• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi kabupaten Kutai Barat program studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deskripsi perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi kabupaten Kutai Barat program studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “DESKRIPSI PERKEMBANGAN IMAN MAHASISWA-MAHASISWI KABUPATEN KUTAI BARAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, UNIVERSITAS SANATA DHARMA”. Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap perkembangan iman para peserta program beasiswa pemerintah Kabupaten Kutai Barat yang belajar di Program Studi Pendidikan Agama Katolik. Dalam kenyataannya sebagian besar mahasiswa-mahasiswi program beasiswa ini belum menghayati dan mewujudkan imannya secara utuh. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat menggantungkan banyak harapan terhadap para peserta ini, terlebih bagi para calon guru agama dan katekis. Mereka tidak hanya diharapkan menjadi tokoh dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang pastoral. Bagi seorang guru agama atau calon katekis tugas utamanya adalah membantu siswa atau umat dalam mengembangkan iman. Oleh sebab itu syarat utama sebagai guru agama atau katekis harus memiliki iman terlebih dahulu. Bertolak dari keadaan ini penulis tergerak untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kabupaten Kutai Barat maupun instansi terkait dalam menyiapkan generasi muda sebagai tokoh penggerak di tengah masyarakat.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah perkembangan iman para mahasiswa-mahasiswi Kabupaten Kutai Barat selama kuliah di PAK dan upaya yang perlu dilakukan untuk membantu mereka memperkembangkan iman. Untuk menjawab persoalan tersebut penulis menggunakan studi pustaka dan penelitian. Studi pustaka dilaksanakan dengan mempelajari berbagai sumber yakni Kitab Suci, dokumen Gereja, serta pandangan dari beberapa ahli yang berkaitan dengan perkembangan iman. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data guna keperluan penelitian penulis melakukan wawancara terhadap 12 responden.

(2)

ix ABSTRACT

This small thesis entitled "DESCRIPTION OF FAITH DEVELOPMENT OF DISTRICT KUTAI BARAT STUDENTS DEPARTMENT OF CATHOLIC RELIGION EDUCATION, SANATA DHARMA UNIVERSITY". This title chosen based on the writer's concerns regarding the faith development of the participants scholarship program the Government of Kutai Barat District who studied in Department Of Catholic Religion Education, Sanata Dharma University. In reality, most of the students of this scholarship program is not living up to and realize his faith intact. Government of Kutai Barat District rely much hope against the participants of this, especially for prospective teachers of religion and catechists. They are not only expected to be a prominent figure in the field of education, but also in the pastoral field. For a religious teacher or catechist candidate whose main task is to help students or people in developing faith. Therefore, the main requirement as a religious teacher or catechist must have faith first. Starting from this state of the writer moved to contribute thoughts for Kutai Barat District government and related institutions in preparing young people as the driving figure in a society.

A key issue of this small thesis is the development of the faith of the students of Kutai Barat District students during a lecture in Department Of Catholic Religion Education, Sanata Dharma University as well as the efforts of what needs to be done to help students develop their faith. To answer these problem, the writer used literature study and research. A literature study is done by studying various sources, namely the Bible, Church Documents, and experts opinions relating to the development of faith. The type of research used by the writer is a qualitative research. To obtain the data for the purposes of the research writer did interviews against 12 respondents.

(3)

DESKRIPSI KUALITATIF PERKEMBANGAN

IMAN MAHASISWA-MAHASISWI KABUPATEN KUTAI BARAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Slamet Rianto Aji NIM : 121124028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya dedikasikan bagi masyarakat Kabupaten Kutai Barat, Program Studi PAK (Romo dan para dosen), kedua orang tuaku (Arief Mardian Aji dan Rosalina Seria), Kakakku (Aji Suryanto), adik-adikku (Heri Ramadhan, Felisia

(7)

v MOTTO

Non Scholae, Sed Vitae Discimus

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “DESKRIPSI PERKEMBANGAN IMAN MAHASISWA-MAHASISWI KABUPATEN KUTAI BARAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, UNIVERSITAS SANATA DHARMA”. Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap perkembangan iman para peserta program beasiswa pemerintah Kabupaten Kutai Barat yang belajar di Program Studi Pendidikan Agama Katolik. Dalam kenyataannya sebagian besar mahasiswa-mahasiswi program beasiswa ini belum menghayati dan mewujudkan imannya secara utuh. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat menggantungkan banyak harapan terhadap para peserta ini, terlebih bagi para calon guru agama dan katekis. Mereka tidak hanya diharapkan menjadi tokoh dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang pastoral. Bagi seorang guru agama atau calon katekis tugas utamanya adalah membantu siswa atau umat dalam mengembangkan iman. Oleh sebab itu syarat utama sebagai guru agama atau katekis harus memiliki iman terlebih dahulu. Bertolak dari keadaan ini penulis tergerak untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kabupaten Kutai Barat maupun instansi terkait dalam menyiapkan generasi muda sebagai tokoh penggerak di tengah masyarakat.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah perkembangan iman para mahasiswa-mahasiswi Kabupaten Kutai Barat selama kuliah di PAK dan upaya yang perlu dilakukan untuk membantu mereka memperkembangkan iman. Untuk menjawab persoalan tersebut penulis menggunakan studi pustaka dan penelitian. Studi pustaka dilaksanakan dengan mempelajari berbagai sumber yakni Kitab Suci, dokumen Gereja, serta pandangan dari beberapa ahli yang berkaitan dengan perkembangan iman. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data guna keperluan penelitian penulis melakukan wawancara terhadap 12 responden.

(11)

ix ABSTRACT

This small thesis entitled "DESCRIPTION OF FAITH DEVELOPMENT OF DISTRICT KUTAI BARAT STUDENTS DEPARTMENT OF CATHOLIC RELIGION EDUCATION, SANATA DHARMA UNIVERSITY". This title chosen based on the writer's concerns regarding the faith development of the participants scholarship program the Government of Kutai Barat District who studied in Department Of Catholic Religion Education, Sanata Dharma University. In reality, most of the students of this scholarship program is not living up to and realize his faith intact. Government of Kutai Barat District rely much hope against the participants of this, especially for prospective teachers of religion and catechists. They are not only expected to be a prominent figure in the field of education, but also in the pastoral field. For a religious teacher or catechist candidate whose main task is to help students or people in developing faith. Therefore, the main requirement as a religious teacher or catechist must have faith first. Starting from this state of the writer moved to contribute thoughts for Kutai Barat District government and related institutions in preparing young people as the driving figure in a society.

A key issue of this small thesis is the development of the faith of the students of Kutai Barat District students during a lecture in Department Of Catholic Religion Education, Sanata Dharma University as well as the efforts of what needs to be done to help students develop their faith. To answer these problem, the writer used literature study and research. A literature study is done by studying various sources, namely the Bible, Church Documents, and experts opinions relating to the development of faith. The type of research used by the writer is a qualitative research. To obtain the data for the purposes of the research writer did interviews against 12 respondents.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DESKRIPSI

KUALITATIF PERKEMBANGAN IMAN MAHASISWA-MAHASISWI

KABUPATEN KUTAI BARAT PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA.

Skripsi ini disusun berdasarkan keprihatinan penulis terhadap perkembangan iman para mahasiswi Prodi PAK, terlebih mahasiswa-mahasiswi peserta program beasiswa Kabupaten Kutai Barat. Masyarakat ataupun umat yang dalam hal ini diwakilkan oleh pemerintah memiliki harapan yang sangat besar bagi para mahasiswa ini agar kelak dapat kembali ke daerah dan membawa perubahan yang positif. Oleh sebab itu, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kabupaten Kutai Barat maupun instansi-instansi terkait dalam menyiapkan generasi muda sebagai tokoh penggerak di tengah masyarakat.

Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis dengan hati penuh syukur mengucapkan banyak terima kasih kepada:

(13)

xi

2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd. selaku dosen penguji II yang telah bersedia membaca, menguji, memberikan kritik dan saran serta menyediakan waktu bagi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa HS, S.Ag, M.Si selaku dosen penguji III yang telah bersedia membaca, menguji, memberikan kritik dan masukan, dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang telah mendidik, dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan studi di Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dengan baik.

5. Seluruh staf dinas pendidikan Kabupaten Kutai Barat dan Yohanes Salin yang telah memberikan kesempatan serta bantuan moril bagi penulis, sehingga bisa menyelesaikan seluruh proses studi.

6. Orang tua, kakak, adik, Margareta Ayu Panca Anggraini, Mas Hara, Helsi, Hida (Sr. Donatila, PRR), Pater Tono, SVD, Pastor Aldus Muspida, SVD, Lewis dan Bang Marto yang selalu memberi semangat, motivasi dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan sampai penyelesaian skripsi ini.

7. Umat lingkungan Yohanes Paulus, Tukangan yang selalu mendukung penulis dalam menggulati iman dan memberi motivasi, sehingga penulis mampu menjalani rangkaian dinamika perkuliahan.

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 6

C.Tujuan Penulisan ... 6

D.Manfaat Penulisan ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. POKOK-POKOK PERKEMBANGAN IMAN ... 8

A. Perkembangan Iman ... 8

1. Pengertian Perkembangan ... 9

2. Pengertian Iman ... 9

a. Pengertian Iman Menurut Kitab Suci ... 9

1) Perjanjian Lama ... 9

2) Perjanjian Baru ... 11

b. Pengertian Iman Menurut Dokumen Gereja ... 14

1) Konsili Vatikan II ... 14

(16)

xiv

c. Pengertian Iman Menurut Para Ahli ... 17

1) Pengertian Iman Menurut Thomas H. Groome ... 17

2) Pengertian Iman Menurut Fowler ... 20

B. Tahap-Tahap Perkembangan Iman Menurut Fowler ... 22

1. Tahap Intuitif-Proyektif (2-6 Tahun) ... 23

2. Tahap Mitis-Harafiah (6-11 Tahun) ... 23

3. Tahap Sintetis-Konvensional (12-21 tahun) ... 24

4. Tahap Individuatif-Reflektif (21-35 tahun) ... 25

5. Tahap Konjungtif (Setengah Baya: 35-40 tahun) ... 27

6. Tahap Iman yang Mengacu Pada Universalitas (30 tahun ke atas) . 28 C.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Iman ... 29

1. Faktor Internal ... 29

BAB III. DESKRIPSI PERKEMBANGAN IMAN MAHASISWA- MAHASISWI KABUPATEN KUTAI BARAT SELAMA BELAJAR DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, UNIVERSITAS SANATA DHARMA ... 50

(17)

xv

1. Latar belakang ... 51

2. Harapan umat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat Terhadap Guru Agama Katolik dan Katekis ... 58

B. Profil Prodi Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma ... 61

C.Penelitian tentang gambaran perkembangan iman mahasiswa- mahasiswi Kabupaten Kutai Barat ... 64

1. Rencana Penelitian ... 64

(18)

xvi

9.Susunan Acara ... 104

10. Matriks Program ... 106

C. Contoh Persiapan Sesi III Hari II ... 109

1. Pemikiran Dasar ... 108

2. Materi ... 108

3. Sumber bahan ... 108

4. Metode ... 109

5. Sarana ... 109

6. Langkah-Langkah Sesi III ... 109

a. Pengantar ... 109

b. Penyampaian Materi ... 109

BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN ... (1)

Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran 2 : Panduan Wawancara ... (2)

Lampiran 3 : Identitas Responden ... (3)

(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikut Alkitab Deuterokanonika © LAI 1976. (Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia. Terjemahan diterima dan diakui oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia). Jakarta: LAI, 2009.

B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang

Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

GE : Gravissimum Educationis, Penyataan Konsili Vatikan II tentang

Pendidikan Kristiani, 28 Oktober 1965.

KGK : Katekismus Gereja Katolik, uraian tentang ajaran iman dan moral Gereja Katolik, 22 Juni 1992.

KHK : Kitab Hukum Kanonik, susunan atau kodifikasi peraturan kanonik dalam Gereja Katolik, 25 Januari 1983.

(20)

xviii C.Singkatan Lain

Art : Artikel

IPM : Indeks Pembangunan Manusia KWI : Konferensi Waligereja Indonesia PAK : Pendidikan Agama Katolik PRODI : Program Studi

R : Responden

SD : Sekolah Dasar

SDM : Sumber Daya Manusia

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang mutlak diperlukan terutama bagi daerah yang mayoritas penduduknya terisolir, seperti Kabupaten Kutai Barat. Manusia yang berkualitas merupakan modal dasar pembangunan. Dalam hal ini pendidikan merupakan salah satu jalan untuk membentuk pribadi-pribadi berkualitas yang memiliki kecerdasan, daya saing dan integritas. Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2002, Kabupaten Kutai Barat mendapat angka 67,8 lebih rendah dari rata-rata IPM Provinsi Kalimantan Timur yang mencapai 69,9. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas SDM merupakan masalah yang penting bagi Kabupaten Kutai Barat (Nikolaus, 2007: 577).

Sejauh ini, kendala yang dihadapi oleh Kabupaten Kutai Barat dalam upaya mengembangkan pendidikan selain kondisi geografis yang berupa daerah perbukitan dan pegunungan serta dataran rendah yang rawan banjir, juga masalah tenaga kerja dalam bidang pendidikan. Data yang dirilis oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Barat tahun 2004 menunjukkan bahwa jumlah guru cenderung mengalami penurunan terutama di daerah hulu Sungai Mahakam (Nikolaus, 2007: 581).

(22)

dalam pendidikan. Oleh sebab itu para peserta program beasiswa ini diharapkan dapat belajar dan mengembangkan seluruh potensi diri, sehingga dapat menjadi guru yang profesional dan berkompeten serta siap mengabdi kepada masyarakat.

Keprihatinan lain yang mendorong pemerintah Kabupaten Kutai Barat mengirim mahasiswa-mahasiswi untuk menjadi guru agama dan katekis adalah kondisi pembinaan iman umat yang sangat memprihatinkan. Hampir semua paroki tidak memiliki tenaga kerja yang kompeten dalam membina iman umat. Selama ini pendamping atau aktivis yang peduli dan mau terlibat dalam kegiatan pendampingan iman di paroki atau lingkungan sebagian besar adalah relawan atau katekis volunteer

yang hanya bermodalkan pengalaman dan ketulusan.

Kegiatan-kegiatan pembinaan iman masih sangat minim dan dilaksanakan dalam momen tertentu saja, misalnya Paskah atau Natal. Sebagai akibatnya umat tidak memiliki banyak pengetahuan tentang imannya dan tidak mampu memaknai pengalaman hidupnya, sehingga iman menjadi kering dan tidak relevan lagi.

(23)

Competence artinya mahasiswa-mahasiswi Sanata Dharma diharapkan memiliki kemampuan akademik yang memadukan unsur-unsur pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Conscience berarti mahasiswa-mahasiswi diharapkan memiliki kemampuan memahami alternatif dan menentukan pilihan secara pribadi. Sedangkan commpassion

artinya mahasiswa-mahasiswi diharapkan memiliki hasrat bela rasa dengan peduli dan peka terhadap lingkungan dan sesama. Hal ini juga selaras dengan ungkapan Dr. C. Kuntoro Adi S.J., M.A., M.Sc dalam kesempatan yang sama, beliau mengatakan:

“pendidikan Sanata Dharma lebih dari sekedar membantu tersedianya tenaga berkualifikasi unggul, melainkan pribadi yang juga memperlihatkan kefasihan akan logika dan bahasa dunia. Jernih dalam pemikiran, lurus dalam bertutur, unggul dalam moral, dan bela rasa dalam kehidupan sosial” (Panduan Insadha, 2012 : 2-4).

(24)

Prodi PAK memiliki motto yakni, Pradnyawidya (cerdas dan bijaksana). Mahasiswa-mahasiswi Prodi PAK diharapkan menjadi insan yang cerdas, unggul dalam bidang akademik dan juga bijaksana dalam bertindak. Selain belajar tentang ilmu-ilmu kemanusian, mahasiswa-mahasiswi PAK juga dibekali dengan berbagai pembinaan spiritual melalui kuliah spiritualitas, rekoleksi, retret, misa bersama, kegiatan praktik di sekolah maupun paroki dan didukung dengan suasana belajar yang kondusif.

Melalui semua proses ini diharapkan mahasiswa-mahasiswi Kutai Barat yang belajar di Prodi PAK-USD sungguh berkembang secara utuh. Bukan hanya pribadinya tetapi juga imannya. Iman bukan hanya sebatas kata-kata atau pengakuan semata. Menurut Groome (2010 : 81), iman memiliki tiga dimensi, yakni : believing, trusting,

dan doing. Dimensi yang pertama, believing berkenaan dengan aspek kognitif atau pengetahuan akan apa yang diimani. Dimensi yang kedua adalah trusting berkaitan dengan soal afeksi, tentang nilai-nilai yang diimani. Dimensi yang ketiga adalah doing

yakni, melakukan apa yang diimani.

Kualitas dalam hidup beriman berbeda dengan kualitas dalam bidang ekonomi, misalnya dalam bidang ekonomi berkualitas artinya barang tersebut tahan lama dan berfungsi dengan baik. Indikator untuk menentukan kualitas dalam bidang ekonomi dapat dilihat secara fisik. Tetapi sangat berbeda dalam hal iman. Seseorang yang rajin ke gereja, aktif dalam persekutuan doa dan kepengurusan paroki belum tentu memiliki iman yang berkualitas.

(25)

lainnya), Bait Roh Kudus (tempat perjumpaan dengan Allah), Misteri dan Sakramen (menjadi keselamatan dan mewujudkan cinta Allah), dan persekutuan dengan Roh Kudus. Krispurwana (2004: 67-69) menegaskan bahwa cara hidup beriman yang sesungguhnya adalah pelayanan, bukan kekuasaan, sabda Allah bukan ajaran-ajaran, karisma bukan jabatan dan memihak pada mereka yang miskin bukan hanya pada mereka yang kaya. Maka hidup beriman ditandai dengan gerak peristiwa kehidupan umat beriman.

Berdasarkan hal ini penulis ingin mendeskripsikan perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi Kutai Barat setelah empat tahun belajar di Prodi PAK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah kabupaten Kutai Barat dan instansi yang bergerak dalam bidang pendidikan. Maka penulis menyusun karya tulis ini dengan judul : Deskripsi Kualitatif Perkembangan Iman Mahasiswa-Mahasiswi Kabupaten Kutai Barat Program Studi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

B.Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud sebagai perkembangan iman?

2. Sejauh mana perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi Kutai Barat yang belajar selama empat tahun di Prodi PAK, USD?

(26)

C.Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan arti perkembangan iman.

2. Mendeskripsikan perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi program studi PAK, USD.

3. Memberikan usulan kegiatan yang dapat dilakukan demi perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi Prodi PAK, USD yang berasal dari Kabupaten Kutai Barat.

D.Manfaat Penulisan

1. Manfaat Secara teoritis

Tulisan ini diharapkan memberi sumbangan bagi perkembangan dalam bidang pendidikan, serta menjadi acuan penelitian yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan dan perhatian bagi instansi penyelenggara pendidikan di bidang agama, maupun bagi pemerintah daerah kabupaten Kutai Barat dalam rangka memberikan arahan atau pembinaan terkait perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi.

E.Sistematika Penulisan

Bab I akan menjabarkan pendahuluan yang berisikan gambaran umum mengenai perkembangan iman dan tantangan dalam mengembangkan iman. Penulisan ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

(27)

Sedangkan dalam Bab III ini penulis akan menggambarkan perkembangan iman mahasiswa-mahasiswi Prodi PAK melalui proses wawancara yang mendalam (deep interview).

Dalam Bab IV ini penulis akan menyampaikan usulan atau sumbangan pemikiran dalam bidang pendampingan iman, khususnya pendampingan iman mahasiswa-mahasiswi.

(28)

BAB II

POKOK-POKOK PERKEMBANGAN IMAN

Bab pertama telah menguraikan tentang latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan skripsi. Bab kedua akan membahas mengenai perkembangan iman. Bab kedua ini merupakan jawaban terhadap rumusan masalah yang pertama, yakni pokok-pokok yang berkaitan dengan perkembangan iman.

Bab ini membahas pandangan dari berbagai sumber yang berkaitan dengan perkembangan iman. Pembahasan dalam bab ini dibagi ke dalam enam bagian, yakni bagian pertama menjelaskan tentang konsep umum perkembangan dan pengertian iman berdasarkan Kitab Suci, Dokumen Gereja dan pendapat para ahli. Bagian kedua mengkaji tahap-tahap dalam perkembangan iman. Bagian ketiga menguraikan tema mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan iman. Bagian keempat mengidentifikasikan tantangan dalam perkembangan iman. Bagian kelima membahas tentang penghayatan dan perwujudan iman, sedangkan bagian keenam memberikan gambaran iman yang berkembang.

A. Perkembangan Iman

1. Pengertian Perkembangan

Siti Rahayu (2006: 1) mengungkapkan pandangan Werner bahwa

(29)

Siti Rahayu (2006: 2) juga membahasakan pandangan Knoers tentang perkembangan. Knoers mengatakan “perkembangan berkaitan dengan proses belajar. Dalam hal ini kebiasaan dan cara belajar menentukan apa yang akan berkembang. Pendapat ini menyampaikan bahwa perkembangan akan terjadi bila ada upaya atau proses belajar”.

Selain mengutip pandangan Werner dan Knoers, Siti Rahayu (2006: 2) juga menguraikan pandangan Monks terhadap perkembangan. Monks mendefinisikan perkembangan sebagai suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan lingkungan menentukan tingkah laku. Pandangan ini menegaskan bahwa perkembangan adalah proses yang terus bergerak maju dan mendapat pengaruh dari lingkungan.

Dari tiga pendapat ini perkembangan dapat dipahami sebagai suatu proses perubahan yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan hanya akan terjadi bila ada proses belajar. Perkembangan mendapat pengaruh yang besar dari faktor luar, yakni hubungan individu dengan lingkungan.

2. Pengertian Iman

a. Pengertian Iman Menurut Kitab Suci

1) Perjanjian Lama

Menurut Mardiatmadja (1985: 139) Teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama menggunakan kata pέpoitha yang artinya adalah percaya atau diyakinkan. Kata

(30)

10:20). Kepercayaan ini berlandaskan kesetiaan Yahwe akan janji-janji-Nya. Sehingga

kata “percaya” dalam konteks ini berbeda dengan kepercayaan terhadap manusia, benda-benda dan berhala (bdk. Yes 36:7; Maz 118:8). Tetapi istilah pistis lebih sering digunakan dalam Perjanjian Lama. Kata ini digunakan sebagai terjemahan dari kata

aman yang berarti benar, dapat dipastikan, setia dan teguh. Istilah pistis dapat digunakan kepada manusia (Bil 12:7) dan juga terhadap Tuhan yang memberikan kasih setia serta menepati janji-Nya (Ul 7:9). Semua istilah ini memiliki arti yang sama yakni, percaya hanya konteks dan subyek penggunaan istilah-istilah tersebut berbeda. Maka dari uraian ini iman dapat dimaknai sebagai tindakan percaya terhadap kasih karunia Allah serta janji-Nya.

Iman dalam Perjanjian Lama dapat dipahami dengan rinci melalui kisah Abraham. Ia meninggalkan tanah kelahirannya beserta sanak saudaranya ketika Allah berfirman dan meminta ia menuju tanah terjanji yang tidak diketahuinya sama sekali. Karena imannya terhadap Allah, Abraham rela pergi meninggalkan negerinya menuju tanah Kanaan yang dijanjikan oleh Allah kepadanya (Kej 12:1-8). Abraham sangat yakin bahwa yang dikatakan Allah kepadanya pasti akan terjadi. Sikap Abraham digambarkan sebagai jawaban yang bebas terhadap Allah yang menjanjikan perlindungan dan keturunan (Kej 15:7). Meskipun ia tahu bahwa Sarah istrinya adalah seorang yang mandul, tetapi ia tetap menerima dan percaya akan janji yang diberikan oleh Allah (Kej 16:1). Melalui tindakan ini, Abraham menaruh kepercayaan yang mutlak terhadap Allah dan yakin akan perlindungan-Nya.

(31)

pembebasan ini bermula dari penampakan Tuhan kepada Musa untuk mewahyukan nama-Nya dan menawarkan kerelaan Musa untuk membebaskan Israel (Kel 3:1-22). Menanggapi pengutusan tersebut Musa tidak yakin bangsa Israel akan percaya kepadanya, lalu Tuhan memberikan mukjizat kepada Musa agar bangsa Israel mempercayai-Nya. Allah meminta Musa untuk menyampaikan mukjizat tersebut kepada Harun agar memberitakan mukjizat tersebut kepada bangsa Israel (Kel 4:1-16). Bangsa Israel percaya bahwa Allah telah mengunjungi mereka dan sujud menyembah (Kel 4:28-31). Setelah meninggalkan Mesir dan mengalami berbagai kasih Allah, bangsa Israel percaya kepada Allah dan Musa, hamba-Nya (Kel 14:31). Dalam sejarah keselamatan bangsa Israel ini beriman diartikan sebagai sikap tunduk dan menerima sepenuhnya pewahyuan kekuasaan Ilahi dan percaya akan janji-janji Allah .

Berdasarkan uraian ini maka iman dalam Perjanjian Lama dapat diartikan sebagai sikap percaya sepenuhnya kepada kuasa Allah dan percaya akan janji-Nya untuk menyelamatkan manusia serta patuh terhadap perintah-Nya. Percaya dalam hal ini bukan hanya pengakuan semata melainkan diikuti dengan sikap tunduk dan hormat terhadap Allah sumber keamanan dan ketentraman (Mardiatmadja, 1985: 139-142).

2) Perjanjian Baru

(32)

percaya terhadap penyelenggaraan-Nya (Mat 7:7; Luk 11:9-10; Yoh 14:13-14). Sikap percaya yang dimaksud bukan semata-mata karena telah melihat bukti nyata yang tampak oleh indra manusia. Iman pertama-tama menuntut penyerahan diri secara total terhadap yang diimani, bukan bukti dari apa yang diimani.

Paulus dalam suratnya menyatakan bahwa alasan utama mereka beriman bukan karena mereka telah melihat bukti, tetapi karena mereka percaya (2 Kor 5:7). Melalui suratnya kepada jemaat di Korintus ini Paulus menegaskan bahwa iman tidak harus selalu dibuktikan dengan cara-cara yang tampak oleh indra manusia. Seseorang percaya pada Allah bukan karena ia telah melihat Allah, tetapi karena ia mengalami kasih Allah dalam hidupnya. Yesus sendiri berfirman "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya" (Yoh 20:29). Teks Kitab Suci ini berisi tanggapan Yesus terhadap tindakan Tomas, salah seorang murid-Nya yang tidak percaya bahwa Ia telah bangkit karena tidak melihat Yesus dengan mata kepalanya sendiri (Yoh 20:29). Dalam uraian ingin ditegaskan bahwa iman bukan semata-mata diperoleh dari apa yang kita lihat, pahami dan kita rasakan menggunakan indra kita. Iman diperoleh melalui sikap berserah diri sepenuhnya terhadap Allah.

(33)

Maria menunjukkan kepada kita sikap beriman yang sejati yakni, percaya sepenuhnya kendatipun bagi akal manusia hal tersebut tidak mungkin.

Selain dipahami sebagai kegiatan percaya, iman juga dimaknai sebagai karunia atau anugerah dari Allah. Artinya, iman sesungguhnya bukanlah hasil dari usaha manusia, melainkan anugerah yang diberikan oleh Allah. Kata anugerah mengisyaratkan bahwa iman merupakan pemberian cuma-cuma oleh Allah bagi manusia. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menyatakan bahwa manusia seharusnya binasa karena perbudakan hawa nafsu. Tetapi melalui Yesus, Allah menyelamatkan manusia. Iman akan Kristus inilah yang menyelamatkan manusia dari kehancuran dan ini adalah karunia Allah (Ef 2:1-10; Kol 1:23).

Iman berkaitan dengan pengharapan akan keselamatan kekalyang diberikan

karena kasih karunia Allah. Kendati iman adalah sikap penyerahan diri seseorang dan

merupakan anugerah dari Allah, bukan berarti iman tidak ada hubungannya dengan

sesama. Rasul Yakobus mengajarkan, bahwa iman itu harus disertai

perbuatan-perbuatan kasih agar iman itu menyelamatkan. Iman memiliki kaitan yang sanga erat

dengan perbuatan, sebab hanya dengan perbuatan iman menjadi sempurna. Yakobus

menceritakan kembali kisah Abraham yang dibenarkan karena

perbuatan-perbuatannya, bukan hanya karena imannya. Sama seperti halnya tubuh tanpa nyawa

akan mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:22,24,26). Gagasan ini menegaskan bahwa iman bukan hanya soal seberapa sering kita berdoa dan merenungkan sabda Tuhan, tetapi juga menyangkut tindakan konkret dari apa yang kita imani.

(34)

dari kisah-Nya, melaksanakan sabda-Nya, menerima setiap anugerah cinta dan keprihatinan-Nya bagi kita sebagai kebenaran dan mewujudkannya dalam setiap aspek hidup kita. Bukan sekedar melaksanakan sesuai dengan yang baik menurut pikiran kita, tetapi juga harus melibatkan hati dan seluruh hidup kita (Mardiatmadja. 1985: 154-155).

b. Pengertian Iman Menurut Dokumen Gereja

Pada bagian ini penulis akan menguraikan pandangan dokumen-dokumen Gereja terkait dengan iman. Dokumen yang digunakan dalam pembahasan ini adalah Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi yakni, Dei Verbum dan Katekismus Gereja Katolik (KGK).

1) Dei Verbum

Iman memiliki korelasi dengan wahyu Ilahi, sebelum mendefinisikan iman maka, wahyu harus dipahami terlebih dahulu. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi yakni, Dei Verbum merumuskan Wahyu sebagai berikut :

Allah telah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya. Dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya (DV art.2).

(35)

sebagai wahyu yakni, pernyataan diri Allah dan rencana keselamatan-Nya yang mengundang manusia untuk ambil bagian di dalamnya.

Atas perbuatan Allah ini, manusia perlu memberikan tanggapan dalam bentuk sikap percaya dan berserah sepenuhnya pada penyelenggaraan Allah. Penyerahan diri ini merupakan suatu keputusan yang dilakukan dengan bebas dan menyangkut seluruh aspek manusia: akal budi dan kehendak. Konsili Vatikan II menyatakan :

Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan

“ketaatan iman”. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu dikaruniakan oleh-Nya (DV art.5).

Berdasarkan rumusan ini maka iman dapat dimengerti sebagai penyerahan seluruh hidup (kehendak dan budi) secara bebas kepada Allah yang telah mewahyukan dan menyatakan diri-Nya kepada kita manusia. Penyerahan ini berupa kepatuhan akal budi terhadap Allah, terutama dalam karya penciptaan dan sejarah keselamatan-Nya.

2) Katekismus Gereja Katolik (KGK)

Salah satu dokumen Gereja yang berbicara khusus mengenai iman adalah Katekismus Gereja Katolik. KGK mendefinisikan iman sebagai berikut :

(36)

Uraian dokumen ini menjelaskan bahwa unsur yang paling mendasar dari iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah yang berlandaskan kebebasan. Dalam ikatan tersebut dengan penuh kebebasan manusia menyerahkan diri kepada Allah dan percaya akan kebenaran yang diwahyukan-Nya.

Dalam artikel yang lainnya KGK juga menjelaskan bahwa iman merupakan suatu rahmat cuma-cuma yang kita terima saat kita dengan sungguh-sungguh memohonkannya. Iman menjadi kekuatan adikodrati yang mutlak diperlukan jika ingin mencapai keselamatan. Kendati iman adalah rahmat yang diberikan secara cuma-cuma, iman tetap menuntut kehendak bebas dan pemahaman yang jelas dari seseorang ketika menerima undangan Ilahi ini. iman adalah kepastian yang mutlak karena Yesus sendiri yang menjaminnya. Iman tidak akan mendapat kepenuhan jika tidak dinyatakan lewat perbuatan cinta kasih yang nyata. Iman akan semakin bertumbuh ketika kita semakin cermat mendengarkan sabda Tuhan dan menjalin relasi dengan-Nya melalui doa. Iman memberikan kita kesempatan untuk menikmati suasana surgawi (KGK, art.153-165, 179-180,183-184 ).

(37)

c. Pengertian Iman Menurut Para Ahli

1) Pengertian Iman Menurut Thomas H. Groome

Groome (2010: 81) menyatakan bahwa iman Kristen sebagai realitas yang hidup memiliki tiga ciri yang mendasar, yakni : 1) keyakinan, 2) hubungan yang penuh kepercayaan, 3) kehidupan agape yang hidup. Namun bila berbicara secara khusus iman Kristen sebagai realitas yang hidup maka, ketiga ciri ini diekspresikan dalam tiga dimensi, yakni iman sebagai keyakinan (faith as believing), iman sebagai kepercayaan (faith as trusting) dan iman sebagai tindakan (faith as doing). Dalam iman Kristen, ketiga dimensi ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dihayati secara terpisah. Iman akan berkembang apabila tiga dimensi ini dapat berkembang secara serentak. Groome menguraikan ketiga dimensi iman tersebut sebagai berikut:

a) Iman sebagai keyakinan (faith as believing)

Iman sebagai keyakinan (faith as believing) adalah dimensi iman yang menekankan segi intelektual. Iman dipahami sebagai sebuah keyakinan, oleh sebab itu iman harus direnungkan, dipahami dan didalami agar iman dapat diyakini dengan teguh. Salah satu bentuk dari dimensi kognitif ini adalah kemampuan untuk mengkritisi informasi yang diterima, bukan hanya menolak tetapi juga memandang berbagai hal sebagai jalan untuk memperkembangkan iman. Dimensi kognitif iman menekankan bahwa iman dapat dipertanggungjawabkan menurut daya akal budi.

(38)

dimensi intelektual iman. Santo Agustinus adalah salah seorang tokoh Gereja yang menekankan dimensi intelektual dalam iman yang menyatakan bahwa pemahaman kognitif adalah hadiah dari iman. Artinya, keyakinan terhadap terang anugerah Allah harus menuju pada pengertian tentang apa yang diyakini. Dalam hal ini “mengerti” datang melalui kemampuan akal yang dibimbing oleh pernyataan dan pengajaran Gereja.

Iman sebagai keyakinan (faith as believing) berkenaan dengan hal-hal yang bersifat kognitif dari iman. Thomas Aquinas seorang tokoh Gereja yang juga memberi perhatian pada dimensi kognitif dari iman menyatakan bahwa tindakan percaya adalah tindakan kecerdasan berpikir yang menyetujui kebenaran Ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah. Pernyataan ini memang cenderung menyamakan iman dengan kepercayaan yang maknanya direduksi menjadi persetujuan intelektual terhadap ajaran-ajaran yang dinyatakan secara resmi. Dalam pemahaman Gereja Katolik iman berarti memberi persetujuan intelektual terhadap ajaran magisterium.

(39)

b) Iman sebagai kepercayaan (faith as trusting)

Iman sebagai kegiatan kepercayaan (trusting) lebih menekankan segi afektif dari iman yang berdasarkan kepercayaan. Dimensi iman yang bersifat afektif ini merupakan hubungan pribadi seseorang yang penuh kepercayaan dengan Allah yang telah menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam bentuk kesetiaan dan kasih. Karya penyelamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus menimbulkan kepercayaan, kekaguman, hormat, pemujaan, rasa terima kasih, dan permohonan dari pihak kita. Perasaan-perasaan ini kemudian diungkapkan melalui doa, baik secara pribadi maupun komunal. Doa merupakan dimensi dialogis dari hubungan kita dengan Allah, tanpa dialog ini maka hubungan tersebut tidak akan bertahan. Groome (2010: 90) menyampaikan pendapat Bonhoeffer bahwa iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan karena iman akan nyata ketika ada ketaatan.

Iman sebagai kepercayaan (faith as trusting) merupakan relasi pribadi seseorang dengan Tuhan. Relasi ini menekankan segi afeksi atau rasa yang terkait dengan hati nurani. Segi afeksi ini membahas soal isi hati, oleh karena itu hal yang paling utama dalam dimensi afektif ini adalah mendengarkan suara hati. Selain itu, untuk menjalin relasi tersebut harus ada rasa bangga terhadap apa yang di imani, kebebasan, dan tanggungjawab.

c) Iman sebagai kegiatan melakukan (faith as doing)

Iman sebagai kegiatan melakukan (faith as doing) berkenaan dengan ungkapan nyata dari iman dalam wujud tindakan. Yesus sendiri menegaskan bahwa orang yang masuk Kerajaan Allah bukanlah mereka yang selalu berseru “Tuhan,

(40)

ingin ditegaskan kembali bahwa iman tidak cukup hanya dengan kata-kata saja, iman membutuhkan sebuah tindakan nyata. Oleh sebab itu iman sebagai realitas hidup sangat penting. Artinya apa yang diimani harus sungguh dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Dalam tradisi Kristen tindakan tersebut terwujud dalam panggilan hidup untuk saling mengasihi. (Groome, 2010: 90).

2) Pengertian Iman Menurut James W. Fowler

Groome (2010: 95-99) mengungkapkan pandangan Fowler tentang iman berdasarkan prespektif strukturalis dengan berfokus pada struktur-struktur yang mendasari pikiran dan kepercayaan manusia. Berikut pengertian iman menurut Fowler:

a) Iman sebagai yang utama

Menurut Fowler iman adalah inti hidup manusia yang mewarnai dan membentuk seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, iman adalah fokus atau orientasi utama manusia untuk memaknai kehidupan di dunia ini. Pengertian iman sebagai yang utama ini menegaskan bahwa iman adalah hal yang mendasar bagi hidup manusia dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia.

b) Iman sebagai kegiatan mengetahui yang aktif

(41)

c) Iman sebagai hubungan

Bagi Fowler “iman adalah fenomena hubungan yang mutlak”. Hubungan

yang pertama adalah antara diri kita dengan sesama. Dalam hubungan ini iman memiliki dua kutub yang bersifat sosial atau hubungan antara satu dengan yang lain.

Selain hubungan dengan sesama, iman juga merupakan “hubungan seseorang dengan

kondisi-kondisi akhir dan eksistensi yang lebih dalam”. Hubungan ini membentuk kutub ketiga dari iman, dengan demikian iman adalah hubungan yang berkutub tiga. Hubungan tiga serangkai ini adalah antara diri kita dengan sesama dan Allah yang terwujud dalam diri Yesus Kristus.

d) Iman sebagai sesuatu yang rasional dan berhubungan dengan perasaan

Iman merupakan cara mengetahui dunia secara aktif dan cara berhubungan dengan dunia, maka iman memiliki dimensi kognitif dan juga afektif. Dimensi kognitif (rasionalitas) iman tidak dapat dipisahkan dari dimensi afektif (perasaan). Dimensi perasaan adalah emosi afektif yang muncul dari iman sebagai cara berhubungan, misalnya perasaan untuk mengasihi, memperhatikan, menghargai, kagum, hormat, takut. Maka dengan demikian beriman berarti berhubungan dengan seseorang atau sesuatu dengan cara sedemikian rupa, sehingga hati kita diarahkan, perhatian diberikan dan harapan kita tertuju pada orang lain.

e) Iman sebagai hal yang universal yang ada dalam diri manusia

(42)

agama memiliki hubungan dengan iman. Agama hanya menyediakan model-model kegiatan iman dan model-model untuk membentuk iman dan menambah iman. Tetapi iman jauh lebih luas dari ekspresi-ekspresi yang terorganisasi dalam agama.

B. Tahap-Tahap Perkembangan Iman Menurut Fowler

Cremers (1995: 95-96) mengungkapkan kembali pandangan Fowler bahwa tahap perkembangan iman sebagai keseluruhan operasi pengertian dan penilaian yang terintegrasikan dan spesifik secara kualitatif memungkinkan pribadi memiliki gambaran tentang iman yang berbeda sesuai dengan masing-masing tahap. Cremers berdasarkan pandangan Fowler membedakan dan mengidentifikasikan setiap tahap perkembangan iman berdasarkan tendensi perkembangan tertentu. Tahap tersebut dimulai dari struktur yang paling sederhana dan belum terdiferensiasi menuju struktur yang lebih kompleks dan terdiferensiasi.

(43)

1. Tahap Intuitif-Proyektif ( umur 2-6 tahun)

Dalam tahap ini anak terdorong oleh keinginan untuk mengekspresikan dorongan hatinya yang disertai dengan ketakutan akan hukuman karena kebebasannya. Anak mulai mempercayai orang lain, terutama orang tua yang telah mengasuhnya dan memberikan kasih sayang. Pada tahap ini juga anak mulai mengembangkan konsep tentang yang baik dan buruk. Mereka sering berimajinasi tentang kekuasaan yang mengatur kelangsungan hidup setiap makhluk di muka bumi ini. Bentuk-bentuk imajinasi yang sering muncul adalah gambaran tentang neraka, surga, Tuhan, yang pernah mereka dengar dari orang tua atau kisah dalam buku dongeng. Imajinasi anak pada tahap ini masih bersifat tidak masuk akal. Mereka masih sulit untuk membedakan antara fantasi dan realitas (Cremers, 1995 : 104-112).

Pada tahap ini anak bersifat egoistis, mudah berubah dan tidak logis

(magical). Kepercayaan yang ia dapatkan dibentuk secara intuitif dengan meniru orang dewasa. Dalam masa ini anak mulai menemukan realitas yang melampaui pengalaman sehari-hari dan bertemu dengan batas-batas kehidupan, misalnya kematian. Selain sikapnya yang masih egoistis, anak-anak juga sulit membedakan antara pandangan orang tua dengan pandangannya sendiri, terutama pandangan tentang Tuhan, malaikat dan iblis. Ketuhanan digambarkan secara pra-antropomorfis dan magis berdasarkan kualitas fisik semata. Misalnya Allah digambarkan seperti angin yang ada di mana-mana (Cremers, 1995 : 113-117).

2. Tahap Mitis-Harafiah (6-12 tahun)

(44)

supranatural. Anak mulai mampu untuk menguji segala pikiran secara empiris atas dasar pengamatan sendiri dengan mengecek apakah pandangan-pandangan kepercayaannya sesuai dengan ajaran dan pendapat orang dewasa yang dihargainya. Mereka juga dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui cerita sebagai sarananya. Mereka langsung mengambil pemahaman harafiah terhadap pengalaman agama atau simbol-simbol agama seperti yang pernah mereka dengar. Dalam tahap ini kepercayaan menjadi soal bagaimana harus menilai cerita-cerita yang secara konkret mengandung seluruh simbol, kebiasaan, gambaran dan tradisi kepercayaan dalam kelompok. Dimensi naratif menjadi sarana yang utama untuk mengekspresikan kepercayaan anak pada suatu tatanan arti yang melampaui tingkat dunia konkret, serta menjadi sarana penjamin janji-janji di masa sekarang dan mendatang (Cremers, 1995 : 117-128).

Dalam tahap ini seorang anak secara lebih sadar bergabung dengan kelompok atau komunitas iman terdekatnya. Kepercayaannya dibentuk melalui cerita-cerita dan mitos-mitos yang diartikan secara harafiah. Allah tidak lagi dipandang sebagai orang tua atau raja yang jauh dari jangkauan manusia, melainkan sebagai “seorang sahabat” yang dekat dan akrab dengannya. Artinya, sumber nilai kebenaran dan kekuasaan

yang transenden mulai bersifat “pribadi” (Cremers, 1995 : 134).

3. Tahap Sintetis-Konvensional (12 – 21 tahun)

(45)

bersifat intim dengan Tuhan. Remaja mulai berpikir bahwa kegiatan imannya tidak dapat dipuaskan oleh jawaban-jawaban yang ada dalam masyarakat, sehingga mereka berupaya untuk mengikuti atau menjadi anggota organisasi keagamaan.

Dalam tahap ini iman masih ditafsirkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan kriteria yang dikatakan oleh orang dalam kelompoknya atau sesuai dengan pemahaman yang populer. Iman didasarkan pada pandangan orang lain, artinya dalam seluruh proses beriman seseorang akan menghidupi pandangan orang lain, sedangkan jati dirinya yang sesungguhnya semakin tidak tampak atau hilang. Tahap ini merupakan tahap penyesuaian diri di mana seseorang ingin sekali merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan orang lain yang dianggap penting. Mereka belum mampu memahami identitas pribadi untuk membuat keputusan-keputusan yang otonom. Iman seseorang yang berada dalam tahap ini masih bersifat

“konvensional” (kesepakatan bersama) dan sintesis (diterima begitu saja) dengan

otoritas yang berada di luar dirinya (Groome, 2010 : 101-102).

4. Tahap Individuatif-Reflektif (21-35 tahun)

(46)

kritis serta mawas diri dalam segala hubungan dengan tugasnya. Orang dewasa muda dalam tahap ini sudah memahami dirinya dan orang lain, tidak hanya menurut pola

sifat “pribadi” atau “antar pribadi”, melainkan sebagai suatu bagian sistem sosial dan

institusional.

Tahap ini menghasilkan sikap kritis terhadap seluruh simbol, mitos dan lain

sebagainya atau sering disebut sebagai tahap “demitologisasi”. Segala macam simbol dan mitos yang ia kenal selama ini mulai diselidiki dengan kritis dan radikal. Simbol tidak lagi dipandang identik dengan kesakralan, melainkan sebagai sarana yang memuat sejumlah arti tertentu. Ia menganggap agama sebagai organisasi yang

“konvensional” serta bertentangan dengan pengalaman religius yang ia alami. Sebagai

akibatnya, Allah tidak lagi dipandang sebagai pribadi yang paling mengenal hati dan menentukan hidup seseorang, melainkan sebagai Pribadi yang bebas dan dinamis mengundang setiap orang menjadi rekan-Nya.

(47)

Bagi orang dewasa muda yang dijadikan kriteria adalah aspek penghayatan yang sungguh-sungguh pribadi dan mesra sebagaimana diilhami dan disemangati oleh Allah yang berkarya dan mendorong hati mereka. Dalam tahap ini seseorang menemukan identitasnya dan terbuka pada realitas sosial yang ada (Cremers, 1995: 160-179).

5. Tahap Konjungtif (Setengah baya: 35-40 tahun)

Kepercayaan konjungtif biasanya muncul setelah usia paruh baya, yakni sekitar usia 35 tahun. Pada tahap ini gambaran diri yang telah tersusun ditinjau kembali secara lebih kritis. Berbagai pandangan hidup, kepribadian dan batas-batas diri yang sebelumnya telah ditetapkan dengan jelas, kini seakan-akan tidak ada. Muncul kesadaran baru dan pengakuan kritis terhadap berbagai macam ketegangan yang dirasakan oleh sang pribadi dalam diri dan hidupnya. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai hasil penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual dan jelas, melainkan hasil perpaduan berbagai paradoks. Dalam tahap ini seseorang mengalami tingkat kepolosan kedua yang mempengaruhinya dalam menafsirkan arti simbol. Semua simbol, bahasa, cerita, mitos, dan lain sebagainya, diterima sebagai salah satu sarana yang cocok untuk mengungkapkan realitas yang lebih mendalam (Cremers, 1995 : 185-205).

(48)

paradoks dan meyakini bahwa Allah adalah penopang hidup serta terang yang selalu menyinari dari dalam (Heryatno, 2008 : 79).

6. Tahap Yang Mengacu Pada Universalitas (30 tahun ke atas).

Tahap ini dianggap sebagai tahap yang paling tinggi. Dalam tahap ini keyakinan transendental mampu melampaui seluruh ajaran agama dan kepercayaan di dunia. Pada tahap ini orang tidak lagi memikirkan dirinya sendiri, bahkan kehadirannya dimaknai sebagai agen yang membawa perubahan di tengah dunia ke arah yang sebenarnya (Kerajaan Allah). Pada tahap ini seseorang sangat mencintai kehidupan, tetapi kehidupan tersebut tidak dipertahankan secara mati-matian. Dalam istilah teologi tahap ini adalah tahap di mana Kerajaan Allah dialami sebagai realitas kehidupan. Sedangkan dalam spiritualitas, tahap ini adalah keadaan penyatuan yang paling sempurna dengan Allah yang dapat dilakukan dalam kekekalan (Cremers, 1995 : 96-218).

(49)

C.Faktor-Faktor yang mempengaruhi perkembangan iman

1. Faktor Internal

a. Kebebasan

Menurut Chang (2001: 57) kebebasan adalah kemampuan untuk menentukan pilihan yang berasal dari dalam diri tanpa ada paksaan dari pihak luar. Kendati kebebasan merupakan masalah perseorangan bukan berarti kebebasan adalah sesuatu yang tanpa aturan. Kebebasan harus ditempatkan dalam konteks hidup manusia yang terbatas. Manusia selalu hidup berdampingan dengan orang lain, sehingga kebebasan seseorang selalu terkait dengan tatanan nilai normatif yang disepakati bersama. Perwujudan kebebasan dalam hubungan dengan batas-batas itu memungkinkan manusia untuk menemukan dan mengamalkan kebebasan dalam arti yang utuh.

(50)

b. Suara Hati

Menurut Chang (2001: 129) suara hati dalam bahasa Latin disebut

conscientia yang terbentuk dari dua kata yakni, cum (dengan) dan scientia (pengetahuan). Secara harafiah suara hati berarti “pengetahuan dengan”. Sedangkan

dalam bahasa Indonesia suara hati berarti hati yang telah mendapat cahaya Tuhan atau perasaan yang paling murni. Dalam terjemahan bahasa Indonesia unsur “hati” lebih ditekankan daripada pengetahuan.

Chang (2001: 129) juga mengemukakan kembali pemikiran Thomas Aquinas tentang suara hati yakni, “conscienta dicitur cum alio scientia” (“hati nurani sebagai

pengetahuan beserta yang lain”). Kata “cum-scientia” dimengerti sebagai “manusia mengetahui sesuatu dengan yang lain”. Suara hati dalam pemikiran Thomas Aquinas

mengandung pengertian yang lebih kaya, sebab bukan hanya “dengan pengetahuan”, tetapi memuat dimensi kebersamaan atau keterkaitan antar pribadi. Definisi ini ingin menegaskan bahwa suara hati tidak hanya mencakup unsur “pengetahuan” tetapi juga

“hati”, hal ini berarti mencakup seluruh pribadi manusia.

Katekismus Gereja Katolik memberikan uraian yang sangat jelas mengenai suara hati yakni, sebagai berikut :

Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum, hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batin (KGK, art. 1776)

(51)

kesadaran tentang hal yang baik dan yang jahat. Suara hati tidak hanya sekedar kesadaran moral tetapi juga kemampuan untuk mengambil keputusan untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Suara hati adalah inti terdalam dari manusia, karena melalui suara hati seseorang dapat mendengar suara Allah yang menggema.

c. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk memberikan tanggapan atas tindakannya. Tanggapan tersebut berupa jawaban atas pertanyaan mengapa tindakan tersebut dilakukan dan kesanggupan untuk menanggung konsekuensi dari tindakan tersebut. Dalam konteks moral, tanggung jawab tidak hanya dimaknai sebagai kesanggupan memberi jawaban dan menanggung konsekuensi, tetapi merupakan komitmen untuk melakukan kebaikan (Dapiyanta, 2013: 34)

Chang (2001: 59) mengungkapkan kembali pandangan Vidal tentang tiga unsur penting dalam menentukan tanggung jawab moral seseorang atas tindakannya yakni, unsur afektif, pengetahuan dan kehendak. Unsur afektif termasuk dalam bagian mendasar dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Karena tindakan manusia lahir dari iklim kejiwaan seseorang. Tatanan afektif manusia bukan hanya bersifat perasaan, tetapi sungguh mencerminkan kesatuan dalam diri manusia. Namun harus tetap dipahami bahwa masalah moral bukanlah masalah sentimental, karena moral berdasarkan kedalaman dan maksud tindakan seseorang. Unsur afektif dalam tindakan dijadikan sebagai kategori tindakan bertanggungjawab.

(52)

pertimbangan mendalam dan batasan-batasan yang terkontrol. Pengetahuan dalam hal ini tidak hanya mengacu pada kebenaran secara umum, tetapi mengacu pada arti pengetahuan akan nilai-nilai moral yang perlu ditempatkan dalam visi sejarah keselamatan. Unsur lain yang menentukan tanggungjawab moral seseorang adalah kehendak. Unsur ini menjadi penyatu antara unsur-unsur lain dalam tindakan. Kehendak merupakan suatu kesatuan kepribadian manusia yang diungkapkan dalam tindakan. Dalam tindakan yang berdasarkan kehendak tidak ada unsur paksaan, karena kehendak berasal dari dalam diri manusia. Unsur kehendak menunjuk pada aspek kebebasan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Berdasarkan uraian tersebut maka tanggungjawab dapat diartikan sebagai kesanggupan untuk memberi tanggapan terhadap tindakan yang ia lakukan dan merupakan sebuah komitmen untuk melakukan kebaikan. Sedangkan tanggungjawab moral adalah tindakan yang didasari oleh perasaan, pertimbangan akal budi dan kehendak bebas.

2. Faktor Eksternal

a. Keluarga

Keluarga adalah tempat perkembangan iman yang pertama dan utama. Dalam sebuah keluarga orang tua memiliki peran yang sangat strategis untuk mendidik dan memperkembangkan iman anak-anaknya. Salah satu dokumen Konsili Vatikan II,

(53)

benih-benih iman. Orang tua hendaknya memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya, sehingga benih-benih iman yang tertanam dalam diri anak-anak mereka dapat berkembang (GE, art. 11).

Kitab Hukum Kanonik (KHK) menyatakan :

Orang tua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban yang sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka, maka dari itu adalah pertama-tama tugas orang tua kristiani untuk mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak menurut ajaran yang diwariskan Gereja (Kan. 226, § 2).

Orang tua memiliki tugas yang cukup berat yakni, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan pendidikan anaknya. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama untuk anak-anaknya terutama dalam hidup beriman. Suasana yang penuh dengan kehangatan kasih sayang dan penghargaan adalah tempat yang sangat kondusif untuk perkembangan iman anak. Oleh sebab itu perlulah suasana tersebut diusahakan agar tercipta dalam keluarga, sehingga semua anggota keluarga merasa saling memiliki. Perkembangan iman seseorang mendapat pengaruh yang sangat besar dari keluarganya. Jika dalam keluarga seorang anak tidak pernah mengalami pendidikan iman dan teladan yang baik, maka dapat dipastikan setelah dewasa ia akan kesulitan mempertanggungjawabkan imannya.

(54)

Keluarga sering juga di sebut sebagai lingkungan primer karena merupakan tempat bagi anak untuk mengalami pembinaan iman yang pertama. Oleh sebab itu peran keluarga sangat penting dan mendasar bagi perkembangan iman anak. Jika dalam keluarga diselenggarakan pembinaan iman yang kondusif dan relevan serta signifikan maka iman anak akan terbentuk sampai ia dewasa. Sebaliknya jika dalam lingkungan primer gagal memberikan pembinaan iman yang layak, maka kemungkinan dalam tahap sekunder juga akan gagal.

b. Gereja

Menurut Mardiatmadja (1985: 15) kata Gereja berasal dari bahasa Portugis

Igreja yang berakar dari Bahasa latin Ecclesia. Kata-kata ini merupakan terjemahan dari Bahasa Hibrani Qahal, yang berarti pertemuan. Kata ini seringkali digunakan untuk menyebut pertemuan dalam rangka perayaan kepada Yahwe yang disebut Qahal Yahwe. Istilah ini juga bermakna sebagai pertemuan meriah umat Allah. Sementara dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah kerk yang serumpun dengan kirche

dalam bahasa Jerman. Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani riake yang berarti milik Tuhan. Dalam bahasa Indonesia istilah Gereja mengandung kedua arti tersebut dan digunakan untuk menyebut paguyuban umat beriman.

(55)

Dari uraian ini Gereja dapat dipahami sebagai persatuan antara manusia dengan Allah dan sesama. Melalui Gereja manusia menjalin hubungan personal yang mendalam dengan Allah. Tetapi istilah Gereja bukan hanya mengacu pada urusan rohani semata, Gereja juga merupakan persatuan antara umat manusia. Kedua dimensi ini tidak dapat dihayati secara terpisah, artinya persatuan dengan Allah harus tampak dalam persatuan dengan manusia.

Persatuan yang dimaksud bukanlah persatuan yang seringkali dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Namun persatuan dalam hal ini adalah persatuan yang universal tanpa membedakan suku, ras dan bahasa. Dalam konteks inilah Gereja memiliki pengaruh terhadap perkembangan iman seseorang. Karena Gereja sebagai paguyuban umat beriman adalah wadah untuk memperkembangkan iman. Melalui komunitas umat beriman ini berbagai ajaran dan tradisi iman diwariskan. Maka keterlibatan dalam berbagai kegiatan Gereja akan mempengaruhi perkembangan iman seseorang (Mardiatmadja, 1985: 23-26).

c. Sekolah

Sekolah pada umumnya adalah lembaga pendidikan formal yang memiliki jenjang pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sekolah menjadi tempat untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu mulai dari membaca, berhitung, menulis, hingga nilai-nilai moral. Melalui sistem dan manajemen yang cukup kompleks sekolah bertujuan untuk mencerdaskan dan membentuk pribadi seseorang menjadi lebih dewasa (Papo, 1990: 13).

(56)

melatih, dan mengembangkan semangat kewarganegaraan dalam siri anak didik melalui penanaman nilai-nilai moral. Sekolah menjadi wahana bagi aktualisasi pendidikan nilai. Di dalam sekolah siswa-siswi diharapkan belajar mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah mereka terima secara langsung (Doni, 2007: 224-225).

Uraian ini menegaskan bahwa sekolah bukan hanya mencerdaskan seseorang dalam bidang kognitif tetapi hal-hal yang bersifat rohani juga menjadi perhatian utama. Sekolah dipandang memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pribadi menjadi cerdas dan beriman. Hal ini juga senada dengan pandangan Konsili Vatikan II dalam dokumennya tentang pendidikan yakni, Gravissimum Educationis :

Di antara segala upaya pendidikan, sekolah mempunyai makna yang istimewa. Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberikan penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka macam watak dan perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Kecuali itu, sekolah bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia (GE, art. 5)

(57)

Melalui peran strategisnya ini sekolah juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan iman seseorang. Karena melalui sekolah diajarkan berbagai macam ajaran yang telah tersusun secara sistematis guna memperkembangkan hidup beriman seseorang. Keadaan dan iklim belajar di sekolah misalnya, ketersediaan guru, sarana dan prasarana menjadi penunjang dalam proses perkembangan iman mereka yang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut (Doni, 2007: 225).

d. Lingkungan Masyarakat

Kehidupan masyarakat sekitar memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan pribadi seseorang. Masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar dan memiliki kebiasaan tidak baik akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap pribadi anggota masyarakat lainnya, terlebih anak-anak dan kaum muda. Mereka akan tertarik untuk mengikuti dan berbuat seperti yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Misalnya seseorang yang tinggal di lingkungan perokok, kemungkinan besar ia akan menjadi perokok (Slameto, 2013: 71).

(58)

D. Tantangan Perkembangan Iman

Perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang teknologi memberi dampak yang cukup signifikan terhadap peradaban manusia. Perubahan ini sering kali disebut modernisasi atau globalisasi. Iswarahadi (2013: 46)

mengungkapkan kembali pandangan Arthur yang menyatakan bahwa “globalisasi

adalah keseluruhan proses baik bidang industri, ekonomi, teknologi, maupun ilmu

pengetahuan”. Globalisasi “merobohkan” batas-batas regional (suku, agama, bangsa) yang membendung pengaruh dari luar. Di jaman ini informasi sangat berlimpah dan aksesnya terbuka lebar. Perkembangan ini memang patut disyukuri, tetapi di lain pihak perkembangan ini justru membawa dampak yang negatif. Media jaman ini lebih cepat mengubah hidup manusia dari pada agama. Masyarakat begitu mudah terbius oleh media, dan menganggap agama tidak cocok lagi untuk dijadikan dasar hidup jaman ini, karena tidak mampu menawarkan solusi yang instan (Iswarahadi, 2013: 48).

(59)

1. Pragmatisme

Menurut Mangunharjana (1997: 189) istilah pragmatis berakar pada bahasa Yunani pragmatikos dalam bahasa Latin menjadi pragmaticus. Secara harafiah

pragmatikos adalah keahlian dalam urusan hukum, perkara negara dan dagang. Istilah ini dalam bahasa Inggris menjadi kata pragmatic yang artinya berkaitan dengan hal-hal praktis. Pragmatisme dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis di mana hasilnya dapat langsung dimanfaatkan. Pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekedar untuk diketahui, tetapi untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran. Menurut kaum pragmatis otak berfungsi untuk membimbing perilaku manusia. Pemikiran, teori dan gagasan merupakan alat perencanaan untuk bertindak. Kebenaran segala sesuatu dibuktikan melalui tindakan atau realisasi. Jika tidak dapat dilaksanakan maka tidak dapat dipandang sebagai kebenaran.

(60)

Berdasarkan hal ini pragmatisme menolak kebenaran-kebenaran yang tidak secara langsung dapat dipraktikkan.

Pandangan pragmatisme cenderung mengarah pada pendangkalan akan makna hidup, karena segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai praktisnya. Pemikiran dan permenungan yang mendalam bukan menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan, sehingga makna hidup semakin direduksi dan terkikis. Sebagai akibat dari paham ini orang tidak percaya akan kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. Terlebih dalam hal iman yang seringkali berkaitan dengan hal-hal abstrak dan sulit untuk dilaksanakan misalnya, kesetiaan suami terhadap istrinya, meskipun istrinya sering kali menghianati janji perkawinan mereka.

2. Individualisme

Menurut Mangunhardjana (1997: 107) individualisme berasal dari bahasa latin

individuus, dalam kata sifatnya menjadi indiviualisyang berarti ‘pribadi’ atau bersifat ‘perorangan’. Menurut paham individualisme pribadi memiliki kedudukan utama dan

(61)

3. Konsumerisme

Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau

kelompok melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan secara sadar dan berkelanjutan. Perilaku ini menjadikan manusia sebagai pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan sangat sulit dihilangkan. Sifat konsumtif seseorang terus mengejar pemenuhan keinginannya, sehingga kebutuhan yang paling mendasar cenderung dilupakan. Konsumerisme akan menjadikan Tuhan sebagai sarana untuk memperoleh produk tertentu sehingga kebesaran Tuhan akan ditentukan dari kesanggupan-Nya memenuhi kebutuhan materi (Mangunhardjana, 1997: 120).

4. Hedonisme

(62)

E.Penghayatan dan Perwujudan Iman

Banawiratma (1986: 119-122) menyatakan bahwa iman bersifat otonom. Iman Kristiani sebagai jawaban dan penyerahan diri terhadap Allah disebut otonom, karena menyangkut seluruh hidup manusia. Otonomi yang dimaksud adalah hubungan yang berlandaskan kebebasan. Kendati merupakan kebebasan, bukan berarti dalam iman kita bisa memilih seperti halnya memilih barang duniawi. Dalam iman manusia berhadapan dengan Allah, nilai yang paling tinggi. Maka kebebasan akan terwujud jika ada jawaban yang bebas dari pihak manusia. Tanpa tanggung jawab dari pihak manusia, iman hanya akan menjadi angan-angan atau khayalan semata. Relasi akan terjalin jika manusia memberikan jawaban dari hati atas gema sapaan Allah.

Bentuk jawaban manusia terhadap sapaan inilah yang disebut sebagai penghayatan dan perwujudan iman. Ungkapan iman adalah tindakan-tindakan yang secara eksplisit berhubungan dengan iman misalnya, doa-doa dan kewajiban religius lainnya. Sedangkan perwujudan iman adalah tindakan-tindakan yang tidak secara langsung berhubungan dengan iman, seperti menjalin relasi dengan umat agama lain, belajar dengan tekun, dll. Banawiratma (1986: 120) mendefinisikan penghayatan iman sebagai heils-ethos (etos keselamatan) dan perwujudan iman sebagai welt-ethos (etos duniawi). Etos keselamatan adalah perbuatan religius yang diatur oleh hukum-hukum agama. Sedangkan etos duniawi adalah perbuatan-perbuatan yang diarahkan oleh aturan-aturan akal sehat dan pertimbangan moral manusia.

Gambar

Tabel 1 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Tabel 2 Identitas Responden
Tabel 3 Susunan Acara
Tabel 4 Matriks Program

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyajikan presentasi penampilan mahasiswa sebagai seorang penyaji sangatlah penting. Penampilan penyaji yang baik tidak hanya mempengaruhi kenyamanan dirinya dalam

Atau Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup yang memberi semangat dan kekuatan hidup untuk menghayati hidup panggilan sebagai calon katekis seakan menjadi rutinitas

Judul skripsi EFEKTIVITAS PENERAPAN KEGIATAN PRESENTASI MATA KULIAH TERHADAP PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN DIRI MAHASISWA DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN

Skripsi ini berjudul UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA-MAHASISWI CALON KATEKIS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK