklus estrus, ras, volume darah, waktu harian, lingkungan, dan ketinggian. Secara fisiologis peningkatan jumlah butir darah merah dapat diakibatkan pengaruh dari peningkatan jumlah pembuluh darah kecil pada jaringan yang sedang tumbuh seiring peningkatan bobot badan hewan (Lawrence dan Fowler 2002). Menurut Brown dan Dellmann (1992) pertambahan umur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah butir darah merah. Peningkatan jumlah butir darah merah memiliki pola yang sama dengan kadar hemoglobin dan hematokrit (Evans et al. 2006). Peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih dari kisaran normal disebut polisitemia. Polisitemia dipicu oleh eritropoiesis yang berlebihan. Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Peningkatan proses eritropoiesis dipicu oleh peningkatan hormon eritropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai kompensasi dari keadaan deoksigenasi jaringan. Menurut Rebar (2000) polisitemia terdiri dari polisitemia relatif dan absolut. Polisitemia relatif terjadi akibat dehidrasi pada hewan, sedangkan polisitemia absolut terjadi akibat adanya peningkatan produksi erithropoetin sebagai kompensasi dari berkurangnya suplai oksigen ke jaringan.
Penurunan jumlah BDM dan hematokrit yang menyebabkan terjadinya penurunan hemoglobin disebut anemia (Hoffbrand 2005). Anemia dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang memadai akibat dari kurangnya nutrien tertentu. Anemia juga disebabkan oleh hilangnya darah akibat pendarahan karena luka maupun investasi parasit (Aroon at al. 2009). Selain itu anemia juga disebabkan karena laju hemolisis sel darah merah lebih cepat dari pada pembentukan sel darah merah yang baru sehingga dilepaskan sel darah merah yang belum masak atau reticulosit dalam jumlah besar ( Frandson 1992).
4.2. Kadar Hemoglobin Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi