PEMBINAAN SPIRITUALITAS
DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA MEMBANTU MAHASISWA DALAM
MENANGGAPI PANGGILANNYA SEBAGAI KATEKIS
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh : Ade Mardiana NIM : 071124020
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada: Allah Bapa di Surga, Keluarga Besar Mateus
Maman Sulaeman, seluruh mahasiswa IPPAK-USD dan para katekis di seluruh
v
MOTTO
Berkat Kasih Karunia-Nya
Ia telah memilih dan memanggil aku untuk menjadi seorang katekis untuk
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul PEMBINAAN SPIRITUALITAS DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEBAGAI
UPAYA MEMBANTU MAHASISWA DALAM MENANGGAPI
PANGGILANNYA SEBAGAI KATEKIS. Judul skripsi ini dipilih berdasarkan refleksi penulis terhadap pembinaan spiritualitas yang ada di Prodi IPPAK USD yang diproses selama empat tahun. Selain sebagai hasil refleksi, skripsi ini ditulis berdasarkan keingintahuan penulis mengenai peran pembinaan spiritualitas terhadap mahasiswa tingkat empat tahun ajaran 2011/2012 secara khusus pada panggilan mereka sebagai katekis. Pembinaan spiritualitas yang berlangsung di Prodi IPPAK USD merupakan bagian dari mata kuliah yang ada di Prodi sekaligus juga sebagai motor atau penggerak bagi mahasiswa agar memiliki spiritualitas dan panggilan hidup sebagai katekis. Spiritualitas yang dikembangkan adalah spiritualitas katekis.
Pembinaan spiritualitas ini sangat penting bagi mahasiswa. Maka untuk mengetahui kontribusi pembinaan spiritualitas penting bagi mahasiswa penulis tempuh dengan mengadakan penelitian di lapangan. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah kualitatif sedangkan metodenya adalah metode survey. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa tahun ke empat tahun ajaran 2011/2012. Instrumen yang penulis gunakan adalah kuesioner yang terbagi menjadi dua bagian yakni terbuka dan tertutup. Dalam penelitian tersebut terdapat tiga variabel dan tiga variabel tersebut menjadi sasaran penulis dalam penelitian. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa pembinaan spiritualitas memberikan kontribusi bagi mahasiswa yang secara khusus mahasiswa terbantu dalam menanggapi panggilannya sebagai katekis dan spiritualitas katekis bertumbuh dalam diri mahasiswa. Namun dalah hal kemantapan atau mantap menjadi seorang katekis belum dirasakan oleh mahasiswa. Hal tersebut menandakan belum sepenuhnya pembinaan spiritualitas memberikan kontribusi.
ix
ABSTRACT
This small thesis entitled THE FORMATION OF SPIRITUALITY IN RELIGIOUS CATHOLIC EDUCATION DEPARTMENT SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA AS EFFORT TO HELP STUDENTS IN RESPONDING THEIR VOCATION AS CATECHISTS. This title was chosen based on the reflection of the author on the formation of spirituality in Prodi IPPAK USD for four years. In addition as a result of reflection, this paper is written based on the author's curiosity about the role of the formation of spirituality for students in the fourth-year 2011/2012 teachings, especifically on their calls as catechists. The formation of spirituality that takes place in the Prodi IPPAK USD is a part of the existing courses in the department program as well as a motor for students to have spirituality and vocation as catechists. The spirituality is developed catechist spirituality.
The formation of spirituality is very important for students. So to determine the contribution of the formation of spirituality for students, the author conducted a research. This type of research was qualitative while the method was survey method. The sample was a fourth-year students of the school year 2011 / 2012. Instrument that I used was a questionnaire that was divided into two parts, namely open and closed. In that study, there were three variables the formation of spirituality. The results of the research shows that contributes of the students, in responsding to the vocation as catechists and catechist spirituality has grown within the students. But the students have not fullyfelt as catechist. It shows that the formation of spirituality has not fully contributed yet.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah yang melimpah diberikan kepada penulis, sehingga skripsi yang
berjudul PEMBINAAN SPIRITUALITAS DI PROGRAM STUDI ILMU
PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA
MEMBANTU MAHASISWA DALAM MENANGGAPI PANGGILANNYA
SEBAGAI KATEKIS dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini lahir berawal dari
refleksi penulis terhadap pembinaan spiritualitas yang ada di Prodi IPPAK USD dan
keingintahuan penulis mengenai kontribusi pembinaan spiritualitas terhadap para
mahasiswa. Sebagai hasilnya penulis tuangkan dalam bentuk karya ilmiah yaitu
skripsi.
Skripsi ini, dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan semua pihak.
Maka dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed selaku Kaprodi dan Bapak Yoseph
Kristianto, SFP. M.Pd. selaku Wakaprodi yang telah bersedia memberikan
dukungan, perhatian dan morivasi kepada penulis selama berproses di Prodi
IPPAK.
2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen utama yang telah membimbing,
meluangkan waktu, memberikan pengarahan, kritik dan saran serta motivasi
kepada penulis dalam penyusunan skripsi dari awal hingga akhir penulisan.
3. Y.H. Bintang Nusantara, SFK. M. Hum Dosen selaku dosen pengujikeduayang
telah memberikan bimbingan, dukungan, motivasi dan masukan kepada penulis
dalam penyususan skripsi dari awal hingga akhir penulisan.
4. Drs. L. Bambang Hendarto Y, M. Hum selaku dosen penguji ke tiga yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, motivasi dan masukan kepada penulis dalam
penyususan skripsi dari awal hingga akhir penulisan.
5. P. J. Setyakarjana, SJ, Ibu Murti, Sr. Rety, FMM, Suster-suster FDCC, Pusat
xi
tulus memberikan sumbangan kepada penulis sehingga penulis bisa terdaftar dan
menjadi mahasiswa IPPAK-USD sampai sekarang ini.
6. Drs. M. Sumarno Ds, S. J. M.A, Drs. L. Bambang HY, M. Hum dan Drs. Y.a.
C.H. Mardiraharjo yang selalu memberikan beasiswa secara tulus kepada penulis
disetiap semester sehingga penulis bisa dan tetap melanjutkan studi di Prodi
IPPAK-USD.
7. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ, Drs. F.X. Heryatno W. W., M,Ed dan Dr. B. Agus
Rukiyanto, SJ yang secara tulus telah memberikan ijin dan tempat tinggal kepada
penulis sehingga penulis merasa nyaman dan kerasan dalam menjalankan studi di
Prodi IPPAK-USD.
8. Segenap staf dosen (Bapak Dapiyanta, Rm. Putranta, dan Ibu Supriyati),
sekretariat (Bapak Bambang Sulis dan Bapak Widiastono dan mbak Wulan),
perpustakaan (Bapak Bambang Kiswantoto dan Ibu Surti) dan karyawan Prodi
IPPAK USD (Mas Diono, Pak Bari, Pak Suroto, Pak Paryono, Pak Supri
“almarhum”, Pak Yatno, Pak Suwarno dan Mas Panto) yang telah begitu banyak
melimpahi penulis dengan ilmu pengetahuan, perhatian, dukungan, bimbingan
serta senyuman yang selalu menguatkan penulis menjalani proses studi di
kampus IPPAK ini.
9. Keluaraga besar bapak Karnadi dan Jaya Arlika yang telah memberikan bantuan
baik itu secara moral maupun materi kepada penulis sehingga bisa tetap bertahan
dalam melanjutkan studi di IPPAK-USD.
10.Keluarga bapak Sudarisman (ibu Tatik, Maria Jajar, Agnes Jajar, Via, simbah,
mbah dan lain-lain) yang telah memberikan bantuan secara moral kepada penulis
sehingga bisa tetap bertahan dalam pengerjaan skripsi sampai selesai.
11.F. X. Franky Paskalis Pitoy, Pr dan seluruh umat di stasi St. Theresia Ciledug
paroki Bunda Maria Cirebon yang telah memberikan dukungan, semangat dan
doa kepada penulis sehingga penulis bisa tetap bertahan dalam menjalankan
skripsi.
12.Guru-guru SD Kanisius Wirobrajan I yang selalu setia mendukung, mendorong
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 7
1. Bagi Mahasiswa IPPAK USD ... 8
2. Bagi Prodi IPPAK USD ... 8
3. Bagi Penulis ... 8
E. Metode Penulisan ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II. SPIRITUALITAS KATEKIS DAN UPAYA PEMBINAANNYA ... 11
A. Katekis sebagai Panggilan Allah ... 11
1. Pengertian Panggilan sebagai Katekis ... 11
a. Pengertian Panggilan ... 12
b. Pengertian Panggilan menurut Kitab Suci ... 12
c. Pengertian Katekis ... 13
xiv
2. Kekhasan Panggilan Katekis ... 15
3. Hidup seorang Katekis... 15
4. Peran dan Kualifikasi Seorang Katekis ... 16
a. Peranan seorang Katekis ... 17
b. Kualifikasi seorang Katekis ... 19
1). Pengetahuan Seorang Katekis ... 19
a). Pengetahuan tentang Katekese ... 20
b). Pengetahuan tentang Metode Katekese ... 20
c). Pengetahuan akan situasi/ keadaan Umat ... 21
d). Pengetahuan Menyangkut Konteks ... 21
2). Keterampilan seorang Katekis ... 22
a). Keterampilan Berkomunikasi ... 22
b). Keterampilan Berefleksi ... 22
3). Spiritualitas seorang Katekis ... 23
a). Pengertian Spiritualitas ... 23
b). Pengertian Spiritualitas Katekis ... 24
c). Perlunya Spiritualitas bagi Katekis dengan Berguru pada Yesus Kristus ... 25
B. Spiritualitas Katekis dan Tantangannya ... 26
1. Spiritualitas Katekis ... 26
a. Sedia Diutus ... 27
b. Semangat Menggereja ... 27
c. Menjadi Murid ... 28
d. Berakar dan Berbuah ... 29
2. Tantangan dalam Menumbuhkan Spiritualitas Katekis ... 29
a. Budaya Materialistik dan Hedonis ... 30
b. Budaya Audio Visual ... 30
c. Krisis Makna Generasi Muda... 31
d. Globalisasi ... 32
C. Usaha Pembinaan dalam menumbuhkan Spiritualitas Katekis ... 32
xv
2. Bentuk-bentuk Pembinaan Spiritualitas Katekis ... 34
a. Pendidikan Formal dan Informal ... 34
b. Retret ... 35
c. Refleksi ... 35
3. Pembina dalam Pembinaan Spiritualitas Katekis ... 36
D. Rangkuman ... 37
1. Katekis sebagai Panggilan Allah ... 37
2. Spiritualitas Katekis dan Tantangannya ... 39
3. Usaha Pembinaan Spiritualitas Katekis ... 40
BAB III. PENELITIAN TENTANG PEMBINAAN SPIRITUALITAS KATEKIS BAGI MAHASISWA DI PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK ... 41
A. Gambaran Umum Prodi IPPAK ... 42
1. Sejarah Prodi IPPAK ... 42
2. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Prodi IPPAK ... 45
3. Gambaran Kurikulum Prodi IPPAK ... 47
4. Tujuan dan Materi Pembinaan Spiritualitas ... 50
a. Tujuan Pembinaan Spirtualitas ... 50
b. Materi Pembinaan Spiritualitas ... 51
5. Pelaksanaan Pembinaan Spiritualitas ... 53
a. Perkuliahan Tatap Muka Pembinaan Spiritualitas ... 53
b. Waktu Pelaksanaan Pembinaan Spiritualitas ... 54
c. Pendamping Pembinaan Spiritualitas ... 54
B. Penelitian ... 55
1. Tujuan Penelitian ... 55
2. Manfaat Penelitian ... 56
3. Jenis dan Metode Penelitian ... 56
4. Variabel Penelitian ... 57
5. Instrumen Penelitian ... 58
6. Populasi dan Sampel Penelitian ... 58
xvi
8. Teknik Analisis Data ... 59
C. Laporan Hasil Penelitian ... 60
1. Identitas dan Motivasi Mahasiswa ... 60
2. Pemahaman Mahasiswa terhadap Sosok Katekis ... 62
3. Pemahaman Mahasiswa terhadap Peran Katekis dalam Gereja ... 65
4. Pemahaman Mahasiswa terhadap Kualifikasi Seorang Katekis ... 67
5. Peranan Pembinaan Spiritualitas ... 72
6. Faktor Pendukung Pembinaan Spiritualitas ... 75
7. Harapan Mahasiswa terhadap Pembinaan Spiritualitas ... 79
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81
1. Identitas dan Motivasi Mahasiswa ... 82
2. Pemahaman Mahasiswa terhadap Sosok Katekis ... 83
3. Pemahaman Mahasiswa terhadap Peran Katekis dalam Gereja ... 88
4. Pemahaman Mahasiswa Kualifikasi Seorang Katekis ... 93
5. Peranan Pembinaan Spiritualitas bagi Mahasiswa ... 101
6. Faktor Pendukung Pembinaan Spiritualitas ... 104
7. Harapan Mahasiswa terhadap Pembinaan Spiritualitas ... 108
E. Kesimpulan Penelitian ... 110
BAB IV: USULAN PROGRAM REKOLEKSI YANG TERINTEGRASI DENGAN PEMBINAAN SPIRITUALITAS SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KESADARAN MAHASISWA AKAN PANGGILANNYA SEBAGAI KATEKIS ... 115
A. Alasan Perlunya Rekoleksi yang Terintegrasi dengan Keseluruhan PembinaanSpiritualitas ... 116
1. Rekoleksi sebagai Simpul Materi Pembinaan Spiritualitas ... 117
2. Rekoleksi membantu Menemukan Kembali Sang Sumber Spiritualitas ... 119
3. Rekoleksi Meneguhkan Pembiasaan Hidup yang Dijalani Mahasiswa 120
4. Rekoleksi membantu Mahasiswa Memantapkan Panggilannya sebagaiKatekis ... 122
xvii
1. Pengertian Program Rekoleksi dan Tujuan Rekoleksi ... 124
2. Tema-tema Program Rekoleksi ... 125
3. Matrik Program Rekoleksi ... 127
C. Petunjuk Pelaksanaan Program Rekoleksi yang Terintegrasi dengan Ke - seluruhan Pembinaan Spiritualitas ... 133
1. Pendamping Rekoleksi ... 133
2. Peserta Rekoleksi ... 134
3. Waktu Rekoleksi ... 134
4. Sarana dan Metode Rekoleksi ... 134
5. Tempat Rekoleksi ... 135
6. Evaluasi ... 135
BAB V: PENUTUP ... 136
A. Kesimpulan Umum ... 136
B. Saran ... 138
1. Bagi Prodi IPPAK ... 138
2. Bagi Pembinaan Spiritualitas ... 138
a. Materi Pembinaan Spiritualitas ... 139
b. Sarana dan Metode Pembinaan Spiritualitas ... 139
c. Pendamping Pembinaan Spiritualitas ... 139
3. Bagi Mahasiswa ... 139
DAFTAR FUSTAKA ... 140
LAMPIRAN ... 143
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab (Kitab
Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Edisi ke kelima 1997. Jakarta: LBI
B. Singkatan Dokumen Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.
AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan IItentang Gereja, 21 November 1964.
RM : Redemptoris Missio, Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Mengenai Keabsahan Tetap Mandat Pengutusan Gereja, 7 Desember 1990
C. Singkatan Lain
AKKI : Akademik Kateketik Katolik Indonesia
xix DPP : Dewan Pengurus Paroki
FIPA : Fakultas Ilmu Pendidikan Agama
FKIP : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KBP : Karya Bakti Paroki
Komkat : Komisi Kateketik
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
MAWI : Majelis Agung Waligereja Indonesia
Mendikbud : Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
Renstra : Rencana Kerja Lima Tahun Terakhir
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
Prodi : Program Studi
PUSKAT : Pusat Kateketik
USD : Universitas Sanata Dharma
SJ : Serikat Jesus
SKS : Satuan Kredit Semester
LPTK : Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman modern yang penuh dengan tantangan ini, jemaat membutuhkan
pendamping dari para pelayan pastoral yang tangguh dalam menghadapi berbagai
macam permasalahan iman. Pelayanan pastoral yang dimaksud adalah pelayanan
sabda. Dalam bentuknya, pelayanan sabda bermacam-macam. Salah satunya adalah
katekese (Kongregasi untuk Imam art. 52). Telaumbanua (1999: 1) menyatakan
katekese adalah pendampingan, pendidikan dan komunikasi iman. Katekese ialah
pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang
khususnya mencakup penyampain ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan
secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar para pendengar memasuki
kepenuhan hidup Kristen (CT, art. 18).
Sebagai salah satu bentuk pelayanan sabda, kegiatan katekese senantiasa
menyentuh seluruh kalangan jemaat, mulai dari anak-anak, remaja sampai kelompok
jemaat dewasa (CT, art. 36, 37 dan 39). Dalam prosesnya, katekese selalu menghadapi tantangan yang tidak pernah habis. Perlu ada suatu pembaharuan yang
bersifat terus menerus agar katekese tidak kehilangan rohnya. Salah satu penggerak
sebuah proses katekese adalah pelaku sekaligus pewarta sabda Allah, yang sering
disebut dengan istilah katekis.
Menengok sejenak sejarah perkembangan katekese pada zaman Konsili
Vatikan I, Gereja belum melibatkan jemaat dalam karya pelayanan pastoral. Seperti
imam dan biarawan-biarawati. Pada zaman itu pelayanan sabda Gereja bersifat
piramidal artinya Gereja menempatkan posisi imam dan kelompok
biarawan-biarawati di atas seluruh umat. Konsekuensi dari konsep Gereja yang demikian
adalah segala macam keputusan, kebijakan iman berada di tangan hierarki, sehingga
Gereja dipahami sebagai kaum berjubah (Prasetya, 2007: 14). Konsep Gereja yang
demikian sangat mempengaruhi proses katekese yang terjadi di tengah kehidupan
jemaat. Pemahaman bahwa hanya kelompok hierarki yang boleh memberikan
pengajaran atau melakukan pewartaan menjadi sangat dominan. Dalam
perkembangan zaman selanjutnya, Gereja menyadari bahwa konsep Gereja yang
demikian tidak relevan lagi. Maka, muncullah suatu gerakan yang lahir dari inisiatif
kaum hierarki untuk membaharui konsep Gereja yang demikian. Gerakan itu
terwujud dalam bentuk Konsili Vatikan II.
Satu hal yang patut disyukuri bahwa setelah Konsili Vatikan II, Gereja
menyatakan keterbukaannya terhadap seluruh umat, maka segala macam bentuk
kehidupan, tugas pelayanan pastoral dan perkembangan Gereja menjadi tanggung
jawab bersama yang secara khusus kepada kaum awam, yaitu katekis yang
membantu dalam menangani pelayanan sabda (LG, art. 35). Dalam perkembangan selanjutnya kinerja atau tugas para katekis semakin jelas dan fokus pada bidang
kerygma atau pewartaan. Kini tugas katekis tidak serta merta menggantikan tugas para imam atau kaum biarawan-biarawati. Meskipun demikian yang penting untuk
terus menerus disadari oleh seorang katekis adalah perintah Yesus sendiri yaitu
“Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
sampai kepada akhir zaman” (Mat 28: 19-20). Lebih jelas dan terang lagi dalam Injil
Markus 16: 15-16: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala
makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak
percaya akan dihukum.”
Adapun bentuk-bentuk nyata tugas pewartaan yang dilakukan oleh katekis
adalah berkatekese, berbagi pengalaman hidup kristiani, dan penghayatan hidup
beriman (AG, art. 15). Selanjutnya, dalam menjalankan tugasnya, katekis diharapkan memiliki spiritualitas yang mendalam agar mampu hidup dalam Roh Kudus, mampu
memperbaharui hidup secara terus-menerus, mampu menanggapi panggilannya serta
mampu melaksanakan tugasnya tersebut. Berkaitan dengan peran seorang katekis,
dalam salah satu dokumen Gereja Yohanes Paulus II mengatakan bahwa:
“Misionaris sejati adalah santo, kiranya dapat diterapkan tanpa ragu-ragu pada
katekis, mereka dipanggil kepada kesucian dan kepada tugas perutusan yakni untuk
menghidupi panggilan mereka dengan semangat para santo” (RM, art. 90).
Yohanes Paulus II atas peryataannya tersebut mengharapkan panggilan dan
kehidupan katekis layaknya seperti panggilan dan kehidupan seorang santo. Sama
seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidup mereka,
katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidupnya sehari-hari. Itu
berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya melalui kata-kata, melainkan juga
melalui seluruh aspek kehidupannya. Bentuk pewartaan yang dilakukan secara
konkret dalam kehidupan nyata, mampu melahirkan roh penggerak dari dalam diri
seorang pewarta untuk terus menerus hidup dalam tuntunan Allah. Roh penggerak
dari dalam itulah yang disebut sebagai spiritualitas katekis. Supaya spiritualitas
berbagai pembinaan spiritualitas katekis yang mendalam, kreatif dan kontekstual
secara terus menerus.
Pembinaan spiritualitas yang ada sampai sekarang ini bersifat formal maupun
informal, baik yang bersifat rutin maupun berkala dalam bentuk pengajaran dengan
mengutamakan aspek pengetahuan iman, praktek pastoral di lapangan, refleksi yang
dalam kehidupan sehari-hari, retret dan komunikasi iman melalui katekese di
lingkungan. Dengan pembinaan spiritualitas katekis yang dilakukan secara rutin dan
berkala diharapkan bagi katekis sendiri mampu menumbuhkan spiritualitas
katekisnya secara integral.
Dewasa ini jumlah katekis sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena para
katekis yang ada termakan oleh faktor usia, ada yang pensiun dan ada pula yang
meninggal dunia. Selain itu faktor lain adalah kurang gencarnya proses kaderisasi
yang dapat melahirkan para calon katekis yang militan. Proses kaderisasi tidak
melulu dilakukan secara formal dan melalui jalur khusus. Proses kaderisasi yang
paling efektif adalah melalui keteladan yang kharismatis dari seorang katekis di
tengah jemaat. Keteladanan yang kharismatis dari seorang katekis hanya mungkin
terjadi jika memiliki kedalaman spiritualitas katekis yang mendalam.
Berdasarkan pengalaman penulis sendiri ketika melaksanakan Karya Bakti
Paroki (KBP) di Paroki Bunda Maria Cirebon pada tanggal 28 November 2010 - 15
Januari 2011 keberadaan seorang katekis di tengah jemaat sangat dibutuhkan.
Sementara yang terjadi di paroki Bunda Maria Cirebon, segala macam bentuk
pewartaan, katekese dan pendidikan iman masih dilakukan oleh para pastor dan
biarawan-biarawati. Sekalipun di sana ada beberapa guru agama, namun status
pendidikan formal atau khusus. Pastor paroki biasanya menunjuk beberapa umat
untuk membantu tugas pewartaan ini dan membekali mereka seperlunya. Singkat
kata, di paroki Bunda Maria Cirebon belum ada tenaga katekis profesional. Hal ini
sungguh memprihatinkan, mengingat bahwa Cirebon bukanlah kota yang berada di
pedalaman atau jauh dari akses informasi tentang pengetahuan iman.
Memang tidak mudah untuk mengajak anggota jemaat, khususnya anggota
jemaat muda untuk terlibat dalam proses pewartaan. Perlu adanya suatu terobosan
yang luar biasa untuk mengajak anggota jemaat muda di paroki-paroki untuk terlibat
dan bahkan berani menjawab panggilan Allah menjadi seorang katekis. Hanya
dengan keteladanan yang kharismatis dari seorang katekis yang ada saat ini atau dari
calon katekis yang masih mempersiapkan diri dipendidikan formal, seperti Ilmu
pendidikan Kekhususan pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma
(IPPAK USD), terobosan ini bisa dilakukan. Permasalahannya adalah bagaimana
para calon katekis ini disiapkan sedemikian rupa, khususnya dalam hal membangun
spiritualitas katekis maupun panggilannya yang menjadi roh kehidupannya kelak
sebagai pewarta Sabda Allah.
Untuk menanggapi permasalahan tersebut Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
(Prodi IPPAK USD) mendidik dan menghasilkan katekis yang berspiritualitas
maupun yang profesional yang dibekali dengan pendidikan spiritualitas yang
sistematis melalui pendidikan formal, pengetahuan Kitab Suci dan tradisi iman yang
memadai serta keterampilan katekese yang kreatif dan kontekstual.
Di Prodi IPPAK, pembinaan spiritualitas telah diberikan pada mahasiswa
digali dalam masa pendidikan, pembinaan dan pendampingan mencakup unsur-unsur
akademik, sosial interpersonal, moral spiritual dan kemandirian pribadi (Staf Dosen
IPPAK, 2009: 6). Meskipun mereka telah menerima berbagai macam pembinaan,
penulis melihat masih banyak mahasiswa yang belum mampu menyadari
identitasnya sebagai calon katekis. Bahkan ada pengakuan dari beberapa mahasiswa
Prodi IPPAK yang enggan bahkan menyangkal diri untuk menjadi seorang katekis.
Hal ini disebabkan karena motivasi dan tujuan kuliah di Prodi IPPAK hanya sebatas
tuntutan orang tua, kebutuhan lapangan, gengsi atau ikut-ikutan orang lain.
Kurangnya kesadaran diri sebagai calon katekis ini tampak dalam
keterlibatan mereka di lingkungan sekitar, seperti keterlibatan dalam doa,
pendalaman iman di lingkungan, koor, dan doa-doa pribadi di tempat tinggal
masing-masing. Gejala lain muncul dari mentalitas mereka dalam menyelesaikan setiap
tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Tidak sedikit para calon katekis yang
membuat tugas kuliah secara kurang maksimal. Situasi ini sungguh memprihatinkan,
mengingat peran mereka sebagai katekis di tengah umat sangatlah besar.
Permasalahan yang telah dipaparkan di atas, menggugah penulis untuk
menuliskan skripsi dengan judul “PEMBINAAN SPIRITUALITAS DI
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan-rumusan masalah dalam
penulisan skripsi ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas katekis?
2. Bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan dan
mengembangkan spiritualitas katekis?
3. Bagaimana peranan pembinaan spiritualitas bagi mahasiswa di Prodi IPPAK
USD?
4. Bagaimana usaha-usaha yang dapat dilakukan guna meningkatkan pembinaan
spiritualitas bagi mahasiswa Prodi IPPAK USD?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan-rumusan masalah di atas, tujuan-tujuan penulisan
skripsi ini adalah:
1. Menjelaskan spiritualitas katekis.
2. Menjelaskan pembinaan spiritualitas katekis yang ideal dan kontekstual.
3. Mengetahui peranan pembinaan spiritualitas bagi mahasiswa di Prodi IPPAK.
4. Memaparkan usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pembinaan
spiritualitas bagi mahasiswa di Prodi IPPAK.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan di atas, manfaat-manfaat penulisan skripsi ini
1. Bagi mahasiswa IPPAK USD
a. Mahasiswa Prodi IPPAK memiliki pemahaman yang memadai tentang
spiritualitas katekis dan pembinaannya secara lebih konprehensif.
b. Mahasiswa Prodi IPPAK mendapatkan pembinaan spiritualitas yang
kontekstual dalam menumbuhkan spiritualitas katekis maupun panggilannya
sebagai katekis.
2. Bagi Prodi IPPAK
a. Prodi IPPAK menemukan suatu model pembinaan spiritualitas yang cocok
dan kreatif yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa.
b. Prodi IPPAK memiliki lulusan mahasiswa yang sungguh-sungguh menghayati
panggilannya sebagai katekis.
3. Bagi Penulis
a. Semakin memahami spiritualitas katekis dan terdorong untuk menghidupinya
di dalam kehidupan sehari-hari.
b. Semakin terpanggil untuk menjadi seorang katekis.
c. Memenuhi salah satu syarat kelulusan SI di Prodi IPPAK USD Yogyakarta.
E. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode dekriptif analitis. Melalui metode
ini penulis menggambarkan permasalahan yang ada melalui pemaparan data yang
diperoleh berdasarkan studi pustaka dan penelitian. Metode penelitian yang penulis
kemudian menganalisis dan mengolahnya dalam rupa pemaparan gambaran
mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. Metode dekriptif analitis
ini sebagai bentuk pertanggungjawaban penulis atas keseluruhan skripsi yang penulis
buat ini.
F. Sistematika Penulisan
Supaya skripsi ini dapat dipahami secara keseluruhan, penulis akan
memberikan gambaran singkat sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan skripsi secara keseluruhan.
Dalam bab II penulis menguraikan spiritualitas katekis dan upaya
pembinaannya. Penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama,
katekis sebagai panggilan Allah. Kedua, macam-macam spiritualitas katekis dan
tantangannya. Ketiga usaha pembinaan dalam menumbuhkan spiritualitas katekis
Dalam bab III penulis menjelaskan tentang peranan pembinaan spiritualitas
bagi mahasiswa di Prodi IPPAK. Untuk menjelaskan bab ini penulis membagi
menjadi tiga bagian. Pertama, selayang pandang Prodi IPPAK. Kedua, persiapan
penelitian. Ketiga, laporan dan hasil penelitian. Keempat, kesimpulan penelitian.
Dalam bab IV penulis menguraikan usulan program rekoleksi yang
terintegrasi dengan pembinaan spiritualitas sebagai upaya meningkatkan kesadaran
mahasiswa akan panggilannya sebagai katekis. Dalam bab ini penulis membaginya
ke dalam tiga bagian. Pertama, alasan rekoleksi yang terintegrasi dengan keseluruhan
keseluruhan pembinaan spiritualitas. Ketiga, petunjuk pelaksanaan program
rekoleksi yang terintegrasi dengan keseluruhan pembinaan spiritualitas.
Bab V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. Dalam bab ini
penulis, memberikan kesimpulan atas keseluruhan isi skripsi ini. Di samping itu,
BAB II
SPIRITUALITAS KATEKIS DAN UPAYA PEMBINAANNYA
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai spiritualitas katekis dan upaya
pembinaannya. Penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama,
katekis sebagai panggilan Allah. Kedua, macam-macam spiritualitas katekis dan
tantangan yang dihadapinya. Ketiga, usaha pembinaan dalam menumbuhkan
spiritualitas katekis.
A. Katekis sebagai Panggilan Allah
Menjadi katekis merupakan panggilan yang diterima oleh manusia guna
menjalankan tugas pewartaan yakni mewartakan Injil. Hakekat panggilan yang
diterima katekis pada dasarnya Allah sendiri yang berinisiatif memanggil, maka
sikap katekis terhadap panggilan tersebut adalah menanggapi. Dalam menguraikan
katekis sebagai panggilan Allah, penulis membagi pembahasan ke dalam empat
bagian yang meliputi: pengertian panggilan sebagai katekis, kekhasan panggilan
katekis, hidup katekis, peran dan kualifikasi katekis.
1. Pengertian Panggilan sebagai Katekis
Manusia pada dasarnya telah dipanggil oleh Allah, dan tentunya saja
panggilan yang diterima itu berbeda-beda. Untuk bisa memahami mengenai
panggilan pada bagian ini penulis menjelaskannya, namun hanya dibatasi pada
pengertian panggilan menurut Kitab Suci, pengertian katekis dan pengertian
panggilan sebagai katekis.
a. Pengertian Panggilan
Panggilan berasal dari kata memanggil (vocatio, vocare) artinya memanggil atau menyerukan nama seseorang. Panggilan dapat dipahami sebagai suatu undangan
dari Allah yang ditujukan kepada manusia yang dipilih-Nya. Panggilan tersebut
menunjukkan hasrat dan keinginan seseorang untuk mengabdikan hidupnya dalam
pelayanan Allah (Konseng, 1995: 8). Maka panggilan adalah undangan Allah yang
ditujukan kepada manusia yang dipilih-Nya agar menyerahkan dan mengabdikan diri
secara utuh kepada Allah demi tugas pelayanan.
b. Pengertian Panggilan menurut Kitab Suci
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, panggilan merupakan saat yang penting
dalam pewahyuan Allah dan sejarah keselamatan manusia. Panggilan yang diterima
oleh para nabi bersumber dari Allah, maka sikap para nabi adalah menerima
panggilan itu dengan tulus hati. Dengan demikian panggilan yang diterima dan
dilaksanakan dengan tulus hati mampu membawa perubahan hidup pada diri manusia
karena Allah sendiri mengajak manusia masuk ke dalam pengalaman-Nya,
kehidupan-Nya, batin-Nya, dan situasi-Nya (Yamtini, 1981: 14-16). Dalam
Perjanjian Baru, Yesus memanggil kedua belas rasul dengan tujuan untuk membantu
dalam pewartaan-Nya (Mat 10: 1-15). Yesus sebelum mengutus para rasul, terlebih
dahulu Ia melakukan pembinaan terhadap mereka. Pembinaan tersebut meliputi ikut
Yesus wafat di kayu salib, bangkit dan terangkat ke surga, para rasul baru
menjalankan tugas panggilannya yaitu mewartakan Injil (Dister, 1987: 125-126).
Jadi panggilan para rasul adalah tugas perutusan untuk mewartakan Injil.
Para nabi dan para rasul mendapat panggilan, tugas dan tujuan yang sama
yaitu mewartakan karya keselamatan Allah. Pewartaan yang dilakukan para nabi dan
para murid bertujuan untuk membangun Kerajaan Allah di bumi yang tampak dalam
Gereja Kristus. Berdasarkan keterangan mengenai panggilan para nabi dan para
murid, maka panggilan adalah undangan dari Allah yang ditujukan kepada manusia
untuk ikut ambil bagian dalam rencana keselamatan manusia dengan cara mewartaan
karya keselamatan.
c. Pengertian Katekis
Katekis adalah orang-orang yang dalam semangat Roh melibatkan diri dalam
perluasan dan perwujudan Kerajaan Allah di dunia (Komisi Kateketik KWI, 2005:
99). Katekis adalah pembina iman (Telaumbanua, 1999: 6). Katekis adalah orang
beriman yang dipanggil secara khusus oleh Allah melalui Gereja diutus untuk
memperkenalkan Kristus, menumbuhkan dan mengembangkan iman umat baik
dalam komunitas basis, teritorial maupun kategorial (Komisi Kateketik KWI, 2005:
133). Katekis adalah seorang awam yang ditunjuk secara khusus oleh Gereja, sesuai
dengan kebutuhan setempat, untuk memperkenalkan Kristus, dicintai dan diikuti oleh
mereka yang belum mengenalnya dan oleh kaum beriman itu sendiri (Komisi
Kateketik KWI, 1997: 17). Atas pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa katekis adalah orang beriman yang melibatkan diri dalam pembinaan iman
dari Gereja untuk menyampaikan Sabda yaitu Kristus untuk memperkenalkan,
menumbuhkan dan mengembangkan iman umat baik dalam komunitas basis,
teritorial maupun kategorial.
Dari pengertian katekis di atas dapat terlihat juga mengenai ciri-cirinya.
Ciri-ciri tersebut menunjukan akan keberadaannya dalam Gereja, yaitu sebagai orang
yang dipanggil Allah, diutus oleh Gereja, akan bekerjasama dengan tugas perutusan
apostolik dari uskup dan memiliki hubungan khusus dengan kegiatan misi Ad Gentes
(kepada segala bangsa). Ciri-ciri tersebut menjadi identitas katekis dan sekaligus membedakan dengan orang-orang yang bekerja di Gereja (koster, prodiakon, dll) dan
itu semua diakui dalam magisterium dan hukum Gereja (Komisi Kateketik KWI, 1997: 16).
d. Pengertian Panggilan sebagai Katekis
Penulis sudah menjelaskan mengenai pengertian panggilan dan pengertian
katekis di atas, maka dapat disimpulkan panggilan sebagai katekis adalah undangan
Allah yang ditujukan kepada manusia untuk menjadi seorang katekis yang mendapat
tugas dari Gereja untuk memperkenalkan Kristus, menumbuhkan dan
mengembangkan iman umat baik dalam komunitas basis, teritorial maupun
kategorial. Seorang katekis perlu menyadari makna adikodrati dan gerejawi dari
panggilannya, sehingga ia bisa menjawab “Sungguh aku datang” (Ibr 10: 7), atau
“Ini aku, utuslah aku” (Yes 6: 8). Dengan begitu katekis akan sungguh-sungguh
menghidupi panggilannya dan penuh tanggungjawab dalam menjalankan tugas
2. Kekhasan Panggilan Katekis
Sebagai orang awam, tentunya katekis memiliki panggilan yang khas, di
mana ia dipanggil dan diutus mewartakan Injil dalam sifat keduniawiannya di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat (Komisi Kateketik KWI, 1997: 15). Dalam
kehidupannya di masyarakat ia ikut ambil bagian dalam pergumulan dan
perkembangan masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, ia juga berperan sebagai
pewarta sabda dengan menghadirkan sosok Yesus Kristus yang diimaninya dengan
menampilkan kasih Allah melalui perkataan dan perbuatan di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat dengan harapan agar semakin banyak orang yang percaya
dan beriman kepada-Nya (Prasetya, 2007: 30).
Sebagai pewarta sabda ia juga merenungkan sabda yang ia wartakan di dalam
hidupnya. Dari sabda yang ia wartakan dan renungkan, ia juga bersaksi atas sabda
dan imannya karena dengan kesaksiannya itu dapat menjadi teladan dan contoh bagi
kehidupan orang lain. Buah dari pewartaan, permenungan dan kesaksian ia
wujudnyatakan dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam kehidupan
sehari-harinya.
3. Hidup Seorang Katekis
Sebagai seorang pewarta Kristus, katekis perlu memiliki sikap rendah hati,
sederhana dan semangat melayani karena yang diwartakan adalah Yesus yang
memiliki sikap-sikap tersebut. Karena pewartaan katekis di tujukan kepada orang
banyak diharapkan ia mengembangkan sikap dan semangat rela berkorban demi
kepentingan sesama. Sikap tersebut hendaknya dilakukan secara tulus hati dan tanpa
katekis. Katekis juga perlu menyadari bahwa tugasnya itu sangat penting dan
strategis. Maka sudah sepantasnya ia mempunyai niat dan kemauan keras untuk
belajar secara terus menerus agar ia semakin berkembang dan karyanya dapat
dipertanggungjawabkan (Prasetya, 2007: 44-48).
Dalam dunia pelayanan dan kerja, ia akan bekerja sama dengan berbagai
pihak secara khusus dengan Pastor Paroki, Dewan Pengurus Paroki (DPP), pengurus
stasi, pengurus lingkungan atau pun antar katekis sendiri. Maka diharapkan ia
mengembangkan sikap dan semangat mau bekerja sama. Hal ini penting karena
keberadaannya tidak terlepas dari reksa pastoral paroki sehingga diharapkan ia
memiliki komitmen yang tinggi terhadap reksa pastoral itu (Prasetya, 2007: 49).
Katekis adalah seorang pendidik iman, maka sudah selayaknya katekis
mempunyai kehidupan rohani yang mendalam. Kehidupan tersebut harus
berdasarkan pada persekutuan dalam iman dan cinta dengan pribadi Yesus Kristus
yang memanggil dan mengutusnya. Kehidupan rohani yang baik dapat meningkatkan
kedewasaan iman yang mendalam dan memiliki hubungan yang mesra dengan
Kristus (Komisi Kateketik KWI 1997: 45-46).
4. Peran dan Kualifikasi Seorang Katekis
Peran seorang katekis dalam karya pewartaan Gereja sangat vital, maka
Gereja perlu mengkualifikasi katekis-katekis yang bekerja dalam karya pewartaan.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai peran dan kualifikasi seorang katekis.
a. Peranan Seorang Katekis
Seorang katekis yang menyadari panggilannya tentu akan menyadari
terlibat perluasan dan perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Peran pertama,
berkatekese berarti mewartakan visi dan pembentukan communio. Dalam mewartakan visi, ia berperan mengajarkan Yesus kepada orang-orang yang mau
bertobat maupun kepada orang yang telah bertobat. Pengajaran ini dilakukan secara
berkesinambungan yaitu dari tahap pengajaran sampai ketahap pendewasaan (CT,
art. 20). Tahap pengajaran bertujuan membantu mereka untuk semakin mengenal,
mencintai dan mengimani Yesus sedangkan tahap pendewasaan bertujuan agar
mereka berani bersaksi atas iman akan Yesus Kristus (Prasetya, 2007: 33-34). Dalam
mewujudkan communio diharapkan katekis memiliki sikap keberpihakannya terhadap mereka yang tersingkirkan oleh masyarakat (KLMTD) sebagai upaya Allah
dalam mewujudkan communio (Komisi Kateketik KWI, 2005: 99-100).
Kedua, mempertahankan kegandaan wajah Gereja dengan tetap hadir sebagai
agen pastoral awam. Perlu disadari bahwa communio Gereja tidak hanya terdiri dari para klerus dan biarawan-biarawati melainkan juga kaum awam yang tidak hanya
terdiri laki-laki melainkan perempuan juga. Pereduksian Gereja pada kaum klerus
dan laki-laki perlu diatasi dengan pembentukan katekis laki-laki dan katekis
perempuan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan komitmen terhadap
kehidupan Gereja. Jelas sekali dua tuntutan dasar bagi katekis, yaitu percaya diri dan
komitmen. Percaya diri adalah sikap yang lahir dari kesadaran akan panggilan diri
sebagai sarana perwujudan impian Allah bagi umat-Nya, sedangkan komitmen
adalah kesetiaan untuk melaksanakan tanggung jawab termasuk di dalamnya
kesetiaan turut memikirkan bersama rencana pastoral dan ketelatenan
Ketiga, katekis berperan dalam mencegah pereduksian Kristianitas pada
persoalan ibadat. Katekis diharapkan menyadari martabatnya sebagai awam yang
tidak membatasi pada urusan ibadat. Sehubungan dengan itu, Yohanes Paulus II
dalam AA art. 5 menyatakan bahwa:
Oleh sebab itu perutusan Gereja tidak saja membawakan warta Kristus dan rahmat-Nya kepada manusia, tetapi juga meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil. Jadi para awam yang melaksanakan perutusan Gereja ini, menjalankan kerasulannya baik dalam Gereja maupun di dalam dunia, baik dalam tata rohani maupun dalam tata dunia.
Dari pernyataan di atas sangatlah jelas bahwa katekis dapat menangani
bidang lain, yaitu pelayanan karitatif dan pelayanan advokasi. Pelayanan karitatif
adalah pelayanan dalam bentuk kasih sayang dan perhatian, misalnya memberi
pelayanan kepada orang-orang sakit dan miskin, sedangkan pelayanan advokasi
adalah pelayanan yang mengarah kepada penciptaan kondisi yang mencegah orang
untuk menjadi tidak sakit, misalnya baksos. Keempat, katekis berperan dalam
pelayanan yang memberdayakan solidaritas umat beriman, yakni membangkitkan
kesadaran, semangat, dan ketelatenan dalam pelayanan. Sebagai petugas pastoral
yang juga mengambil bagian langsung dalam kehidupan bermasyarakat, katekis
memiliki peluang untuk menyemangati masyarakat dengan semangat pelayanan yang
menjiwainya (Komisi Kateketik KWI, 2005: 102-104).
Kelima, katekis berperan dalam menghidupi pluralitas di bidang pelayanan
Gereja. Kenyataan menunjukkan bahwa katekis dapat menjalankan berbagai macam
profesi. Hal ini terlihat oleh katekis-katekis yang sudah tidak bekerja lagi di paroki
atau keuskupan karena mereka bekerja pada lembaga atau instansi di luar Gereja.
Walaupun mereka sudah tidak berprofesi sebagai katekis, mereka tetap merasa dan
sebagai katekis yang didukung oleh komitmen yang sungguh-sungguh. Dengan
bantuan mereka, Gereja dapat menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan
lembaga atau instansi di luar Gereja. Maka relasi dan kerjasama antara Gereja
dengan dunia luar semakin terbuka lebar, dengan demikian Gereja dapat memberikan
pelayanan secara leluasa dan bebas tanpa ada suatu halangan yang membatasi
keduanya (Komisi Kateketik KWI, 2005: 104-105).
b. Kualifikasi Seorang Katekis
Seorang katekis merupakan pembina iman umat. Dalam PKKI III dijelaskan
bahwa seorang pembina iman umat harus memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Selain pengetahuan dan keterampilan, katekis juga harus memiiliki spiritualitas.
Pengetahuan yang dimiliki katekis akan tersampaikan dengan baik bila didukung
dengan keterampilan dan sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam menjalankan
tugas dibutuhkan spiritualitas. Ketiga hal tersebut merupakan modal dasar yang
menentukan bagi kelangsungan tugasnya.
1). Pengetahuan Seorang Katekis
Katekis adalah seorang pewarta dan saksi iman maka ia harus memiliki
pengetahuan yang memadai seputar tugasnya, yaitu pengetahuan tentang katekese,
pengetahuan tentang metode katekese, pengetahuan terhadap situasi atau keadaan
umat dan pengetahuan yang menyangkut konteks. Kesemua pengetahuan tersebut
harus dikuasai secara benar dan tepat. Tanpa pengetahuan-pengetahuan tersebut
a). Pengetahuan tentang Katekese
Pengetahuan tentang katekese yang harus dimiliki oleh katekis, pertama,
pengetahuan tentang Kitab Suci. Katekis harus memiliki pengertian yang tepat
tentang Kitab Suci sebagai Kitab yang berisi Firman Allah yang ditujukan kepada
manusia. Kedua, Kristologi; apa yang diwartakan oleh katekis adalah Yesus sendiri,
maka terlebih dahulu katekis harus mengenal, mendalami secara pribadi dan
menjadikan Yesus sebagai pola hidup (Lalu, 2005: 118-119).
Ketiga, Eklesiologi (Gereja); katekis harus mampu mengartikan Gereja
secara benar dan tepat, yaitu Gereja sebagai umat Allah, communio dan tanda keselamatan yang nyata hadir di tengah-tengah dunia. Keempat adalah Ajaran Sosial
Gereja (ASG); katekis harus mengetahui dan memahami apa yang menjadi ajaran
Gereja, khususnya keberpihakan Gereja terhadap kaum lemah, miskin, tersingkir dan
difabel (KLMTD). Selain itu juga pengetahuan lain yang harus diketahui dan
dikuasai katekis adalah Sakramentologi, Mariologi, liturgi dan lain-lain (Lalu, 2005:
119). Mengingat umat zaman sekarang ini semakin pintar, kritis dan serba ingin tahu
maka kesemua pengetahuan tersebut harus dikuasai dan dipahami secara benar oleh
katekis.
b). Pengetahuan tentang Metode Katekese
Metode merupakan cara atau prosedur untuk melakukan suatu kegiatan untuk
mencapai tujuan secara efektif. Berbicara mengenai metode katekese, tentunya
katekis harus mengetahui metode dalam sebuah katekese. Pengetahuan ini harus
dipelajari berdasarkan uraian-uraian yang sudah ada atau pun berdasarkan
ini. Dengan kemampuannya mengolah sebuah metode berkatakese tentunya akan
dengan mudah ia menganalisis situasi, menyusun rencana tindak lanjut dan berkreasi
dalam mengolah katekese itu sendiri (Lalu, 2005: 119-120).
c). Pengetahuan tentang Situasi/ Keadaan Umat
Katekis ketika menjalankan sebuah proses katekese ia juga perlu
memperhatikan situasi atau keadaan umat. Situasi atau keadaan yang dimaksud di
sini adalah keadaan pribadi seseorang dan latar belakang umat. Selain itu juga
katekis diharapkan mampu mengenali psikologi dan konteks peserta (Lalu, 2005:
120). Dengan memiliki pengetahuan tersebut akan memudahkan katekis memasuki
kehidupan umat dan menjawab apa yang paling diharapkan dan dibutuhkan oleh
umat. Dengan demikian iman umat akan semakin mengakar, tumbuh dan
berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga di dalam kehidupan
menggereja.
d). Pengetahuan menyangkut Konteks
Katekis juga perlu memiliki pengetahuan yang menyangkut konteks. Konteks
yang dimaksud di sini adalah situasi atau keadaan yang sedang terjadi di dalam dunia
faktual yang bersifat nasional. Misalnya saja kejadian-kejadian yang terjadi di dalam
negri maupun di luar negri: bencana alam, kerusuhan, dan lain-lain (Lalu, 2005:
120). Keadaan yang terjadi dalam dunia faktual dapat membantu, mendukung dan
menjadi sumber inspirasi yang mendukung dalam pewartaan katekis di
tengah-tengah umat yang sedang mengalami perubahan zaman dan serba ingin tahu akan
2). Keterampilan Seorang Katekis
Seorang katekis diharapkan mempunyai keterampilan dalam berkatekese.
Mengapa? Karena pewartaan katekis dilakukan dengan cara berdialog
(berkomunikasi) dengan umat dan mengajak umat untuk berefleksi. Jadi
keterampilan berkomunikasi dan berefleksi merupakan keterampilan yang penting
dan harus dikuasai oleh katekis.
a). Keterampilan Berkomunikasi
Seorang katekis harus mampu berkomunikasi dengan umat, dalam
pengalaman tertentu, dalam situasi tertentu yang dilatarbelakangi kebudayaan
tertentu. Katekis juga perlu dapat mengungkapkan diri, berbicara dan mendengarkan
umat, hal ini menunjukan bahwa ia juga terbuka dengan umat. Dengan tranpilnya
berkomunikasi yang baik tentunya akan sangat mudah bagi katekis dalam
mengumpulkan, menyatukan, dan mengarahkan umat kepada suatu tindakan nyata.
Selain itu juga mampu menciptakan suasana yang memudahkan umat untuk
mengungkapkan diri, berdialog dan mendengarkan pengalaman orang lain sehingga
diantara umat sendiri tidak ada saling curiga satu sama lain (Lalu, 2005: 8).
b). Keterampilan Berefleksi
Pendalaman iman hendaknya menjadi sebuah komunikasi iman yakni
imannya, karena kesaksian yang diungkapkan menjadi bahan untuk direfleksikan dan
sekaligus menjadi peneguh atas apa yang ia katakan kepada umat. Maka untuk bisa
berefleksi dibutuhkan keterampilan berefleksi. Keterampilan berefleksi adalah
kemampuan untuk menemukan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup
sehari-hari, menemukan nilai-nilai Kristiani dalam Kitab Suci, ajaran Gereja dan
Tradisi Kristiani, serta memadukan nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai manusiawi
dalam pengalaman hidup sehari-hari (Lalu, 2005: 8). Dalam melatih keterampilan
berefleksi katekis perlu melakukannya setiap hari.
3). Spiritualitas Seorang Katekis
Spiritualitas merupakan unsur paling pokok yang harus dimiliki oleh katekis,
karena spiritualitas inilah yang membantu katekis tetap bersemangat dalam
menjalankan tugas panggilannya. Penulis sebelum berbicara mengenai macam-maam
spiritualitas katekis terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian spiritualitas,
pengertian spiritualitas katekis dan perlunya spiritualitas bagi katekis dengan berguru
pada Yesus Kristus.
a). Pengertian Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa Latin, yaitu spiritus yang berarti Roh. Roh ini merupakan dasar hidup manusia. Spiritualitas dimengerti sebagai semangat
hidup dan perjuangan yang menjadi cara pandang atau pendekatan dalam pengolahan
hidup (Staf Dosen, 2010: 29). Heuken (2002: 11) menyatakan bahwa spiritualitas
mempunyai dua segi, yaitu askese atau usaha melatih diri secara teratur supaya
sebagai tujuan hidup keagamaan manusia. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa
manusia dipanggil untuk mengenal Dia yang ilahi yang hadir dalam batinnya yang
mana terjalin relasi berdasarkan kasih. Dengan demikian spiritualitas menyangkut
keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah Roh Kudus yang
meresapi seluruh dirinya.
Bagi umat Kristiani, spiritualitas selalu berhubungan dengan Roh Allah atau
Roh Kudus yang mendorong, menggerakkan, menjiwai, menguatkan dan
menyemangati umat manusia. Yesus menyebut-Nya sebagai “Penolong, Roh
Penolong” (Yoh 14: 16-17), dan Paulus menyebut-Nya sebagai “Roh Allah atau Roh
Kudus” (1 Kor 12: 3). Roh Kudus itulah yang turun dan memenuhi para murid pada
hari Pentakosta (Kis 2: 1-4). Van Lierav (1994: 7) menyatakan bahwa spiritualitas
adalah keadaan seseorang atau kelompok yang didorong, dimotivasi, disemangati,
dijiwai dan digerakkan oleh Roh Allah. Dengan demikian spiritualitas adalah suatu
gerak di mana seseorang senantiasa membiarkan dan membuka dirinya untuk
dipimpin, dibimbing, diterangi, digerakkan dan dikuasai oleh Roh Allah. Untuk
dapat mengalami kehadiran Roh Allah dibutuhkan suatu kepekaan hati agar Roh
Allah diam di dalam kita (Rom 8: 1-17).
b). Pengertian Spiritualitas Katekis
Dasar spiritualitas katekis adalah spiritualitas kristiani, di mana setiap orang
kristiani terpanggil untuk mewujudkan secara nyata kehidupan Kristus yang
diimaninya sebagai Tuhan dan penyelamat dengan cara mengintegrasikannya dalam
Spiritualitas katekis dapat diartikan hidup rohani seorang katekis, sebagai
orang kristiani yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang agama yang
cukup untuk mengkomunikasikan apa yang diketahui dan dialami kepada orang lain
dan dapat menjadi saksi iman di tengah-tengah umat melalui kesaksian hidup yang
nyata (Heuken, 2002: 12). Dengan demikian spiritualitas katekis adalah hidup rohani
seorang katekis yang senantiasa didorong, dimotivasi, dibimbing, dipimpin, dijiwai,
diterangi, dan digerakkan oleh kekuatan Roh Allah yang berpengetahuan dan
berpengalaman di bidang agama, memiliki kesaksian iman dan
mengkomunikasikannya kepada umat di tengah-tengah kehidupan nyata.
c). Perlunya Spiritualitas bagi katekis dengan Berguru pada Yesus Kristus
Setiap kegiatan akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh daya dorong
yang mendasarinya. Daya dorong tersebut adalah spiritualitas. Seorang katekis dalam
menjalankan tugas panggilannya perlu memiliki spiritualitas katekis. Sumber
spiritualitas para katekis adalah Yesus Kristus. Katekis harus memiliki sikap
pengharapan akan kualitas hidup kristiani dengan menjadikan Yesus sebagai
pedoman hidup. Yohanes Paulus II mengharapkan agar para katekis menimba
spiritualitas katekis dari Sang Guru yakni Yesus Kristus. Banyak hal yang dapat
dipelajari dari Yesus Kristus yang merupakan katekis ulung di mana kesuksesan dan
keberhasilan terlihat dari banyaknya orang yang menjadi pengikut, percaya dan
bertobat.
Kesetiaan Yesus terhadap tugas terlihat dari apa yang dilakukan-Nya, di
terlepas dari kenyataan hidup-Nya. Tindakan yang Ia lakukan sungguh-sungguh
menunjukkan karya penebusan bagi dosa manusia yang merupakan perwujudan
nyata atas sabda-Nya dan sekaligus sebagai kepenuhan wahyu. Para katekis
diharapkan memiliki dan meneladani apa yang dilakukan oleh Yesus dalam
mengajar. Hal ini dilakukan agar para katekis menemukan sinar terang dan kekuatan
untuk secara otentik memperbaharui katekese (Komisi Kateketik KWI, 2009: 30-31).
B. Spiritualitas Katekis dan Tantangannya
Spiritualitas seorang katekis memperoleh warna yang khas dari lingkungan
hidupanya. Spiritualitasnya nampak dalam sikap, semangat, berani dan rela hati
dalam mengembangkan iman masyarakat melalui sabda yang diwartakannya. Bagi
katekis sendiri dalam menumbuhkan spiritualitasnya sangatlah tidak mudah karena
banyak tantangan yang harus dihadapinya. Spiritualitas katekis dan tantangan akan
dijelaskan pada bagian ini.
1. Spiritualitas Katekis
Spiritualitas katekis merupakan sumber dan pedoman perilaku yang
menopang tugas katekis sehubungan dengan panggilannya yang khusus.
Spiritualitasnya menyangkut hubungan pribadi antara katekis dengan Allah yang
tampak dalam hidup sehari-hari. Dalam kenyataan hidup katekis banyak sekali
macam-macam spiritualias katekis yang bisa dipelajari, namun dalam pembahasan
ini penulis hanya membatasi pada empat macam spiritualitas katekis yang harus
dimiliki oleh katekis, yaitu sedia diutus, semangat menggereja, menjadi murid dan
a. Sedia Diutus
Katekis sebagai fungsionaris Gereja memiliki spiritualitas sedia diutus oleh
Gereja. Sikap sedia diutus oleh Gereja yang hidup dalam diri katekis pada dasarnya
mengalir dari panggilan yang dikehendaki oleh Yesus sendiri. Dalam hidup
merasul-Nya, Yesus sanggup mendorong dan mempengaruhi banyak orang untuk mendalami
hidup rohani yang dalam. Demikian pula katekis dipanggil untuk mempunyai hidup
rohani yang mendalam, yaitu menjalankan kehidupan doa, latihan rohani, membaca
Kitab Suci dan devosi (Sarjumunarsa, 1982: 33).
Katekis menyadari kesediaan diri untuk sedia diutus oleh Gereja karena ia
merasa dipanggil untuk mengikuti cara hidup Yesus yang setia diutus oleh Bapa-Nya
sampai pada akhir hayat-Nya. Demikian pula katekis yang sedia diutus terlihat dalam
keterlibatannya yang formal dalam pengutusan Gereja. Maka dalam menyangkut
tugasnya katekis menyatakan kepada masyarakat akan kehadiran Gereja yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat sampai pada akhir hayatnya (Sarjumunarsa,
1982: 34).
b. Semangat Menggereja
Seorang katekis tentunya memiliki sikap semangat menggereja yang
mendalam yakni bergerak dalam komunikasi iman jemaat. Katekis yang bergerak
dalam komunikasi iman jemaat tentu saja harus memiliki sikap dan sifat
komunikatif. Sikap dan sifat tersebut terlihat dalam keterbukaannya untuk sedia dan
setia mendengarkan sabda Tuhan, karena tugas khusus katekis dalam rangka
menggereja yang bergerak dalam komunikasi iman jemaat, maka ia harus memiliki
mengkomukasikan imannya. Dalam komunikasi iman jemaat yang integral akan
terwujud Gereja yang hidup, nyata, dan damai (Sarjumunarsa, 1982: 34-35).
c. Menjadi Murid
Yesus sebelum mengakhiri tugas-Nya dan terangkat ke surga, Ia mendekati
para murid dan berkata:
Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Matius 28: 18-20)
Dalam ayat-ayat tersebut, sangat jelas bahwa Yesus memberi kuasa dan tugas
kepada para murid, yaitu menjadi murid sekaligus sebagai pengajar. Kaitannya
dengan ayat-ayat tersebut semua orang kristiani termasuk katekis adalah murid
Yesus, maka betapa pun katekis memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
mengajar ia tetap murid Yesus. Dalam Injil Matius 11: 29 dikatakan: “Belajarlah
pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati”, ayat tersebut mengajak kepada
katekis untuk tetap setia belajar agar ia memiliki sikap lemah lembut dan rendah hati,
artinya terbuka pada berbagai pengalaman, pendapat, siap menerima kritikan dan
tidak malu bertanya (Sarjumunarsa, 1982: 35-36).
d. Berakar dan Berbuah
Katekis dikatakan berhasil mengembangkan spiritualitasnya apa bila iman
Gereja semakin mengakar dan berbuah di dalam kehidupan jemaat. Hal ini bertolak
dari perkataan Yesus yang terdapat dalam Injil Matius 7: 16 yaitu: “Dari buahnyalah
bertumbuh, berkembang dan menyatakan dirinya di dalam seluruh aspek kehidupan
jemaat baik itu dari segi kebudayaan, sosial, ekonomi, keagamaan dan kehidupan
sehari-hari dengan demikian seluruh aspek kehidupan masyarakat merasakan dan
menjiwai semangat iman Kristiani. Sedangkan Gereja semakin berbuah mengandung
arti tindakan umat yang nyata (perbuatan baik). Tindakan baik ini ditunjukan bukan
hanya kepada sesama jemaat tetapi juga kepada masyarakat luas.
Kebaikan yang dilakukan jemaat akan masuk ke dalam jiwa masyarakat
sehingga menimbulkan dorongan kepada masyarakat luas untuk berbuat baik dan
beramal kasih kepada sesama (Sarjumunarsa, 1982: 36-37). Dorongan yang
dilakukan jemaat tidak hanya memberi dampak pada tindakan kasih tetapi juga
mendorong umat untuk tetap bersatu dalam iman sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya masing-masing.
2. Tantangan dalam Menumbuhkan Spiritualitas Katekis
Banyak tantangan yang harus dihadapi umat kristiani di zaman yang modern
ini. Tantangan tersebut antara lain adalah sosial politik, sosial ekonomi, sosial
budaya dan lain-lain. Begitu pula bagi para katekis yang hidup di tengah zaman yang
serba modern begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menumbuhkan
spiritualitas katekis (Komisi Kateketik KWI, 2009: 13). Perlu adanya kesadaran dan
usaha yang keras dari pihak katekis. Dengan kesadaran dan usaha yang muncul dari
dalam hati katekis, ia akan sanggup mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Dalam
hal ini, penulis membatasi tantangan yang dihadapi para katekis dalam
menumbuhkan spiritualitas katekis pada budaya materialistik dan hedonis, budaya
a. Budaya Materialistik dan Hedonis
Dogma budaya materialistik dan hedonis adalah hidup yang berlimpah materi
dan kesenangan. Dalam budaya tersebut kita akan diakui oleh orang lain apabila kita
hidup dalam kemewahan dan kenikmatan (Komisi Kateketik KWI, 2009: 14). Segala
macam pengorbanan, askese dan tapa kesederhanaan, dan kerelaan untuk
melepaskan kesenangan demi cita-cita luhur tidak mempunyai tempat dalam budaya
tersebut. Budaya materialistik dan hedonis melahirkan sikap konsumerisme.
Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong secara terus-menerus menambah
tingkat konsumsi (Iswarahadi, 2003: 84). Dengan demikian manusia akan berada
dalam dunia yang penuh dengan ketidakpuasan sehingga menyebabkan manusia
akan merasa kurang dan kurang.
Dalam budaya materialistik dan hedonis uang menjadi unsur yang paling
utama sehingga uang menjadi sesuatu yang dipuja bagi kalangan masyarakat, entah
itu kalangan atas, menengah maupun kalangan bawah. Dengan adanya uang,
manusia bisa membeli apa yang diinginkan, maka apa saja akan dilakukan guna
mendapatkan uang, misalnya saja korupsi. Sebagai akibatnya manusia lebih tertarik
kepada uang daripada mengikuti kegiatan-kegiatan rohani seperti pendalaman iman,
doa rosario dan Ekaristi di Gereja (Komisi Kateketik KWI, 2009: 15). Tanpa disadari
pula bahwa katekis juga berada dalam budaya tersebut, hal ini juga menjadi
tantangan bagi katekis sendiri apakah ia bisa mengatasi dirinya sendiri untuk tidak
terlalu berlebihan atau malah justru berlebihan?.
b. Budaya Audio Visual
Salah satu ciri masyarakat Indonesia zaman sekarang ini, baik yang tinggal di
televisi dan internet). Pengaruh audio visual jauh lebih mempengaruhi manusia
dibandingkan dengan kotbah pastor di Gereja. Banyak orang yang rela
menghabiskan waktunya berjam-jam hanya di depan televisi dan video. Salah satu
contoh tayangan televisi yang dominan digemari masyarakat Indonesia adalah iklan.
Iklan mempromosikan berbagai macam materi, misalnya saja rumah mewah, mobil
dan lain-lain (Komisi Kateketik KWI, 2009: 14-15).
Dalam kenyataan, audio visual juga memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat luas tetapi pada umumnya mereka kurang menyadari akan hal itu. Hal ini
disebabkan karena konsumsi masyarakat terhadap audio visual terlalu berlebihan
sehingga melupakan yang lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan bagi katekis selain
menyadarkan masyarakat terhadap bahayanya audio visual, di satu sisi ia juga
sebagai pengguna atau penikmat dari audio visual tersebut.
c. Krisis Makna Generasi Muda
Pada hakekatnya generasi muda adalah generasi bagi kelanjutan hidup
Gereja artinya bersama generasi muda Gereja tumbuh dan berkembang. Namun
dalam kenyataan yang terjadi dengan adanya berbagai macam tawaran hidup yang
berbau duniawi menjadikan generasi muda mengalami krisis makna. Artinya
generasi muda mengalami kebingunan dan kesulitan dalam mencari, menemukan
makna hidup dan memberikan arti yang mendalam bagi hidup mereka dan Gereja.
Reaksi yang muncul dari generasi muda yang mengalami kebingungan adalah
juga yang menjadikan tantangan bagi katekis, di mana katekis harus mampu
membimbing dan mengarahkan generasi muda agar berada dalam koridor yang lurus
yakni berada pada jalur yang sesuai dengan harapan Gereja.
d. Globalisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), globalisasi didefinisikan
sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia, suatu proses di mana antar
individu, kelompok dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait dan
mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Dalam kehidupan
bermasyarakat globalisasi mempengaruhi semua aspek kehidupan.
Salah satu dari aspek kehidupan masyarakat adalah aspek budaya yaitu
nilai-nilai atau persepsi yang dianut oleh masyarakat seperti aspek kejiwaan yaitu alam
pikiran. Tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam pikiran
orang yang bersangkutan, karena umat beriman berada dalam lingkup masyarakat
maka globalisasi juga mengancam hidup mereka (Staf Dosen IPPAK, 2009: 9). Hal
ini juga yang menjadi tantangan bagi katekis dalam menumbuhkan spiritualitasnya,
tanpa disadari pula bahwa katekis juga berada dalam lingkup globalisasi, apakah ia
tetap setia pada apa yang diimaninya atau malah justru sebaliknya?.
C. Usaha Pembinaan dalam Menumbuhkan Spiritualitas Katekis
Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari kata Inggris, yaitu training
yang berarti latihan, pendidikan, pembinaan. Pembinaan yang paling ditekankan
adalah pengembangan manusia pada segi praktik yaitu pengembangan sikap,