• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. POKOK-POKOK PERKEMBANGAN IMAN

F. Gambaran Iman yang Berkembang

Syarat yang paling mendasar dalam hidup beriman adalah kebebasan. Tanpa kebebasan iman hanya akan menjadi kewajiban semata yang tidak memiliki makna bagi kehidupan. Kebebasan dalam beriman akan menghantar seseorang untuk menghayati imannya dengan sadar dan bertanggung jawab. Maka perkembangan iman seseorang akan ditinjau dari kebebasannya dalam beriman. Mengingat pembahasan mengenai perkembangan iman sangat luas, maka pada bagian ini secara khusus hanya menggambarkan perkembangan iman mahasiswa.

Injil Matius memberikan gambaran iman yang berkembang melalui sebuah perumpamaan tentang orang yang sedang membangun rumah. Seorang yang mendengarkan dan melaksanakan sabda Tuhan adalah orang yang membangun rumah

di atas batu. Ketika hujan dan badai melanda rumah tersebut tidak rusak, karena didirikan di atas batu. Sedangkan orang yang hanya mendengarkan dan tidak melaksanakannya sama seperti orang bodoh yang membangun rumah di atas pasir. Ketika hujan dan badai menerpa rumah tersebut hancur berantakan (Mat 7:24-27).

Kisah ini menegaskan bahwa iman yang berkembang adalah iman yang sungguh dihayati dan diwujudkan. Sebagai seorang mahasiswa jika hanya mengetahui tentang apa yang ia imani sama seperti orang bodoh yang membangun rumah di atas pasir. Ketika diterjang oleh berbagai macam persoalan mulai menjauh dari iman, mencari jalan pintas dan tidak mampu bertahan. Sementara orang yang mendengarkan dan melaksanakan sabda Tuhan adalah mereka yang membangun rumah di atas batu. Ketika masalah datang menerpa, ia tetap teguh dan semakin tekun menghayati imannya.

Cremers mengungkapkan kembali pandangan Fowler (1995: 160-179) yang menyatakan bahwa iman yang berkembang berada pada tahap keempat yakni, tahap individuatif-reflektif sekitar usia 21-35 tahun. Pada tahap ini muncul kesadaran dan refleksi diri yang mendalam. Dalam tahap ini seseorang semakin kritis melihat perbedaan jati dirinya yang dipersepsikan oleh orang lain dengan yang ia alami sendiri. Refleksi dan penilaian diri tidak lagi seluruhnya bergantung pada pandangan orang lain. Melalui sikap reflektif ini akan muncul pertanyaan kritis tentang keseluruhan nilai, pandangan hidup, kepercayaan, dan komitmen yang selama ini diterima dan dijalani.

Tahap individuatif-reflektif ini adalah tahap di mana seseorang dengan berani dan kritis memilih secara pribadi ideologi, filsafat dan cara hidup yang menghantar pada komitmen-komitmen kritis serta mawas diri dalam segala hubungan

dengan tugasnya. Orang dewasa muda dalam tahap ini sudah memahami dirinya dan orang lain, tidak hanya menurut pola sifat “pribadi” atau “antar pribadi”, melainkan sebagai suatu bagian sistem sosial dan institusional.

Iman dalam tahap ini ditandai oleh kesadaran yang tajam akan individualitas dan otonomi. Jika ia mengakui tokoh religius tertentu, misalnya Yesus, maka pengakuan itu bukan berdasarkan tradisi Kristen yang mengumumkan dan mengesahkan tokoh tersebut sebagai pendiri Gereja dan nabi yang utama melainkan karena pribadi istimewa tersebut dipandang sebagai tokoh yang sungguh menghayati hubungan dengan Allah. Bagi orang dewasa muda yang dijadikan kriteria adalah aspek penghayatan yang sungguh-sungguh pribadi dan mesra sebagaimana diilhami dan disemangati oleh Roh Allah yang berkarya dan mendorong hati mereka.

Dalam tahap ini seseorang menemukan identitasnya dan terbuka pada realitas sosial yang ada. Dasar imannya sungguh berasal dari kebebasan dalam dirinya bukan lagi iman yang bergantung pada orang lain dan lingkungan. Meskipun lingkungan sekitar dan orang-orang terdekat tidak menunjukkan sikap beriman misalnya, tidak pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi, hal ini tidak lagi memberi pengaruh terhadap niatnya untuk mengikuti perayaan Ekaristi.

Groome (2010: 81) juga menggambarkan iman yang berkembang adalah iman yang mencakup tiga dimensi yakni, iman sebagai keyakinan (faith as believing),

iman sebagai kepercayaan (faith as trusting), iman sebagai tindakan (faith as doing).

Iman sebagai keyakinan (faith as believing) berkenaan dengan hal-hal yang bersifat kognitif dari iman, misalnya sebagai orang Katolik ia mengetahui dan menyadari apa yang ia imani. Sedangkan iman sebagai kepercayaan (faith as trusting) berhubungan dengan afeksi atau perasaan misalnya, merasa senang dan bersuka cita atas pilihannya

menjadi seorang Katolik. Sementara iman sebagai tindakan (faith as doing) adalah tindakan konkret dari iman tersebut.

Iman yang berkembang adalah iman yang mencakup dimensi kognitif, afektif dan tindakan. Ketiga dimensi ini tidak bisa dihayati secara terpisah-pisah. Jika iman hanya mencakup dimensi percaya dan mempercayakan maka iman tersebut tidak ada artinya. Sebaliknya jika hanya dimensi tindakan iman tersebut tidak memiliki makna. Maka gambaran iman yang berkembang adalah iman yang mencakup dimensi kognitif, afektif dan tindakan. Artinya ada kesatuan antara pikiran, perasaan dan tindakan.

Dalam kehidupan sehari-hari iman yang berkembang dapat ditinjau dari lima tugas Gereja. Pertama, liturgia atau liturgi adalah kegiatan doa secara pribadi dan doa bersama. Doa bersama meliputi misa harian, misa pada hari minggu dan hari raya serta ibadat-ibadat dalam lingkup lingkungan. Hidup doa adalah nafas dari iman, maka seseorang yang imannya berkembang tidak pernah terlepas dari hidup doa. Kedua, kerygma yakni, keterlibatan dalam kegiatan pewartaan. Bagi mahasiswa kegiatan ini diwujudkan dengan cara membaca dan merenungkan Kitab Suci serta terlibat dalam kegiatan pendalaman iman di lingkungan.

Ketiga, diakonia atau pelayanan yakni, mengamalkan cinta kasih bagi mereka yang sangat membutuhkan. Sebagai seorang mahasiswa PAK kegiatan ini dapat diwujudkan melalui peran serta dalam lembaga-lembaga sosial, misalnya POTA (program orang tua asuh) yang ditujukan untuk anak-anak sekolah dasar Kanisius se- Yogyakarta dan dipimpin oleh Romo B.A Rukyanto, SJ. Keempat, koinonia atau persekutuan yakni, upaya untuk membangun komunitas yang berlandaskan hukum cinta kasih. Bagi mahasiswa kegiatan ini diwujudkan dengan membangun relasi yang

sehat dengan setiap orang tanpa membedakan ras, suku, agama dan bangsa, terlebih mereka yang sering tersingkirkan.

Keempat tugas Gereja ini merupakan medan perwujudan dan penghayatan iman yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya untuk mencapai iman yang sungguh berkembang, maka keempat tugas ini harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Iman tidak akan berkembang secara utuh bila hanya dihayati dalam satu kegiatan saja, misalnya melalui perayaan Ekaristi. Oleh sebab itu keempat tugas atau kegiatan ini menjadi tolak ukur dalam menentukan perkembangan iman.

Dokumen terkait