• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya pengembangan pendampingan spiritualitas mahasiswa-mahasiswi calon katekis di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Upaya pengembangan pendampingan spiritualitas mahasiswa-mahasiswi calon katekis di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma - USD Repository"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA-MAHASISWI CALON KATEKIS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh Ariyanti NIM: 071124032

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

P E R S E M B A H A N

Kupersembahkan skripsi ini bagi semua pihak, yang dengan caranya masing-masing

(5)

v M O T T O

Tuhan tidak pernah terlambat dan tidak pernah terlalu cepat menjawab doa setiap orang, semua indah pada waktunya.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA-MAHASISWI CALON KATEKIS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA. Judul ini dipilih berdasarkan kesadaran bahwa spiritualitas adalah hal yang amat penting bagi seorang katekis. Prodi IPPAK adalah sebuah lembaga yang mendidik para calon katekis. Prodi ini amat memperhatikan dan selalu berupaya untuk membantu mahasiswanya dalam mengembangkan spiritualitas mereka sebagai calon katekis. Namun demikian, masih dijumpai beberapa keprihatinan bahwa mahasiswa calon katekis kurang terlibat dalam kehidupan menjemaat dan kurang memperhatikan kehidupan rohaninya. Hal ini disinyalir terjadi akibat mereka kurang menghayati spiritualitasnya sebagai calon katekis. Selain itu, ada gejala bahwa mahasiswa tampaknya kurang berminat terhadap program-program pendampingan spiritualitas yang telah diupayakan oleh Prodi. Gejala tersebut tampak dari kecenderungan mahasiswa untuk memilih tidak datang dalam kuliah pembinaan spiritualitas dan misa kampus. Kehadiran mereka dalam program-program tersebut hanya formalitas dengan motivasi untuk mengisi presensi saja. Bertolak dari kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu lembaga dalam mengupayakan pengembangan pendampingan spiritualitas yang ada di prodi IPPAK.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1) mengetahui gambaran pendampingan spiritualitas katekis, baik secara ideal maupun faktual yang terjadi di Prodi IPPAK, 2) menggali faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pendampingan spiritualitas dan 3) mencari upaya pengembangan pendampingan spiritualitas di Prodi IPPAK. Dalam rangka tujuan tersebut diperlukan sejumlah data yang dihimpun melalui penyebaran kuesioner terbuka, observasi, wawancara, serta studi dokumen dan studi pustaka.

(9)

ix ABSTRACT

This thesis is entitled An effort to enhance Spirituality assistane for the Student of Catholic Religion Education Study Program as Catechists Sanata Dharma University in Yogyakarta. This title was chosen based on the writer’s awareness that spirituality is a very important thing for a catechist. This study program is an institution which educates catechist candidates. This study program pays much attention to the students and always strives for helping them in developing their spirituality as the catechist candidates. Nevertheless, there exist the concerns that the students are less involved in the parish life and pay less attention to their spiritual life. It could happen because they are not fully comprehend their spirituality as catechist candidates. Moreover, there is an indication that the students are less interested in spirituality assistance programs endeavored by the study program. It is obviously visible from the students’ tendency to choose not to come to the spirituality building course and the campus Eucharist. Their presence in those programs is only as formality with the motivation of filling in the attendance list. Taking these facts as a background, thus this thesis is aimed to help the institution endeavor the development of spirituality assistance for the student of this study program.

Then, the writer formulated this thesis’ objectives as: 1) to know the picture of spirituality assistance for catechist candidates both idealistically and factually in this study program, 2) to dig the factors influencing the students’ involvement in spirituality assistance programs, and 3) to look for the effective efforts of spirituality assistance development for the student of this study program. To fulfill those objectives, several data were collected by means of open-ended questionnaire, observation, interview, document analysis, and library study.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan limpah terima kasih kepada Allah Bapa yang telah menyertai, membimbing, menuntun, dan menerangi penulis dengan rahmat serta kasih setia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA-MAHASISWI CALON KATEKIS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA.

Skripsi ini disusun berdasarkan kesadaran bahwa spiritualitas adalah hal yang amat penting bagi seorang katekis. Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (IPPAK) sebagai lembaga yang mendidik calon katekis telah mengupayakan berbagai program pendampingan spiritualitas bagi mahasiswa. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih ditemukan keprihatinan bahwa mahasiswa kurang menghayati spiritualitasnya sebagai calon katekis. Hal ini nampak dalam kurangnya keterlibatan mereka dalam kehidupan menjemaat serta kurang memperhatikan kehidupan rohaninya sendiri. Padahal, katekis yang dibutuhkan oleh umat zaman ini adalah katekis yang memiliki spiritualitas tinggi sekaligus profesional. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga dalam upaya mengembangkan pendampingan spiritualitas yang ada di Prodi IPPAK. Selain itu, skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menempuh ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

(11)

xi

ini. Oleh karena itu secara khusus pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Y. Kristianto, SFK, M.Pd., selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan diri dan meluangkan waktu untuk mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran serta kesetiaan, memberi masukan-masukan sejak awal hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Drs.Y.a.CH. Mardiraharjo, selaku dosen penguji II dan sekaligus dosen wali yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan di lembaga ini hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

3. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen penguji III yang telah memberikan perhatian, bimbingan, dukungan dan semangat dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing, mendukung dan mendidik penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Suster Maria Aquina, FSGM beserta para Suster FSGM lainnya yang telah memberikan tawaran studi di Prodi IPPAK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

6. Keluarga Bpk. Agustinus Karno yang telah mendukung penulis dengan doa dan cinta yang tulus serta penuh pengorbanan di masa-masa awal perkuliahan.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

DAFTAR TABEL ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS BAGI CALON KATEKIS .. 10

A. Pendampingan ... 10

1. Pengertian Pendampingan ... 10

2. Tujuan Pendampingan ... 11

3. Dasar Pendampingan ... 12

(14)

xiv

5. Syarat Pendampingan ... 13

B. Spiritualitas ... 17

1. Pengertian Spiritualitas ... 17

2. Unsur-Unsur Dasar Spiritualitas ... 20

3. Spiritualitas Kristiani ... 22

C. Katekis ... 23

1. Pengertian Katekis ... 23

2. Tugas Katekis ... 25

3. Kriteria Seorang Katekis ... 29

D. Pendampingan Spiritualitas Katekis bagi Calon Katekis ... 36

1. Spiritualitas Katekis ... 36

2. Pendampingan Spiritualitas bagi Calon Katekis ... 41

3. Pentingnya Pendampingan Spiritualitas bagi Calon Katekis ... 43

BAB III. GAMBARAN SITUASI PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA CALON KATEKIS DI

B. Penelitian tentang Pendampingan Spiritualitas Mahasiswa Calon Katekis Prodi IPPAK ... 60

1. Permasalahan Penelitian ... 60

2. Tujuan Penelitian ... 60

8. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 63

(15)

xv

10.Keabsahan Data ... 66

C. Hasil Penelitian tentang Pendampingan Spiritualitas Mahasiswa Calon Katekis Prodi IPPAK ... 67

1. Hasil dan Pembahasan Penelitian ... 68

2. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang Ditemukan 102

3. Dampak Pendampingan Spiritualitas bagi Mahasiswa ... 104

BAB IV. USULAN PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA CALON KATEKIS PRODI IPPAK ... 107

A. Latar Belakang Pemilihan Program ... 107

B. Tujuan Program ... 110

C. Penjabaran Program ... 112

1. Alasan Pemilihan Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 113

2. Panduan Jurnal dan Pertanyaan Refleksi ... 114

D. Petunjuk Pelaksanaan Program ... 116

1. Tahap Persiapan ... 116

2. Tahap Pelaksanaan ... 117

3. Follow Up/Tindak lanjut ... 117

E. Contoh Pengalokasian Waktu dalam Silabus Pembinaan Spiritualitas ... 118

1. Jadwal Pelaksanaan Live in ... 118

2. Contoh Pengalokasian waktu dalam silabus Pembinaan Spiritualitas ... 118

F. Manfaat Live in bagi Pengembangan Spiritualitas Mahasiswa IPPAK ... 119

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab: Perjanjian Lama dan Baru dalam terjemahan baru yang diselenggarakan oleh

Lembaga Alkitab Indonesia. LAI, 2005.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

EN : Evangelii Nuntiandi, Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern, 8 Desember 1975.

GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam Dunia Masa Kini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964

C. Singkatan Lain

AKKI : Akademi Kateketik Katolik Indonesia ANSOS : Analisa Sosial

(17)

xvii

CEP : Congregation for Evangelization of Peoples DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

DPA : Dosen Pembimbing Akademik FIPA : Fakultas Ilmu Pendidikan Agama HIMKA : Himpunan Mahasiswa Kateketik

IPK : Indeks Prestasi Kumulatif

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Kan : Kanon

KBP : Karya Bakti Paroki

KGK : Katekismus Gereja Katolik KHK : Kitab Hukum Kanonik

KOMKAT : Komisi Kateketik

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia LCD : Liquid Crystal Display

LPTK : Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan MAWI : Majelis Agung Wali Gereja Indonesia

PAK : Pendidikan Agama Katolik PIA : Pendampingan Iman Anak PPL : Program Pengalaman Lapangan

Prodi : Program Studi

PTS : Perguruan Tinggi Swasta

R : Responden

(18)

xviii SKS : Sistem Kredit Semester SMA : Sekolah Menengah Atas SLB : Sekolah Luar Biasa

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Pedoman Pertanyaan Kusioner Terbuka ... (1)

Lampiran 2: Panduan Pertanyaaan Wawancara ... (2)

Lampiran 3: Rangkuman Hasil Kuesioner ... (4)

Lampiran 4: Rangkuman Hasil Wawancara ... (11)

Lampiran 5: Transkrip Hasil Wawancara ... (14)

(20)

xx

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Jumlah Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 2 : Jumlah Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Status ... 50

Tabel 3 : Program Pelaksanaan Live in ... 112

Tabel 4 : Panduan Pertanyaan Refleksi Pelaksanaan Live in ... 115

Tabel 5 : Contoh Jadwal Pelaksanaan Live in untuk Mahasiswa IPPAK ... 118

Tabel 6 : Contoh Pengalokasian Waktu dalam Silabus Pembinaan Spiritualitas ... 119

Tabel 7a: Gambaran Mahasiswa IPPAK... (4)

(21)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini akan diuraikan latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan sistematika penulisan.

A. Latar Belakang

Dalam upaya mewartakan Kabar Gembira, Gereja Katolik mengikutsertakan kaum awam. Gereja Katolik menyadari betapa pentingnya keberadaan dan peran mereka di tengah masyarakat. Melalui kaum awamlah, Gereja Katolik dikenal, dipahami dan diharapkan dapat dicintai oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dalam diri mereka dan melalui mereka Gereja Katolik mewartakan Kabar Gembira, sebagai tugas perutusan yang hakiki untuk zaman sekarang (Prasetya, 2007: 29). Paus Paulus VI dalam Evangeli Nuntiandi, art 14 mengatakan “Sungguh menyenangkan dan memberikan hiburan bahwa pada akhir sidang Pleno tahun 1974 kita mendengar kata-kata yang menggembirakan ini: Kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa tugas untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan perutusan hakiki dari Gereja. Ini merupakan suatu tugas dan perutusan yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini” (EN 14). Kaum awam yang terlibat dalam kegiatan pewartaan Kabar Gembira ini biasanya disebut sebagai katekis.

(22)

Katekis adalah salah satu elemen Gereja yang penting. Secara singkat, peran mereka digambarkan sebagai berikut: Setyakarjana, (1997: 28) menggambarkan mereka adalah yang secara penuh atau sambilan menangani persoalan dan berkecimpung dalam pengembangan iman dan mengajar agama. Sementara itu, para katekis se-tanah air yang mengadakan pertemuan di Wisma Samadi-Klender, Jakarta pada tanggal 9 s.d. 12 Mei 2005 merumuskan bahwa katekis adalah orang beriman yang dipanggil secara khusus dan diutus oleh Allah serta mendapat penugasan dari Gereja melalui missio canonica dari Gereja terutama dalam karya pewartaan Gereja untuk memperkenalkan, menumbuhkan dan mengembangkan iman umat di sekolah dan dalam komunitas basis, baik teritorial maupun kategorial (Komkat KWI, 2005: 133). Untuk mengemban tugas yang demikian di zaman sekarang ini tentu bukan hal yang mudah.

(23)

dan situasi yang demikian, setiap orang dituntut untuk memiliki kegigihan serta daya juang yang besar untuk dapat bertahan menghadapi segala tantangan yang ada.

Setiap tugas akan berjalan baik kalau didukung oleh daya dorong atau semangat yang mendasarinya. Demikian juga dengan para katekis. Di tengah perkembangan dunia saat ini yang semakin diwarnai oleh pola hidup yang konsumtif, hedonis dan individualistis, mereka dapat melaksanakan tugas pewartaan dengan baik kalau didukung oleh daya dorong yang memberikan semangat dalam dirinya. Daya dorong itu tidak lain adalah motivasi dan spiritualitas sebagai katekis atau pewarta. Motivasi dan spiritualitas katekis atau pewarta perlu selalu dimurnikan, diperteguh, dan dikembangkan.

(24)

keinginan untuk memajukan pendidikan agama Katolik, juga bekerja selaku katekis.

Melihat kenyataan bahwa saat ini katekis masih sangat dibutuhkan, penulis sebagai mahasiswa calon katekis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas katekis. Dengan menghayati spiritualitasnya, seorang katekis akan mampu bertahan dalam segala kesulitan dan tantangan yang dihadapinya sehingga ia tidak meninggalkan karya dan pelayanannya. Mengingat bahwa spiritualitas menjadi hal yang sangat penting bagi kelangsungan tugas dan pelayanan seorang katekis, maka penulis ingin mengetahui sejauh mana pendampingan spiritualitas sebagai calon katekis diupayakan di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Prodi IPPAK, USD).

Dalam Panduan Program Studi IPPAK (2010: 4) tercantum visi yang amat luhur yaitu terwujudnya Gereja yang memperjuangkan masyarakat Indonesia yang semakin bermartabat. Lebih lanjut, misi dari lembaga ini adalah mendidik kaum muda menjadi katekis dalam konteks Gereja Indonesia yang memasyarakat serta mengembangkan karya katekese dalam Gereja demi masyarakat Indonesia yang semakin bermartabat. Untuk mengusahakan terbentuknya pribadi yang dewasa dan utuh sesuai dengan visi dan misi tersebut, lembaga ini menyelenggarakan program pendampingan baik akademik, spiritualitas maupun kepribadian bagi mahasiswa-mahasiswinya.

(25)

perlu diperhatikan juga adalah motivasi yang dimiliki oleh mahasiswa ketika memasuki Prodi ini. Bagi mereka yang sejak semula memiliki motivasi ingin menjadi seorang katekis atau guru agama tidak akan mengalami banyak kesulitan terutama dalam rangka menumbuhkembangkan spiritualitasnya sebagai pewarta. Akan tetapi berbeda dengan mereka yang tidak memiliki dasar yang demikian. Mereka perlu dibantu untuk menumbuhkan dalam diri mereka motivasi yang benar dan murni. Oleh sebab itu, Prodi IPPAK sebagai lembaga yang mendidik para calon katekis secara khusus juga menyelenggarakan berbagai program pendampingan spiritualitas yang bertujuan untuk membantu mahasiswa mengembangkan spiritualitasnya.

(26)

Keprihatinan yang lain adalah kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam hidup menggereja di lingkungan/jemaat. Meski pihak kampus telah mengusahakan sedemikian rupa untuk melibatkan mahasiswa dalam hidup menggereja melalui beberapa mata kuliah, namun keterlibatan mereka hanya sebatas melaksanakan tugas saja. Bila diperhatikan, kenyataan seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa penghayatan spiritualitas sebagai calon katekis masih amat kurang. Hal-hal demikian tentu tidak akan terjadi jika setiap mahasiswa memaknai setiap kegiatan dan keterlibatan tersebut yang ditujukan untuk membangun spiritualitas mereka.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa program pendampingan spiritualitas sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan spiritualitas sebagai calon katekis dalam diri mahasiswa. Oleh karena itu, upaya pendampingan spiritualitas mahasiswa perlu terus ditingkatkan agar sungguh-sungguh dapat membantu mahasiswa. Dalam rangka itu penulis terdorong menulis tugas akhir

dengan judul: UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN

(27)

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pendampingan spiritualitas bagi calon katekis, baik secara ideal maupun faktual yang terjadi di Prodi IPPAK?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pendampingan spiritualitas?

3. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pendampingan spiritualitas di Prodi IPPAK-USD?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh gambaran pendampingan spiritualitas bagi calon katekis, baik secara ideal maupun faktual yang terjadi di Prodi IPPAK.

2. Menggali faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pendampingan spiritualitas.

3. Menemukan upaya pengembangan spiritualitas katekis bagi mahasiswa-mahasiswi Prodi IPPAK.

D. Manfaat Penulisan

(28)

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pendampingan spiritualitas.

3. Memberikan sumbangan pemikiran pada Prodi IPPAK mengenai upaya pengembangan pendampingan spiritualitas bagi mahasiswa.

E. Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis didukung dengan penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui pengalaman, observasi, penyebaran kuesioner dan wawancara baik dengan dosen maupun mahasiswa serta melalui studi dokumen untuk mendapatkan gambaran yang konkret tentang pendampingan spiritualitas yang diselenggarakan di Prodi IPPAK.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi yang berjudul “UPAYA PENGEMBANGAN PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA-MAHASISWI CALON KATEKIS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA” ini, secara umum akan memuat pokok-pokok sebagai berikut:

Bab I : Bab ini berisi latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan sistematika penulisan skripsi.

(29)

pendampingan, spiritualitas, katekis dan pendampingan spiritualitas bagi calon katekis

Bab III: Bab ini berisi uraian mengenai gambaran situasi pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK yang terbagi dalam 2 (dua) pokok pembahasan yaitu: gambaran umum Prodi IPPAK dan penelitian tentang pendampingan spiritualitas di Prodi IPPAK, dan hasil penelitian tentang pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK

Bab IV: Bab ini berisi usulan program untuk meningkatkan pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis Prodi IPPAK. Bab ini menguraikan latar belakang pemilihan program, tujuan program, penjabaran program, petunjuk pelaksanaan program, contoh pengalokasian waktu dan manfaat program.

(30)

BAB II

PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS BAGI CALON KATEKIS

Bab II menguraikan pendampingan, spiritualitas, katekis dan pendampingan spiritualitas bagi calon katekis. Uraian mengenai pendampingan meliputi: pengertian, tujuan, dasar, prinsip, dan syarat pendampingan. Sedangkan uraian tentang spiritualitas terdiri dari: pengertian, unsur-unsur dasar, dan spiritualitas kristiani. Uraian mengenai katekis mencakup: pengertian, tugas dan tuntutan pokok bagi katekis. Sementara itu, uraian tentang pendampingan spiritualitas bagi calon katekis terdiri dari: spiritualitas katekis, pendampingan spiritualitas bagi calon katekis dan pentingnya pendampingan spiritualitas bagi calon katekis.

A. Pendampingan

1. Pengertian Pendampingan

Dalam buku yang berjudul “Pendampingan Kaum Muda: Sebuah Pengantar”, Mangunhardjana (1986: 22) mengartikan bahwa: “pendampingan

adalah suatu usaha membantu peserta menyongsong masa depan dengan tujuan, materi, bentuk, metode dan teknik pendampingan tertentu”. Dalam pendampingan diharapkan ada usaha dari dua arah yaitu dari pendamping kepada peserta pendampingan dan sebaliknya. Titik tolaknya dari keyakinan bahwa peserta yang didampingi mempunyai potensi yang dapat tumbuh menjadi kenyataan. Dengan

(31)

demikian pendampingan memiliki ciri utama, yakni menolong orang lain berkembang.

Dalam pendampingan, pendamping berperan membantu peserta untuk menemukan kemampuan mereka dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan kecakapan untuk mengembangkan kemampuan itu hingga mencapai kepenuhan.

2. Tujuan Pendampingan

Pendampingan bertitik tolak pada keyakinan bahwa peserta yang didampingi telah memiliki kemampuan/potensi yang dapat berkembang. Berdasarkan titik tolak tersebut, maka tujuan pendampingan adalah: Pertama, membantu para peserta menemukan kemampuan yang mereka miliki. Kedua, membantu peserta untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Untuk mencapai kedua hal tersebut diperlukan ilmu, informasi, pengetahuan, pelatihan kecakapan sikap, dan perilaku hidup yang memadai dalam segi-segi pokok yang bertujuan dengan hidup pribadi, kebersamaan dengan orang lain dan peran mereka dalam masyarakat, bangsa dan dunia.

(32)

3. Dasar Pendampingan

Menurut Mangunhardjana (1986: 40-41) yang menjadi dasar pendampingan bagi kaum muda adalah pendidikan orang dewasa. Yang dimaksud dengan pendidikan orang dewasa di sini adalah usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk menciptakan perubahan pada diri peserta dalam hubungannya dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan peran yang diharapkan dari mereka oleh masyarakat, bangsa, dan dunia. Pendidikan itu dilakukan bertitik tolak dari kebutuhan konkrit para peserta, dan dilaksanakan menurut proses yang sesuai dengan mereka. Pendidikan itu bertujuan membantu peserta untuk mengatasi kekurangannya dalam ilmu pengetahuan, kecakapan, sikap, tindakan, perilaku dan berkembang sebagai manusia cakap serta memadai sebagai pribadi dalam kebersamaan dengan orang lain dan dalam peran hidup mereka. Mengingat yang dilayani adalah kaum muda, maka pendidikan orang dewasa itu perlu diadaptasikan dengan tingkat kedewasaan kaum muda yang secara konkret didampingi.

4. Prinsip Pendampingan

Mangunhardjana (1986: 42-43) mengungkapkan beberapa prinsip pendampingan, diantaranya:

a. Orang belajar sesuatu dari pengalaman.

b. Orang belajar mengalami proses emosi dan budi.

(33)

d. Orang belajar karena mendapat motivasi dan melihat sendiri arti hal-hal yang dipelajari.

e. Sumber pelajaran yang kaya adalah pengalaman peserta sendiri.

Berdasarkan beberapa prinsip di atas dapat kita pahami bahwa dalam sebuah pendampingan, proses “learning by doing” amat penting karena lewat kegiatan, praktek atau latihan tertentu peserta dibantu untuk mengalami kebersamaan serta mengolah emosi dan hati sehingga mereka juga termotivasi lewat hal-hal yang ditemukannya.

5. Syarat Pendampingan

Dalam sebuah pendampingan, Mangunhardjana (1986: 58-59) memaparkan bahwa agar terjadi proses belajar yang baik dituntut syarat-syarat tertentu baik menyangkut pelaksanaan pendampingan, pendamping maupun peserta sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pelaksanaan pendampingan

Agar mendukung tercapainya proses dan sasaran pendampingan, pelaksanaan pendampingan hendaknya:

1) Menjaga dan memperkembangkan sikap saling menghormati, menerima dan percaya antar pendamping dan kaum muda yang didampingi.

(34)

3) Mengusahakan kebersamaan dan kerjasama, agar ada suasana saling mendukung dan membantu dalam usaha saling memperkembangkan.

4) Menciptakan suasana keterbukaan antar peserta, rasa aman, tak terancam di kalangan mereka, kemerdekaan untuk mengikuti acara pendampingan sesuai dengan kepribadian masing-masing dan tenggang rasa antar mereka, mengingat perbedaan-perbedaan pribadi itu.

b. Pendamping

Mangunhardjana (1986: 136-138) mengungkapkan beberapa kualifikasi yang perlu dimiliki oleh seorang pendamping baik sebagai pribadi, dalam hubungan dengan para peserta pendampingan dan dalam tugasnya sebagai pemimpin. Berikut ini disajikan kualifikasi pendamping dalam tiga bidang tersebut, yaitu:

1) Sebagai Pribadi

a) Mengenal diri sendiri: tahu kekuatan dan kelemahan, segi positif dan negatifnya, kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga mampu bertindak secara tepat dan mengurangi akibat-akibat negatifnya dari kelemahan, segi-segi negatif dan kekurangannya.

b) Aman dengan diri sendiri: tidak ada rasa negatif terhadap diri sendiri dan mantap dengan diri sendiri, sehingga dapat menampilkan diri dengan yakin, tetapi wajar.

(35)

d) Telah mencapai taraf perkembangan pribadi cukup dan bergairah untuk tetap maju, sehingga dapat menjadi model.

e) Kreativitas dan kemudahan untuk menemukan, inventivenes, sehingga tidak mudah panik pada saat-saat pendampingan yang gawat.

f) Cerdik menangkap situasi dan bertindak sigap.

g) Bersikap terbuka terhadap perkembangan, sehingga siap untuk belajar terus-menerus.

h) Keberanian untuk eksperimen yang sehat dan menanggung risiko yang wajar, sehingga tidak kaku dalam pelaksanaan pendampingan dan tidak cepat menjadi kolot karena melulu terpaku pada yang sudah-sudah. i) Daya tahan dan stamina tinggi, sehingga dapat menanggung beban fisik

yang wajar dan tetap bersemangat tinggi.

j) Rasa humor yang sehat, sehingga dapat tetap santai, meskipun serius. k) Memiliki pengetahuan cukup (kualifikasi ilmiah) dalam seluk-beluk

pendampingan: arah, proses, metode, teknik pendampingan.

2) Hubungan dengan Peserta

a) Tenang, at home, dengan orang lain, tidak mudah terganggu atau gelisah dalam menghadapi orang sehingga mudah didekati oleh peserta.

b) Percaya kepada para peserta dan yakin bahwa mereka berkehendak baik dan dapat maju.

(36)

d) Peka dan mampu menangkap tata kelakuan orang lain dan menanggapi secara tepat.

e) Berkehendak baik, penuh perhatian dan siap membantu, sehingga tidak menimbulkan segan di hati para peserta untuk meminta bantuan.

f) Menjadi pendamai, pemersatu dan cakap mengatasi ketegangan.

g) Cakap untuk menampung keluhan dan lontaran kritik atau serangan dari para peserta dan mengatasi tanpa merendahkan mereka. Hal ini dapat meningkatkan rasa hormat peserta kepadanya.

h) Sungguh bersikap melayani dan mencintai para peserta, sehingga mampu menanggung segalanya tanpa kendor atau patah semangat dalam tugas pelayanannya.

i) Mempunyai motivasi tinggi dalam pelayanan, karena melihat inti dan arti pelayanan bagi masa depan muda-mudi yang didampinginya.

3) Sebagai Pemimpin

a) Mengetahui ke mana arah pendampingan akan dibawa. b) Mengetahui metode, teknik-teknik dan proses pendampingan. c) Mempunyai sikap dan kecakapan manajerial.

d) Mempunyai sikap dan kecakapan administratif.

e) Mempunyai sikap yang benar terhadap kelompok, cakap mengenal dinamika kelompok dan mampu mengarahkannya.

(37)

c. Para peserta

Dari peserta yang mengikuti acara pendampingan dituntut syarat-syarat berikut:

1) Berminat untuk maju.

2) Aktif terlibat dalam kegiatan dan latihan pribadi dan dalam interaksi dengan peserta lain.

3) Masuk dalam kebersamaan secara penuh, tidak mengambil jarak atau menjadi penonton saja.

4) Bersedia menerima sumbangan dan aktif menyumbang demi kemajuan diri dan kemajuan bersama.

5) Bersedia mempraktekkan hal-hal yang diperoleh dari pendampingan dalam hidup nyata.

Syarat-syarat tersebut perlu diusahakan secara bertahap. Meski dalam pendampingan syarat tersebut tidak akan pernah tercapai secara sempurna, namun selalu menuntut untuk dikembangkan terus-menerus.

B. Spiritualitas

1. Pengertian Spiritualitas

(38)

pengalaman. Spiritualitas menunjuk sikap atau semangat dasar yang menggerakkan dan secara serius diwujudkan dalam kehidupan (Heryatno, 2008: 89). Ada beberapa definisi dari beberapa ahli yang dikutip oleh Heryatno (2008: 89) mengenai spiritualitas.

• C. Duquoc menegaskan bahwa spiritualitas merupakan inti iman yang

menyatukan seluruh daya dan unsur kehidupan.

• J. Macquariie menyatakan bahwa spiritualitas pada prinsipnya berhubungan

dengan usaha manusia (tentu berdasarkan rahmat-Nya) untuk sampai pada kepenuhan hidupnya; dengan kata lain usaha manusia untuk menjadi dirinya yang otentik seperti yang dikehendaki-Nya.

• R. Panikkar berpendapat bahwa spiritualitas merupakan cara pandang tertentu

untuk mengatasi permasalahan hidup manusia.

• R.P Hardy berpikir bahwa spiritualitas merupakan sikap yang tertanam secara

mendalam di dalam jiwa seseorang yang mendorong untuk keluar dari dirinya sendiri dan bergerak membangun relasi dengan Tuhan dan sesamanya dan dengan cara itu ia memperkembangkan hidupnya.

• G. Wakefield mengemukakan pendapatnya bahwa spiritualitas berkaitan erat

dengan sikap dan kepercayaan, tindakan manusia yang menyemangati hidup dan membantu mereka untuk mencapai kepenuhan hidupnya.

(39)

atau inti hidup (Jiwa) yang membentuk sikap, menentukan cara seseorang mempertimbangkan dan mengambil keputusan serta bertindak dan menentukan pilihan seseorang pada nilai-nilai yang dipegang, diwujudkan serta diperkembangkan (Heryatno 2008:89).

Spiritualitas menyangkut keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah Roh Kudus. Heuken (2002:12) mendefinisikan spiritualitas sebagai cara mengamalkan seluruh kehidupan sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Seseorang dapat memahami kehendak Tuhan apabila memiliki relasi yang erat dengan-Nya.

Spiritualitas merupakan segi hidup kita yang sangat pribadi, yakni mengamalkan iman akan Yesus Kristus pada masa ini, di tempat ini bersama dengan orang ini dan masyarakat kita ini sebagai mana adanya (Heuken, 2002: 205). Yosef lalu (2007: 150-151) mengungkapkan bahwa spiritualitas pada umumnya dimaksudkan sebagai hubungan seorang pribadi beriman dengan Allahnya dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan.

Banawiratma dalam buku yang berjudul Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis (1990: 57) mengungkapkan bahwa: “Spiritualitas

dapat diartikan sebagai kekuatan atau Roh yang memberi daya tahan kepada seseorang atau kelompok untuk mempertahankan, memperkembangkan, mewujudkan kehidupan”.

(40)

mengaktualisasikan nilai-nilai rohani yang disadari hidup dalam diri sebagai hasil dari relasinya yang intim dengan Allah. Dengan demikian spiritualitas seseorang dapat dilihat dari sikap dan tindakannya dalam hidup sehari-hari.

2. Unsur-Unsur Dasar Spiritualitas

Dalam Majalah Umat Baru (1992: 127-129) seperti yang disadur oleh Vinsent Hayon bahwa ada beberapa unsur yang mendasari hidup dan karya seorang agen pastoral dan yang memberikan semangat dan ketahanan dalam pelayanan pastoral baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Yang pertama, relasi cinta. Spiritualitas kita bukannya suatu proses yang serba mekanis, mengikuti segala peraturan tanpa ada suatu hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan atau relasi yang dimaksud adalah suatu relasi cinta. Kedua, Tuhan Pengambil Inisiatif. Tuhanlah yang pertama-tama memberikan diri kepada kita. Ketiga, Allah beserta kita. Tuhan sebagai penginisiatif merupakan Allah beserta kita. Keempat, Allah berjumpa dengan kita sesuai dengan keadaan kita. Allah hadir dalam diri kita, dalam situasi hidup kita yang konkret. Kelima, relasi kita dengan Allah selalu dalam proses menjadi.

(41)

Menurut Groome (2010: 81) iman memiliki 3 dimensi yang esensial yaitu: 1) keyakinan, 2) hubungan yang penuh kepercayaan dan 3) kehidupan agape yang penuh. Ketiga dimensi tersebut diekspresikan dalam tiga kegiatan: 1) Mempercayai (believing)

Iman adalah anugerah dari Allah. “Api iman” pertama-tama dinyalakan oleh anugerah Allah dalam diri manusia, dan seseorang menjadi tahu dan menyetujui apa yang seseorang ketahui benar. Tindakan percaya adalah tindakan kecerdasan berpikir yang menyetujui kebenaran Ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh anugerah Allah. Oleh karena itu, penghayatan iman mencakup sikap untuk meyakini, menyetujui, menerima, dan memahami misteri iman yang dipercayainya. Dengan kata lain, mempercayai berarti seseorang mampu meng “Amin”i apa yang diyakininya.

2) Mempercayakan (trusting),

Jika percaya menunjuk pada tindakan kognitif, maka mempercayakan (trusting) adalah tindakan yang bersifat afektif relasional. Dimensi ini mengambil bentuk hubungan pribadi yang penuh kepercayaan terhadap Allah. Trust diekspresikan dalam kesetiaan, kasih dan kelekatan. Penghayatan iman

(42)

3) Melakukan (doing).

Iman harus mencakup dimensi melakukan kehendak Allah. Penghayatan iman pada akhirnya akan membawa manusia untuk menjalankan secara nyata apa yang diimaninya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ini membawa manusia manusia pada “Amal”.

3. Spiritualitas Kristiani

Spiritualitas Kristiani selalu menunjuk hidup rohani yang dipimpin oleh Roh Kudus untuk semakin mengimani dan mencintai TuhanYesus Kristus dan semakin berkembang dalam iman, harapan, dan kasih (Martasudjita, 2010: 27). Dalam Tradisi Kristiani, spiritualitas telah digunakan untuk menggambarkan cara-cara khusus untuk mengalami dan memupuk hidup dalam Kristus. Spiritualitas berkaitan dengan proses pengembangan diri secara terus-menerus serta keputusan mendasar untuk tetap menjadi orang Kristiani. Hal ini dilakukan saat pembaptisan, diulangi pada waktu penguatan dan terus diperbaharui dalam Ekaristi.

Spiritualitas Kristiani membimbing orang ke hidup yang lebih mendalam dalam Kristus dan bertumbuh dalam Roh. Oleh karena itu, cinta kasih harus menjadi inti dari spiritualitas. Jika tidak ada cinta kasih maka spiritualitas itu bukan spiritualitas kristiani yang otentik melainkan spiritualitas yang cenderung terarah ke dalam diri sendiri dan mengasingkan yang lain serta mematikan Roh.

(43)

proses perwujudan Kerajaan Allah. Dalam menjalankan tugas tersebut, umat Allah sebagai mitra Allah dalam mewujudkan Kerajaan Allah membutuhkan kekuatan atau Roh untuk tahan uji agar dapat mengatasi segala kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Hanya dengan terlibat dan berperan serta sebagai mitra Allah, orang bisa merasakan dan mengembangkan kehidupan spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam Lumen Gentium, dijelaskan bahwa sebagai kaum beriman kristiani, yang berkat Babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia (LG, 31).

C. Katekis

1. Pengertian Katekis

Istilah katekis belum begitu populer di telinga masyarakat umum. Bahkan di kalangan Gereja masih banyak umat Katolik yang belum memahami tentang katekis secara utuh. Pada umumnya, pemahaman mereka mengenai katekis hanya sebatas guru agama yang mengajar Agama Katolik di sekolah. Sehubungan dengan ini, beberapa sumber memberikan gambaran tentang katekis, sebagai berikut:

(44)

Kerajaan Allah dengan sukarela. Mereka memberikan sumbangan istimewa bagi perkembangan Gereja. Hal ini tampak jelas diungkapkan:

Demikian pula patut dipuji barisan, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner di antara para bangsa, yakni barisan para katekis baik pria maupun wanita yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja.

Dalam Catechesi Tradendae (1992:61), disebutkan bahwa katekis adalah umat awam yang telah melalui pembentukan/kursus dan hidup sesuai dengan Injil. Ringkasnya, katekis adalah seorang yang telah diutus oleh Gereja, sesuai keperluan umat setempat yang tugasnya adalah untuk membawa umat setempat untuk lebih mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus. Sementara itu, Redemptoris Missio (1991:85) menggambarkan katekis sebagai “kaum spesialis,

orang-orang yang memberikan kesaksian langsung dan para penginjil yang mewakili kekuatan utama komunitas-komunitas kristiani khususnya bagi Gereja-gereja yang masih muda”.

Dalam Kitab Hukum Kanonik (Kan, 785) katekis digambarkan sebagai berikut:

Umat beriman kristiani awam yang dibekali dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; di bawah bimbingan seorang misionaris, mereka itu membaktikan diri bagi ajaran Injil yang harus diwartakan dan bagi perayaan-perayaan liturgi serta karya amal kasih yang harus diatur.

(45)

pewarta Kabar Gembira dan dalam perayaan-perayaan liturgi serta karya amal kasih.

Lebih rinci lagi gambaran mengenai katekis yang ideal terdapat dalam laporan Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia I (PKKI I) oleh Setyakarjana (1997: 66) yaitu panggilan khusus dalam Gereja yang berarti bahwa sebagai seseorang ia mengandalkan seluruh tugas dan hidupnya untuk pewartaan Sabda. Hal ini juga diteguhkan dan dirumuskan kembali secara baru dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia III (Lalu, 2007: 15) bahwa katekis adalah pembina katekese umat yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Seorang pribadi yang beriman Katolik yang sadar akan panggilan Roh untuk

melayani sesama umat dalam kelompok dasar.

b. Seorang pribadi yang rela mengumpulkan, menyatukan dan membimbing kelompok umat dasar untuk melaksanakan katekese umat sebagai suatu proses komunikasi iman yang semakin berkembang.

c. Seorang pribadi yang menghargai setiap peserta kelompok katekese umat dengan segala latar belakang dan situasinya.

d. Sebagai pribadi yang berperan sebagai pengarah dan pemudah untuk menciptakan suasana komunikatif dalam kelompok umat dasar.

(46)

memberi pelajaran agama, pelayanan dalam liturgi dan amal kasih serta melayani kehidupan rohani umat beriman.

2. Tugas Katekis

Semua orang yang telah menerima baptisan, mereka telah menjadi anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus. Dengan demikian sesuai dengan kemampuan, mereka melakukan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan dunia (LG, 31). Katekis mengambil bagian dalam tritugas Kristus yakni tugas nabi, imami dan rajawi (KWI, 1996: 382) Tugas nabi adalah tugas pewartaan, tugas imami merupakan tugas pengudusan atau perayaan, dan tugas rajawi dalam Konsili Vatikan II diartikan sebagai tugas melayani. Secara lebih rinci tugas tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Tugas Mewartakan

(47)

sendiri. Sebagai pewarta Yesus, para katekis harus bersatu erat dan mengambil bagian dalam nasib Yesus, seperti apa yang telah dilakukan oleh St. Paulus. “kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (2 Kor 4: 10; lihat juga KWI: 390).

Katekis bertindak sebagai “guru agama” yang mewartakan Kabar Gembira Allah kepada semua orang. Mereka mengajar agama di sekolah dan berkatekese di paroki, stasi, lingkungan, dan keluarga. Kelompok katekesenya juga bervariasi, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Pewartaannya dapat bersifat membangun iman, misalnya untuk calon baptis dan bersifat memperdalam iman bagi mereka yang sudah dibaptis, mempersiapkan krisma, memberikan kursus perkawinan

b. Tugas Pengudusan dalam Perayaan

(48)

c. Tugas Melayani

Sebagai orang yang terpanggil, katekis dengan rendah hati dan kesabaran dapat menghantar saudara-saudaranya kepada sang Raja. Mengabdi kepada-Nya untuk membangun kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan damai (LG, 36). Dalam bidang pelayanan, katekis dapat membantu pastor untuk melayani umat seperti mengunjungi umat, menggiatkan umat dalam berbagai kegiatan dan aktivitas, misalnya natal bersama, latihan koor dan kegiatan-kegiatan menggereja lainnya sebagai sarana untuk menghantar mereka kepada Sang Raja.

Secara singkat, Prasetya (2007: 39) memaparkan bahwa tugas katekis adalah; pertama, menyiapkan penerimaan sakramen inisiasi, kedua melakukan bina lanjut bagi umat beriman katolik, baik yang menyangkut pengetahuan maupun penghayatannya.

3. Kriteria Seorang Katekis

Mengingat tugasnya yang tidak mudah, seorang calon katekis perlu memiliki beberapa kriteria atau persyaratan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta, para katekis harus memiliki kepribadian yang utuh dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini amat diperlukan mengingat zaman dan kebudayaan yang semakin maju dan berkembang, seperti yang terungkap dalam Ad Gentes, 17 yakni:

(49)

kebudayaan sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi rekan sekerja yag tangguh bagi para imam, dan mampu menunaikan sebaik mungkin tugaas mereka, yang makin bertambah sulit karena beban-beban baru yang lebih berat.

Demi menjamin kualitas hidup dan tugas perutusannya sebagai katekis, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi agar dapat mendukung keberlangsungan karya pewartaan itu sendiri. Syarat atau kriteria yang diperlukan antara lain:

a. Memiliki kedewasaan manusiawi

Para katekis perlu memiliki kemampuan dasar sebagai manusia yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Katekis yang memiliki kepribadian yang seimbang akan mampu memberi diri secara penuh, bebas dari kecemasan dan frustrasi dan dapat menjawab tuntutan iman secara dewasa dan dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam komunitas Gerejawi. Congregation for Evangelization of Peoples (CEP, 1997: 45) mengungkapkan perlu adanya pertimbangan atas

beberapa kemampuan antara lain:

1) Dalam bidang yang murni menyangkut pribadi manusia meliputi keseimbangan psikologis kesehatan yang baik, rasa tanggung jawab, jujur, dinamis, semangat berkorban, kuat dan tekun.

(50)

3) Situasi atau peran katekis yang mencakup tangkas bekerja dalam menciptakan perdamaian, pembangunan, kehidupan sosial budaya, keadilan, pelayanan kesehatan dan sebagainya.

b. Memiliki kehidupan rohani yang mendalam

Setiap manusia memiliki kemampuan dasar. Berdasarkan ajaran St. Paulus (1 Tes 5:23) manusia terdiri dari tiga medan utama: jiwa, roh dan tubuh (KWI, 1996:8). Pertama, dengan “jiwa”nya yang meliputi budi dan hati, seseorang memiliki pemikiran dan perencanaan, perhatian dan pengawasan, inisiatif pribadi dan usaha bersama, keterbukaan bagi perjumpaan dengan orang lain, keberanian untuk mengambil resiko, kerelaan menghargai hak-hak sesama manusia dan semangat berkurban untuk kesejahteraan bersama. Kedua, “Roh” merupakan tempat pertemuan manusia dengan Allah. Dalam roh manusia mengalami dan menghayati keterbukaan hidupnya, yakni keterbukaan kearah yang trandesenden. Keterbukaan ini merupakan puncak dan daya gerak seluruh hidupnya. Ketiga, “Tubuh” mencakup seluruh bidang kehidupan manusia yang bersifat fisik-material, menyangkut jasmani atau badani hidup manusia. Ketiga bidang ini membentuk hidup manusia secara menyeluruh. Oleh karena itu, kedewasaan rohani seorang katekis pun mencakup tiga dimensi dalam hidup manusia yaitu dimensi kognitif, emosional dan operatif.

(51)

iman secara sadar dan personal. Dimensi operatif akan terpenuhi jika seorang katekis berperilaku dan bertindak selaku orang kristen. Kedewasaan iman dan kehidupan rohani yang mendalam harus bertumbuh selaras dan serasi dalam ketiga dimensi tersebut.

Menurut Prasetya (2007: 40) seorang katekis perlu memiliki hidup rohani yang mendalam dan iman yang terbuka akan sapaan Allah, baik melalui doa, membaca dan merenungkan Kitab Suci, menghidupi devosi yang disediakan Gereja maupun cara-cara yang lain.

Sementara itu, CEP menawarkan beberapa cara antara lain: pertama, menghadiri Ekaristi secara teratur untuk menguatkan hidup pribadi dengan Roti Kehidupan (Yoh 6: 34) dengan demikian katekis dapat membentuk “satu tubuh” dengan umat (I Kor 10:17) dan mempersembahkan diri kepada Bapa bersama Tubuh dan Darah Tuhan. Kedua, menghayati liturgi dalam berbagai dimensinya demi perkembangan pribadi dan demi menolong umat. Ketiga, mengambil bagian dalam doa Gereja yang ditujukan kepada Bapa dengan mendaraskan ibadat harian. Keempat, merenungkan sabda Tuhan dengan meditasi dan kontemplasi. Selain itu

dapat menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan lewat doa-doa pribadi, membaharui hidupnya lewat sakramen Tobat, mengikuti retret, rekoleksi, dan refleksi atau pemeriksaan batin secara terus-menerus.

(52)

sumber inspirasi bagi segala karya katekese yakni Roh Bapa, Putera, dan Roh Kudus” (CT, 72).

c. Memiliki semangat pastoral

Seorang katekis perlu memiliki semangat tanggungjawab pastoral dan kepemimpinan seperti sikap murah hati, dinamis dan kreatif, persekutuan gerejawi dan ketaatan pada pastor (CEP, 1997: 52). Di samping itu, mereka juga perlu memiliki kemampuan yang memadai berkaitan dengan tugas pelayanannya sebagai pewarta sabda Allah, seperti: bagaimana mewartakan pesan kristiani, bagaimana memimpin orang lain dalam komunitas dan doa liturgis, dan bagaimana menjalani berbagai pelayanan pastoral lainnya. Dengan demikian mereka dapat melakukan tugas pelayanan secara semestinya, dan dapat menjalankannya dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan kerajinan.

d. Memiliki semangat misioner

Dimensi misioner merupakan bagian hakiki dari identitas dan karya seorang katekis. Oleh karena itu, mereka harus mendapat bimbingan yang cukup secara teoritis dan praktis tentang bagaimana mencurahkan seluruh hidupnya bagi karya kerasulan misi yang mencakup unsur-unsur berikut ini:

(53)

2) Mewartakan kebenaran Tuhan dan Puteranya yang Ia utus ke dunia untuk menyelamatkan semua orang.

3) Memperkenalkan katekumen dengan misteri keselamatan, pelaksanaan norma-norma pewartaan injil dan kehidupan religius, liturgi, dan kehidupan komunitas umat Allah.

4) Membantu mempersiapkan para calon untuk menerima sakramen pembaptisan dan sakramen-sakramen inisiasi lainnya.

5) Bekerjasama dengan untuk menjalankan misi Gereja di luar daerah atau bangsanya seandainya dikirim oleh pastornya.

e. Sikap terhadap Gereja

Kegiatan kerasulan selalu dilaksanakan dalam persekutuan dengan Gereja lokal dan universal karena pada hakikatnya Gereja bersifat misioner dan diutus untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Maka, penting bagi katekis untuk memiliki sikap ketaatan apostolik terhadap pastornya, memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain baik dengan para imam maupun kaum religius setempat juga dengan para rekan katekis lainnya. Para katekis harus siap berkorban demi Gereja, dengan meniru Kristus yang telah mengasihi jemaat-Nya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya (Ef 5:25).

f. Memiliki nama baik sebagai pribadi dan keluarganya

(54)

dirinya sendiri tetapi juga menyangkut seluruh keluarganya. Dalam hidup kesehariannya, seorang katekis hendaknya mampu menunjukkan perilaku sebagai seseorang yang memiliki iman, harapan dan kasih terhadap sesama. Katekis hendaknya memiliki keunggulan moral seperti: kejujuran, memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi dan lebih peka terhadap orang lain. Dengan demikian ia dapat menjadi teladan bagi umat, bukan menjadi batu sandungan.

g. Diterima oleh umat

Katekis diharapkan menjadi pribadi yang sungguh diterima umat.

Penerimaan ini didasarkan pada perilaku yang baik, kepribadian yang baik, dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk mewartakan Kabar Gembira.

h. Mempunyai pengetahuan yang memadai

Katekis diharapkan memiliki bekal pengetahuan yang memadai, misalnya kitab suci, teologi, moral, liturgi dan sebagainya.

i. Mempunyai keterampilan yang cukup

(55)

berefleksi. Yang dimaksud keterampilan bersaksi adalah seorang katekis bukan hanya mampu bicara mengenai iman, akan tetapi juga harus mampu menunjukkan sikap imannya itu dalam keseharian hidupnya seperti memiliki kepedulian terhadap orang lain, penuh pengorbanan dan hidup dalam cinta kasih terhadap sesama. Jika katekis memiliki integritas diri sebagai orang beriman maka kesaksiannya akan sempurna. Sedangkan, keterampilan berkomunikasi menyangkut bagaimana seorang katekis mampu mengungkapkan pengalaman iman pada orang lain, sekaligus mendengarkan dan memperhatikan pengalaman orang lain dalam suasana keterbukaan dan persaudaraan. Ber-refleksi berarti mencermati dinamika pengalaman sendiri untuk menemukan nilai manusiawi yang bermakna, mengkonfrontasikannya dengan Kitab Suci dan ajaran Gereja, kemudian menginternalisasikan nilai-nilai kristiani itu sebagai suatu sikap dasar dalam kehidupan konkret.

Selain itu, dalam menjalankan pewartaan, seorang katekis memerlukan metode dan sarana yang semakin membantu agar umat dapat menerima pewartaannya tersebut. Terampil dalam penggunaan aneka sarana yang diperlukan dalam proses pewartaannya akan sangat membantu katekis dalam tugas pewartaannya.

(56)

Selain beberapa syarat yang dikemukakan di atas, calon katekis juga perlu memiliki kehidupan pribadi yang mendukung tugas-tugasnya kelak. Identitasnya sebagai pewarta sabda perlu dibangun, yaitu dengan mempererat hubungannya secara pribadi dengan Tuhan yang mengutusnya dan dengan Gereja yang menyalurkan rahmat keselamatan. Hanya melalui kesatuan yang akrab dengan Tuhan calon katekis sanggup menemukan identitasnya dan sanggup memahami tanggung jawabnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Yohanes. “Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku tinggal dalam dia ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

(57)

D. Pendampingan Spiritualitas Katekis bagi Calon Katekis 1. Spiritualitas Katekis

Spiritualitas menunjuk bentuk kehidupan rohani yag dilandasi oleh bimbingan Roh Kudus sendiri. Dengan istilah spiritualitas katekis dimaksudkan bentuk kehidupan rohani para katekis sesuai dengan tuntunan Roh Kudus dalam mengembangkan iman, harapan, dan kasih pada pelayanan kepada Kristus dan Umat Allah atau Gereja-Nya. Katekis adalah seorang Kristen. Oleh karena itu, spiritualitas katekis tidak jauh berbeda dengan spiritualitas orang Kristen. Yang membedakan seorang katekis dengan orang kristen pada umumnya adalah kharisma pewartaan sabda yang diberikan oleh Allah kepadanya. Bagi seorang katekis, memelihara hubungan personalnya dengan Allah adalah hal yang utama. Dengan demikian hubungannya dengan Allah menjadi erat. Dalam hidupnya, seorang katekis perlu memaknai pengalaman hidupnya dalam terang Injil serta melaksanakan Sabda Tuhan sehingga mampu mewartakannya kepada orang lain. Hal yang penting juga bagi seorang katekis yaitu selalu membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. “Roh Kudus sendirilah yang memberikan kepada para katekis rahmat untuk mewartakan sabda. Oleh karena itu katekis perlu selalu berusaha membalas rahmat itu dengan hidup suci sebagaimana pantasnya bagi seorang yang telah menerima permandian” (KOMKAT Keuskupan Padang, 1988: 8).

(58)

muncul kekuatan Roh yang mendorong para katekis untuk menghayati hidup dan pekerjaan sebagai suatu tugas perutusan dan panggilan iman. Dengan demikian, segala hambatan, tantangan, kesulitan, penganiayaan, bahkan ancaman hidup sekalipun, tidak akan membuat mereka patah untuk mewartakan kabar gembira. Jadi spiritualitas katekis berasal dari penghayatan mendalam akan iman kristianinya, di mana ia melihat dirinya sendiri sebagai garam dan terang dunia. Maka, dalam lingkungan masyarakat manapun ia menjadi saksi Kristus dan berusaha menghadirkan Kerajaan Allah.

Seorang katekis akan mampu menjadi saksi Kristus dan menghadirkan Kerajaan Allah jika hidupnya selalu dipenuhi oleh Roh Kudus yang memberdayakannya. Menjadi saksi Kristus berarti berani mengandalkan Roh Kudus untuk mengupayakan agar Kristus hidup dalam diri sehingga dalam setiap pengalaman hidup disadari bahwa Kristus hadir. Bagi seorang katekis, kesaksian hidupnya amat penting bagi umat. Hal tersebut akan nampak dari penghayatan hidupnya akan Kristus. Kesaksian hidupnya akan nampak dari daya tahan dan daya juangnya dalam menghayati kehadiran Kristus dalam dirinya. Dengan demikian kesaksian hidup katekis bukanlah kesaksian yang kosong melainkan sungguh kesaksian dari Roh Allah sendiri. Roh itu pula yang akan membangkitkan semangat para katekis untuk mengambil sikap sebagai berikut:

a. Bersedia menjadi murid

(59)

pilihannya yaitu menjadi penyebar kehidupan dan berkat. Menjadi murid berarti juga merelakan diri dan menyerahkan diri untuk diubah oleh perjumpaan dan ikatan dengan Yesus. Yesus adalah Guru yang memanggil setiap orang yang ingin mengikutinya. Seperti semua murid Yesus, para katekis pun dipanggil oleh Yesus yang adalah Guru sejati. Sebagai Guru, Yesus tidak menunggu siapa yang Nya, akan tetapi memanggil mereka satu demi satu untuk mengikuti-Nya. Sebab bagi Yesus memilih dan memanggil berarti memberikan karunia persatuan dengan diri-Nya sendiri, dengan sabda-Nya, dengan hati-Nya dan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, seorang katekis yang menjawab panggilan Yesus berarti mengenal Guru-Nya, mengikuti Dia dan menerima Dia sebagai pusat hidup untuk mewartakan sabda-Nya kepada sesama.

Suharyo (2009:118) juga mengungkapkan bahwa menjadi murid Kristus berarti menjadi alter Kristus atau kristus-kristus kecil yang lain yang melanjutkan perutusan yang dilakukan oleh Yesus, yaitu mewartakan Kerajaan Allah. Perutusan ini dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret lagi misalnya menjadi teman bagi yang lemah, pemberdayaan masyarakat, karya kesehatan dan karya pendidikan.

(60)

b. Bersedia diutus

“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada semua makhluk” (Mrk 16:15). Sabda ini menggambarkan bahwa menjadi katekis adalah suatu panggilan. Allahlah yang telah memanggil seseorang secara khusus untuk menjadi pewarta sabda-Nya dengan menjadi katekis. Oleh karena itu sudah selayaknya katekis menjawab dengan tegas dan lantang “Ini aku, utuslah aku!” (Yes 6:8). Hal itu berarti katekis siap untuk menjalankan tugasnya dengan penuh kegembiraan kendatipun mengalami kesulitan dan hambatan. Dengan memiliki semangat siap diutus, maka katekis tidak memilih-milih tugas dan tempat pelayanan. Mereka bekerja dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan. Semua semata-mata karena rahmat yang telah diterima secara cuma-cuma dari Allah yang telah memanggil dan mengutusnya.

c. Semangat menggereja

(61)

menjadi penggerak dan mampu memotivasi orang lain untuk ikut terlibat aktif dalam usaha pengembangan Gereja secara utuh.

d. Berakar dan berbuah

Spiritualitas seharusnya menjadi sesuatu yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seperti sabda Yesus “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Sabda ini kiranya juga merupakan tolok ukur spiritualitas seorang katekis. Dalam arti bahwa spiritualitas seorang katekis perlu terwujud dalam pelayanannya yang dapat membawa atau menghantar banyak orang kepada Yesus Kristus dan misteri kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, hasil dari pewartaan katekis bukan dilihat dari banyaknya orang yang ingin dibaptis, tetapi dari proses pelayanan hingga orang dapat mengalami suatu pengalaman iman dan persatuan mesra dengan Yesus Kristus.

2. Pendampingan Spiritualitas bagi Calon Katekis

Melalui uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendampingan spiritualitas adalah suatu usaha membantu peserta/mahasiswa agar mampu mencapai perkembangan secara optimal berkenaan dengan semangat hidup dan cara mengamalkannya sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak Tuhan.

Berhubungan dengan hal ini Congregation for Evangelization of Peoples (CEP, 1997: 43) mengutip pendapat Paus Yohanes Paulus II bahwa:

(62)

adanya program pendidikan yang baik dan struktur yang cocok. Kesemuanya itu dilengkapi dengan aspek pembinaan dan pendidikan manusiawi, spiritual, doktrin, kerasulan dan profesional. Para katekis juga harus mendapat pembinaan dan pendidikan yang umum dan khusus. Pendidikan umum dalam arti bahwa seluruh watak dan kepribadian mereka perlu dikembangkan lewat berbagai pembinaan. Pendidikan khusus dengan mengingat tugas khusus yang akan dituntut dari mereka yaitu mewartakan sabda kepada semua orang, mendampingi umat, memimpin doa-doa lingkungan, membantu mereka yang membutuhkan pelayanan rohani atau pun bantuan material dengan berbagai cara.

Pendampingan spiritualitas bagi calon katekis diperlukan untuk menolong mereka dalam memperkembangkan hidup rohaninya. Pendampingan ini mutlak diperlukan oleh seorang calon katekis karena panggilan seorang katekis mempunyai nilai rohani. Sulit bagi mereka untuk maju dalam hal rohani tanpa pendampingan. Dalam pendampingan ini, peran pendamping amat penting. Mereka tidak hanya memberikan pengetahuan secara kognitif tetapi juga pendampingan dalam hal afektif dengan cara memberikan dorongan dan semangat serta kekuatan untuk berkembang secara terus-menerus. Selain itu, pendamping juga semestinya mampu menyegarkan semangat para calon katekis serta memperbaiki bila ada yang salah.

(63)

3. Pentingnya Pendampingan Spiritualitas bagi Calon Katekis

Perubahan dan perkembangan zaman yang semakin cepat saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi manusia. Tantangan tersebut menuntut manusia untuk selalu berupaya mengembangkan diri agar tidak tergusur dan tergilas oleh perkembangan yang ada. Perkembangan ini tentu mempengaruhi berbagai bidang termasuk dalam hal iman. Melihat kenyataan bahwa pribadi manusia selalu berkembang, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas pelayanan para katekis juga bersifat dinamis, oleh karena itu para calon katekis harus dibina dan dan didampingi secara terus-menerus. Tuntutan zaman menuntut mereka untuk belajar dan latihan terus-menerus sehingga segala proses dan bentuk pelayanan mereka selalu relevan dan kontekstual sehingga menjawab kebutuhan umat.

(64)

Tugas dan pelayanan seorang katekis juga berhubungan erat dengan Gereja, karena hubungan antara Kristus dan katekis terjadi dengan perantaraan Gereja yang telah didirikan oleh Kristus sendiri. Maka perlu disadari bahwa hubungan dengan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus ini mencakup juga hubungan seorang katekis dengan sesama anggota Gereja yang berbeda dalam status panggilannya. Hal ini nampak dalam kesediaan katekis untuk tinggal di tengah umat dan merasa senasib dengan mereka. Ia juga memberi dirinya, waktu dan kesanggupannya, doa dan korbannya bagi kepentingan umatnya (Komkat Keuskupan Padang 1988: 12).

(65)

BAB III

GAMBARAN SITUASI PENDAMPINGAN SPIRITUALITAS MAHASISWA CALON KATEKIS DI PRODI IPPAK

Bab III menguraikan tiga hal pokok yaitu gambaran umum Prodi IPPAK, penelitian tentang pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK dan hasil penelitian tentang pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK. Uraian mengenai gambaran umum Prodi IPPAK meliputi: sejarah singkat, visi misi dan kultur lembaga yang dibangun dan situasi mahasiswa Prodi IPPAK. Sementara itu uraian mengenai penelitian tentang pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK terdiri atas: permasalahan penelitian, tujuan penelitian, variabel penelitian, manfaat penelitian, pendekatan penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisis data dan keabsahan data. Sedangkan uraian hasil penelitian tentang pendampingan spiritualitas mahasiswa calon katekis di Prodi IPPAK mencakup: hasil dan pembahasan penelitian, rangkuman hasil penelitian dan permasalahan serta dampak pendampingan spiritualitas bagi mahasiswa.

A. Gambaran Umum Prodi IPPAK USD 1. Sejarah Singkat Prodi IPPAK USD

Dalam Buku Panduan Program studi IPPAK (2010: 1-2) dipaparkan secara singkat sejarah Prodi IPPAK. Lembaga ini berdiri pada tahun 1960.

(66)

Berawal dari sebuah upaya Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (sekarang KWI) untuk meningkatkan pelayanan di bidang pendalaman hidup beriman dan untuk memperbaharui pelaksanaan katekese di Indonesia. MAWI menyerahkan rencana tersebut kepada P.F. Heselaars SJ yang kemudian bekerjasama dengan P. C. Carry SJ.

P. Heselaars SJ mendirikan Pusat Kateketik dengan kegiatan-kegiatan antara lain: menerbitkan buku-buku, mengadakan penataran para guru dan ceramah-ceramah untuk kelompok-kelompok kategorial lainnya. Pada saat itu telah disadari bahwa kurangnya tenaga-tenaga lapangan yang terdidik dapat memperlambat usaha untuk memperbaharui katekese. Maka pada tanggal 1 Agustus 1962 didirikanlah Yayasan Akademi Kateketik Katolik Indonesia (AKKI).

Pada tanggal 11 Mei 1965 AKKI meperoleh status terdaftar dari menteri PTIP dengan SK No. 108/B.Swt/P/65. Pada tahun 1966 diselenggarakan ujian tingkat Sarjana Muda untuk pertama kalinya. Kemudian pada tahun 1969 dibuka tingkat sarjana lengkap yang mendorong perubahan nama lembaga. Maka pada tanggal 31 Maret 1971 AKKI berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya.

(67)

muda dan sarjana penuh dipadukan ke dalam bentuk baru berupa program sarjana satu (S1) dengan nama Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik Pradnyawdya.

Dengan adanya peraturan dari pemerintah bahwa hanya lulusan dari LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) atau yang memiliki akta mengajar dapat secara sah menjadi guru, maka STFK Pradnyawidya memerlukan perubahan jalur. Maka setelah melewati proses merger yang cukup lama, berdasarkan SK Mendikbud No. 08/D/O/1995 tertanggal 14 Februari 1995 STFK Pradnyawidya berubah menjadi Fakultas Ilmu pendidikan Agama (FIPA) Program studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma dengan status disamakan.

Pada tahun 1999, pemerintah mengadakan penataan kembali nama-nama program studi di lingkungan PTS di seluruh Indonesia yang membuat status FIPA USD berubah menjadi program studi dengan nama program studi “Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik” dan menjadi bagian FKIP USD.

2. Visi Misi Prodi IPPAK

Dalam Panduan Prodi IPPAK (2010:4) tercantum bahwa visi dan misi lembaga ini adalah sebagai berikut:

Visi

(68)

Misi

• Mendidik kaum muda menjadi katekis dalam konteks Gereja Indonesia yang

memasyarakat.

• Mengembangkan Karya Katekese dalam Gereja demi masyarakat Indonesia

yang semakin bermartabat.

Visi dan misi tersebut menjadi landasan bagi Prodi IPPAK-USD sebagai lembaga pendidikan dalam mengembangkan mahasiswanya.

3. Kultur Lembaga yang dibangun di IPPAK

IPPAK sebagai lembaga yang berkecimpung di bidang kateketik sekaligus keguruan yang mempersiapkan mahasiswa dan mahasiswi untuk menjadi katekis dan guru agama berusaha keras untuk mencapai tujuan tersebut. Selain kurikulum yang relevan terhadap perkembangan zaman untuk menunjang tercapainya pengembangan spiritualitas dan kompetensi lulusan, penguasaan softskill mahasiswa juga dikembangkan (IPPAK, 2010: 6).

Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mengusahakan penanaman kebiasaan-kebiasaan yang dapat membangun sikap dan perilaku mahasiswa sesuai dengan visi dan misi lembaga. Beberapa kebiasaan yang diterapkan di lembaga ini antara lain: menggunakan pola pendampingan yang bercorak Cura personalis. Cura personalis artinya perhatian pada pribadi orang (Serikat Yesus,

(69)

perkembangan intelektual, emosional, moral dan rohani mahasiswa. Dengan menghormati kebebasan para mahasiswa, dosen bersedia mendengarkan masalah-masalah dan kebingungan mereka tentang makna hidup, ikut mengambil bagian dalam suka dan dukanya, menolong mereka demi pertumbuhan pribadi dan hubungan dengan sesamanya. Mereka berusaha hidup dengan memberi teladan bagi para mahasiswa dan rela berbagi pengalaman hidupnya sendiri. Dengan pola hubungan yang demikian, dosen dan mahasiswa dapat menjalin hubungan yang akrab dan saling terbuka, sehingga hubungan mereka lebih dari sekedar tuntutan fungsional dan formal. Hal ini mendorong keleluasaan mahasiswa untuk lebih dekat dengan dosen. Dosen pun tidak menempatkan diri sebagai penentu, sehingga memungkinkan mahasiswa tetap memiliki hak untuk dihormati sebagai subyek. “Cura personalis” tidak hanya terbatas pada hubungan dosen dan mahasiswa tetapi menyangkut kurikulum dan seluruh hidup lembaga. Contoh kebiasaan yang telah hidup dan dihidupi di kampus ini adalah minum bersama, dan olah raga bersama.

4. Situasi Mahasiswa Prodi IPPAK

(70)

2011/2012 dengan menggunakan kuesioner terbuka. Melalui dua sumber di atas diperoleh gambaran sebagai berikut:

a. Jumlah Mahasiswa IPPAK 2011-2012

Mahasiswa IPPAK terdiri dari kaum biarawan-biarawati dan awam. Dari tahun ke tahun jumlah mahasiswa Prodi IPPAK selalu berubah. Berdasarkan data sekretariat kampus yang tercatat dalam buku Daftar dan Jumlah Mahasiswa IPPAK tahun 2011/2012, mahasiswa IPPAK untuk tahun ajaran 2011-2012 berjumlah 253 orang. Jumlah tersebut dirinci sebagai berikut:

Tabel.1

Jumlah Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Jenis Kelamin No. Tahun Angkatan Semester Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Jumlah

1. 2011/2012 (2011) I 22 23 45

2. 2010/2011 (2010) III 20 41 61

3. 2009/2010 (2009) V 11 29 40

4. 2008/2009 (2008) VII 16 36 52

5. 2007/2008 (2007) IX 12 22 34

6. 2006/2007 (2006) XI 2 14 16

7. 2005/2006 (2005) XIII 3 2 5

2011/2012 JUMLAH 86 167 253

Tabel. 2

Jumlah Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Status

No. Tahun Angkatan Semester Jenis Kelamin

Biarawan Awam Jumlah

1. 2011/2012 (2011) I 12 33 45

2. 2010/2011 (2010) III 13 48 61

3. 2009/2010 (2009) V 10 30 40

4. 2008/2009 (2008) VII 12 40 52

Gambar

Tabel 1 : Jumlah Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Jenis Kelamin ...................
Tabel. 2
Program Pelaksanaan Tabel. 3 live in
Panduan Pertanyaan Refleksi Pelaksanaan Tabel. 4 live in
+6

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan yang penulis tawarkan ini, diharapkan para mahasiswa IPPAK makin menyadari serta semakin mendalami spiritualitas Kristiani mereka msing-masing dalam

Tujuan penelitian ini mendeskripsikan penggunaan konjungtor dan kesalahan penggunaan konjungtor pada skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Dengan adanya perencanaan pengajaran maka mahasiswa Program Pengalaman Lapangan (PPL) Pendidikan Agama Katolik (PAK) pendidikan menengah, memiliki kerangka pola mengajar yang

Pendampingan yang diberikan dan dapat mendukung dalam Pendidikan Agama Katolik di antaranya ialah: orang tua memberi perhatian dan kasih sayang yang begitu

(26) lingkungan semakin rusak. Setiap manusia pasti mempunyai beban hidup atau dosa yang membuat manusia lumpuh semangatnya, lumpuh jiwanya dan lumpuh hidup. Secara harafiah

Berdasarkan tabel 6, yang menjadi faktor pendukung dan penghambat Pendidikan Teater dalam memperkembangkan kesadaran sosial mahasiswa, ada pun pernyataan responden terhadap

O leh karena itu, melalui program sem inar sehari penulis memberikan sum bangan dalam rangka m embantu m ahasiswa agar lebih memahami peranan teater rakyat dalam

Pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia seutuhnya searah dengan upaya Gereja Katolik yang antara lain melalui pendidikan agama untuk membentuk