BAB VI PEMBAHASAN
6.2 Gambaran Efek Neurobehavioral pada Petani Penyemprot
Efek neurobehavioral merupakan suatu perubahan pada arah yang merugikan secara fungsional pada sistem saraf akibat paparan agen kimia, fisik, dan biologi
(U.S EPA, 1998). Gangguan saraf secara fungsional meliputi perubahan somatik,
sensorik, dan fungsi kognitif. Disamping itu, efek neurobehavioral juga meliputi gangguan pada kemampuan belajar (learning), memori, fokus perhatian (attention), suasana hati (mood), disorientasi, dan penyimpangan berfikir. Pada
dasarnya efek neurobehavioral merupakan salah satu sindroma atau efek neurotoksik dimana dapat disebabkan oleh senyawa kimia yang bukan
merupakan komponen metabolisme (primary neurotoxic agents: pestisida, dll) dan termasuk komponen metabolisme (secondary neurotoxic agents: enzim). Primary neurotoxic agent seperti halnya pestisida mempunyai kemampuan merusak sel saraf. Kemampuan merusak ini tergantung pada toksisitas pestisida,
durasi paparan, dan refersibilitas toksikan tersebut (Dobss, 2009; U.S EPA, 1998;
US.Congress, 1990).
Tokisistas pestisida pada saraf sangat perlu diwaspadai karena senyawa ini
khususnya organofosfat bersifat lethal toxic effect baik pada serangga maupun mamalia. Pada pengguna pestisida organofosfat, efek neurobehavioral terjadi akibat adanya hambatan enzim-enzim esterase oleh senyawa organofosfat.
Sebagian besar enzim esterase tersebut adalah enzim kholinesterase. Senyawa
organofosfat menghambat produksi enzim kholinesterase sehingga terjadi
hambatan dalam pemecahan kholin ester dan penumpukan asetilkholin. Dimana
asetilkholin merupakan salah satu neurotransmitter yang berfungsi
menghantarkan impuls dari saraf ke saraf lainnya melalui sinapsis (Winder,
2004).
Efek neurobehavioral akibat organofosfat juga dapat dijelaskan berdasarkan mekanisme fosforilasi (phosphorylation). Pada umumnya organofosfat mudah bereaksi dengan gugus hidroksil (OH-) enzim. Awal mulanya senyawa ini
rangkaian P-O (Winder, 2004). Ikatan ini kemudian akan menarik enzim
kholinesterase untuk berikatan sehingga terjadi tambahan gugus phosphate pada enzim. Kondisi ini membentuk komponen yang stabil sehingga enzim
kholinesterase menjadi inaktif yang dampaknya adalah penumpukan asetilkolin
pada sinapsis (US. Congress, 1990; Winder, 2004). Hal ini jika dibiarkan
terus-menerus maka dapat menimbulkan efek neurobehavioral atau gangguan fungsional saraf (Williams, 2000).
Efek neurobehavioral selanjutnya berdampak pada kondisi yang lebih parah berupa cognitive impairment dan mental disorder dimana seseorang mengalami degradasi kemampuan mengolah informasi, kesadaran, dan mengendalikan
emosional (US. Congress, 1990). US. Congress (1990) juga menerangkan bahwa
kedua penyakit tersebut merupakan penyakit kelima yang menghabiskan banyak
biaya kesehatan di Amerika Serikat pada tahun 1980 yaitu mencapai $40 billion.
Berdasarkan hal tersebut, WHO (1986) pada kongres neurotoksikologi di
Cincinnati kemudian mengeluarkan suatu standarisasi screening pengukuran performa neurobehavioral berupa Neurobehavioral Core Test Battery (NCTB). NCTB bertujuan untuk mendeteksi dini gangguan fungsional saraf sehingga
dapat dilakukan tindakan sebelum terjadi kondisi yang lebih parah.
NCTB WHO tersebut berisikan tujuh tes seperti profile of mood state (POMS), digit span, digt symbol, simple reaction time, benton visual retention, pursuit aiming, dan santa manual dexterity test. Namun demikian, setiap peneliti dapat mengkombinasikan dengan beberapa uji performa neurobehavioral lainnya
dengan kata lain pengukuran performa neurobehavioral tidak secara mutlak harus menyertakan kesemua uji di dalam NCTB. WHO (1986) menekankan agar
penggunaan standar skor diterapkan dalam interpretasi hasil penelitian. Sahani
(2004) menjelaskan bahwa batas (cut-off point) hasil uji performa neurobehavioral adalah skor 40. Hal ini berarti performa dibawah skor tersebut adalah abnormal dan diatasnya diinterpretasikan normal.
Berdasarkan hasil pengukuran performa neurobehavioral menggunakan uji digit span, digit symbol, pursuit aiming, dan trial making diketahui sebanyak 40 responden (60.6%) memiliki performa neurobehavioral di bawah normal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Farahat (2003) yaitu
sebanyak 51% pengguna pestisida jenis organofosfat diketahui memiliki
performa neurobehavioral di bawah normal (buruk) pada uji digit symbol, trail making, dan digit span. Performa neurobehavioral responden yang di bawah normal pada penelitian ini mengindikasikan bahwa telah terjadi efek
neurobehavioral pada populasi petani di Desa Perbawati. Secara umum, responden mengalami gangguan fungsional sistem saraf berupa gangguan
kecepatan motorik, kontrol motorik, attention, dan gangguan memori jangka pendek (WHO, 1986).
Hasil penelitian ini juga selaras dengan Wasseling (2002) yang meneliti petani
pisang yang mengalami keracunan karbamat dan organofosfat terhadap performa
neurobehavioral. Sebanyak 67% pengguna pestisida mengalami efek neurobehavioral. Mayoritas merupakan pengguna organofosfat dan sisanya
menggunakan karbamat. Penelitian tersebut menyebutkan responden yang
mengalami keracunan organofosfat memiliki performa di bawah normal yaitu
pada uji digitspanforward, pursuitaimingii, digitsymbol, dan trailmaking.
Gambar 6.1 Distribusi Frekuensi Performa Neurobehavioral Abnormal (skor≤40) pada Petani Penyemprot Tanaman Sayur dengan Pestisida
di Desa Perbawati Kabupaten Sukabumi Tahun 2013
Berdasarkan Gambar 6.1 diketahui 14 responden (21.2%) memiliki performa
buruk pada uji digit span, 17 responden (25.8%) pada digit symbol, 16 responden (24.2%) pada uji pursuit aiming dan trial making. Fakta dari hasil penelitian juga menyebutkan bahwa sebanyak 3 responden hanya memiliki performa buruk pada
digit span, 6 responden buruk pada digit symbol, 7 responden buruk pada pursuit aiming, 6 responden buruk pada trial making. Sementara, sebanyak 4 responden juga memiliki performa buruk pada digit span dan digit symbol, 4 responden buruk pada digit span dan pursuit aiming, 2 responden buruk pada digit span dan
0 5 10 15 20 Digit Span Digit Symbol Pursuit Aiming Trial Making 14 17 16 16 Ju m la h E fe k N e u ro b e h a v io ra l A b n o rm a l
trial making, 3 responden buruk pada digit symbol dan trial making, satu responden buruk pada pursuit aiming dan trial making, serta satu responden buruk pada digit symbol dan pursuit aiming. Selain itu, sebanyak 3 responden memiliki performa buruk pada digit symbol, pursuit aiming, dan trial making dan satu responden menagalami performa buruk pada digit span, pursuit aiming, dan trial making.
WHO (1986) dan Sahani (2004) menyebutkan bahwa uji performa
neurobehavioral digit span merepresentasikan kapabilitas short term memory atau memori jangka pendek, digit symbol merepresentasikan motor speed atau kecepatan motorik, pursuit aiming merepresentasikan fine motor control atau kontrol motorik, dan trial making merepresentasikan attention dan visual scanning. Hasil penelitian ini diketahui dari 40 responden yang mengalami efek neurobehavioral, mayoritas responden (55%) mengalami performa buruk pada satu uji neurobehavioral. Kemudian diikuti oleh sebanyak 37.5% responden yang mengalami performa buruk pada dua uji neurobehavioral dan sisanya mengalami performa buruk pada tiga uji.
Efek neurobehavioral pada penelitian ini ditegaskan hubungannya/ korelasinya dengan penggunaan neurotoksikan berupa pestisida. Hal ini di
dukung oleh penelitian sebelumnya pada petani penyemprot tanaman sayur di
Desa Perbawati pada tahun sebelumnya yang menyatakan bahwa sebanyak 51
responden (79,7%) mengalami keracunan akut yang diketahui dari aktivitas
keracunan sedang (Ferdiansyah, 2012). Williams (2000) menyampaikan bahwa
efek akut pada enzim kholinesterase hampir selalu diikuti oleh efek toksik yang
bersifat kronik yaitu berupa gangguan sistem saraf baik secara fungsional
maupun struktural. Hal ini terjadi jika paparan pestisida berlangsung
terus-menerus sehingga terjadi gangguan transfer impuls melalui neurotransmitter.
Disamping itu, dari 40 responden yang mengalami efek neurobehavioral tidak normal diketahui sebanyak 62.5% responden mengalami gejala efek neurotoksik
berupa sering merasakan lelah ketika terbangun di pagi hari dan sering
merasakan ngantuk saat siang hari, 50% sering melupakan sesuatu hal yang baru
saja dilakukan, dan 55% sulit berkonsentrasi. Sementara itu, dari 26 responden
yang tidak mengalami efek neurotoksik diketahui hanya sebanyak 34.6%
responden mengalami gejala efek neurotoksik berupa sering merasakan lelah
ketika terbangun di pagi hari dan sering merasakan ngantuk saat siang hari,
38.5% sering melupakan sesuatu hal yang baru saja dilakukan, dan 46.1% sulit
berkonsentrasi. Hal ini mencerminkan proporsi gejala efek neurotoksik lebih
banyak terjadi pada responden yang mengalami efek neurobehavioral.
Seperti pembahasan sebelumnya bahwa agen toksik yang berpengaruh secara
dominan terhadap efek neurobehavioral adalah pestisida. Mayoritas petani di Perbawati menggunakan pestisida jenis insektisida khususnya golongan
organofosfat. US. Congress (1990) menerangkan bahwa gangguan saraf secara
fungsional juga dapat disebabkan oleh destruksi sel saraf akibat mekanisme
Winder (2003) dalam bukunya Occupational Toxicology menyebutkan proses patofisiologi dasar terkait gangguan sel saraf manusia dapat berupa mekanisme
neurotoksikan tertentu. Polineuropati akibat senyawa organophosphorus menyebabkan fosforilasi dan modifikasi enzim-enzim sel saraf. Mekanisme ini
menimbulkan gangguan pada sistem kerja enzim seperti esterase (kholinesterase). Gangguan enzim tersebut menimbulkan tumpukan asetilkolin
pada ruang transpor sinapsis sehingga terjadi hambatan impuls.
Mekanisme gangguan fungsional saraf dimulai dari masuknya pestisida ke
dalam tubuh organisme (jasad hidup) yang dalam hal ini pasti berbeda-beda
menurut situasi paparannya. Mekanisme masuknya racun pestisida pada petani
penyemprot sayur di Desa Perbawati dapat melalui inhalasi, oral, maupun
dermal. Hasil penelitian menyebutkan 47% responden menyatakan tidak
menggunakan masker pada saat melakukan penyemprotan sehingga pestisida
berpotensi terabsorbsi melalui inhalasi dan ingesti ke dalam tubuh pada sebagian
responden. Selain itu, beberapa responden yang merupakan perokok juga terbiasa
merokok selama melakukan penyemprotan. Sehingga resiko pestisida tertelan/
terhirup menjadi tinggi.
Masuknya pestisida ini juga ditegaskan oleh pengaplikasian pestisida dengan
metode penyemprotan sehingga inhalasi, oral, dan dermal menjadi portal of entry yang potensi dari pestisida. Selanjutnya, masuknya pestisida ke dalam tubuh
dapat bermuara di paru-paru, hati dan ginjal bahkan masuk ke dalam jaringan
Golongan pestisida yang sangat bertanggung jawab pada kondisi tersebut
adalah organoklorin, organofosfat, dan karbamat. Petani di Desa Perbawati
mayoritas menggunakan pestisida golongan piretroid (bulldog-β-siflutrin, crowen-sipermetrin, decis-deltametrin, rizotin-sipermetrin, dan matador-L sihalotri); organofosfat (curacron-profenofos, dursban-klorpirifos, dan marshal-karbosulfan); dan karbamat (antrakol-propineb, dithaneM45-mankozeb). Penggunaan golongan organofosfat ditujukan sebagai sarana pembasmi serangga
(insektisida). Golongan ini cukup berbahaya bagi kesehatan manusia karena
golongan ini dapat mengganggu fungsional maupun merusak struktural sistem
saraf pusat dan perifer (Krieger, 2001). Organofosfat juga sering menyebabkan
keracunan pada manusia jika bahan tersebut tertelan meskipun dalam jumlah
sedikit bahkan dapat menyebabkan kematian pada manusia. Cara kerja
organofosfat bersifat racun kontak, racun perut, dan juga racun fumigant
(Prijatno, 2009).
Sementara itu, pada dasarnya efek neurobehavioral merupakan sub yang lebih kecil dari gangguan saraf secara keseluruhan atau disebut efek neurotoksik (US.
EPA, 1998). Efek ini melingkupi gangguan baik secara fungsional dan struktural
sistem saraf akibat zat toksikan. Efek neurobehavioral dan neurochemical mewakili gangguan secara fungsional. Sementara secara struktural dijelaskan
melalui gangguan pada neuroanatomi yaitu perubahan susunan morfologi saraf
akibat zat toksikan. Efek neurotoksik sendiri dapat bersifat irreversible (organisme tidak dapat kembali pada keadaan semula setelah pajanan berakhir,
atau menghasilkan perubahan yang permanen) dan reversible (organisme masih dapat kembali pada kondisi semula setelah pajanan berakhir). Namun
kenyataannya efek neurotoksik mayoritas bersifat irreversible (US. Congress, 1990).
6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Efek Neurobehavioral pada