• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan untuk menempatkan Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja

sebagai sentra utama pengembangan kopi arabika pada kebijakan pewilayahan

komoditas di Sulawesi Selatan, sangat didukung oleh ketersediaan potensi

sumberdaya alam, manusia dan peranan tanaman komoditas itu sendiri dalam

perekonomian wilayah setempat.

Ditinjau dari sudut sumberdaya alam, kondisi lahan dan iklim di dua

kabupaten tersebut sangat menunjang untuk pengembangan tanaman kopi, baik

ditinjau dari persayaratan lahan maupun iklim. Sebagaimana diketahui, tanaman

kopi arabika menghendaki curah hujan minimum 1 300 mm/tahun, suhu udara

15 – 24o C, keasaman tanah pH 5.2 – 6.2 ketinggian tempat 500 – 1 800 m dpl

dan sifat fisik tanah yang memiliki penambatan air yang tinggi sebagai

persayatan agronomis. Kondisi ini secara umum dapat dipenuhi pada hampir

semua wilayah yang ada di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja.

Secara tradisional, petani di dua wilayah tersebut sudah sangat terbiasa

dengan komoditas tersebut karena tanaman kopi arabika sudah dikembangkan

sejak era penjajahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa tanaman ini sudah

dikenal secara turun temurun oleh sebagian besar petani setempat, sehingga

pengembangannya tidak memerlukan proses adopsi yang relatif rumit bagi

petani. Sedangkan peranan kopi arabika dalam perekonomian setempat cukup

dominan hampir sepanjang tahun. Secara rinci hal ini dapat dilihat lebih lanjut

pada uraian berikut ini.

5.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim

Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36” Lintang

Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan dengan kabupaten Sidrap, sebelah

timur dengan dengan kabupaten Luwu dan sebelah barat dengan kabupaten

Pinrang. Sedangkan kabupaten Tana Toraja secara geografis terletak antara 20-

30 Lintang Selatan dan 1190 -1200 Bujur Timur, di sebelah utara berbatasan

dengan Kabupaten Luwu dan Mamuju, sebelah selatan dengan kabupaten

Enrekang dan Pinrang, sebelah timur dengan dengan kabupaten Luwu dan

sebelah barat dengan kabupaten Polmas.

Luas wilayah kabupaten Enrekang dan Tator masing-masing adalah 1

786.01 km2 dan 3 205.77 km2 atau 2.86 persen dan 7.2 persen dari seluruh

wiIayah daerah Sulawesi Selatan. Secara administratif Kabupaten Enrekang

terdiri atas 8 kecamatan yang meliputi 105 desa sedangkan Tator terdiri atas 13

kecamatan yang meliputi 192 desa (BPS Makassar, 2001).

Kondisi iklim di dua wilayah ini dapat diketahui dari pola penyebaran

curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) yang cukup bervariasi. Hari hujan terendah

di Kabupaten Enrekang sebanyak 99 mm per tahun dan curah hujan sebanyak 4

383 mm per tahun. Curah hujan di Kabupaten Tator sebanyak 2 008 mm dan hari

hujan 2 207 mm per tahun.

Topografi kabupaten Enrekang bergelombang hingga bergunung dengan

kemiringan lereng bervariasi dari 0 sampai 2 persen, 2 sampai 15 persen, 15

sampai 40 persen dan di atas 40 persen. Berdasarkan peta kemiringan tanah,

maka Kabupaten Enrekang mempunyai kemiringan 40 persen ke atas

merupakan daerah yang terluas yaitu 75 980 Ha atau 42.51% dari luas wilayah

Kabupaten Enrekang disusul oleh kemiringan 15 sampai 50 persen seluas 75

801 Ha, 0 sampai 2 persen seluas 14 073 ha; dan kemiringan 2 sampai 15

persen seluas 12 788 Ha. Kabupaten Enrekang memiliki jenis tanah Alluvial,

Hidromorf, Mediteran Coklat, Mediteran Coklat Kelabu, Podsolik Merah

wilayah kecamatan Enrekang, untuk jenis tanah Alluvial dan Mediteran hanya

berada di kecamatan Maiwa, Enrekang, Anggeraja dan Anggeraja Timur.

sedangkan jenis tanah untuk wilayah kecamatan Enrekang adalah Brown Forest.

Kondisi topografi ini telah mengakibatkan perbedaan tinggi tempat sangat

bervariasi. Ketinggian tempat dari muka laut yang terluas adalah 47 meter

sampai 500 meter dari permukaan laut seluas 60 725 Ha. Penyebaran ketinggian

tempat makin ke arah utara kabupaten semakin tinggi dari permukaan laut.

Sedangkan topografi Kabupaten Tana Toraja bergunung dengan

ketinggian berkisar antara 300 meter sampai dengan 2 889 meter di atas

permukaan laut yang terdiri atas pegunungan 40 persen, dataran tinggi 20

persen, dataran rendah 38 persen, rawa-rawa dan sungai 2 persen. Berdasarkan

peta yang bersumber dari Kantor Dinas Perkebunan, Tana Toraja memiliki jenis

tanah yang terdiri dari Alluvial Kelabu, Brown Forest, Mediteran, Podsolik Merah

Kekuningan. Berbagai jenis tanah tersebut menyebar di seluruh kecamatan Tana

Toraja, untuk tanah Alluvial Kelabu hanya berada di wilayah kecamatan

Rantepao, Sanggalang dan Sesean, sedangkan jenis tanah Brown Forest berada

di kecamatan Bongkaradeng.

Dua wilayah ini memiliki potensi sumberdaya lahan yang cukup besar

untuk dikembangkan menjadi lahan perkebunan. Berdasarkan komposisinya,

penggunaan lahan di kabupaten Enrekang dan Tana Toraja dapat dilihat pada

Tabel 9. Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat bahwa hampir 50 persen dari

luas lahan di dua kabupaten tersebut digunakan untuk hutan negara dan hutan

rakyat. Kemudian diikuti oleh tanah yang belum diolah untuk Enrekang 8.21

persen dan Tator 30.26 persen, perkebunan di Enrekang 9.23 persen dan Tator

14.83 persen, persawahan di Enrekang 6.83 persen dan Tator 5.95 persen.

Sedangkan padang rumput untuk Enrekang 12.34 persen dan Tator 3.43 persen,

Tabel 9. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Enrekang dan Tator,Tahun 2005

Enrekang Tator

No Penggunaan Lahan

Luas (Ha) % Luas (Ha) %

1 Tanah sawah 12 206 6.83 21 005 5.95 2 Pekarangan 2 730 1.53 12 331.50 3.49 3 Tegalan 7 065 3.96 59 894.50 16.96 4 Padang rumput 22 046 12.34 12 118.50 3.43 5 Kolam/tambak - - 7.50 0.002 6 Perkebunan 26 483 14.83 32 609.80 9.23

7 Hutan (negara dan

rakyat)

90 150 50.48 108 345.00 30.68

8 Tanah belum diolah 14 660 8.21 106 882.50 30.25

9 Lain-lain 3 261 1.83 - -

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Enrekang dan Tator, Tahun 2005

dan pemukiman untuk Enrekang 1.53 persen, Tator 3.49 persen, Kolam/tambak

untuk Enrekang tidak ada dan Tator hanya 0.002 persen.

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian

Keadaan penduduk di wilayah MADUTORA dari tahun ke tahun terus

mengalami peningkatan. Jumlah penduduk terbesar dari dua kabupaten tersebut

adalah kabupaten Tator sebanyak 394 141 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata

2.1 persen dan kabupaten Enrekang sebesar 16 327 jiwa dengan pertumbuhan

rata-rata 1.58 persen. Bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun telah

mengakibatkan jumlah angkatan kerja juga meningkat secara proporsional.

Jumlah angkatan kerja berumur sepuluh tahun ke atas di kabupaten Tator

mencapai 44.35 persen dari jumlah angkatan kerja (tertinggi untuk wilayah

MADUTORA); yang sudah bekerja dan mencari pekerjaan 45.35 persen;

bekerja dan mencari pekerjaan sebanyak 24 persen (BPS Makassar, 2003).

Pola mata pencaharian masyarakat di dua kabupaten ini dominan sebagai

petani, masing-masing mencapai 74.40 persen untuk kabupaten Enrekang dan

65.11 persen di kabupaten Tator. Disamping itu, khusus untuk kabupaten Tator,

sektor industri kecil berupa kerajinan rakyat yang berbentuk ukiran dan tenunan

tradisional, dapat dikembangkan sebagai komoditi ekspor non migas karena

keunikan dan ciri khasnya. Dari berbagai jenis mata pencaharian penduduk di

dua wilayah ini, angkatan kerja berusia 10 tahun ke atas masih dominan bekerja

pada sektor pertanian. Komposisi mata pencaharian penduduk menurut sektor

usaha disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Sektor di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005

Enrekang Tator No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) % Jumlah (jiwa) % 1 Pertanian 61 312 74.40 79 907 65.11 2 Pertambangan dan galian 728 0.88 915 0.75

3 Industri kecil dan

pengolahan

2 664 3.20 3 152 2.57

4 Listrik, gas dan air 168 0.20 - -

5 Bangunan 992 1.20 53 0.04

6 Perdagangan besar dan eceran

10 904 13.20 31 774 25.89

7 Rumah makan dan

hotel - - 6 926 5.64 8 Angkutan dan komunikasi 888 1.07 - - 9 Lembaga keuangan - - - - 10 Jasa kemasyarakatan 4 952 5.95 - - Total 82 608 100.00 122 727 100.00

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa 65 sampai 74 persen dari seluruh

penduduk di dua wilayah ini memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Ini

menunjukkan bahwa perekonomian di wilayah tersebut masih bersifat agraris.

Kemudian disusul oleh perdagangan sebesar 13.20 persen (Enrekang) dan

25.89 persen (Tator); bermata pencaharian perdagangan besar dan industri, dan

jasa kemasyarakatan 5,95 persen (Enrekang), rumah makan dan hotel serta

industri kecil dan pengolahan masing-masing sebesar 5.64 dan 2,57 persen

(Tator).

5.3. Perkembangan PDRB Wilayah

Kondisi perekonomian suatu daerah sangat tergantung pada potensi dan

sumberdaya yang dimiIiki serta kemampuan daerah yang bersangkutan untuk

mengembangkan segala potensi yang dimiliki tersebut. Untuk meningkatkan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dua kabupaten tersebut selalu

mengembangkan potensi yang dimiliki dengan berbagai kebijakan, langkah dan

upaya konkrit yang dilakukan di semua sektor. Perkembangan PDRB dua

kabupaten tersebut dan propinsi Sulawesi Selatan selanjutnya disajikan pada

Table 11 dan 12.

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa Produk Domestik Regional Bruto

Kabupaten Enrekang dari tahun ke tahun terus meningkat, dan pada tahun 2004

total PDRB Kabupaten Enrekang telah mencapai 725 067.00 juta rupiah. Bila

dibandingkan dengan PDRB tahun 1999 maka terlihat bahwa terjadi kenaikan

sekitar 108.16 persen, dengan rata-rata perkembangan sekitar 39.14 persen per

Tabel 11. Perkembangan PDRB Propinsi Sulawesi Selatan dan PDRB Kabupaten Enrekang,Tahun1996 - 2004 Tahun PDRB Propinsi Sulawesi Selatan (Milyar Rupiah) PDRB Kabupaten Enrekang (Juta Rupiah) Persentase PDRB Enrekang terhadap PDRB Sulsel (%) 1996 11 833 097.67 160 311.89 1.36 1997 13 538 032.09 199 218.09 1.47 1998 21 950 763.91 348 787.86 1.59 1999 24 064 892.99 348 322.65 1.47 2000 27 772 137.13 394 527.35 1.42 2001 34 770 983.00 513 582.00 1.48 2002 38 522 674.00 582 387.00 1.51 2003 42 885 870.00 647 920.00 1.51 2004 48 509 525.00 725 067.00 1.50

Sumber: BPS. Kabupaten Enrekang dalam Angka, 2005

Terhadap pembentukan PDRB Sulawesi Selatan, sumbangan PDRB

Kabupaten Enrekang masih relatif kecil, pada tahun 2004 hanya sekitar 1.50

persen. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan dengan keadaan tahun 1999

yang menyumbang sekitar 1.47 persen terhadap total PDRB Sulawesi Selatan.

Walaupun dalam situasi perekonomian yang kurang menguntungkan,

perkembangan PDRB Tana Toraja menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan. Pada tahun 2000 total PDRB di Tana Toraja atas dasar harga berlaku

telah mencapai angka 803 966.60 juta rupiah. Bila dibandingkan dengan PDRB

tahun 1999 maka terjadi kenaikan sekitar 8.27 persen, dengan rata.rata

Tabel 12. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kabupaten Tana Toraja,Tahun 1999 - 2004

Tahun PDRB Propinsi Sulawesi

Selatan (Milyar Rupiah)

PDRB Kabupaten Tana Toraja (Juta Rupiah) Persentase PDRB Tana Toraja terhadap PDRB Sulsel (%) 1996 11 833 097.67 355 659.41 3.01 1997 13 538 002.09 433 123.91 3.20 1998 21 950 763.91 705 666.59 3.21 1999 24 064 892.99 742 589.98 3.09 2000 27 772 137.13 803 966.60 2.89 2001 34 770 983.00 973 805.31 2.80 2002 38 522 674.00 986 172.93 2.56 2003 42 885 870.00 1 074 831.24 2.50 2004 48 509 525.00 1 251 367.91 2.58

Sumber : BPS. Kabupaten Tana Toraja dalam Angka, 2005

Dilihat dari besarnya kontribusi terhadap pembentukan PDRB Sulawesi

Selatan nampak bahwa nilai PDRB Tana Toraja terus mengalami peningkatan,

akan tetapi persentasenya cenderung mengalami penurunan. Kontribusi PDRB

Tana Toraja terhadap PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2004 hanya mencapai

2.58 persen dari total PDRB Sulawesi Selatan. Bila dibandingkan dengan

kontribusi PDRB Tana Toraja terhadap PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 1999

maka terjadi penurunan sekitar -0.51 persen. Dalam kurun waktu 1996-2004

rata-rata kontribusi terhadap pembentukan PDRB Sulawesi Selatan adalah 3.08

Tabel 13. Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha di Enrekang dan Tator, Tahun 2004 Pertumbuhan (%) No Sektor Enrekang Tator 1 Pertanian 10,37 4,39

2 Pertambangan dan pengolahan 2,84 2,63

3 Industri pengolahan 27,45 14,15

4 Listrik, gas dan air minum 0,33 5,75

5 Bangunan 4,37 -0,16 6 Perdagangan 3,81 0,11 7 Angkutan 1,63 9,54 8 Keuangan -42,52 -5,46 9 Jasa-jasa 0,76 1,92 PDRB 4,79 2,87

Sumber: BPS Kabupaten Enrekang dan Tator, 2005

Pertumbuhan riil sektor-sektor ekonomi pada tahun 2004 di dua

kabupaten ini cukup beragam. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling besar

yaitu sektor industri pengolahan sebesar 27.45 persen kemudian disusul sektor

pertanian sebesar 10.37 persen serta sektor angkutan sebesar 9.54 persen.

Sedangkan sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan dalam jumlah kecil yaitu

sektor perdagangan hanya 0.11 persen dan sektor listrik, gas dan air minum

sebesar 0.33 persen, seperti dapat dilihat pada Tabel 13.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi di hampir semua sektor disebabkan

oleh multi krisis yang melanda negara kita dan krisis tersebut berpengaruh

langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah MADUTORA, khususnya

Struktur perekonomian menurut lapangan usaha di wilayah MADUTORA

sampai saat ini masih didominasi oleh sektor industri pengolahan dan pertanian.

Peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDRB di wilayah MADUTORA

telah mengalami penurunan karena makin besarnya peran sektor-sektor lain.

Dari sembilan sektor lapangan usaha, di Kabupaten Tator hanya dua sektor yang

mengalami penurunan yaitu sektor bangunan dan keuangan masing-masing -

5.46 persen, -0.16 persen. Sedangkan sektor-sektor Iainnya mengalami

peningkatan. Untuk kabupaten Enrekang, kontribusi tertinggi berasal dari sektor

industri pengolahan sebesar 27.45 persen; kedua adalah sektor pertanian

sebesar 10.37 persen. Lalu berturut-turut diikuti oleh sektor bangunan sebesar

4.37 persen; perdagangan sebesar 3.81 persen, pertambangan dan pengolahan

sebesar 2.84 persen. Struktur perekonomian Sulawesi Selatan juga masih

didominasi oleh sektor pertanian.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk

suatu daerah atau wilayah adalah Pendapatan Perkapita Penduduk. Untuk

wilayah MADUTORA, khususnya di Kabupaten Enrekang dan Tator pendapatan

perkapita penduduk terus mengalami kenaikan. Untuk Kabupaten Enrekang,

pada tahun 2000 dari sebesar Rp 2 711 500.00 dan menjadi Rp 4 068 953.58

pada tahun 2004. Pendapatan perkapita kabupaten Tator pada tahun 2000

VI. ANALISIS PANGSA PASAR KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA

Dokumen terkait