PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Hedwigis Dian Permatasari NIM: 051124002
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus
v
viii
TERHADAP PENGHAYATAN TUGAS PEWARTAAN MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA dipilih berdasarkan pengamatan sekilas penulis mengenai penghayatan Sakramen Tobat dan penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK. Mahasiwa IPPAK merupakan calon katekis yang mempunyai tugas mewartakan sabda Allah melalui kesaksian hidup sehari-hari. Sebagai seorang calon pewarta seharusnya mempunyai kesadaran di dalam merayakan Sakramen Tobat sehingga pada waktunya nanti mampu mewartakan pertobatan pada umat.
Penghayatan Sakramen Tobat berarti menghidupi Sakramen Tobat dengan memahami maknanya sehingga mampu menjalankan unsur-unsur yang ada di dalamnya dengan penuh kesadaran mulai dari penyesalan akan dosa, pengakuan, absolusi dan menjalankan penitensi yang ada. Penghayatan tugas pewartaan berarti mahasiswa IPPAK sebagai seorang calon katekis dengan sungguh-sungguh mempersiapkan diri sebagai seorang pewarta dengan menggali pengetahuan, berlatih keterampilan-keterampilan dan juga mempunyai spiritualitas sebagai seorang calon katekis. Seorang pewarta berarti mempunyai profesi mengajar dan mewartakan sabda Allah. Pewartaan sabda Allah dilakukan melalui pengajaran agama, membagi pengalaman hidup Kristiani dan penghayatan hidup beriman. Penghayatan yang dimaksud adalah mengajar umat beriman dengan kesaksian hidup seorang katekis dan bukan hanya dengan kata-kata. Oleh karena itu mahasiswa IPPAK dididik untuk mewartakan sabda Allah melalui kesaksian hidup sehari-hari sehingga mahasiswa dituntut untuk memiliki pertobatan secara terus menerus. Oleh karena itu, hipotesis penelitian ini adalah H0: tidak ada pengaruh antara penghayatan Sakramen Tobat dengan penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK dan H1: ada pengaruh antara penghayatan Sakramen Tobat dengan penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa IPPAK USD Yogyakarta dari tingkat pertama hingga keempat. Adapun tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified sample. Adapun penggunaan tehnik tersebut dikarenakan populasi terbagi atas tingkatan-tingkatan yakni tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat. Pengembangan instrumen dalam penelitian ini menggunakan uji coba terpakai, yakni semua data yang didapat kemudian dianalisis. Data yang baik digunakan sebagai data penelitian sedangkan yang tidak baik tidak digunakan sebagai data penelitian.
ix
The author chooses “The Influence of Regretful Sacrament Perception on Informing Duty Perception of Students of Educational Science Especially Catholic Education of Sanata Dharma University” based on a slight observation on Regretful Sacrament Perception and informing duty perception of IPPAK students. The IPPAK students are candidates of catechist who have duty to inform Allah’s words through evidences in daily life. As a candidate of informer the student should have a consciousness in celebrating the Regretful Sacrament so that they will be able to inform regret to human beings.
Regretful Sacrament Perception means taking care of Regretful Sacrament by understanding its meaning in order to be able to perform elements with fully consciousness from sin regretting, recognition, and absolution and perform the existing penitence. Informing duty perception means that the IPPAK students as the candidate of catechist seriously prepare themselves as informers by searching knowledge, practicing skills and also having spirituality as a candidate of catechist. An informer means that he/she has a profession of teaching and informing Allah’s words. Allah’s words informing is carried out through teaching religion, sharing experiences of Christianity life, and faithful life perception. The perception intended here is teaching the faithful human beings with live evidences of a catechist and not only with words. Therefore, the IPPAK students are educated to inform Allah’s words through the evidences in daily life so that they are demanded to have regret continuously. Hence, this research hypothesis is H0: there is no influence between Regretful Sacrament Perception and informing duty perception of IPPAK students; and H1: there is influence between Regretful Sacrament Perception and informing duty perception of IPPAK students.
The type of research used is quantitative research. Population in this research is IPPAK students of USD Yogyakarta from the first grade to the fourth. The method of sample taking used is stratified sample. The use of that method is due to the population is divided into grades, i.e. first, second, third, and fourth grade. The instrument development in this research uses applied experiment; that is, all obtained data are then analyzed. The good data are used as the research data whereas the bad data are not used as the research data.
x
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kelimpahan berkat dan rahmat yang telah dicurahkan kepada penulis sehingga skripsi berjudul PENGARUH PENGHAYATAN SAKRAMEN TOBAT TERHADAP PENGHAYATAN TUGAS PEWARTAAN MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA dapat terselesaikan. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk mempelajari lebih dalam lagi mengenai Sakramen Tobat dan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK. Oleh karena itu skripsi ini bertujuan untuk menggali seberapa besar pengaruh penghayatan Sakramen Tobat terhadap tugas pewartaan. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd., selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing, meluangkan waktu, memberikan pengarahan, kritik dan saran serta motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi dari awal hingga akhir penulisan.
xi
pengarahan serta bimbingannya sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini. 4. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ., selaku ketua program studi IPPAK yang telah
memberikan pengarahan didalam proses penyususnan skripsi.
5. Segenap staf dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis selama studi sampai terselesaikannya skripsi ini.
6. Semua Mahasiswa IPPAK yang telah bersedia menjadi sampel penelitian sehingga proses penulisan skripsi ini dapat berjalan lancar.
7. Keluarga besar Agustinus Sukarno yang telah memberikan dukungan moral dan material selama penulis menempuh studi di IPPAK.
8. Bapak, Ibu, adik dan seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan semangat dan dukungan spiritual, moral serta material selama penulis menempuh studi di IPPAK.
9. Teman-teman mahasiswa IPPAK, khususnya angkatan 2004 dan 2005 yang selama ini telah berproses bersama, berbagi pengalaman hidup, memberi dukungan dan kritikan serta peneguhan selama melaksanakan studi di IPPAK. 10. F.A. Catur S.N yang selama ini telah memberikan semangat dan dengan setia
menjadi teman berbagi sampai terselesaikannya skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selama ini telah memberikan dukungan dan bantuan sampai terselesaikannya skripsi ini.
xiii
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR TABEL... xviii
DAFTAR DIAGRAM... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ………..………. 5
D. Rumusan Masalah ………..………. 5
E. Tujuan Penulisan …………..………... 5
F. Manfaat Penulisan ..………. 5
G. Metode Penulisan ..……….. 6
H. Sistematika Penulisan ………... 6
BAB II. SAKRAMEN TOBAT DAN TUGAS PEWARTAAN MAHASISWA IPPAK ……… 8 A. Sakramen Tobat………..……….…… 8
1. Pengertian Sakramen……..……….………....…. 8
2. Sakramen Tobat………..……….………. 10
a. Dasar Biblis Sakramen Tobat………..……. 10
xiv
e. Liturgi Sakramen Tobat……….... 24
f. Masalah Pastoral Sakramen Tobat... 27
B. Tugas Pewartaan Mahasiswa IPPAK……… 28
1. Pewartaan Injil………..………….…… 28
a. Pengertian Pewartaan ………...…….………… 28
b. Tugas Gereja sebagai Pewarta Sabda………... 28
c. Bentuk Sabda Allah dalam Gereja……….…… 29
d. Katekese……… 31
2. Mahasiswa IPPAK sebagai Seorang Calon Katekis………. 33
a. Pengertian Katekis……….…...……… 33
b. Tugas Katekis... 35
c. Spiritualitas Seorang Katekis……… 36
d. Keterampilan Seorang Katekis…………...……….. 39
e. Sejarah dan Perkembangan IPPAK……… 40
f. Gambaran Umum Mahasiswa IPPAK tahun Ajaran 2008/2009………... 43
g. Tujuan IPPAK……….………..… 43
C. Penelitian Yang Relevan……….…………... 46
D. Kerangka Berfikir……….………... 47
E. Hipotesis……….……….... 48
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 49
A. Jenis Penelitian... 49
B. Desain Penelitian... 49
C. Tempat dan Waktu Penelitian... 49
D. Populasi dan Sampel... 49
E. Definisi Operasional Variabel... 50
F. Instrumen Penelitian... 51
1. Jenis Instrumen... 51
2. Pengembangan Instrumen... 55
3. Validitas dan Reliabilitas... 55
xv
H. Uji Hipotesis... 57
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 61
A. Data Hasil Penelitian... 61
Lampiran 1: Kuesioner Tingkat Pertama... Lampiran 2: Kuesioner Tingkat Kedua ... Lampiran 3: Kuesiner Tingkat Ketiga... Lampiran 4: Kuesioner Tingkat Keempat ... Lampiran 5: Output Regresi... Lampiran 6: Analisis Soal Tingkat Pertama... Lampiran 7: Analisis Soal Tingkat Kedua... Lampiran 8: Analisis Soal Tingkat Ketiga... Lampiran 9: Analisis Soal Tingkat Keempat... Lampiran 10: Program dan Satuan Proses Kegiatan Rekoleksi...
xvi A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departermen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja tanggal 21 November 1964.
SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci tanggal 4 Desember 1963.
C. Singkatan Lain Art : Artikel
IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Kan : Kanon
xviii
Tabel 1 : Mahasiwa IPPAK Tahun Ajaran 2008/2009 Tabel 2 : Sasaran Tiap Tingkatan Mahasiswa IPPAK Tabel 3 : Kisi-kisi dan Instrumen Penelitian
Tabel 4 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Sakramen Tobat Mahasiswa IPPAK Berdasarkan Skor Total
Tabel 5 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Sakramen Tobat Mahsiswa IPPAK Berdasarkan Segi Aspek yang Diungkap
Tabel 6 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Sakramen Tobat Mahsiswa IPPAK Berdasarkan Segi Aspek Pemahaman Mahasiswa Tingkat 3
Tabel 7 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Tugas Pewartaan Berdasarkan Skor Total
Tabel 8 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Tugas Pewartaan Berdasarkan Aspek Yang Diungkap pada mahasiswa tingkat 1 dan 2 Tabel 9 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Tugas Pewartaan Berdasarkan
Aspek Yang Diungkap pada Mahasiswa Tingkat 3
Tabel 10 : Kriteria Klasifikasi Penghayatan Tugas Pewartaan Berdasarkan Aspek Yang Diungkap pada mahasiswa tingkat 4
Tabel 11 : Instrumen Soal Tabel 12 : Hasil Penelitian
Tabel 13 : Hasil Klasifikasi Variabel Penghayatan Sakramen Tobat Tabel 14 : Diskripsi Penghayatan Sakramen Tobat Berdasarkan Skor
Total
Tabel 15 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Pemahaman Mahasiswa IPPAK terhadap Sakramen Tobat
Tabel 16 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Penyesalan atas Kesadaran Dosa Tabel 17 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Melaksanakan Pengakuan Dosa
di Hadapan Imam
Tabel 18 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Melaksanakan Penitensi Tabel 19 : Hasil Deskripsi dari Instrumen
xix
Tabel 22 : Deskripsi Aspek Pengetahuan Mahasiswa IPPAK
xx
Diagram 1 : Deskripsi Penghayatan Sakramen Tobat Berdasarkan Skor Total
Diagram 2 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Pemahaman Mahasiswa IPPAK terhadap Sakramen Tobat
Diagram 3 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Penyesalan atas Kesadaran Dosa
Diagram 4 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Melaksanakan Pengakuan Dosa di Hadapan Imam
Diagram 5 : Deskripsi Berdasarkan Aspek Melaksanakan Penitensi Diagram 6 : Hasil Deskripsi dari Instrumen
Diagram 7 : Deskripsi Penghayatam Tugas Pewartaan Berdasarkan Skor Total
Diagram 8 : Deskripsi Aspek Pengetahuan Mahasiswa IPPAK
A. Latar Belakang Masalah
Umat Kristiani sering menyebut Sakramen Tobat dengan istilah rekonsiliasi.
Dokumen resmi Gereja sendiri biasa menyebut rekonsiliasi dengan istilah Sakramen
Tobat (SC, art. 72). Istilah rekonsiliasi mempunyai makna bagaimana relasi antara Allah
dengan manusia berdamai kembali yang diaktualisasikan melalui perdamaian hidup
dengan sesama manusia. Istilah ini menekankan bahwa Allah sendiri yang mempunyai
inisiatif terlebih dahulu supaya manusia berdamai denganNya sehingga terciptalah dunia
yang aman dan damai.
Membangun kehidupan bersama di dalam jemaat yang penuh kedamaian dan
kebahagiaan tidaklah mudah. Orang suka menuduh dan membicarakan kesalahan dan
kejelekan orang lain tanpa tahu perasaan orang lain. Sulitnya membangun kehidupan
masyarakat yang penuh kedamaian disebabkan karena keberadaan manusia yang
merupakan seorang pendosa. Dosa membuat relasi kita dengan Allah, sesama dan
lingkungan semakin rusak. Setiap manusia pasti mempunyai beban hidup atau dosa yang
membuat manusia lumpuh semangatnya, lumpuh jiwanya dan lumpuh hidup rohaninya.
Keberdosaan manusia dapat diampuni apabila manusia bertobat atau berbalik
kepada Allah. Setiap manusia khususnya mereka yang telah dibaptis membutuhkan
Sakramen Tobat, bahkan di dalam Kitab Hukum Kanonik (kan. 988) menegaskan:
(1) Orang beriman kristiani wajib mengakukan semua dosa berat menurut jenis dan jumlahnya, yang dilakukan sesudah baptis dan belum secara langsung diampuni oleh kuasa kunci Gereja, serta belum diakukan dalam pengakuan pribadi, dan yang disadarinya setelah meneliti diri secara seksama.
Jadi setiap umat beriman Kristiani yang termasuk juga para mahasiswa wajib
merayakan Sakramen Tobat. Bahkan di dalam Alkitab mengajarkan mengenai pertobatan
sejati seperti halnya pada Mat 4:17 “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat” dan
pada perumpamaan mengenai “anak yang hilang” (Luk 15:11-32). Jadi semakin jelaslah
bahwa merayakan Sakramen Tobat bukan hanya sekedar syarat untuk dapat menjadi
pengikut Kristus namun lebih pada suatu dinamisme kehidupan agar umat Katolik
semakin dapat menghayati kehidupan dan melaksanakan tobat setiap hari dalam misteri
wafat dan kebangkitan Kristus.
Mahasiswa IPPAK (Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik)
merupakan seorang calon katekis. Katekis adalah umat beriman Kristiani yang dipanggil
dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta sabda Allah. Seorang pewarta berarti
mempunyai profesi mengajar dan mewartakan sabda Allah. Pewartaan sabda Allah
dilakukan melalui pengajaran agama, membagi pengalaman hidup Kristiani dan
penghayatan hidup beriman. Penghayatan yang dimaksud adalah mengajar umat beriman
dengan kesaksian hidup seorang katekis dan bukan hanya dengan kata-kata. Oleh karena
itu mahasiswa IPPAK dididik untuk mewartakan sabda Allah melalui kesaksian hidup
sehari-hari sehingga mahasiswa dituntut untuk memiliki pertobatan secara terus menerus
supaya akhirnya beriman mendalam, berkepribadian utuh, mampu berefleksi atas
imannya dan membangun jemaat.
Seorang katekis harus mampu mengajak orang lain untuk mampu menghayati
misteri penyelamatan Kristus sehingga jemaat menjadi seorang yang beriman mendalam
yang selalu mengalami pertobatan secara terus-menerus. Seorang katekis harus selalu
bertumbuh berkembang dalam imannya sehingga dapat membantu orang lain untuk
membuka diri dan memperkembangkan iman umat. Beberapa katekis jarang melakukan
terhadap mereka yang miskin, lemah dan tersingkir. Mereka terkadang hanya
memperhatikan dan dekat dengan orang yang memiliki harta.
Khotbah ataupun pengajaran yang dilaksanakan oleh katekis terkadang hanya
membaca buku pegangan dan terlepas dari hidup sehari-hari. Apa yang diajarkan oleh
mereka tanpa diimani lebih mendalam dengan hidup sehari-hari, mereka tidak sadar
bahwa yang sebenarnya diwartakan adalah misteri penebusan dosa manusia oleh Yesus
Kristus bukan diri mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan pewartaan kurang dapat
merasuk ke dalam hati umat beriman karena hanya seperti pengajaran dogmatis. Beriman
berarti bertobat secara terus-menerus. Oleh karena itu sebagai seorang calon katekis juga
harus selalu mengalami pertobatan bahkan merayakan Sakramen Tobat sesering
mungkin.
Saat ini umat Katolik jarang masuk ke tempat pengakuan, di Eropa dan di
Amerika hampir tidak terdapat lagi antrian di depan ruang pengakuan. Di NTT (Nusa
Tenggara Timur) juga mengalami penurunan kuantitas (Maas, 1999: 12). Pada tahun
1970-an masih banyak orang yang suka merayakan Sakramen Tobat dengan pengakuan
dosa pribadi. Bahkan pada awal abad XX, Paus Pius X menganjurkan agar umat beriman
sesering mungkin untuk menerima komuni suci dan untuk menerima komuni orang harus
bersih dari dosa. Anjuran tersebut mengakibatkan orang berbondong-bondong untuk
mengantri dalam merayakan Sakramen Tobat sebelum perayaan Ekaristi (Martasudjita,
2003: 328).
Penulis juga mendapatkan pengakuan dari beberapa mahasiswa IPPAK (Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik) yang hanya menerima Sakramen
Tobat pada masa Natal dan Paska. Bahkan beberapa mahasiswa yang diketahui oleh
penulis mereka sudah 4 (empat) tahun tidak merayakan Sakramen Tobat dan terdapat
yogyakarta. Mereka lebih senang mengakukan kesalahan kepada sesamanya dalam
bentuk sharing. Praktek pengakuan seperti ini merupakan suatu bentuk ritual pengakuan
dosa dan tobat tetapi hal ini tidak dapat menggantikan perayaan Sakramen Tobat.
Pada dasarnya penurunan frekuensi ini belum dapat dipastikan dengan jelas apa
penyebabnya. Menurut pengamatan penulis, para pelayan sakramen siap sedia melayani
umatnya yang menginginkan pelayanan Sakramen Tobat meskipun bukan masa Natal
ataupun Paska. Bahkan penulis pernah mengalami ada seorang pastor di sebuah paroki di
Jawa Barat yang dengan sengaja mengumumkan di Gereja bahwa beliau dengan senang
hati dan kapan saja melayani Sakramen Tobat apabila umat menghendakinya. Selama ini
penulis juga belum pernah mendengar ataupun mengalami kalau pastor membongkar
rahasia dari ruang pengakuan. Ini berarti bahwa pastor benar-benar dapat menjaga
kerahasiaan yang ada di dalam ruang pengakuan, sesuai dengan tugasnya sebagai seorang
pelayan sakramen yang tercantum pada KHK, kan. 983.
Adanya permasalahan-permasalahan ini menggugah penulis untuk menulis
skripsi dengan judul “PENGARUH PENGHAYATAN SAKRAMEN TOBAT
TERHADAP PENGHAYATAN TUGAS PEWARTAAN MAHASISWA PROGRAM
STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA”.
B. Identifikasi Masalah
1. Menurut Dokumen Gereja apakah Sakramen Tobat itu?
2. Bagaimanakah relasi manusia saat ini dengan sesamanya?
3. Bagaimanakah umat beriman Kristiani memenuhi kewajibannya merayakan Sakramen
Tobat?
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik)?
5. Bagaimanakah penghayatan tugas pewartaan calon katekis dewasa ini?
6. Bagaimanakah pengaruh penghayatan Sakramen Tobat terhadap penghayatan tugas
pewartaan?
7. Bagaimanakah peranan Klerus dalam melayani Sakramen Tobat?
C. Pembatasan Masalah
Topik yang diambil oleh penulis ini tentunya sangat luas tetapi dikarenakan
adanya berbagai keterbatasan dalam mendapatkan bahan dan sumber yang didapat maka
penelitian ini akan dibatasi pada penghayatan Sakaramen Tobat mahasiswa IPPAK (Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik) dalam hubungannya dengan
penghayatan tugas pewartaan sebagai seorang calon katekis.
D. Rumusan Masalah
Melihat pembatasan masalah di atas maka rumusan permasalahan skripsi ini
adalah: Seberapa besar pengaruh penghayatan Sakramen Tobat terhadap penghayatan
tugas pewartaan mahasiswa IPPAK?
E. Tujuan Penulisan
Skripsi ini mempunyai tujuan untuk menggali seberapa besar pengaruh
penghayatan Sakramen Tobat terhadap penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK
sekaligus mengetahui sebab-sebab jarangnya mahasiswa merayakan Sakramen Tobat.
F. Manfaat Penulisan
metode guna menumbuhkembangkan penghayatan Sakramen Tobat para mahasiswa
IPPAK sehingga mereka semakin menghayati tugasnya sebagai seorang pewarta.
2. Memenuhi salah satu prasyarat kelulusan S1 di program studi IPPAK-USD
Yogyakarta.
G. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analistis. Melalui metode
ini penulis akan menggambarkan permasalahan yang ada melalui pemaparan data yang
diperoleh dari penelitian dan studi pustaka. Data-data yang dihasilkan akan dianalisis
guna mengetahui seberapa besar pengaruh penghayatan Sakramen Tobat terhadap
penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK.
H. Sistematika Penulisan
Supaya skripsi ini dapat dipahami secara keseluruhan, maka penulis akan
memberikan gambaran singkat sebagai berikut :
Bab satu merupakan pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang
penulisan skripsi yaitu gambaran mengenai penerimaan Sakramen Tobat dan tugas
pewartaan dewasa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengajukan
rumusahan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan dari keseluruhan isi skripsi ini.
Bab dua berisikan mengenai Sakramen Tobat dan tugas pewartaan mahasiswa
IPPAK. Penulis menguraikan mengenai pengertian-pengertian Sakramen Tobat dan juga
pengertian mengenai tugas pewartaan. Penulis juga memaparkan sejarah pelaksanaan
tobat dalam Gereja yang dimulai pada zaman Patristik sampai pada semangat Konsili
Sakramen Tobat tidak dapat terlepas dari Kitab Suci maka penulis memaparkan mengenai
dasar biblis dosa dan Sakramen Tobat yang dipandang dari segi Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Penelitian dilaksanakan di IPPAK maka perlulah
penulis membahas mengenai sejarah dan perkembangan IPPAK .
Pada bab tiga penulis memaparkan mengenai metodologi penelitian yang
meliputi jenis penelitian, desain penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan
sampel, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, teknik analisis data dan uji
hipotesis. Hal ini diperlukan supaya instrumen valid dan data yang didapat akurat serta
terpercaya.
Bab empat adalah pembahasan penelitian meliputi definisi hasil dari data yang
diperoleh. Penulis menguraikan hasil penelitian tentang situasi umum penghayatan
Sakramen Tobat dan penghayatan tugas pewartaan mahasiswa IPPAK. Untuk
mendapatkan gambaran tersebut, penulis membagikan kuesioner kepada mahasiswa
IPPAK sebagai responden. Setelah data diperoleh penulis mengolahnya menggunakan
SPSS 12.
Bab lima berisi mengenai kesimpulan dan saran-saran dari penulis demi
meningkatkan penghayatan mahasiswa IPPAK akan Sakramen Tobat sehingga dapat
BAB II
SAKRAMEN TOBAT DAN TUGAS PEWARTAAN MAHASISWA IPPAK
A. Sakramen Tobat 1. Pengertian Sakramen
Secara harafiah kata ‘sakramen’ berasal dari kata latin sacramentum yang
mempunyai arti hal yang berhubungan dengan yang kudus, yang Ilahi, sedangkan di
Kitab Suci istilah yang sering dipakai adalah misteri. Sebetulnya, kata Yunani myste’rion
sama dengan kata latin sacramentum, tetapi di dalam perkembangan Teologi kata misteri
dipakai terutama untuk menunjuk pada segi Ilahi/tersembunyi rencana dan karya Allah,
sedangkan kata sakramen lebih menunjuk pada aspek insani (Purwatma, 2005: 1).
Sakramen berarti rencana dan karya keselamatan Allah yang diungkapkan
dalam bentuk manusiawi sedangkan rencana dan keselamatan Allah yang tersembunyi
tidak disebut sakramen tetapi misteri (Sarjumunarsa, 1985: 1). Jadi kata sakramen tidak
pernah dapat dipisahkan dari kata misteri yakni sesuai dengan KHK, kan. 840:
Sakramen-sakramen Perjanjian Baru, yang diadakan oleh Kristus Tuhan dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai perbuatan-perbuatan Kristus dan Gereja, merupakan tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah serta mengahasilkan pengudusan manusia.
Sakramen merupakan tanda dan simbol, hidup manusia tidak dapat terlepas dari
simbol ataupun lambang, bahkan hidup kita begitu lekat dengan lambang yang
merupakan benda atau perbuatan yang pada hakikatnya mempunyai makna dan arti jauh
lebih dalam daripada benda atau perbuatan itu sendiri. Misalnya, seorang pria yang
memberi setangkai bunga mawar putih kepada seorang gadis, hal itu bukan semata-mata
hanya ingin memberi bunga tetapi melambangkan ungkapan sayang atau cinta. Jadi
penyelamatan Allah dan pengalaman dasariah manusia yang terselamatkan (Komisi
Kateketik KWI, 2004: 135-136).
Sakramen menjadi perantara di mana Yesus Kristus sungguh aktif berkarya di
dalam umat Allah. Di dalam diri Yesus Kristus kita dapat melihat Allah yang tidak
kelihatan dan juga mengenal serta mengalami siapa sebenarnya Allah itu. Namun, Yesus
Kristus yang kita imani telah sengsara dan wafat di kayu salib dan pada hari ketiga telah
bangkit dari antara orang mati sehingga saat ini Yesus Kristus telah dimuliakan. Ia tidak
kelihatan lagi tetapi melalui GerejaNya Ia hadir secara rohani di tengah kita dan menjadi
kelihatan. Gereja adalah alat dan sarana penyelamatan dimana Yesus Kristus tampak
untuk menyelamatkan manusia. Gereja menjadi alat dan sarana penyelamatan dalam
kejadian-kejadian, peristiwa, tindakan dan kata-kata yang disebut sakramen. Singkatnya,
sakramen adalah tanda dan simbol bagi Kristus untuk menjadi ‘tampak’ dan dengan
demikian dapat dirasakan kehadiranNya oleh manusia dewasa ini.
Teologi Kristiani dewasa ini biasa membedakan penyebutan antara sakramen
dengan sakramen-sakramen (Martasudjita, 2003: 116). Bila berbicara mengenai
sakramen, orang berbicara mengenai simbol real yang menghadirkan misteri karya-karya
penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus di tengah sejarah dunia ini.
Dalam arti ini, orang bisa bicara mengenai Yesus Kristus sebagai sakramen (induk atau
pokok), Gereja sebagai sakramen (dasar) ataupun apa saja yang berciri sakramental. Apa
saja yang berciri sakramental berarti memiliki dinamik tegangan antara yang ilahi dan
manusiawi, yang melambangkan dan menghadirkan realitas penyelamatan Allah melalui
Kristus dalam Roh Kudus. Bilamana orang bicara mengenai sakramen-sakramen, jelaslah
di situ dimaksudkan pembicaraan mengenai ketujuh sakramen.
Berdasarkan pemikiran di atas, iman itu akan senantiasa terus berkembang dan
memelihara iman. LG, art. 59 menegaskan bahwa sakramen terarah pada pengudusan
manusia, pada pembangunan Tubuh Kristus dan pada pemujaan Allah, yang merupakan
tugas kita. Sebagai tanda, sakramen juga berfungsi mengajar. Iman tidak hanya
diandaikan, melainkan dipelihara dengan sabda dan tanda, dikuatkan dan dinyatakan oleh
sakramen-sakramen.
2. Sakramen Tobat
a. Dasar Biblis Sakramen Tobat
1) Sakramen Tobat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Secara harafiah istilah dosa dapat diambil dari bahasa Ibrani yakni het’ dan
hatta’t yang sepadan dengan bahasa inggris to miss the mark yang dapat diartikan ke
dalam bahasa Indonesia yakni meleset – tidak kena pada sasaran –. Singkatnya istilah
tersebut menunjuk pada unsur terpenting dosa yakni adanya ‘kenyataan kegelapan’. Dosa
berarti menekankan adanya hubungan atau relasi yang putus (Maas, 1999: 20-27).
Pada Kej 3, dikisahkan mengenai manusia pertama yang melakukan dosa.
Mereka berdosa karena mengikuti godaan setan dan melanggar perintah Allah. Adam dan
Hawa diusir dari taman Eden dan tidak dapat berjalan-jalan dengan Allah sebagai akibat
dari dosanya. Dosa merupakan sebuah kenyataan yang ada di sepanjang sejarah hidup
manusia. Dosa terjadi karena sikap manusia yang tidak bisa melawan godaan iblis. Pada
hakikatnya dosa merupakan sikap melanggar perintah Allah.
Kitab Kejadian bab 3 sampai dengan 11 menggambarkan dosa yang universal,
artinya dosa dilakukan oleh semua orang baik oleh kedua manusia pertama dan oleh
keturunan-keturunannya. Pada Kitab Suci Perjanjian lama yang diajarkan bukan
keharusan orang untuk berdosa melainkan mengungkapkan kenyataan mengenai dosa itu
Penderitaan yang dialami oleh manusia dapat menyebabkan manusia
menyadari akan kesalahan pribadi maupun kolektifnya, sesuai dengan Yos 7 dan 1 Sam
5-6. Menurut 1 Sam 7:6 mengenai pengakuan dosa Irarel di Mizpa, pengakuan dosa dapat
dilakukan secara umum. Meskipun begitu dalam Yeh 3:16-21 menekankan pertobatan
pribadi karena adanya dosa pribadi.
Dari uraian di atas mengungkapkan bahwa dalam KS perjanjian lama manusia
telah mengenal dosa dan pertobatan baik secara umum maupun pribadi dan juga melalui
perantaraan pemimpin (Kel 32:30). Mereka juga mempunyai tindakan tobat yang berupa
puasa, penyobekan pakaian, ibadat dan kurban pemulihan.
Kitab Suci Perjanjian Lama bukan hanya memberi kesaksian tentang
akibat-akibat dosa, tetapi juga menggambarkan akar dari dosa, yaitu ketidaktaatan manusia
secara sengaja terhadap Allah. Ketidaktaatan tersebut dikarenakan ketegaran hati. Kisah
mengenai keluarnya bangsa Israel dari tanah mesir memberikan gambaran bahwa bukan
hanya Firaun yang berkeras hati, tetapi hati umat Allah juga membatu sehingga Allah
menuliskan hukumNya pada loh-loh batu untuk menegaskannya (Ul 5:22; Yer 31:33).
Musa telah menyerukan agar Israel menyunat hatinya. Yeremia mengemukakan hati baru
ini sebagai tanda Perjanjian Baru. Janji para nabi ialah bahwa Yahwe akan menggantikan
hati umat yang membatu dengan hati baru sehingga takut akan Allah dan mengikuti
jalanNya (Gray, 2007: 86).
2) Sakramen Tobat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Peristiwa-peristiwa yang ada di dalam Perjanjian lama dapat memberikan
gambaran mengapa penyelamatan dari dosa merupakan inti pengutusan Yesus. Seperti
halnya pada Mat 1:21 yang mengungkapkan bahwa malaikat Tuhan memberikan warta
Yesus ”karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa”.
Pada perikopa Yoh 20:22-23 Allah bersabda “Terimalah Roh Kudus. Jikalau
kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa
orang tetap ada, dosanya tetap ada”. Hal ini menunjukkan bahwa umatNya selalu
membutuhkan pengampunan atas dasa-dosa sehingga Tuhan Yesus memberi wewenang
kepada para rasul untuk memberikan pengampunan. Sakramen tahbisan membuat para
imam menjadi tangan kanan Tuhan untuk memberikan pengampunan kepada manusia
yang berdosa. Kuasa pengampunan dosa yang dimiliki oleh Gereja berasal dari sabda
Yesus sendiri (Mat 16:19; Yoh 20:22).
Pada Kitab Suci Perjanjian Baru menekankan pertobatan guna menyambut
kedatangan Kerajaan Allah yang sudah dekat (Mat 3:2). Sesudah bangkit dari kematian
Yesus mengutus para rasul untuk mewartakan pertobatan dan pengampunan dosa (Luk
24:47).
Pada Perjanjian Baru dipahami bahwa pengampunan dosa diberikan
pertama-tama kepada mereka yang bertobat dan yang percaya akan nama Yesus (Kis 2:38; 3:19)
sehingga dapat dikatakan bahwa pengampuna dosa yang diberikan oleh para rasul hanya
berlaku untuk orang kristiani saja dan bukan untuk mengampuni semua orang. Di dalam
Perjanjian Baru memang tidak secara ekplisit menguraikan mengenai praktek penerimaan
orang berdosa yang bertobat. Tetapi Yesus menyatakan diri mempunyai wewenang untuk
mengampuni dosa (Mrk 2: 10). Allah memberikan kuasa pengampunan itu kepada Gereja
oleh karena itu dalam Gereja Roh Allah hadir dan bekerja dalam Gereja. Pemahaman
tersebut mengakibatkan berkembangnya praktek pengampunan dosa dalam Gereja.
b. Sejarah Sakramen Tobat
cukup mencolok daripada sakramen-sakramen lain. Perjalanan sejarah tersebut sangat
penting untuk diketahui supaya dapat memahami hakikat Sakramen Tobat itu sendiri.
Perubahan yang terjadi adalah praktek pertobatan dalam Gereja, dari model tobat publik
pada zaman Patristik sampai pada tobat pribadi dalam model suatu pengakuan dosa
pribadi yang telah kita kenal sampai saat ini.
1) Rekonsiliasi Jemaat Pada Jaman Patristik dengan Model Tobat Publik (Kanonis)
Pada pertengahan pertama abad II, didache menyatakan bahwa pengakuan
dosa menjadi pengandaian seseorang dapat mengikuti perayaan Ekaristi. Kemudian pada
abad III ditemukanlah karangan mengenai Sakramen Tobat dan pelaksanaannya dari
Tertulianus (Mass, 1999: 48).
Abad ke III merupakan abad penganiayaan bagi jemaat Kristen. Situasi
tersebut mengakibatkan banyak orang meninggalkan iman Kristianinya. Setelah situasi
agak aman mereka yang telah meninggalkan Gereja ingin kembali kepada Gereja.
Banyak orang yang dengan mudah meninggalkan iman, diterima dan kalau ada kesulitan
kembali meninggalkan iman. Keadaan seperti ini mengharuskan Gereja untuk membuat
aturan mengenai tatacara pertobatan bagi mereka yang berdosa setelah dibaptis dan ingin
kembali menjadi anggota Gereja.
Tobat publik (tobat kanonis) diperuntukkan bagi warga Gereja atau mereka
yang sudah dibaptis. Sejak Gereja Perdana aspek ekklesial dan komunal sangat dihayati
oleh setiap orang beriman. Artinya, apabila ada anggota Gereja yang berdosa mereka
tidak hanya berurusan dengan Tuhan tetapi juga dengan Gereja dan seluruh komunitas
umat beriman. Apabila umat berdosa ingin bertobat, berdamai lagi dengan Tuhan maka ia
Tobat Kanonis ini hanya menyangkut dosa-dosa berat: pembunuhan, zinah dan murtad.
Tobat Kanonis ini hanya dapat diterima satu kali selama hidup dan biasanya
mempunyai penitensi yang cukup berat misalnya apabila bujangan dia tidak boleh
menikah, kalau sudah bersuami atau beristri maka tidak boleh bergaul lagi dengan
suami/istrinya, harus berpuasa dan berdoa seperti layaknya pertapa di padang gurun.
Karena beratnya penitensi yang diterima kebanyakan orang menunda pengakuan dosa
hingga waktu krisis. Adapun tahap-tahap tobat publik/kanonis (Martasudjita, 2003: 317)
adalah :
• Pengakuan dosa publik dilakukan di hadapan jemaat yang dipimpin oleh uskup.
Setelah melaksanakan pengakuan, uskup menumpangkan tangan pada orang yang
bertobat. Kemudian orang tersebut diberi pakaian pertobatan dan harus pergi serta
dikucilkan dari jemaah dengan tidak boleh ikut merayakan Ekaristi lagi.
• Masa tobat adalah masa seorang peniten melakukan denda dosa misalnya berpuasa,
beramal, berdoa dan lain-lain dengan waktu sesuai dengan perintah uskup.
• Upacara Rekonsiliasi dilaksanakan apabila masa tobat telah selesai dan denda dosa
telah dilaksanakan biasanya pada hari Kamis Putih. Pada upacara ini uskup
menumpangkan tangan pada orang tersebut dan memohon pengampunan dosa berkat
karunia Roh Kudus atas diri orang yang bertobat itu. Kemudian orang tersebut
diperkenankan memasuki altar untuk merayakan Ekaristi bersama seluruh jemaat.
2) Abad VI dengan Model Tobat Pribadi (Pengakuan Dosa Pribadi)
Praktek tobat kanonis sungguh dirasakan sangat berat. Pelaksanaannya yang
hanya boleh satu kali seumur hidup membuat orang cenderung menggeser pelaksanaan
tobat publik ini pada masa tua atau mendekati kematian. Hal ini menyebabkan praktek
Sekitar abad VI, lahirlah praksis baru dalam hidup Gereja yang berasal dari
para rahib Irlandia yaitu praktek tobat pribadi yang berupa pengakuan dosa pribadi di
hadapan seorang bapa pengakuan yang dapat dilakukan berulang-ulang kali dan
pengakuan dosa hanya dilakukan secara pribadi di hadapan seorang bapa pengakuan.
Tobat pribadi mempunyai tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya yaitu: pengakuan dosa,
absolusi oleh imam dan masa tobat (melaksanakan denda dosa). Tobat pribadi ini
diajarkan dan diterima dengan resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215) pada
abad XIII (Sumarno, 2008b: 114-115).
Secara teologis-liturgis, ada perbedaan antara tobat publik dengan tobat privat
yaitu pada peran seluruh umat beriman. Pada tobat publik atau kanonis umat beriman
sungguh berperan sedangkan pada tobat pribadi yang lebih berperan adalah bapa
pengakuan bukan umat beriman. Tobat pribadi mempunyai unsur penting yaitu:
pengakuan dosa. Oleh karena itu muncullah istilah sakramen pengakuan dosa.
3) Ajaran Resmi Gereja mengenai Sakramen Tobat pada Abad Pertengahan a) Konsili Lateran IV (1215)
Sejak abad VII, pengampunan dosa secara rutin sudah menjadi kebiasaan di
banyak tempat. Hanya sedikit saja Gereja lokal yang menolak kebiasaan tersebut dengan
alasan seorang imam tidak punya hak untuk mengampuni dosa (Purwa Hadiwardoyo,
2007: 29-30).
Para uskup menanggapi kondisi tersebut dengan mengadakan Konsili Lateran
IV yang menegaskan bahwa :
• Umat beriman layak menerima pengampunan dosa secara kerap.
• Setiap orang kristen yang sudah dapat menggunakan akal budinya wajib melaksanakan
satu tahun.
• Pengakuan dosa harus dilakukan secara rahasia di hadapan pastornya masing-masing.
• Seorang peniten boleh menerima pengampunan dari imam lain setelah ia mendapat
ijin dari pastornya sendiri.
• Imam berkewajiban merahasiakan apapun yang ia ketahui dari dari ruang pengakuan
dosa apabila imam membocorkan rahasia tersebut maka akan mendapatkan sanksi dari
pimpinan Gereja.
b) Konsili Florence (1439)
Sejak abad XIV, teologi Thomas Aquinas mengenai dua unsur yang ada di
dalam sakramen yakni forma dan materia sungguh terasa kuat mempengaruhi kehidupan
Gereja. Olah karena itu para uskup yang berkumpul di Florence menegaskan beberapa hal
(Purwa Hadiwardoyo, 2007: 30) yakni:
• Sakramen keempat adalah Sakramen Tobat.
• Quasi-materia dari Sakramen Tobat adalah hal-hal yang dilakukan peniten yakni:
contritio (sesal sempurna atas dosa-dosa dan niat-niat untuk tidak berdosa lagi),
confessio (pengakuan dosa secara utuh di depan imam) dan satisfactio
(perbuatan-perbuatan silih yang sesuai dengan berat dosanya) sedangkan formanya adalah
kata-kata absolusi yang disampaikan oleh imam.
• Buah dari Sakramen Tobat adalah pengampunan atas dosa-dosa.
c) Konsili Trente (1551)
Pada abad XVI muncullah gerakan-gerakan reformasi di dalam tubuh
Gereja, yang kemudian menyebabkan munculnya Gereja Kristen Protestan. Sebagian dari
dan ekaristi. Menanggapi hal tersebut menurut Purwa Hadiwardoyo (2007: 31), para
uskup mengadakan Kosili Trente dan menegaskan beberapa hal, yakni:
• Sakramen Tobat sungguh diperlukan bagi semua orang yang telah melakukan dosa
berat supaya dapat memperoleh kembali rahmat dan pembenaran.
• Pada saat Tuhan Yesus berkarya di dunia, pertobatan memang belum merupakan
sebuah sakramen, tetapi setelah kebangkitannya, Ia menciptakan Sakramen Tobat,
dengan bersabda pada para rasul (Yoh 20:22-23).
• Pada Sakramen Baptis, pelayan sakramen tidak berperan sebagai hakim seperti halnya
pada Sakramen Tobat. Sakramen Baptis berguna demi keselamatan orang-orang yang
belum dibaptis sedangkan Sakramen Tobat perlu demi keselamatan orang-orang yang
sudah dibaptis tetapi jatuh ke dalam dosa.
• Forma dari Sakramen Tobat adalah kata-kata absolusi yang diucapkan oleh imam,
pelayan sakramen sedangkan quasi-materianya adalah contritio, confessio dan
satisfacatio.
• Rest sacramenti atau buah Sakramen Tobat adalah rekonsiliasi dengan Allah.
• Attritio, sesal yang tidak sempurna tidak menghasilkan pengampunan Ilahi namun
attritio tetap merupakan anugerah Ilahi dan dapat mempersiapkan hati seorang
beriman untuk menerima pengampunan melalui Sakramen Tobat.
• Peniten (orang beriman yang bertobat) harus mengakui dosa beratnya setelah ia
memeriksa batinnya secara seksama. Konsili juga menyarankan supaya ia
mengakukan dosa-dosa ringan meskipun dosa ringan itu dapat diampuni Allah di luar
perayaan Sakramen Tobat.
4) Sakramen Tobat dalam Semangat Konsili Vatikan II
Tobat dalam rangka perayaan kerahiman Allah dalam Gereja dan segi eklessial diberi
tekanan kembali. Imam bertindak atas nama Gereja dalam menghadirkan pengampunan
Allah.
Pada pertengahan abad XX Konsili Vatikan II merenungkan kembali gerakan
pembaharuan teologi dan liturgi dalam Gereja. LG, art. 11 menyatakan kembali dimensi
eklessial Sakramen Tobat:
Mereka yang menerima Sakramen Tobat memperoleh pengampunan dari belas kasihan Allah atas penghinaan mereka terhadapNya, sekaligus mereka didamaikan dengan Gereja, yang telah mereka lukai dengan berdosa dan yang membantu pertobatan mereka dengan cinta kasih, teladan serta doa-doanya.
Pada tahun 1973 atas kehendak Konsili Vatikan II disusunlah buku perayaan
Sakramen Tobat yang baru Ordo Paenitentiae. Buku tersebut menekankan dimensi
perayaan dan menampakkan dimensi eklessial yang dirumuskan pada absolusi yang
diucapkan oleh imam: “Melalui pelayanan Gereja, Ia menganugrahkan kepada saudara
pengampunan dan damai. Maka dengan ini aku melepaskan saudara dari segala dosa...”.
Ordo Peniteniae menyampaikan tiga kemungkinan perayaan Sakramen
Tobat:
• Tata perayaan rekonsiliasi perorangan/pribadi.
• Tata perayaan rekonsiliasi beberapa orang dan dilanjutkan pengakuan dan absolusi
pribadi.
• Tata perayaan rekonsiliasi jemaat dengan pengakuan dan absolusi umum. Untuk
memberikan absolusi umum, imam harus mendapat izin dari uskup.
Pada tahun 1984, Paus Yohanes Paulus II menulis surat Apostolik
Reconciliatio et paenitentia, beliau melanjutkan semangat dan ajaran Konsili Vatikan II
serta memandang Sakramen Tobat dalam konteks eklessiologi (Martasudjita, 2003:
c. Makna Sakramen Tobat
Perayaan Sakramen Tobat selalu merupakan pengakuan iman Gereja. Sakramen
Tobat itu Sakramen Iman, di dalamnya secara khusus terungkapkan iman orang berdosa
(Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 434). Kita merupakan manusia yang hidup
dalam situasi dosa. Seseorang yang melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan
kehendak Tuhan berarti dia memisahkan diri dari Tuhan dan sesama oleh karena itu kita
harus mempunyai usaha untuk bangkit kembali sesudah jatuh untuk berbalik kembali
kepada Allah dan sesama. Tanda pertobatan di hadapan Tuhan dan sesama itu diterima
melalui perayaan Sakramen Tobat. Tobat sejati menuntut agar kerugian yang diakibatkan
oleh kesalahan itu diperbaiki.
Sakramen Rekonsiliasi merupakan sakramen yang ingin menjawab kerinduan
manusia akan kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan bahagia menurut unsurnya
yang paling dalam: yaitu relasi manusia dengan Allah dan sesama (Martasudjita, 2003:
311).
Sakramen yang berkaitan dengan dosa dan pertobatan mendapatkan nama dan
pengertian yang cukup luas dan luwes. Sakramen ini dapat disebut sebagai Sakramen
Pengakuan Dosa sebab tindakan yang paling menonjol berupa pengakuan dosa dari
peniten yang dengan rendah hati mengakui dosa-dosanya di depan Tuhan sendiri melalui
seorang pejabat gereja. Orang juga menyebutnya sebagai Sakramen Pengampunan Dosa
karena dalam tindakan pengakuan dosa tidak banyak berarti, selama tindak kerahiman
Tuhan yang Maha Pengampun tidak melimpahkan kasihNya untuk menghapus semua
dosa manusia. Selain itu, orang menyebutnya sebagai Sakramen Perdamaian, karena ia
memberi pendosa cinta Allah yang mendamaikan: Berilah dirimu didamaikan dengan
Allah(2 Kor 5:20). Setiap orang yang hidup dari cinta Allah yang berbelaskasihan, selalu
Tetapi ditegaskan bahwa yang paling penting adalah apa yang dilakukan oleh orang
beriman sendiri, selaku pentobat dan bersama dengan imam ia merayakan liturgi Gereja,
yang terus menerus membarui diri. Maka sakramen ini tidak lagi disebut Sakramen
Pengampunan tetapi Sakramen Tobat (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 434).
Bertitik tolak dari uraian di atas secara sederhana Sakramen Tobat dapat
dipahami sebagai tanda dan sarana atas pencurahan Roh Kudus dari Allah sendiri yang
mengampuni manusia dari dosanya. Orang dapat masuk ke dalam keanggotaan Gereja
setelah menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Krisma. Melalui sakramen itu pula
manusia mempunyai status hidup baru yaitu hidup dalam rahmat. Kita percaya bahwa
keanggotan Gereja tidak dapat dihapuskan (kekal dan abadi) namun karena dosanya
manusia dapat kehilangan rahmat yang ia terima dari baptisan. “Konsekwensi dari dosa
besar juga mengakibatkan orang dikucilkan dari komunitas” (Purwatmo, 2005: 19).
Manusia yang telah dibaptis namun masih melakukan dosa dapat memperbaiki
hubungannya dengan Allah dan Gereja dengan menerima Sakramen Tobat. Oleh karena
itu Sakramen Tobat disebut juga sebagai Sakramen Rekonsiliasi. Adapun secara singkat
pengertian sakramen dapat dirumuskan sebagai berikut, tanda dan sarana keselamatan
bagi orang yang menerimanya dengan iman. Penerimaan Sakramen Tobat bukan hanya
sekedar melaksanakan ritual dan kewajiban sebagai orang Katolik. Sakramen Tobat
sungguh mempunyai arti yang mendalam, melalui Sakramen Tobat para imam
mendamaikan orang berdosa dengan Allah dan Gereja.
Manusia yang merayakan Sakramen Tobat tidak hanya dosanya diampuni,
tetapi ia dapat lagi mengambil bagian secara penuh dalam kehidupan Gereja (Konferensi
Waligereja Indonesia, 1996: 430). Tujuan menerima Sakramen Tobat ialah memulihkan
relasi kasih dengan Allah. Berkat Sakramen ini, manusia memperoleh pengampunan dari
St. Agustinus (354-430) merupakan sosok teladan yang melakukan pertobatan
sejati. Awal kehidupannya sebelum menjadi seorang pujangga Gereja dan seorang uskup
dari Hippo (Afrika) adalah merupakan seorang pendosa. Ia memboroskan waktu untuk
bermain, melupakan sopan-santun, menjadi anggota kelompok brandal, meninggalkan
ibunya, mempelajari ilmu yang bertentangan dengan ajaran Katolik. Namun Monica, ibu
Agustinus tidak pernah putus asa untuk selalu mendoakan Agustinus agar kembali hidup
bersama Tuhan. Akhirnya suatu hari ia mendengar bisikan yang berbunyi “Tolle, Lege”
yang artinya ‘Ambillah dan Bacalah’ kemudian ia mengambil dan membaca Kitab Suci
“Allah pangkal segala yang baik” Rom 13:13-14. Setelah itu, ia menyadari, menyesal dan
mengakui atas segala dosa yang telah diperbuatnya kemudian ia mendamaikan
hubungannya dengan Tuhan dan percaya padaNya yang membuat hidupnya damai dan
tidak gelisah lagi (Komisi Kateketik KWI, 1995:150).
Kisah hidup St. Agustinus tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa
tobat akan mengakibatkan hidup kita lebih baik. Dari Kitab Suci sering kita mendengar
istilah metanoia yang mempunyai arti perubahan arah. Perubahan arah yang dimaksud
adalah berbalik ke arah yang semula meninggalkan Allah kembali disesuaikan dengan
Allah. Pertobatan adalah karya Allah. Manusia mampu bertobat bila Allah lebih dulu
mengasihi manusia dengan cara membuka hati manusia sehingga manusia dapat
merasakan betapa besar kasih Allah dan berani menyesuaikan hidup sesuai dengan
kehendak Allah. Hal tersebut, merupakan makna pertobatan sejati yaitu membawa
manusia kepada perubahan orientasi hidup. Apabila kasih Allah menjadi dasar pertobatan
maka dosa kecilpun akan dirasakan sebagai hal yang menghalangi kasih Allah. Oleh
karena itu tidak hanya dosa besar saja yang memerlukan pengampunan tetapi juga dosa
kecil (Purwatmo, 2005: 21).
Sakramen Tobat pertama-pertama adalah perdamaian manusia dengan Allah. Perdamaian
dengan Allah berarti juga berdamai kembali dengan Gereja, karena bila seorang beriman
berdosa maka seluruh Gereja akan menderita. Oleh karena itu pertobatan mengembalikan
relasi manusia pendosa dengan Allah sekaligus dengan Gereja (Purwatmo, 2005: 22).
d. Unsur-Unsur Sakramen Tobat
Sakramen Tobat mempunyai unsur-unsur yang dapat memberikan gambaran
mengapa manusia harus bertobat dan apa kosekwensinya. Adapun unsur-unsur tersebut
menurut Sarjumunarsa (1985: 33-36), adalah:
1) Manusia Berhadapan dengan Dosa
Meskipun orang Kristiani telah dibaptis tetapi didalam perjalanan hidup pasti
mengalami dan melakukan dosa. Dosa tersebut dapat berupa dosa kecil ataupun dosa
besar. Dosa kecil merupakan dosa yang berkenaan dengan hal-hal yang kecil sedangkan
dosa besar merupakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan merugikan dan membuat
orang banyak menderita.
2) Peyesalan si peniten
Penyesalan merupakan sebuah kesadaran akan rasa derita atas dosa yang telah
dilakukan. Kesadaran dapat dikatakan sempurna apabila lahir berdasarkan kesadaran dari
dirinya sendiri bukan karena paksaan ataupun aturan. Penyesalan dapat dibedakan antara
sesal yang sempurna dan sesal kurang sempurna. Sesal sempurna adalah penyesalan atas
dosa yang muncul karena atas dasar kasih pada Allah. Sedangkan sesal kurang sempurna
3) Pengakuan dosa
Sebagaimana perumpamaan mengenai anak yang hilang dalam Injil Lukas, anak
bungsu menyatakan pertobatan kepada bapanya. Oleh karena itu dalam Sakramen Tobat
si pendosa juga perlu mengungkapkan pertobatannya (Purwatmo, 2005: 22). Pengakuan
dilakukan dihadapan imam tanpa berbelit-berbelit. Dosa harus diungkapkan dengan jelas
dan tidak ada yang perlu ditutupi. Pengakuan bersifat pribadi artinya tidak berkelompok
supaya tidak ada perasaan malu ataupun saling curiga dan akhirnya menaruh dendam.
Adapun dosa-dosa yang wajib diakukan adalah dosa-dosa berat yang disadari setelah
pemeriksaan batin sedangkan untuk dosa-dosa ringan tidaklah wajib diakukan tetapi
dianjurkan supaya si pendosa menyadari belas kasih Allah yang melimpah pada manusia
dan semakin mengakui kerahiman Allah dan mohon belas kasih kepadaNya.
4) Absolusi
Absolusi sering juga disebut dengan pengampunan dosa. Penyesalan
memberikan makna bahwa manusia memohon kepada Allah untuk melimpahkan
pengampunanNya. Allah mengampuni manusia melalui imam. Imam menghadirkan
tindakan pengampunan Allah dan sekaligus tindakan Gereja menerima seseorang pendosa
kembali menjadi anggota komunitas. Jadi absolusi merupakan gambaran akan jawaban
Tuhan atas permohonan manusia, yang mendambakan pembebasan dari derita dosa.
5) Penitensi
Tindakan penitensi merupakan sebuah proses kembalinya pendosa kepada
jemaat. Meskipun sudah mendapatkan absolusi tetapi akibat dari dosa tidak hilang begitu
saja. Penitensi yang diberikan oleh Gereja merupakan suatu bantuan bagi peniten untuk
tindakan yang konkrit pula. Dahulu, penitensi lebih dipahami sebagai hukuman atas
dosa-dosa karena dosa-dosa telah merusak hubungan dengan Allah dan dengan sesama. Oleh karena
itu penitensi dianggap sebagai silih atau mengganti kerugian. Tetapi saat ini penitensi
lebih dipahami sebagai ungkapan syukur atas pengampunan Allah yang telah diterima
oleh si peniten. Kita meyakini bahwa semakin besar dosa yang diampuni semakin besar
pula rahmat kasih Allah yang diterima oleh si pendosa.
e. Liturgi Sakramen Tobat
1) Perkembangan Hakikat Sakramen Tobat
Bentuk definitif dari Sakramen Tobat baru didapatkan pada saat Konsili
Trente, setelah terjadi beberapa tekanan yang cukup berarti di dalam tubuh Gereja.
Menurut Kees Maas (1999: 93) perkembangan yang ada dalam Sakramen Tobat adalah:
• Awalnya Sakramen Tobat ditujukan untuk mengampuni dosa berat (dosa capitalia)
dan hanya sekali seumur hidup dapat merayakan Sakramen Tobat, namun sekarang
diharuskan sekali setahun bahkan dianjurkan agar ‘sering’ merayakan Sakramen
Tobat.
• Awalnya orang kristiani hanya diperbolehkan adalah laku tapa tobat yang nyata
dihadapan umat namun mulai abad VI titik berat diletakkan pada pengakuan dosa
secara pribadi sehingga berkembanglah istilah Sakramen Pengakuan.
2) Perkembangan Bentuk Liturgis Sakramen Tobat
Perkembangan hakikat Sakramen Tobat juga mempengaruhi bentuk liturgis
Sakramen Tobat itu sendiri. Menurut Kees Maas (1999: 94) perkembangan bentuk
liturgis tersebut, adalah:
mengharukan dan dilakukan bersama dengan seluruh umat namun kemudian
disederhanakan menjadi pertemuan empat mata (antara peniten dan imam).
• Awalnya persiapan penerimaan Sakramen Tobat dilakukan bersama seluruh umat
namun sekarang dipercayakan kepada masing-masing orang yang mau mengaku dosa.
• Dahulu satisfactio merupakan bagian penting dalam liturgi tobat dan menyangkut
kehidupan seluruh umat namun kini diganti dengan denda yang bercorak yuridis dan
simbolis yang dilaksanakan sesudah actio liturgica confessionis.
• Dahulu peniten mempunyai banyak partisipasi dalam pelaksanaan liturgi tobat
sedangkan kini dibatasi pada pengakuannya dan saat upacara, imamlah yang aktif.
3) Upacara dan Rumusan dalam Sakramen Tobat a) Ibadat Sabda
(1) Ibadat Sabda Jarak Jauh
Ibadat sabda ini dilakukan beberapa kali dalam setahun misalnya pada saat
permulaan masa adven, masa puasa atau saat berziarah. Tema ibadat ini adalah
pertobatan yang sengaja dipilih supaya dapat membangkitkan semangat tobat. Adapun
bagian dari ibadat ini menurut Maas (1999: 95):
• Ibadat ini mempunyai bagian terpenting yaitu bacaan-bacaan dengan doa umat yang
dapat disusun seperti litani yang memohon untuk dikasihani Allah.
• Penutup diarahkan kepada pernyataan percaya bahwa Tuhan mengampuni dosa
dengan pengantaraan Kristus dan gerejaNya.
(2) Ibadat Sabda Jarak Dekat
Pada saat menjelang pengakuan dosa ada suatu persiapan yang berupa ibadat
kutipan singkat Kitab Suci, renungan singkat kemudian bimbingan untuk pemeriksaan
batin (Maas, 1999: 95).
b) Selebrasi Tobat dengan Pengakuan Pribadi
Selebrasi merupakan suatu usaha untuk menyempurnakan ritus individualitas
dari confessio privata menjadi suatu perayaan bersama. Selebrasi ini meliputi ibadat
sabda, persiapan bersama, pengakuan pribadi dan diakhiri doa syukur bersama (bagian
penutup dapat diakhiri dengan berkat Sakramen Maha Kudus). Pada selebrasi ini bagian
yang paling penting adalah persiapan bersama untuk mengaku dosa pribadi sehingga
ibadat sabdanya tidak terlalu panjang dan cukup dengan satu bacaan dan homili yang
mengesan hingga membangkitkan rasa bertobat. Pada bagian pengakuan dosa perorangan
hanya meliputi dua unsur (tindakan) yakni peniten berlutut pada salah seorang bapa
pengakuan dan menyebutkan dosa-dosanya kemudian bapa pengakuan memberikan
absolusi. Hal ini disebabkan karena doa-doa yang diucapkan oleh imam sebelum
memberikan absolusi dapat diucapkan secara bersama sesaat sebelum peniten pergi ke
tempat pengakuan guna mengakhiri pemeriksaan batin dan penitensi diberikan sesudah
seluruh peniten selesai mengakukan dosanya. Jadi penitensi yang diterima oleh setiap
pengikut selebrasi sama dan didoakan secara bersama pula.
c) Selebrasi Tobat Sakramental dengan Absolusi Kolektif
Menurut Kees Maas (1999: 98) upacara selebrasi tobat sakramental hampir
sama dengan susunan selebrasi tobat dengan pengakuan pribadi. Adapun susunannya
adalah:
• Upacara Pembuka
9 Sambutan Oleh Imam
9 Doa Pembuka
• Upacara Inti
9 Ibadat Sabda (bacaan KS dan homili dengan selingan nyanyian)
9 Pemeriksaan batin bersama yang dipimpin oleh wakil-wakil umat
9 Pengakuan kesalahan bersama berupa doa
• Upacara Penutup
9 Absolusi umum
9 Doa penitensi umum bersama
9 Pujian syukur di hadapan Sakramen Maha Kudus
Puncak selebrasi ini pada pemberian absolusi secara meriah namun untuk
dosa-dosa berat harus diakukan kembali dalam bentuk pengakuan pribadi sebelum jangka
waktu tertentu berlalu. Absolusi kolektif ini didahului oleh suatu pengakuan umum
bersama permohonan bersama supaya dosa-dosanya diampuni Allah dengan
pengantaraan Kristus dan GerejaNya.
f. Masalah Pastoral Sakramen Tobat
Mentalitas manusia saat ini telah dipengaruhi oleh zaman modern.
Perkembangan pengetahuan dan tingginya rasa percaya diri manusia saat ini membuat
mereka tidak mempunyai rasa bersalah atau rasa berdosa. Cara berpikir dan pendidikan
yang tinggi membuat orang semakin rasional sehingga orang dapat membuat rasionalisasi
sendiri perbuatannya.
Liturgi perayaan Sakramen Tobat dengan pengakuan pribadi dirasa cukup berat
bagi beberapa orang. Hal ini disebabkan karena merasa malu pada imamnya dan juga ada
merayakan Ekaristi dosanya telah diampuni karena pada saat pembukaan juga ada
kesempatan untuk tobat (Martasudjita, 2003: 328).
B. Tugas Pewartaan Mahasiswa IPPAK 1. Pewartaan Injil
a. Pengertian Pewartaan
Kata pewartaan berarti menyampaikan warta, berita, pesan. Berdasarkan kamus
teologi, pewartaan mempunyai makna menyampaikan kabar gembira disertai pujian dan
syukur. Pewartaan dapat dilaksanakan melalui evangelisasi bagi orang-orang bukan
Kristiani atau dalam liturgi misalnya pewartaan Paska dan Ekaristi yang berarti
‘mewartakan kematian Tuhan sampai Ia datang’.
Evangelization adalah pewartaan kabar gembira (Injil) mengenai Yesus
Kristus kepada semua bangsa dan kebudayaan. Melalui kuasa Roh Kudus, Injil
diwartakan baik kepada orang-orang Kristiani maupun bukan Kristiani. Pewartaan
hendaknya diterima dalam arti luas, tidak terbatas hanya pada homili, pelajaran agama,
ataupun pendalaman Kitab Suci. Pada dasarnya pewartaan merupakan suatu kegiatan dari
fihak Allah maka dalam pewartaannya manusia mengambil bagian dalam karya
pewahyuan yang mendapatkan beraneka bentuk dan tekanan sesuai dengan situasi.
Pewartaan mempunyai tujuan mempertemukan manusia dengan Allah. Adapun isi utama
dari pewartaan adalah kehadiran Allah di dunia mulai dengan para nabi sampai pada
puncaknya Yesus Kristus. Oleh karena itu, pewartaan menyampaikan Sabda Allah, bukan
hanya saja berbicara mengenai Sabda Allah (Jacobs, 1996: 1-2).
b. Tugas Gereja sebagai Pewarta Sabda
saat ini Yesus Kristus sudah tidak tampak secara konkrit lagi karena Sabda sudah
menjelmakan diri dalam sejarah. Oleh karena itu Sabda menciptakan bentuk-bentuk lain
yang di dalamnya Ia bisa hadir dan berbicara. Bentuk tersebut merupakan gema Sabda
Yesus Kristus sendiri. Bentuk baru sabda itu adalah Gereja. Gereja pada hakikatnya tidak
lain daripada jawaban atas panggilan Yesus Kristus sehingga dapat dikatakan bahwa
Gereja seluruhnya merupakan sabda yakni pewartaan dan kesaksian tentang Yesus
Kristus, Sabda dan Wahyu Allah (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996: 382-383).
Secara mendasar, tugas Gereja dapat disimpulkan di dalam tiga tugas pokok
Kristus (Sumarno, 2008a: 35-36) yakni Kristus Nabi dipenuhi oleh Gereja dalam
pelayanan pastoral melalui pelayanan sabda dengan pewartaan (kerygma), Kristus Imam
dipenuhi oleh Gereja dalam pelayanan pastoral melalui pelayanan ibadat sekaligus
merayakan (leiturgia) dan Kristus Raja dipenuhi Gereja dalam pelayanan pastoral melalui
pelayanan pengarahan dengan mengorganisir dan mendidik umat Kristiani (koinonia)
sehingga penuh cinta kasih dan matang untuk memberi kesaksian (martyria) dan
pengabdian pada sesama (diakonia).
Jadi jelaslah bahwa pewartaan merupakan tugas Gereja yang mengungkapkan
pengalaman akan kabar gembira bahwa Allah telah melaksanakan karya
penyelamatannya di dalam diri Yesus Kristus.
c. Bentuk Sabda Allah dalam Gereja
Bertitik tolak dari Konferensi Waligereja Indonesia (1996: 383-386)
mengungkapkan bahwa Sabda mempunyai beraneka macam bentuk yang sesuai dengan
hakikat Gereja:
1) Pewartaan Para Rasul
rasul juga disebut sebagai dasar Gereja. Sabda yang disampaikan kepada mereka
diteruskan di dalam pewartaan yang merupakan bagian asasi pendirian Gereja. Meskipun
Gereja sebagai hasil karya penyelamatan Kristus telah ada sebelum para rasul bahkan
mereka sendiri adalah Gereja namun mereka mempunyai peranan fundamental dalam
proses pengembangan Gereja. Bentuk historis Kristus Sabda sebagai dasar Gereja adalah
sabda rasul-rasul dan kita mengenal Kristus, Sang Sabda hanya melalui
kesaksian-kesaksian mereka. Sabda para rasul tersebut bukan sekedar memberi keterangan
melainkan berdaya guna karena Kristus sendiri hadir dan bekerja di dalamnya.
Seorang rasul hidup dalam suatu panggilan khusus dan diberi kuasa untuk
mewartakan Sabda Allah. Roh Kuduslah yang menjamin kebenaran dan daya guna
pewartaan rasul-rasul. Kemudian kesaksian para rasul ditafsirkan dan disaksikan kembali
oleh Gereja sekarang, tetapi daya guna Sabda Allah dalam pewartaan Gereja tidak kurang
daripada dalam pewartaan para rasul.
2) Sabda dalam Kitab Suci
Pewartaan para rasul ternyata mengalami proses peralihan kepada pewartaan
Gereja. Proses tersebut dibarengi dengan suatu proses Sabda Allah menjadi Kitab Suci.
Sejak semula Gereja mengakui Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) sebagai Sabda Allah.
Selama zaman Apostolik Gereja mengumpulkan tulisan-tulisan yang berisikan pewartaan
mengenai Yesus Kristus dan dijadikan kanon Kitab Suci yang melengkapi KSPL.
3) Sabda Allah dalam Pewartaan Aktual Gereja
Tugas pewartaan tidak lain kecuali mengaktualisasi apa yang disampaikan
Allah dalam Kristus sebagaimana diwartakan para rasul. Pewartaan Sabda Allah oleh
menghadirkan Kristus. Sabda yang disampaikan itu dapat menyelamatkan dan
menyembuhkan hati setiap orang yang membuka diri dan mendengarnya. Kristus
membebaskan kita dari dosa melalui SabdaNya.
d. Katekese
Di dalam kegiatan pewartaan yang pertama dan utama adalah mewartakan
Yesus Kristus baik bagi orang yang belum beriman maupun yang sudah beriman
padaNya sehingga semua orang dapat mengalami dan merasakan Kabar Gembira di
dalam hidup sehari-hari. Mewartakan Yesus Kristus harus selalu berkesinambungan
yakni dari tahap pengajaran sampai dengan tahap pendewasaan yang membantu orang
untuk dapat mengenal, mencintai dan mengimani Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 32). Hal
ini sesuai dengan CT, art. 20:
Lebih cermat lagi, dalam seluruh proses evangelisasi, tujuan katekese ialah menjadi tahap pengajaran dan pendewasaan, artinya: masa orang Kristen, sesudah dalam iman menerima pribadi Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan sesudah menyerahkan diri secara utuh kepadaNya melalui pertobatan hati yang jujur, berusaha semakin mengenal Yesus yang menjadi tumpuan kepercayaannya, mengerti misteriNya, kerajaan Allah yang diwartakan olehNya, baik tuntutan-tuntutan maupun janji-janji yang tercantum dalam amanat InjilNya, dan jalan yang telah digariskan-Nya besar bagi siapapun yang ingin mengikutiNya.
Antara pengajaran dan pendewasaan mempunyai kekhasan dan tekanannya
sendiri namun keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai sebuah kegiatan pewartaan. Hal
ini semakin memperjelas bahwa katekese adalah salah satu tahap dari keseluruhan proses
evangelisasi.
Perkembangan dan pendewasaan iman dapat dicapai melalui tugas dan fungsi
katekese untuk membantu dan membangkitkan pertobatan, membantu umat beriman
mengerti misteri iman, membangkitkan dan mematangkan sikap-sikap pribadi hidup
hidup menggereja dan memasyarakat. Secara rinci menurut Telambanua (1999: 9 ) tiga
tugas utama katekese adalah:
a) Katekese Mewartakan Kristus
Kitab Suci memuat mengenai penyelamatan umat manusia dari dosa oleh Allah
melalui putraNya yang telah sengsara, wafat dan bangkit. Melalui Krituslah, puncak
segala wahyu ditemukan. Manusia mengalami pertemuan secara pribadi dengan Allah
Tritunggal. Dengan demikian, katekese mempunyai tugas menghadirkan Sabda Allah
supaya manusia dapat bertemu secara pribadi Kristus. Oleh karena itu Yesus Kristus
adalah pusat dari katekese atau dapat disebut dengan istilah kristosentris.
b) Katekese Mendidik Umat Beriman
Manusia beriman adalah manusia yang berserah dan menaati Allah, hal ini
dikarenakan iman merupakan anugerah dari Allah (Yoh 6:65-66). Manusia selalu
berkembang seiring dengan zaman dan konteksnya sehingga hidup manusia hendaknya
selalu diperbaharui supaya iman dapat dihidupi dan berkembang. Oleh karena itu
katekese mempunyai tiga komponen yakni :
• Komponen Kognitif: Katekese membawa orang agar semakin dapat
bertanggungjawab atas imannya.
• Komponen Afektif: Melalui katekese perasaan atau penghayatan umat dibangkitkan
sehingga dapat semakin mencintai agamanya dan akhirnya semakin berbakti,
bersembah dan bersyukur kepada Allah.
• Komponen Operatif: Katekese memberikan contoh-contoh konkret sehingga umat
dapat melihat peluang-peluang untuk dapat mengaktualkan imannya dalam hidup